Suara Tanpa Suara (Cerpen)
Sekeliling menggema dengan tepuk tangan, namun tak terdengar sedikitpun
bunyi di aula besar itu, seakan-akan hanya pertukaran nafas semua orang saja
yang terdengar. Dia teringat akan hari dimana putrinya mengatakan ingin menjadi
seorang dokter. Seketika dia melamun... Seakan kecelakaan di hari itu kembali
terjadi...
...
Waktu itu, dia sedang pulang dari pasar dengan kantong-kantong di
tangannya. Dia punya sebuah kehidupan sendiri, dalam rumah yang hangat,
bertahun-tahun bersama dengan pasangan dan dua anaknya. Dia berjalan di
trotoar. Dia selalu mengikuti peraturan yang ada. Setelah lima atau sepuluh
meter lagi bel rumahnya akan berbunyi.
Tapi bel itu tidak akan berbunyi. Pengemudi mobil yang datang dari
belakangnya kehilangan kontrol kemudi, dia menabrak sebuah toko dan berhenti.
Namun, sebelumnya dia yang tertabrak, baru kemudian toko itu. Dia
terlentang di tanah dan terluka. Orang-orang di sekeliling datang dan berusaha
untuk membantunya. Pengemudi yang barusan menabraknya pun datang, lalu mulai
berteriak-teriak: "Aku sudah memperingatkanmu dengan menekan klakson
berkali-kali. Mengapa kau tidak segera minggir hey orang, apa kamu tuli?"
Sebenarnya dia faham dengan perkataan pengemudi itu, juga kenapa dia
berteriak-teriak kepadanya. Dia pun menjawabnya dengan beberapa bahasa isyarat.
Ada banyak kalimat yang terlintas di pikirannya: "Kecepatan yang seperti
ini apakah diperbolehkan di tengah kota? Tidakkah kau menyadari bahwa dirinya
berada di daerah bergang? Apakah kau sakit, apa kau mabuk? Apakah kau
memperhatikan perawatan mobilmu dengan baik? Tidakkah kau mengetahui keadaan
rem dan juga ban kendaraanmu? Memang kau kira mediator di bawahnya itu
apa?" Namun dia tidak mengatakan apapun, tidak bisa... Dia mencoba untuk
memberitahukan keluhannya dengan beberapa tanda-tanda. Dia memahami dengan baik
pengemudi kendaraan itu... Tapi sang pengemudi yang tidak memahaminya, karena
dia tidak berbicara dengan bahasa yang sama.
...
Sekeliling menggema dengan tepuk tangan, namun tak terdengar sedikitpun
bunyi di aula besar itu, seakan-akan hanya pertukaran nafas semua orang saja
yang terdengar. Ia masih berada di hari kecelakaan itu terjadi...
Dalam waktu singkat ada ambulans yang datang, lalu membawanya ke rumah
sakit dengan membunyikan sirene. Putrinya pun datang segera, karena TKP dekat
dengan rumahnya. Dia pun pergi ke rumah sakit dengan ayahnya. Orang-orang yang
di UGD berusaha untuk melakukan intervensi kepadanya. Petugas menanyakan bagian
mana yang sakit mana yang perih. Dia memandang mata putrinya dan memberikan
beberapa isyarat kepadanya. Putrinya mulai menjelaskan keadaan ayahnya. Dia
telah memulai, tapi dia tidak dapat menyelesaikan kata-katanya. Seperti halnya
di banyak tempat, kata-kata dari mulutnya mulai terhenti. "Diamlah kau...
Yang terluka kau atau ayahmu? Biarkan dia sendiri yang menjelaskan! Apakah kau
yang lebih mengetahui mana yang sakit daripada dia sendiri? Aku bertanya kepada
anda. Adakah orang lain yang lebih memahami anda? Mengapa anda tidak berbicara,
apa bapak tidak bisa bicara?" Kira-kira pertanyaan mana yang harus mulai
dijawab. Semua itu memiliki jawaban yang logis. Dia mulai menjawab lagi
pertanyaan itu berkali-kali.. Satu kalipun tidak terdengar... Akhirnya,
permasalahannya telah difahami. İya, telah difahami, namun sekali lagi hati gadis muda itu telah terluka.
Dia sudah terbiasa dengan perilaku-perilaku seperti ini, namun tidak juga bisa
difahami. Dia bisa memahami apa yang telah terjadi, dari airmata putrinya yang
menetes.
...
Sekeliling menggema dengan tepuk tangan, namun tak terdengar sedikitpun
bunyi di aula besar itu, seakan-akan hanya pertukaran nafas semua orang saja
yang terdengar.
Apa yang harusnya dilakukan di UGD sudah berakhir, mereka akan
memindahkannya ke sebuah kamar. Beberapa hari dia perlu tinggal di rumah sakit.
Tapi ada sesuatu yang dilakukan sebelum dia dibawa ke kamarnya. Seakan-akan
pasukan berjas putih sedang berganti tugas... Orang-orang berseragam datang
menggantikan para dokter dan perawat... Mereka pun ingin mengetahui banyak hal.
Dia datang kepadanya setelah berbicara dengan pengemudi mobil yang menabraknya.
"Rem mobilnya telah rusak, aku tidak dapat berbuat apa-apa... Aku telah
menekan klakson berkali-kali, berkali-kali... Orang itu tidak juga minggir ke
samping..." Seakan-akan yang bersalah hanyalah korban kecelakaan seorang
diri... Pertanyaan-pertanyaan itu pun mulai ditanyakan lagi satu demi
satu... "Mengapa anda tidak minggir
ke samping? Dia telah menabrak beberapa mobil sebelum anda, tidakkah anda
mendengar kebisingan itu sama sekali?" Seakan-akan dia kembali ke tempat
dimana dia memulai.. Entah sudah berapa kali dia menghadapi pertanyaan ini dan
juga berapa kali dia menjawabnya... Dia hanya mendengar sebuah keluhan,
"Oooff!" Entah, apakah orang-orang ini tidak bisa berbicara tanpa
mendengarkan orang yang dia ajak bicara? Menjelaskan keinginan secara santun,
apakah begitu sulit, ungkapnya dari dalam hati...
Dalam kehidupan keseharian, kebanyakan orang tidak dapat memahaminya,
karena dia menggunakan sebuah bahasa yang berbeda dengan orang-orang di
sekitar. Terkadang, disalah-fahamkan seperti yang dikatakan dalam syair; "Kau
berjalan di kejauhan, aku pun tersenyum / Saling berpandang-pandangan tanpa
perkataan / Entah kutak tahu apa senyuman aneh ini / Apa yang kau fahami, apa
yang kumaksud?" (Orhan Seyfi Orhon) Entah siapa yang tahu, sudah berapa
kali dia berhadapan dengan keadaan seperti ini dan sudah berapa kali dia
bersedih, menangis dengan sembunyi-sembunyi. Andai, bagaimana jika ada seorang
petugas yang membantu orang-orang layaknya dirinya di berbagai tempat seperti
rumah sakit, kantor pemerintah
daerah, kantor Gubernur, kantor pajak, dan lain-lain dari lembaga-lembaga
pemerintahan, pusat berbelanjaan, terminal, dan bank... Andai saja ada... Bagi
sebuah negara, menugaskan seseorang petugas di tempat-tempat ini bukanlah
seseuatu yang membutuhkan banyak biaya... Dia pernah memikirkan hal itu
berkali-kali... Dia sudah pernah mengirimkan surat, jua menuliskan surat
permohonan ke beberapa tempat... Meskipun dia tidak mendapatkan respon dari
inisiatif ini, dia tidak pernah kehilangan harapan...
...
Sekeliling menggema dengan tepuk tangan, namun tak terdengar sedikitpun
bunyi di aula besar itu, seakan-akan hanya pertukaran nafas semua orang saja
yang terdengar.
Akhirnya hari itu pun tiba... Semua orang dalam aula bertepuk tangan
untuknya. Mereka semua menunggu dirinya naik ke atas panggung. Sedangkan dirinya terdiam di tempat dimana dia duduk. Ya
Rabb, apakah semua tepuk tangan yang tidak terdengar oleh siapapun dan menggema
di ruangan itu, hanya untuk dirinya? Namun tepuk tangan ini berbeda daripada biasanya.
Tidak ada suara. Ya Allah! Ini adalah kebahagiaan yang sangat besar! Dia tidak
bisa mempercayai semua ini. Tidak mungkin percaya... Karena dia adalah
seseorang tunaganda (tunarungu dan tunawicara), dia tidak dapat mendengar dan
berbicara. Dia hanya bisa membaca bibir dan tahu bahasa isyarat saja.
Dan hari inilah, anak tunggalnya yang telah bersumpah di hari kecelakaan
itu, kini sedang berwisuda dengan berprestasi dari fakultas kedokteran. Orang-orang besar yang akan langsung
memberikan ijasah kepadanya. Putrinya, telah mempersiapkan sebuah kejutan
kepada ayahnya yang tak mendengar dan berbicara, baginya dialah yang telah
menjadi ispirasi kesuksesan dan selalu menjadi pendukung dirinya. Dia datang terlebih awal daripada ayahnya sebelum upacara wisuda
dimulai, dia telah bertemu dengan orang-orang yang mempersiapkan acara, dia
menjelaskan cerita dari kehidupannya dan ayahnya kepada mereka. Hal ini menarik
perhatian orang-orang yang sedang mempersiapkan acara itu. Gadis itu meminta
sesuatu dari mereka. Selain itu, ini adalah sesuatu yang bisa dilakukan: Dia
ingin agar semua orang yang ada dalam auditorium; para mahasiswa, tamu
undangan, dan pada petugas diajarkan bagaimana bertepuk tangan dengan bahasa
isyarat, dan dia juga ingin agar ayahnya diundang ke panggung dengan tepuk
tangan yang dilakukan dengan bahasa isyarat, lalu dia mengucapkan terima kasih
kepada ayahnya di atas panggung. Mereka
memberikan izin kepada gadis ini. Dia pun mengajari semua orang di dalam
auditorium itu bagaimana bertepuk tangan dengan bahasa isyarat. Ayah yang tidak
mengetahui semua ini, mulai menyadari akan sebab kenapa dia datang terlambat
dan diakhirkan. Semua orang ini sedang bertepuk tangan untuknya. Dia pun naik
ke atas panggung, putrinya ada di sampingnya sebagaimana biasa. Dia juga
menjawab tepuk tangan semua orang di aula itu dengan bahasa isyarat. Dia
mengeluarkan sebuah kertas dari sakunya. Lalu memberikan kepada putrinya.
Kertas ini sudah bersamanya entah sudah berapa lama. Sebuah tulisan Hadis ada
di kertas ini.
Sayyidina Rasulullah (saw) menganjurkan untuk bersedekah di setiap
hari. Para Sahabat mengatakan bahwa
mereka tidak mampu untuk hal ini. Di kertas itu tertulis; "Memberikan
petunjuk kepada seorang tunanetra, menjelaskan dengan gaya yang dapat membuat
para tunaganda (tunarungu dan tunawicara) memahami, mengutarakan keingian seseorang
yang kesulitan dalam berbicara... adalah salah satu bentuk bersedekah."
(Ibnu Hambal) Gadis itu membaca hadis yang ada di kertas itu dengan
tetesan air mata kebahagiaan.
Sekeliling menggema dengan tepuk tangan, namun tak terdengar sedikitpun
bunyi di aula besar itu, seakan-akan hanya pertukaran nafas semua orang saja
yang terdengar.
Diterjemahkan oleh
Al-Akh Abdul Aziz | A4, dari sebuah cerpen
berbahasa Turki dalam majalah “Sızıntı Dergisi”,
berjudul “Sessizliğin
sesi” oleh Mehmet SUCU. Istanbul,
09/11/15.
http://www.sizinti.com.tr/konular/ayrinti/sessizligin-sesi-Kasim-2015.html
Komentar
Posting Komentar