Satu Menit Ke Depan

Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang.

Seperti biasa, kebiasaan merenungku tiba-tiba melintasi pikiranku. Perasaanku mengatakan bahwa  kebiasaanku ini adalah baik-baik saja. Bukannya merenung itu sama dengan bertafakkur? Ketika kita membaca kalamullah, kita sering menjumpai ujung-ujung akhir ayat yang menganjurkan bertafakkur, berta’akkul,  berta’allum. Bukannya merenung itu sama dengan bermuhasabah, berusaha membaca alam, membaca hikmah, membaca keindahan, membaca dan membaca. Bukannya membaca itu adalah kata yang pertama kali menjadi kalamullah? “iqra’ Bacalah!”

Kali ini mengenai waktu. Yaitu jam, menit, detik atau mungkin ada yang lebih kecil dari satuan detik. Tanpa waktu mungkin kita tak ada, karena kita berada dalam waktu. Berada diluar waktu adalah sesuatu yang mustahil. Waktu juga berupa hari, bulan, tahun, windu, abad dan seterusnya.

Suatu ketika ada seorang hakim di negeri timur tengah. Dia pergi pada suatu hari ke padang pasir. Dia adalah hakim yang terkenal dengan kejam dan tanpa ampun. Dia pergi dengan perbekalan lengkap beserta rombongan anak buahnya. Di tengah perjalanan dia dan rombongan turun untuk beristirahat. Ketika waktu dhuhur datang, dia merasa lapar kemudian makanan pun disiapkan oleh mereka. Dia berkata kepada anak buahnya, “carilah sesorang ditengah gurun pasir ini untuk makan bersamaku!”

Maka anak buahnya pun pergi untuk memenuhi permintaan sang hakim. Sampai mereka menemukan sesorang kakek tua yang sedang berteduh dibawah bayangan sebuah pohon. Berkatalah mereka, “mari ikut bersama kami menjumpai sang hakim.” Pergilah mereka menjumpai sang hakim, sesampainya sang hakim pun mengucapkan salam kepadanya kemudian bercakap.

“wahai orang tua, mari sini makan bersamaku,” kata sang hakim memanggil.

“seseorang lebih mulia darimu telah memanggilku dan aku menerima panggilannya,” jawab sang kakek menolak.

“siapa dia?”
“Tuhanku memanggilku untuk berpuasa maka aku pun berpuasa.”

“Diterik yang panas ini dan di bulan selain Ramadhan seperti ini apakah kau berpuasa?”
“Iya, aku berpuasa di hari selain Ramadhan bahkan lebih panas dari ini,” jawab kakek itu dengan tegas.

“Tidakkah kau melihat betapa lezatnya makanan-makanan ini,” bujuk sang hakim.
“Apa-apa yang Allah miliki lebih baik dari semua ini.”

“Makanlah hari ini, kemudian berpuasalah esok hari!” pintanya memaksa.
“Apakah seorang hakim bisa menjamin aku bisa hidup sampai hari esok?” Tanya sang kakek.

“Ditanganku tidak ada kehidupan yang bisa memanjangkan umurmu yang terbatas.”

“Bagaimana kau bisa memintaku sesuatu untuk sesuatu yang lain, padahal itu tidak ditanganmu?” jawabnya mematahkan.

Subhanallah, betapa indahnya cerita ini. Adakah sesuatu hikmah yang kita dapatkan?

Menit. Satu menit. Dua menit. Terlalu banyak, satu hembusan nafas kita tidak sampai satu menit. Hanya beberapa detik saja. Berapakah harga satu menit ini? Coba tanyakan lah kepada seseorang yang bepergian melalui perjalanan udara. Dia datang ke bandara tepat setelah satu menit pesawat mengudara.

Coba bertanyalah kepada seseorang yang sedang melintasi rel kereta api. Ketika satu menit setelah satu langkah menyeberangi rel, sebuah kereta api berkecepatan kilat melaju kencang.

Satu menit, berhargakah? Bernilaikah? Bersambung…

Kahramanmaraş, 16 maret 2012

Komentar

Postingan Populer