Biarlah Aku Lilin! (cerpen)
Petang dan gelap saling berpelukan. Titik-titik
cahaya menyala di tempat berbeda-beda. Cahaya yang menyinari gubuk tempat
tinggal kami adalah sebuah api kecil. Sekedar kami bisa berjalan tanpa harus
berhantam dengan barang dalam petang, dengan sebuah lilin putih dan pendek. Sebelum
gelap tadi bapak pergi membelinya. Sesampai di rumah lilin itu dipotong menjadi
dua. Setengah untuk hari ini, setengah lagi buat esok hari.
Aku bukan seorang anak yang telah besar. Aku adalah
seorang bayi mungil berumur 1 tahun. Malam ini, mataku hanya memandangi cahaya
lilin itu. Berkali-kali bunda mengelus mataku agar kutidur. Namun malam ini
kutak mengantuk. Mungkin karena sepanjang siang aku terlelap di antara dua
guling putih di ranjang itu. Aku berpura-pura memejamkan mata di dalam peluk
hangat bunda. Ada nyaman, ada tentram, dan ada suara detak jantung dari dada
bunda. Aku tidak tidur malam itu. Aku sedang asyik memandang lilin yang kian
memendek, leleh oleh panas api. Kadang aku tertawa sendiri tanpa bunda harus
tahu. Dia telah lelah, itu tampak dari lelap tidurnya yang mendengkur. Aku terganggu
dengan dengkuran itu. Lalu, kupukulkan tanganku ke wajah bunda dengan sekuat
tenaga. Biar bunda tahu bahwa malamku yang indah akan menjadi rusak dengan
dengkuran itu. Bunda faham akan maksudku. Dia bergerak merubah posisi badan,
lalu diam.
Aku kembali meratapi lilin yang hampir mati. Angin dingin
masuk dari lobang jendela dan menjatuhkan sisa lilin itu di atas kain kelambu
ranjang kami. Api itu menjadi besar merambat semakin cepat. Aku menangis. Bukan,
aku sedang berteriak, “Bunda! Bunda! Bunda!” dengan Bahasa Bayi. Bunda terkejut
dan berteriak. “Bapaaaakk... bapaakkk!!!” jerit bunda histeris.
Aku melihat bapak sedang berlari menuju sumur. Sedang
bunda menggendongku sambil memukul-mukul api itu dengan kaki. Bau hangus
tercium oleh hidungku. Kukembali berteriak, “Bunda aku tidak bisa bernafas!”
dengan Bahasa Bayiku. Bapak telah datang dan menyirami api yang belum terlalu
besar. Aku masih menangis. Aku takut. Bapak telah berlari bolak balik dengan
sebuah ember berisi air. Akhirnya, api itupun padam. Beberapa orang datang
mengetuk pintu. Para tetangga telah mendengar kebisingan dan keributan di dalam
gubuk kami. Mereka telah mengetahui ada kebakaran kecil dengan melihat asap api
yang keluar dari rumah kami. Di tangan mereka telah siap gayung dan ember
bersama airnya.
“Apinya sudah mati,” kata bapak. Lalu bapak keluar
rumah dan bercakap-cakap dengan mereka. Sedang bunda sibuk membersihkan rumah
bekas api-api itu. Sepertinya ranjang itu telah basah. “Kita tidur dimana
bunda?” tanyaku dengan tangis.
“Cup cup sayang,” katanya menenangkan. Bapak datang
dan membawa tikar sekaligus dua bantal.
“Pak Agus meminjami kita tikar dan bantal ini
sementara,” jelas bapak sambil menggelarnya di atas lantai tanah. Bunda pun
mengambil beberapa kain yang ada dari lemari tuk melapisi tikar itu.
“Malam ini tidur disini dulu ya sayang,” ucap bunda
berusaha menenangkan tangisanku. Aku ingin ranjang putihku. Aku tidak mau
disini bunda, kataku dalam tangis itu. Tak ada lagi cahaya dalam gubuk kami. Bapak
tidak berani lagi menyalakan lilin. “Biar saja gelap, nanti malah jadi
kebakaran lagi bu,” kata bapak kepada bunda.
Bunda memelukku. Aku telah lupa dengan kejadian
tadi. Bunda masih berdiri, berjalan dan bergoyang. Aku tahu, bunda ingin aku segera
tidur dan diam. Kusadar malam masih panjang, akupun menutup mataku dalam hangat
peluk bunda. Nyaman yang kurasa ini lebih terang dari cahaya api lilin. Hatiku menjadi
tenang dalam dekapnya. Tangisku tak terdengar lagi. Bunda merebahkanku di ujung
satu bantal, lalu diapun merebahkan badannya sendiri. Aku sedih dengan dekapan
yang telah lepas. Aku sedikit merengek tapi bukan menangis. Bunda faham dan
memelukku lagi. Dalam dekapnya kumendengar lagi suara jantungnya, seakan sedang
berbisik, “Sini sayang! Biarlah bunda menjadi lilinmu dalam gelap malam! Pejamkan
matamu dan lihatlah lilin bunda! Kau hanya bisa melihatnya dengan pejaman mata!
Mendekatlah, kau akan lebih jelas memandanginya!” Dalam mimpiku, kumelihat
bunda yang bercahaya dalam sebuah gelap malam gulita.
A4, Kahramanmaras Turki, 24 Des 2014
Komentar
Posting Komentar