Untuk Baik, Buanglah Pamrih


Sampai hari ini entah sudah berapa orang baik yang saya jumpai. Mungkin ada ribuan manusia. Dari awal kehadiran saya di dunia hingga kini yang sudah tidak muda. Untuk mengatakan dia adalah baik, cukup dia satu kali berbuat baik kepada  siapapun, lalu kebetulan saya melihatnya, dan Allah sudah pasti melihatnya. Pilihan untuk menjadi baik adalah sebuah keputusan besar. Hanya mereka yang berhati besar yang mampu berbuat baik.

Fitrah manusia selalu menentang lawan dari kebaikan, namun ketika manusia lemah keyakinan diapun goyah, lalu jatuh pada keburukan. İya, segalanya tercipta berpasangan. Ada kebaikan, ada pula keburukan.



Agama islam mengajarkan kebaikan di seluruh penjuru alam dan Muhammad (s.a.w) sudah mencontohkan dengan sempurna pada masa silam. Para umat muslim pun tinggal mencontoh dari beliau tanpa perlu ragu. Agama islam tidak hanya menilai kebaikan dari hal yang hanya tampak besar, bahkan hal sekecil apapun kebaikan itu, tetap berupa kebaikan. Seorang yang melihat batu di tengah jalan, lalu menyingkirkannya agar memudahkan jalan orang lain atau kendaraan, itu kebaikan. Hanya berupa senyuman atau ucapan salam kepada seorang yang dikenal maupun tidak dikenal, itu kebaikan. Meski kebaikan itu sebesar biji atom, kebaikan itu tidak pernah luput dari pandangan Sang Kuasa.

Betapa indahnya ketika kita melihat seseorang yang ikhlas mengulurkan tangannya untuk hal kebaikan. Betapa mulianya tangan-tangan ikhlas itu, tak memelas pamrih, hanya berharap kemudahan akan terjadi bagi saudaranya. Berkeringat dan bekerja keras, bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk dibagi kepada mereka yang butuh diberi.

Tak perlu kenal apa tidak, tak perlu ada untung atau tidak, tak usah mencari tahu apakah yang diberi akan amanah atau tidak, dia tetap saja memberi, tetap menanam kebaikan, tetap ikhlas tanpa pamrih, yang nanti akan berbuah segar di surga-Nya kemudian.

Bukankah baginda Rasulullah (s.a.w) sudah memberikan teladan tentang semuanya, ingatkan cerita seorang pengemis Yahudi buta di sudut kota Madinah itu?

Mari kita mengingat kembali. Hiduplah seorang pengemis Yahudi buta di sudut pasar kota Madinah. Hari demi hari ia lalui dengan selalu berkata, “Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya.”

Setiap pagi Rasulullah (s.a.w) mendatanginya dengan membawa makanan, dan dibawa kepada pengemis itu meski pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad. Rasulullah (s.a.w) melakukannya hingga menjelang Beliau wafat. Setalah Rasulullah (s.a.w) wafat, tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis itu.

Suatu hari khalifah Abubakar r.a berkunjung ke rumah putrinya Aisyah r.a. Beliau bertanya kepada putrinya, “Anakku adakah sunnah kekasihku yang belum aku kerjakan”, Aisyah r.a menjawab, “Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah, hampir tak ada satu sunnah pun yang belum ayah kerjakan, kecuali satu.” “Apakah itu?” tanya khalifah. Setiap pagi Rasulullah (s.a.w) selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada disana”, kata Aisyah.

Keesokan harinya khalifah Abubakar r.a pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikan kepada pengemis itu. Khalifah Abubakar r.a mendatanginya dan memberikan makanan itu kepadanya. Ketika khalifah Abubakar r.a mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil berteriak, “Siapa kamu?” Khalifah Abubakar r.a menjawab, “Aku orang yang biasa”. “Bukan! Kau bukan orang yang biasa mendatangiku”, jawab pengemis buta itu. “Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskan dengan mulutnya terlebih dahulu, baru dia berikan kepadaku”, pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Khalifah Abubakar r.a tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, “Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu, aku adalah salah seorang dari sahabatnya. Orang mulia itu telah tiada, ia adalah Muhammad Rasulullah (s.a.w)”. setalah mendengar penjelasan khalifah Abubakar r.a pengemis itu pun menangis dan berkata, “Benarkah demikian?, selama ini aku selalu menghinanya, menfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu sangat mulia. Pengemis Yahudi buta itu akhirnya bersyahadat di hadapan khalifah Abubakar r.a.

Berbuat baik itu tidak perlu pandang bulu atau suku, Rasulullah (s.a.w) pun begitu. Terlebih lagi jika sesama muslim, sesama umat Rasulullah (s.a.w), sesama saudara kita. Tidak perlu kita ragu untuk mengulurkan bantuan, memberikan keringanan kepada sesama saudara. Pamrih tidak perlu diharap, Allah sudah menyiapkan hadiah tersendiri untuk mereka yang ikhlas. Ketika kita dibantu oleh orang lain, jangan lupa berterima kasih, berterima kasihlah dengan kebaikan pula. Jadikanlah kebaikan orang lain kepada kita menjadi contoh dan teladan yang patut kita tiru.

Catatan ini terinspirasi dari seorang kakak yang sangat baik hati, di negeri Turki ini.

   

Komentar

Postingan Populer