Aku Mencintaimu Lillah! (cerpen)



Pagi ini aku terbangun dari tidur, oleh suara telfonku yang berbunyi. Adzan subuh masih belum berkumandang, namun aku tidak bisa menolak untuk bangun. Seorang sahabat karibku, Abdullah baru seminggu datang dari Turki. Dialah yang membangunkanku pagi ini. “Umair, bangun bangun!” katanya. “Ane tunggu di Masjid depan ye?”


“Iya,” jawabku dengan suara parau.

Lima tahun di Turki, dia telah banyak berubah, sebagaimana pula aku yang telah berubah selama lima tahun disini. Aku ingat, dulu aku tidak pernah lepas dan berpisah dari Abdullah tatkala masih di pondok. Hanya dia yang sehati dan sejiwa denganku. Aku ingat, dulu kami selalu berpuasa senin kamis bersama, pergi sahur dan berbuka bersama, tahajjud juga bersama, dimanapun ada Abdullah maka disitu ada Umair. Betapa indah hari-hari itu, betapa manis kenangan itu, hingga tiba saat dimana kami harus berpisah, sebab pendidikan pondok yang telah usai. Kini waktunya menempuh jalan yang lebih jauh lagi, pikir kami waktu itu. Namun tekad kami berbeda, aku inginnya di tanah air saja, sedang dia bersemangat sekali untuk pergi ke luar negeri.

“Umair, mungkin ini berat,” ucap Abdullah serius di bawah sebuah pohon nangka nan rindang. Kami sedang duduk menghadap pemandangan pondok dari bukit di seberangnya. Berdua saja.

“Iya, aku tahu. Pergilah raih cita-citamu, aku disini. Aku tidak bisa jauh dari kedua orang tua,” jawabku. “Aku rasa, inilah waktu yang tepat untuk mengabdi pada mereka. Aku anak satu-satunya Abdullah.”

“Aku faham,” katanya sambil menepuk pundakku. Dia memberikan sebuah pelukan persahabatan padaku. “Aku akan rindu tuk bertemu denganmu lagi.”

***

Seminggu penuh dia selalu menelfonku untuk bangun subuh. Dia tahu, aku sudah lama jauh dengan ibadah. Keadaanku telah merubah pola hidupku. Dunia luar sangat keras, hingga harus melepaskan agamaku begitu saja. Tidak ada lagi shalat, tidak juga puasa, apalagi untuk tahajjud. Aku sadar akan kelemahanku ini, tapi aku tidak bisa melakukan ibadah-ibadah itu lagi. Aku serasa telah menjadi seorang yang asing. Aku malu untuk kembali, setelah pergi jauh dari Tuhan tanpa alasan. Bagaimana aku bisa kembali, wajahku tak sanggup untuk menatap Sang Kuasa, setelah bertahun-tahun absen dari hadapan-Nya.

Hari ini adalah hari kelima, dia menelfonku lagi. Aku pun malu untuk bertemu dengannya. Hingga beberapa hari yang lalu dia berkata:

“Umair, kau ingat janji kita. Kita telah bertemu lagi kawan. Namun kau menaruh jarak di antara kita. Kau tidak sedekat denganku dulu. Kau telah berubah Umair. Aku tahu, dunia luar yang keras telah merubahmu. Maafkan aku yang telah jauh, hingga melupakanmu.”

“Namun Umair, ampunan dan rahmat Allah lebih besar dari kemurkaannya. Kau masih memiliki waktu tuk membersihkan diri. Tentunya, Allah akan begitu senang dengan kedatanganmu.”

“Sebenarnya aku tidak kuat jauh darimu. Di jauh sana, aku selalu memikirkanmu, akupun khawatir. Namun, aku ingat akan janji kita, bahwa suatu hari kita akan bertemu. Kau ingat itu? Aku pun membayangkan keadaanmu yang baik, hingga kekhawatiranku itu berubah menjadi keindahan.”

Selama lima hari ini aku hanya membiarkan telfon itu menyala tanpa jawaban. Hingga datang hari ini, bersamaan dengan kedatangan keberanianku untuk memulai. Kuberusaha mengingat lagi tata cara mengambil wudhu, yang kini aku telah lupa. Aku telah membasuh semua bagian yang harusnya aku basuh, dengan ingatan yang seadanya. Aku masih memiliki baju koko, aku telah membelinya pada hari raya tahun lalu. Peci hitam lusuhku pun kuletakkan layaknya mahkota di kepala.

“Allahu Akbar... Allahu Akbar!”

Adzan subuh sedang berkumandang. Aku bergegas pergi dengan rasa gugup yang baru. Masjid Biru itu terlihat beberapa meter dari tempatku. Tepatnya, di seberang dari jalan raya ini. Ust. Abdullah terlihat sangat rapi sekali, wajahnya penuh senyum dan bersinar. Dia sedang bercakap-cakap dengan jamaah yang datang satu demi satu. Sebentar sebentar dia menoleh ke kiri dan kanan. Aku tahu, dia sedang mencariku. Aku pun tersenyum dari kejauhan. Aku merasakan gembira tak terkira. Tak terasa kakiku mulai berlari, iya, aku berlari mengejar ke arah Abdullah. Langkahku semakin kencang.
“Abdullah!!!” teriakku sambil berlari. Dia menoleh dan melihatku heran dengan teriakan di pagi hari. Lalu tersenyum kepadaku.

Aku tahu diapun sedang bergembira dengan kedatanganku. Dia telah berhasil mengajakku lagi. Aku pun datang memenuhi undangannya yang mulia. Seolah-olah, ini adalah pertemuan pertamaku dengan Abdullah, pertemuan yang sesungguhnya. Aku harus lari, pikirku bersemangat. Aku ingin merangkulnya dengan erat.

Siapa yang mengira, di pagi hari yang masih buta, akan ada kendaraan yang melintang. Aku pun menghiraukan hal itu. Bahkan aku lupa memikirkannya. Tanpa melihat kanan kiri aku menyebrang dengan berlari.

“Ciiiitttttt!!!”

Bunyi rem truk itu menggema mengalahkan suara adzan pagi ini. Aku sudah tak bisa merasakan apa-apa. Yang kulakukan hanya membuka dan menutup mata.  Aku sadar ada cairan yang mengalir di sekujur badanku. Namun kutak sanggup lagi tuk menggerakkan kepalaku. Aku masih membuka dan menutup mata. Pandanganku buram, hingga Abdullah tampak di penglihatanku, terlihat sangat dekat. Beberapa orang mengerumuniku. Mereka sedang kalang kabut, ada yang berlari, ada yang berteriak.

“Ke... na... pa...?” tanyaku pada Abdullah dengan terbata.
Abdullah menangis menyaksikanku. Lalu:

“Aku mencintaimu lillah Umair!” ucapnya dengan isakan. Akupun memejamkan mata. Kata-kata ini sangat menyentuh hatiku yang kotor. Hatiku bergetar hebat. Entah apakah aku sedang menangis atau bukan, aku merasakan tetesan air mengalir di kedua pinggir mataku.

Nafasku semakin sesak. Semakin sesak. Dan semakin sesak.

Kalimah syahadat itu sedang Abdullah baca berulang-ulang di telingaku. Mulutku hanya terbuka dan tertutup tanpa ada suara. Aku mencoba memaksa tuk bisa mengucapkannya. Dan, akhirnya aku bisa.  
Padanganku semakin gelap dan buram. Sekujur tubuhku telah mati rasa. Aku rasa, sekarang adalah waktu untuk pergi. Senyap... sepi...

A4, Kahramanmaras Turki, 25 Des 2014


Komentar

Postingan Populer