Nereden Biliyorsun! (Cerpen)
Keheningan malam mengatakan bahwa
siang telah berlalu. Gelap telah tiba, terang telah tiada. Tinggal titik-titik
cahaya, pengganti sinar sang surya. Sunyi sedang menyelimuti hari, ketika ramai
kehidupan telah kunjung pergi.
Nereden
biliyorsun! Nereden biliyorsun! Nereden biliyorsun!
Sepertinya kata-kata ini telah menjadi dzikirku
hari ini. Berkali-kali kuulang tanpa rasa bosan. Semakin kuulangi, semakin
kutertunduk malu akan diri ini. “Dari mana kau tahu?” adalah ungkapan yang
mengajarkanku dua hal. Pertama, jangan berburuk sangka, pada hal yang mungkin
kau tak bisa menduga. Kedua, kita hanya manusia biasa, tak mengetahui keinginan
manusia yang ada jauh di dalam hati, kecuali Sang Rabbi.
--o0o--
Namanya, Mustafa. Dia hanya orang
biasa, tak ada kelebihan yang tampak langsung dari kehidupannya. Badannya
pendek bagi orang-orang Turki umumnya. Cara dia berjalan mungkin akan terlihat
lucu, bagi mereka yang tak punya hati.
“Coba lihat gayanya berjalan!” kata
seorang temanku Irsyad, saat melihatnya. Irsyad punya satu kebiasaan buruk, dia
suka mengejek dan merendahkan kekurangan atau keanehan orang lain. İya,
badannya kekar dan tinggi. Dia juga lebih pintar daripada teman-teman sekelasku
yang lain. Mungkin secara materi dia
tampak lebih mapan, namun dari segi hati, entah wallahu a’lam.
Mustafa, aku, dan Ahmad adalah tiga
bersahabat, sejak awal kami di kampus ini, hingga semester terakhir kali ini.
Kami bertiga sama sama berbadan tidak tinggi. Selain itu, kami biasa bersama
dalam hal apa saja. Empat tahun berlalu, kami tidak pernah memperhatikan
kekurangan satu sama lain. Kami selalu
saling percaya dan menghormati sesama. Tapi, dari kami bertiga, aku tidak
sebegitu akrab mereka berdua. Mereka berdua adalah dua sejoli, yang tak akan
pernah terpisah, padahal Ahmad sudah menikah. Aku lebih jarang berkumpul
bersama mereka. Namun bukan berarti aku tidak bersahabat. Bisa dibilang,
persahabatku dibanding mereka berdua, aku adalah tingkatan ketiga di bawah
mereka. Kadang aku pun masih meragukan kesetiaan mereka dalam persahabatan ini,
sampai datang hari ini ketika aku menentukan bahwa persahabatan mereka adalah
sempurna.
Sore kemarin setelah ujian aku
datang ke dosen pembimbing tugas akhir. “Dalam minggu ini usahakan tugas
akhirmu selesai. Minggu depan akan ada acara wisuda kalian. Sebelum itu,
tugasmu harus sudah usai,” kata Faruk Hoca.
“Peki hocam. Baik pak,” jawabku pasrah. Meskipun tak ada skripsi di
Turki, tugas akhir ini agak rumit untuk mahasiswa asing sepertiku. Meneliti,
menulis, dan menyimpulkan semua dengan Bahasa Turki. Alamaak! Berat bro!, ucapku
merintih.
Mustafa menghampiriku tepat sesaat ketika
kukeluar dari ruangan Faruk Hoca. “Mau kemana kanka?” Kanka adalah
ucapan berbahasa Turki berarti sahabat, sobat. “Aku mau pulang ke rumah.”
“Ada apa? Kok lesu gitu?” katanya
dengan gaya khas bicaranya. Sebenarnya aku tidak meminta pertolongan kepada
siapapun dalam mengerjakan tugas akhir ini. Aku berusaha mengerjakan semuanya
sendiri. Namun, setelah Faruk Hoca selesai mengoreksi, ternyata ada ribuan
kesalahan yang harus aku perbaiki, dan itu akan kulakukan sendiri, dan lebih
gilanya lagi batas akhirnya adalah akhir pekan ini.
“Tidak ada apa-apa,” ucapku pelan.
“Ayolah, aku bisa membantu
insyaAllah,” katanya meyakinkanku. Akhirnya aku luluh juga dengan tawarannya.
Semua yang kualami kini telah kujelaskan padanya.
“Oke, gampang itu.”
“Beneran Mustafa?” tanyaku tak
percaya bahwa dia benar-benar akan membantuku. Sungguh aku pun tidak menyangka
sebelumnya. Jujur, alasan lain yang membuatku ragu tuk meminta pertolongannya
adalah ketidak-yakinanku dengannya, sebab Bahasa Turkinya pun terbata, belum
lagi ketika aku melihat tulisan tangannya.
“Kapan kita mulai?” dia bertanya.
“Jika kau tidak ada acara, hari ini
kita mulai saja.”
“Oke, aku tidak punya acara kok,”
tambahnya. Sebenarnya aku tidak enak, aku merasa merepotkan orang lain, apalagi
ketika melihat wajahnya yang begitu polos dan baik hati. “Yasudah, langsung
saja ke rumahku,” tawarku lagi dan diapun mengatakan iya.
--o0o--
Sore itu terasa panas. Sinar matahari
menembus kaca-kaca jendela kamarku. Kami berdua sedang sibuk dengan
lembaran-lembaran tugas berbahasa Turki. Dia sedang membaca sebagian dari
tulisanku. Lalu dia tertawa. Aku semakin sadar bahwa Bahasa Turki yang kukuasai
tak seberapa. Masih ada banyak kesalahan di sana-sini. Berjam-jam telah
berlalu, namun kutak melihat lelah di wajahnya. Dia dengan seriusnya membaca
dan memperbaiki tulisanku. Sedangkan aku sibuk mengetik setiap perbaikan yang
dia ucapkan. Aku terharu dengan perlakuannya ini. Ternyata kusalah menduga
tentang semua yang berkenaan dengannya. He
is the best, bisikku dalam hati.
Beberapa kali kubertanya, “Mau
sesuatu gak, cemilan atau minuman segar gitu?”
“Tidak perlu, kita selesaikan ini semua dulu saja,” jawabnya sambil
terus memikirkan perbaikan dari tulisanku yang salah dalam susunan.
Nereden
biliyorsun! Dari mana kau tahu! İya, kita tak bisa
menilai seseorang dari luarnya saja. Apakah benar kau tahu apa isi hatinya,
hingga kau putuskan sesuatu hal yang negatif tentang dirinya. Asal ceritaku
bukanlah ini, tapi cerita setelahnya.
Tak ada hal yang kami tutup-tutupi
di antara kami bertiga. Setiap permasalahan selalu kita coba hadapi bersama. Bahkan
sampai pada hal yang bersifat pribadi sekalipun.
Setelah semua selesai dan
beristirahat, “Mustafa,” panggilku.
“Iya,” jawabnya.
“Kau tahu, musim panas ini aku akan
menikah dengan tunanganku.”
“Iya, aku tahu.”
“Cuman, ada satu masalah yang aku
sulit mengutarakan suatu hal padanya.”
“Apa itu?” tanya dia penasaran.
“Syarifah adalah kekasihku, belahan
hidupku. Kutak sanggup membuatnya sedih. Setelah hampir 6 tahun dia menunggu,
akhirnya tahun lalu aku bisa bertunangan dengannya. Tahun demi tahun, bulan
demi bulan mungkin telah berlalu dengan berat baginya. Menunggu dengan
ketidak-pastian. Aku yakin ada ribuan kerinduan yang terpendam di dalam
dirinya. Sejak kujatuh cinta padanya, kutelah berjanji untuk tidak akan pernah
menyakiti. Tidak cukup dengan hanya pertunangan itu saja, lalu aku dengan mudah
membahagiakannya. Namun aku pun ingin melengkapi kebahagiaannya dengan
pernikahan kami di musim panas ini. Mungkin dengan begini aku bisa mengobati
kerinduan cinta di antara kami.”
“Iya,” ucapnya sambil terus
menyimak.
“Semua persiapan untuk pernikahan
telah siap. Tidak ada masalah untuk hal itu.”
“Lalu, apa yang menjadi
masalahnya?”
“Setelah pernikahan kami nanti. Aku
takut akan mengecewakannya. Kau tahu, tidak cukup hanya dengan bekal empat
tahun menyelesaikan jurusan syariah di Turki, lalu kita bisa berdakwah dengan
baik. Aku masih merasa sangat kurang dengan ilmu yang kumiliki. Lalu aku pun
mencoba mencari jalan untuk bisa menempuh pendidikan lebih tinggi lagi.”
“Eeee.. terus..”
“Iya, alhamdulillah akhirnya aku
dapat beasiswa untuk S2 nanti.”
“Bagus dong,” tambahnya.
“Bukan itu. Tapi aku takut akan
mengecewakannya. Jika aku melanjutkan pendidikanku, itu artinya setelah
pernikahan kami nanti, aku harus pergi meninggalkannya. Tentunya aku akan
membuatnya menunggu lagi, padahal dia sudah menjadi istriku yang halal. Kutak sanggup
untuk membuatnya terluka, apalagi setelah pernikahan kami. Beasiswa yang akan
kudapat nanti tidak mencukupi untuk kami berdua. Sepertinya, aku harus rela
meninggalkannya sementara di Nusantara. Di samping itu, aku tidak tega
mengutarakannya ini semua kepadanya.”
“Nereden
biliyorsun! Dari mana kau tahu? Bahwa dia akan
kecewa dengan keputusanmu itu? Bukankah calonmu juga alumni pesantren seperti
yang sudah pernah kau ceritakan? Aku yakin dia pasti dapat memahami keadaanmu.
InsyaAllah dia adalah istri yang shalihah. Jangan berburuk sangka pada istrimu
sendiri kawan,” katanya menasehatiku.
“Lalu bagaimana cara aku
mengungkapkannya kawan?” tanyaku bimbang.
“Hubungi dia malam ini dan jelaskan
semuanya tanpa harus ada yang ditutup-tutupi.”
“Tamam. Nanti aku coba. Makasih kawan,” ucapku sambil merangkulnya.
“Ne demek. Tentu kawan, tidak perlu sungkan-sungkan.”
--o0o—
Kumelihat langit. Ada jutaan
bintang yang berkilauan. Kupandangi pemandangan malam ini dengan mengharap ada
jalan keluar dari permasalahan pribadiku. Sebuah bintang sedang jatuh ke bumi.
Bintang berekor itu berjalan cepat. Lalu hilang.
Pukul 21.30 adzan isya
berkumandang. Air wudhu yang mengalir dari pancuran begitu terasa dingin
menyejukkan hati. Udara panas telah menjumpaiku setiap harinya. İya, musim
panas telah tiba di depan mata. Hanya air wudhu seperti inilah yang dapat
melupakan panas di setiap hari.
Seperempat jam berlalu. Shalat isya
malam ini benar telah menenangkan hatiku. Tak lupa kuberdoa, Ya Rabbi, jadikanlah
dia seorang istri yang shalehah, berhati lembut, selalu tabah dan sabar akan
segala macam ujian. Jadikanlah dia penyemangat dalam setiap langkahku, dalam
pengabdianku di jalan-Mu. Permudahkanlah segala urusan hamba, Ya Rahman Ya
Rahim, Ya Muqallibal qulub Ya Sahibal qulub. Amin.
Kuambil telefon genggamku. Aku
tidak langsung menghubunginya. Pesan sms aku rasa cukup untuk menjadi basa-basi
sebelum aku mulai mengutarakan isi hati. Lalu...
Ada
hal yang ingin kubicarakan dek. Boleh aku call?
İya,
silahkan mas.
Kubuka kontak di dalam handphoneku. Lalu kutekan tombol hijau
tuk lanjut call.
“Ada apa mas?” dia bertanya.
“Dek, senang tidak kalau suamimu
nanti bisa terus mengabdi di jalan Allah?”
“Tentu mas. Senang sekali.”
“Mas masih merasa tidak berilmu
dek. İlmu pengetahuan yang mas punya rasanya masih begitu dangkal. Mas sudah
berupaya untuk berfikir panjang. Mas ingin bertanya kepadamu. Kalau mas lanjut
pendidikan lagi gimana?”
“Iya bagus mas, adek mendukung
sekali.” Jawabannya ini begitu menyemangatiku. Namun aku masih ragu untuk
mengutarakan pertanyaan setelahnya.
“Hmmm... Kalau di Turki gimana?”
“Boleh mas, dimana saja silahkan.
Asal adik diajak nantinya.” Jawaban kali ini semakin membuat pertanyaanku
selanjutnya semakin berat. Namun aku harus mengutarakannya. “Tapi ya kalau
memungkinkan saja mas,” tambahnya dan membuatku sedikit lega.
“Dek...”
“Iya mas...”
“Jadilah perhiasan dunia yang
paling berharga yang mas punya! Mas tidak berharap lain kecuali istri yang shalihah.”
“Hmmm, insyaAllah mas. Doanya ya.”
“Mas kemarin sudah mencoba daftar
di sana-sini. Alhamdulillah mas sudah dapat beasiswa untuk S2 nanti disini.”
“Alhamdulillah mas..”
“Iya, tapi ada sedikit masalah dek.
Beasiswanya mungkin hanya cukup untuk satu orang saja, mas saja atau adek saja.
Tapi yang akan kuliah S2 nanti kan mas. Apakah calon istri shalihah mas ini
nanti ikhlas jika ditinggal di Indonesia, tentunya ketika mas jadi ambil
beasiswanya?” akhirnya pertanyaan ini terucap juga dari mulutku.
“Alhamdulillah, iya mas. Adek
ikhlas insyaAllah. Selama yang mas tempuh adalah jalanan demi ridho Gusti
Allah, adek akan selalu rela dan ridho mas.” Jawaban ini seperti setetes air
dingin yang membasahi hatiku yang kering. Membasahi hatiku dengan kesyukuran
dan rasa lega. Pipiku basah, mataku berair karena haru. Telefon genggamku
jatuh. Dan aku tersungkur dalam sujud atas nikmat terindah ini.
Allah!
Allah! Allah! Rasanya aku tidak ingin menghentikan
dzikir ini. Seketika bayangan wajah Syarifah yang semakin cantik datang ke
hadapanku. Jilbabnya yang anggun dan caranya berjalan dengan pelan menunduk
malu, dibalut dengan senyuman di wajah bulatnya. Terima kasih ya Allah, ucapku
dalam hati. Kau telah memberikan seorang pendamping yang selalu mengamini jalan
menuju-Mu. Benar kata Mustafa, nereden
biliyorsun!
--o0o--
Tiga bulan kemudian. Bandara Soekarno
Hatta.
Tidak ada orang lain selain kami
berdua dari keluarga yang mengantarku hingga bandara. İstriku yang cantik sedang
memandangiku tanpa henti.
“Liatin apa sih sayang?” godaku.
“Hmmmhh..” rengeknya di hadapanku. “Biarlah
istrimu ini memuaskan hati dengan memandang wajah suami tercinta yang akan pergi
di jalan sabilillah dan tolabul ilmi,” tambahnya lagi.
“Iya istriku, silahkan,
tafadholiii..” Dia tersenyum sambil mencubit lengan kananku.
“Istriku...”
“Iya suamiku...”
“Lihat kedua mataku. Mas mau minta
satu hal padamu. Berjanjilah kepada mas, kalau nanti mas pergi adek tidak akan
meneteskan airmata berhargamu. Janji?”
“Janji. Aku berjanji tidak akan
membiarkan airmataku menetes dalam kepergianmu mas,” ucapnya tegas.
“Mas..”
“Iya istriku...”
“Berjanjilah juga untuk selalu
menjaga diri dari nafsu dan nafsi. İngat selalu bahwa mas pergi menuntut ilmu
lillah, bukan yang lain. Pergilah dengan selamat, kembalilah dengan selamat. Aku
di sini selalu menunggumu mas.”
“Iya, mas janji sayangku.” Lalu kukecup
keningnya dengan damai.
A4, Kahramanmaras, Turki, 05 Juni
2015
Komentar
Posting Komentar