Dinamika (Malam) yang Indah di Gontor
Dulu, Pak Zar (K.H. Imam Zarkasyi) pernah mengatakan, “Hiruk pikuk kehidupan santri di Pondok Modern Darussalam Gontor ini adalah gambar hidup.” Sebuah pemandangan yang mengagumkan bagi yang menyaksikannya (apalagi jika mampu meresapi dan menyelaminya).
Kemarin,
dalam pertemuan Kemisan guru-guru Kuliyatu-l-Mu’allimin al-Islamiyah (KMI),
K.H. Hasan Abdullah Sahal mengatakan hal yang sama namun dengan ekspresi bahasa
yang berbeda. Beliau mengistilahkan kehidupan santri di pondok ini sebagai
“dinamika yang indah.” Hal tersebut dikaitkan dengan istilah popular,
“al-ma‘hadu la yanamu abadan” (‘pondok tidak pernah tidur’). Laksana Masjidil
Haram, ada saja orang yang melakukan thawaf; selalu ada santri yang tidak tidur
ketika sebagian besar temannya terlelap dalam mimpi. Ini ceritanya.
Aktivitas
yang menjadi titik pengamatan kali ini adalah malam hari, usai para santri
mengadakan “muwajjah” (‘belajar malam terbimbing’), atau setelah pukul 22.00
WIB. Saat sebagian besar santri telah masuk kamar di asrama masing-masing,
suasana menjadi hening sejenak, namun bukan berarti tidak ada kehidupan, tidak
ada gerakan/dinamika. Segerombolan santri, yang sebelumnya berkumpul di depan
Kantor Bagian Keamanan, mulai berpencar, menuju ke tempat tugas masing-masing.
Mereka adalah para “haris al-lail”, dulu disebut “bulis” (‘piket jaga malam’).
Masing-masing tempat dijaga oleh 3–4 orang santri dari asrama, kelas, dan asal
daerah yang berbeda, yang akan berpiket, menjaga pondok hingga waktu Subuh
menjelang.
Suasana
pondok kembali senyap, namun tidak lama. Para santri petugas bagian listrik
(dulu Bagian Diesel atau “qismu makinah”) berkeliling pondok mematikan
lampu-lampu gedung yang tidak terpakai, seperti masjid, aula, bangunan-bangunan
kelas, dsb. Itu adalah tradisi yang sekarang berjalan. Dulu sekali, ketika
lampu PLN belum menjamah Gontor, bagian diesel akan mematikan lampu tepat pukul
22.00 WIB, dan menggantikannya dengan “lampu bulis,” yakni diesel khusus yang
mensuplai listrik untuk tempat-tempat tertentu saja. Jika masih ada santri yang
akan “sahiru layali” alias begadang untuk belajar malam secara individu, mereka
akan menyalakan lampu tempel pribadinya yang dapat dibawa ke mana-mana,
termasuk untuk piket jaga di depan setiap asrama.
Di
malam hari, mulai pukul 22.00–04.00, ada santri yang bertugas piket memukul
bel. Jika siang hari yang dipukul bel besar, malam hari, bel kecil yang dipukul
sebanyak jam ketika itu. Jika jam menunjukkan pukul 23.00 WIB, bel akan dipuku
sebanyak 11 kali; jika pukul 24.00 WIB atau pukul 00.00 WIB, bel akan dipukul
12 kali, begitu seterusnya. Bersamaan dengan itu, beberapa Pengurus Bagian
Keamanan akan berkeliling dengan “sepeda dinas”-nya, menyusuri areal pondok,
mengontrol semua tempat yang ada piket jaga malamnya. Mereka mengontrol,
mengabsen, membangunkan petugas jaga yang tidur, dsb.
Seiring
berkembang luasnya kampus pondok, tempat jaga malam anak-anak santri itu, kini,
sangat luas; mulai dari Gedung Olahraga di sebelah timur hingga perumahan guru
Buyut Makkah di sebelah barat; mulai kawasan Satelit di dekat sungai Malo
hingga penggilingan padi, BMT, dan perumahan guru di sebelah utara, dekat jalan
raya. Sangat luas. Rentang jaraknya bisa 1 Km.
Menginjak
pukul 01.00–02.00 WIB dini hari, ganti lagi santri yang bergerak, berkeliling
pondok. Mereka adalah beberapa anak santri yang dengan gerobak khasnya bertugas
membagikan kopi Bagian Keamanan untuk para piket jaga malam itu. Cita rasanya,
wow, jangan ditanya! Yang penting memenuhi syarat; ada “wedang kopi,” hitam dan
(tidak terlalu) panas. Beberapa tahun yang lalu, dalam acara Drama Arena atau
Panggung Gembira, kopi (“qahwah Qismul Amn,” begitu mereka menyebut) ini pernah
dijadikan bahan anekdot. Sambil menirukan sebuah produk iklan kopi susu,
seorang siswa menenggak kopi dengan begitu ekspresif. Usai itu, dia berkata,
“Pas kopinya; kurang gulanya.” Hadirin pun tergelak. Itulah kopi Bagian
Keamanan. Sensasional, terkenang sepanjang masa.
Pukul
02.00 WIB dini hari, sudah ada santri yang bangun. Mereka bergegas menuju kamar
mandi, berwudlu, dan menunaikan shalat Tahajjud. Menjelang ujian pertengahan
atau akhir tahun, jumlahnya akan meningkat berlipat kali. Tempat shalat mereka
di mana-mana: ada yang shalat di Masjid Jami‘; ada yang di teras asrama
masing-masing; dan tidak sedikit yang shalat di bawah cakrawala yang bertabur
bintang atau puncak-puncak bangunan bertingkat, yang di siang hari untuk
jemuran. Usai shalat, mereka akan membaca buku, menghafal pelajaran, dsb.,
sambil menanti waktu Subuh tiba.
Pukul
03.00 WIB, bagian diesel akan kembali berkeliling menghidupkan PAM (dulu diesel
air) dan mengontrol tempat-tempat wudhu dan kamar mandi, mana yang airnya belum
mengalir. Petugas listrik dan air ini, jika sedkit saja lengah, wah, jangan
tanya, akan menjali bulan-bulanan seluruh penghuni pondok, dari santri hingga
guru-guru. Seolah peranannya kecil, namun, bagi Gontor, mereka itu benar-benar
penggerak kehidupan, penuh pegabdian, sarat pengorbanan.. Kelalaiannya akan
membuat santri terlambat berwudhu, shalat Subuh, dsb.
Sementara
itu, guru-guru, para staf Pengasuhan Santri berkeliling pondok mengontrol
bagaimana awal kehidupan hari itu dimulai. Guru senior seperti Al-Ustadz H.
Syarif Abadi bahkan berkeliling, memasuki kamar-kamar guru atau pengurus
organisasi santri (OPPM), membangunkan mereka yang masih tidur. Di bagian lain,
para “mudabbir” (‘pengurus asrama’) sudah pula terjaga, berwudhu, dan
mengenakan “baju dinas-”nya. Setelah melaporkan diri ke Bagian Keamanan Pusat,
atasannya, sekitar pukul 03.30 WIB, serempak, mereka bertugas, membangunkan
anggotanya. Suaranya menggelegar, mengagetkan, menunjukkan tanggung jawabnya.
Ada yang bertugas memukul-mukul sambil berteriak; ada juga yang membangunkan
anggota yang ogah-ogahan bangun; dan ada yang berjaga di tempat wudhu atau teras
asrama. Mereka meniru pendahulunya, melestarikan tradisi pondok sejak puluhan
tahun silam, melaksanakan tugas dengan sepenuh hati. Kegaduhan pun menjalar ke
seluruh pondok.
Pada
waktu yang bersamaan, masih pukul 03.30 WIB, Bagian Penerangan bekerjasama
dengan para santri anggota Jam‘iyyah al-Qurra’, menuju masjid, menghidupkan
sound system, mengumandangkan qira’ah, membangunkan ahli pondok dengan lantunan
ayat-ayat sucinya. Demi mendengar suara qira’ah, para piket jaga malam juga
berbondong-bondong menuju ke Bagian Keamanan, melaporkan tugasnya menjaga
semalam. Setelah itu, mereka kembali ke kamar masing-masing.
Irama
kehidupan santri pun berubah seiring pergantian waktu: diawali shalat Subuh,
membaca al-Qur’an, olahraga ringan, mandi, sarapan, dan masuk kelas. Kehidupan
baru pun segera dimulai.
***
Begitulah
mesin sistem, mesin penggerak kehidupan, mesin keikhlasan di Pondok Modern
Darussalam Gontor bekerja. Semua sudah sangat tahu dan memahami apa tugasnya,
dan bagaimana menjalankannya, dengan penuh kesadaran, tanpa dibayar sepeserpun.
Sebuah pendidikan karakter yang tidak mudah ditiru.
Menjadi
bagian dari mesin sistem Gontor itu, apapun peranannya, bagi santri Gontor,
merupakan kenangan indah ketika telah menjadi alumni; akan terbawa,
tertularkan, tersyiarkan. Kebencian atau kejengkelan akan ketatnya disiplin,
baik bagi pengatur maupun yang diatur, akan menjadi nostalgia yang akan selalu
dirindukan. Terkadang, di antara mereka ada yang sulit menirukan. Akhirnya,
keinginan kembali ke Gontor, menapak tilas perjalanannya, menjadi obat mujarab
yang selalu ingin diulang, tak tergantikan. Benar-benar sebuah gambar hidup
dengan dinamika yang Indah.
Sumber: Grup Gontor Nation
Komentar
Posting Komentar