Di Suatu Malam*
Saat
itu kami berkumpul di sebuah tempat sahabat. Salah seorang teman bertanya:
“Bagaimana
keadaan di Turki? Mau dibawa kemana?”
Seseorang
menjawab:
“Tidak
ada hal yang baru.”
“Semoga
Allah melaknat politik!” Ucap seorang yang lain.
Ada
satu orang lagi menambahkan,
“Keadaan
di Turki sangat kacau balau. Kami tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi.” Ucapnya.
Suasana
lalu senyap hingga ada seseorang dari mereka yang tertawa menunjukkan
kegembiraannya.
“Alhamdulillah,
pekerjaan kami semakin baik sekarang.” Ucapnya melanjutkan.
“Tadinya
saya punya sebuah institute yang memberikan pendidikan agama di Istanbul. Uang sewa
bangunan itu membuatku susah tidur di setiap awal tahun. Tidak sedikit. Saya membayar
tidak kurang dari 40.000 Lira. Akhirnya tahun lalu permasalahan ini
terselesaikan.”
Ada
satu orang yang bertanya,
“Kok bisa? Bagaimana bisa
terselesaikan?”
“Kementrian Agama telah menyerahkan
sebuah bangunan yang besar, bagus, dan bersih di Istanbul. Sebagai ganti
bangunan yang kami sewa dengan mahal itu,” katanya.
“Sebuah bangunan yang tadinya punya
Hizmet, jamaah Fethullah Gulen,” tambahnya lagi.
Dia
seolah merasa bersalah dan berusaha membela diri menjelaskan bahwa dia tidak
bersalah.
“Saya tidak sendiri kok. Ada ratusan,
bahkan ribuan kantor dan bangunan dibagi-bagi kepada siapapun yang
menginginkannya!” jelasnya.
Kali
ini saya menyaksikan mata-mata yang memandang dirinya dengan penuh kecaman. Seseorang
yang berada di sudut bertanya,
“Apa Anda menerima bangunan itu
tanpa izin dari pemiliknya?”
“Tidak! Kami menerima bangunan
tersebut dari ‘Wakaf Kementrian Agama’.”
Kali
ini seseorang memotong pembicaraan,
“Apakah Wakaf Kementrian Agama yang
membangun bangunan tersebut?”
“Saya tidak bermaksud menekan diri
Anda. Saya hanya bersikap sensitive terhadap dosa. Saya tidak tahan untuk
melakukan sebuah dosa,” tambahnya lagi menjelaskan.
Majelis
itu kembali sunyi. Karena sosok tadi bukanlah orang bisa. Beliau adalah seorang
dosen ilmu Kalam/Aqidah di sebuah Universitas. Dan karena matahari terbit dari
timur, maka begitu pula kebenaran. Siapun yang mengharapkan terbit dari sisi
lain maka mungkin ia akan kebingungan. Pada waktunya kebenaran pasti akan
terkuak.
Saya menambahkan sebuah pertanyaan,
agar perdebatan ini bisa berlangsung dalam bingkai keilmuan dan bisa meyakinkan
hati setiap orang,
“Institute ini bergerak di bidang
apa? Apa yang Anda ajarkan?”
“Institute ini dibangun khusus untuk
memberikan Pendidikan keilmuan Agama Islam. Murid-murid kami datang dari
Afrika, Asia, dan bahkan ada yang dari Eropa.”
Saya meletakkan sesuatu yang kupegang
di atas meja. Kemudian bertanya ke pemilik Institute ini:
“Anda dan murid-murid Anda, apakah pernah
shalat di bangunan itu?”
Dia terkejut dengan pertanyaan saya.
Namun ia masih bisa menjawab,
“Iya. Tentu saja. Mengapa Anda
bertanya seperti itu padahal Anda tahu saya shalat?”
“Jika begitu saudaraku, saya ingin
memberi nasehat, beristighfarlah dan mintalah ampunan dari Allah. Saya khawatir
jika shalat yang Anda dan murid-murid Anda dirikan di Institute tersebut sejak
tahun kemarin tidak sah dan tidak mendapatkan pahala.”
Perkataan saya ini membuat semua
orang disitu terheran-heran. Kebanyakan mereka yang tadinya melihat handphone
beberapa kali kini meletakkannya dan mulai memperhatikan dengan seksama. Saya pun
melanjutkan,
“Ghasb adalah hal haram menurut
Kitab Allah, Sunnah Rasulullah dan ijma’ para ulama. Mengambil harta yang
ditinggalkan oleh saudara-saudara Anda secara terpaksa seperti ini, yaitu
dengan jalan ghasb tidaklah diperbolehkan. Ini tidak benar dan kezaliman. Bagaimana
pun bentuk hartanya mankul maupun tidak. Bahkan para ulama kita mengatakan bahwa ghasb
tidak hanya mengambil harta seseorang secara paksa saja. Mereka juga
menjelaskan bahwa harta yang diambil alih dengan jalan pengadilan yang batil
dan sumpah palsu pun adalah sebuah ghasb.”
“Ini agak berbeda. Bangunan yang
diberikan kepada kami bukanlah milik individu. Bangunan ini adalah wakaf!”
katanya sambil memutus perkataan saya.
“Oh! Benarkah? Kalau begitu ini lebih
parah. Bangunan yang Anda sebutkan telah diambil dengan cara ghasb. Jika bangunan
yang dighasb adalah barang wakaf, maka dosanya akan semakin besar dan berat.
Anda pun tahu bahwa, “Sebuah rumah yang hasil ghasb adalah sepotong api Jahannam.”
Shalat yang ditunaikan di sebuah rumah ghasb tidak dibenarkan secara ijma’. Ilmu
yang dipelajari dalam bangunan yan demikian tidaklah berkah. Doa dan ibadah
yang dilakukan disana tidaklah makbul. Memang ada yang mengatakan bahwa shalat
dalam bangunan ghasb seperti itupun sah. Namun maksudnya adalah jatuhnya
kefardhuan seseorang yang shalat di tempat hasil ghasb. Inipun makruh. Artinya tidak
bernilai pahala. Orang yang melakukan ghasb seperti ini akan mendapatkan hukuman
di dunia dan akhirat. Meskipun barang yang dighasb itu bernisab kecil, namun
semua ulama Islam sepakat bahwa ghasb adalah haram. Pikirkan! Apalagi sebuah bangunan
yang dibangun dengan menghabiskan uang jutaan Lira tersebut! Bagaimanakah balasannya?”
Setelah mendengarkan nasehat berat
ini, ia berusaha mencari alasan:
“Iya, seperti yang saya bilang
bangunan ini adalah wakaf. Keadministrasiannya diserahkan kepada Lembaga-lembaga
wakaf yang bertanggung jawab. Mereka (hizmet) telah berusaha melakukan kudeta. Dan
ini adalah balasannya. Biarkan mereka merasakan hukumannya.”
Saya memberikan senyuman padanya dengan
maksud membuat kemarahannya mereda. Lalu,
“Saya tidak berbicara politik
disini. Karena bukan itu topik kita. Mari kita letakkan hal yang telah terjadi
itu di satu sudut untuk sementara waktu. Biar Allah yang akan menentukan
hukuman yang pantas di antara mereka. Saya sedang membahas tentang permasalahan
syar’i dan akhlaki kepada Anda. Ya. Bangunan tersebut hanya bisa Anda gunakan
dengan meminta izin kepada para pemilik sesungguhnya. Yaitu orang-orang yang
telah membangun dengan ketulusan yang sungguh-sungguh dengan memberikan
keberadaan dan ketiadaan yang mereka miliki, lalu kemudian mewakafkannya kepada
hizmet. Tidak ada acara lain. Para pemilik yang sesungguhnya, wanita, laki-laki,
anak… semuanya telah membangun bangunan itu dengan menghabiskan waktu
bertahun-tahun dan uang yang tidak sedikit. Bahkan pada waktu yang lama
bangunan tersebut telah digunakan untuk pengabdian dan pelayanan atas nama
agama dan masyarakat mereka sendiri.”
Dia protes dengan penuh
keyakinannya;
“Tapi bangunan ini pun kami gunakan
untuk pengabdian pada agama dan masyarakat Turki.”
Salah satu dari orang di majelis itu
menjawab dengan tajam:
“Jangan berlebihan dan bersikap
kurang ajar! Hal yang kau lakukan ini sudah jelas haram. Kau tidak berhak untuk
melakukan ini!”
Seorang lain yang terkejut dengan
apa yang telah didengarkan pun bersuara lebih lantang:
“Mereka adalah saudara Anda. Mereka pun
juga orang Muslim. Sebagian besar mereka masuk ke dalam penjara dan sebagian
terpaksa meninggalkan negaranya. Apakah Anda tidak malu mengucapkan semua ucapan
Anda tadi, padahal Anda tahu semua itu?”
Suara-suara semakin mengeras di majelis
itu. Lalu, untuk bisa memperjelas keadaan dan agar semakin bisa dipahami saya
mengatakan;
“Baiklah. Biar seperti yang Anda
ucapkan. Saya akan menjelaskan keadaan Anda dalam satu permisalan: Ada seseorang
yang mewakafkan sebuah mushaf bagus ke sebuah Masjid untuk dibaca oleh
orang-orang. Kemudian dia pergi. Lalu ada satu orang yang tinggal di dekat
masjid datang mengambil mushaf secara sembunyi-sembunyi dan membawanya ke
rumah. Siang-malam ia mulai membaca Al-qur’an. Suatu hari imam masjid datang
untuk mengambil kembali mushaf yang dia ambil. Namun orang tersebut tidak ingin
mengembalikan. Malah berkata seolah dirinya benar, “Orang itu mewakafkan mushaf
agar orang lain membacanya. Aku pun salah satunya. Kapanpun aku membaca mushaf
tersebut maka pemilik wakaf pun akan mendapatkan pahalanya.” Dengan begitu dia
telah menemukan alasan yang logis bagi dirinya atas pencurian yang telah
dilakukannya.
Dalam hal ini ada satu hal yang
dapat sang imam lakukan. Yaitu menjelaskan kepada orang jahil tersebut bahwa, “Allah
hanya akan menerima amal-amal yang halal dan bersih.” Ya, pekerjaan telah
dilakukannya akan tertulis sebagai sebuah pencurian. Oleh karena itu Al-Qur’an
yang dibaca bukanlah perbuatan baik dan tidak akan berpahala.”
Orang itu pun naik pitam dan semakin
meninggikan suaranya,
“Sudah berapa kali saya katakan. Bukan
saya satu-satunya yang melakukan ini. Ada ratusan dari Turki dan luar Turki…
Tidak, bahkan ada ribuan orang yang seperti saya. Kami punya sebuah Lembaga yang
resmi. Dan kami pun menerima bangunan tersebut dari makam resmi untuk Lembaga ini
sesuai dengan hukum,” ucapnya membela diri.
Saya pun tidak tahan dan menjawab:
“Bagaimana Anda bisa berkata
demikian? Anda adalah seorang Alim dan Aqil. Anda pun tahu dengan baik bahwa
keputusan/hukum yang diberikan oleh seorang hakim atau pengadilan tidak akan
dapat merubah yang haram menjadi halal sebagaimana tidak dapat merubah yang
halal menjadi haram. Hanya Allah Ta’ala satu-satunya yang dapat memberikan
hukum dan menentukan syariat itu. Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an dengan
jelas berkenaan dengan hak orang lain:
وَلَا تَأْكُلُوا
أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ
لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنتُمْ
تَعْلَمُونَ
“Dan
janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS
Al-Baqarah, 188)
Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam pun telah menjelaskan mana yang halal dan mana yang
haram. Bahkan beliau telah memberitahu hal-hal yang meragukan. Artinya, dengan
memperhatikan semua itu dengan baik sama dengan menjaga agama. Rasulullah pun
telah bersabda dan mengingatkan umat Muslim pada Khutbatul Wada’ di Arafat;
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ، وَأَمْوَالَكُمْ، وَأَعْرَاضَكُمْ،
بَيْنَكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي
بَلَدِكُمْ هَذَا
“Wahai manusia sekalian, Sesungguhnya
(jiwa) darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian adalah suci, haram, dan
dilindungi, sebagaimana suci dan mulianya hari ini, di bulan yang mulia ini, dan
di negeri (Mekkah) yang mulia ini.”
Dalam
hadis yang lain beliau bersabda,
لاَ
يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Tidak
halal harta seseorang kecuali dengan ridha pemiliknya.”
Lagi-lagi
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah mengingatkan umat Muslim untuk
tidak mengambil harta seseorang tanpa perizinan;
مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الأَرْضِ
ظُلْمًا، فَإِنَّهُ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِيْنَ
“Barangsiapa yang
mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka Allah akan mengalungkan tujuh bumi
kepadanya.”
“Apakah Anda tidak pernah mendengarkan
ayat dan hadits tersebut tadi? Bagaimana Anda bisa bersikap seolah-olah tidak
tahu dan belum pernah mendengar?”
Orang tersebut lalu memegang gelas dan
meneguk tehnya. Kemudian terdiam beberapa saat. Lalu topik pembahasan di majelis
itu berganti dan lanjut dengan pembicaraan lain.
(*) Penulis
adalah Jamal bin Fadhl Al-Hausyabi, seorang sekretaris umum di pusat “Ru’yatul
Tsaqafi” di Mekkah. Tulisan ini adalah terjemahan dari artikel yang telah
diterbitkan oleh Majalah Hira edisi 62. (Sumber: http://karyagdi.blogspot.co.id/2017/12/gecelerin-sonu.html)
Komentar
Posting Komentar