Prinsip dan Dasar Khidmah: Gerakan Dengan Orbit Keikhlasan (8)



Rasa Setia

    Wafa' atau kesetiaan berarti menyadari adanya janji/hutang terhadap seseorang, baik itu yang diingatkan kembali olehnya atau tidak, lalu ia menunaikan janji/hutangnya dengan kesadaran penuh. Sering kali hal ini terwujud dalam bentuk perjanjian timbal balik. Allah berfirman, “Dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu.” (QS. Al-Baqarah, 2:40). Artinya, bersikaplah setia kepada-Ku, penuhi janji kalian dalam tindakan, maka Aku pun akan memenuhi janji yang telah Kuberikan dalam perjanjian ini. Dalam dua ayat lainnya juga disebutkan,“Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu.” (QS. Al-Baqarah, 2:152); dan “Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu.” (QS. Muhammad, 47:7), yang semua ini menunjukkan ekspresi dari kesetiaan.

    Menjadi setia berarti, di satu sisi, menjaga perasaan dan sikap ini terhadap sosok yang kita berikan kesetiaan, di sisi lain, kita sadar akan tanggung jawab dan memenuhi apa yang diperlukan untuk menunaikannya. Dan kita menghadap kepada sosok tersebut sesuai dengan perhatian yang diberikannya kepada kita. Kesetiaan adalah sifat wajib kepada sahabat. Sahabat tidak akan pernah meninggalkan sahabatnya, dan kelanggengan persahabatan hanya terikat pada kesetiaan.

    Setiap orang memiliki tingkat kesetiaan dan ketulusan masing-masing. Manusia, melalui perasaan luhur ini, menunjukkan penghargaan kepada hal-hal yang ia anggap berharga dan memeliharanya dari lubuk hati. Misalnya, seseorang yang setia dan tulus terhadap dakwah, pemikiran, dan peninggalan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam akan memperlakukan tempat yang menyimpan lihye-i şerif (janggut) atau kadem-i pâk (jejak kaki) beliau yang mulia dengan perasaan dan pemikiran tersebut. Sebenarnya, penghormatan semacam ini tidak diwajibkan oleh Al-Qur'an atau Sunnah, tetapi para tokoh besar yang setia kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam sejak Zaman Keemasan selalu bersikap setia seperti itu dan memperlakukan setiap amanah dan peninggalan beliau dengan penuh rasa hormat dan melindunginya dengan baik.

    Kesetiaan memiliki kriteria tersendiri, seperti halnya sifat jujur dan dapat dipercaya. Kesetiaan hanya bisa disebut demikian apabila memenuhi kriteria tersebut. Jika kesetiaan berarti tetap teguh pada janji kepada Allah Ta'ala, menepati janji dengan sesama manusia, memenuhi hak-hak persahabatan, dan memperlakukan semua yang telah berbuat baik dengan ketulusan dan kesetiaan maka seorang manusia harus selalu bertawajjuh kepada Allah dan Rasul-Nya, terikat pada tujuan meraih ridha Allah semata, dan penuh semangat dalam melayani iman dan Al-Qur'an, dengan kepala selalu tertunduk di depan pintu Allah. Setiap tarikan nafasnya seharusnya disertai perasaan, “Aku belum cukup mendalam... belum sampai pada cita-cita hatiku... aku masih berada di luar ruang utama dan belum memasuki bagian terdalam...” serta merintih dengan perasaan belum mampu memenuhi tanggung jawab yang diberikan.

    Kesetiaan adalah sifat seorang mukmin. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa di antara sifat-sifat orang munafik ada tiga: “Ketika berbicara, dia berdusta. Ketika berjanji, dia mengingkari. Ketika diberi amanat, dia berkhianat.” HR. Bukhari. Kata Khulful wa'ad dalam hadis tersebut, yang berarti mengingkari janji yang telah diucapkan adalah sebuah sifat munafik, sedangkan memenuhi janji adalah sifat mukmin yang sejati. Kata “kesetiaan” juga mencakup kejujuran dan menjaga amanah yang diberikan kepadanya. Dengan demikian, kata kesetiaan dalam hadis ini meliputi tiga hal penting yang diharapkan Allah dan Rasul-Nya dari kita.

______ 

Tulisan merupakan catatan dari penjelasan Hojaefendi berkaitan tentang "Khidmah dan Dasar-dasarnya." 

Bandung, 6 November 2024

Komentar

Postingan Populer