Datanglah Ketika Mampu! (Bag. 1)

Malam itu kekasihku mengingatkanku. “Teman-teman wanita sekelasku sudah banyak yang menikah,”katanya. Aku terdiam. Umurku dan dia berbeda sedikit, hanya berbeda bulan. Aku mulai berfikir.

Ucapan cintaku dahulu sudah kupegang hingga saat ini. Tidak sebentar, lebih 6 tahun. Aku tetap setia kepadanya, dia juga setia kepadaku. Namun hari ini, tatkala pertanyaan itu terdengar di telingaku, pergerakanku terdiam. Otakku berfikir dewasa.


Aku tidak pernah bermain-main dengan cinta dan saat ini aku harus membuktikan cinta itu. Setelah dia bertanya, “Kapan kau datang melamarku?” kepalaku dalam keadaan serius.

Kekasih tidak pernah berniat mengecewakan kekasih. Ku pun berkata, “Hmm.. Sabar, hanya tinggal beberapa semester lagi kita selesai.” “Iya,”jawabnya seakan aku sukses membuatnya sabar. Namun hati wanita tidak begitu, sabarnya mungkin bisa jadi hilang di esok hari, lalu dia akan menanyaimu kembali, hal yang seperti tadi. Tapi jangan putus asa, tetaplah tenangkan hatinya. Dia hanya butuh keyakinan darimu. Lalu dia berkata, “Jangan lama-lama.”

Berganti hari. Umurku 25, dia juga, tetapi berbeda. Aku bebas, dia tidak. Aku bisa memilih, dia tidak. Aku tidak berat mengabulkan permintaannya tentang soal lamaran. Bisa saja aku mendatangi rumahnya kapan saja, tetapi alasan menikah bukan hanya persoalan cinta. Persoalan menikah adalah permasalah seutuhnya. İngat dan fikirkan.

İndahnya, dia adalah pengingat yang menyejukkan. Sepanjang waktu berjalan hingga hembusan nafas yang kini aku hirup, selalu dia yang meluruskan kesalahan. Dialah yang membuatku jarang jatuh pada jurang kehinaan. İtulah sumber cintaku, tak tergantikan.

Akhir-akhir ini kita jarang berdiskusi. Kita sama-sama berfikir serius. Lalu suatu hari dia berkirim pesan; “Aa’, dapat sedikit ilmu. Kata ustad, ada hadis. Jika kamu sudah memiliki kemauan dan kemampuan, maka menikahlah.” Kembali membuatku tersenyum diam.

“Namun jika kamu memiliki kemauan namun belum memiliki kemampuan, maka puasalah,”sambungnya. Seperti aku mendapatkan solusi, tetapi berat.

“Berarti menikah itu tidak sekedar kemauan saja. Mulai sekarang kita puasa saja. Puasa untuk bertemu, berbicara, dan seterusnya. Datanglah ketika mampu, ketika itu,”tutupnya. Sejak itu aku tidak akan menyapanya, sampai “mampu” menyapaku. “Mampu”, yaitu hal yang akan melegakanku, melegakannya, melegakan mereka semua, keluargaku dan keluarganya. Tidak akan lama, sebentar lagi dengan izin-Nya. İngat! Dengan izin-Nya! insyaAllah...

Aku pun berteriak, “Dengan senang hati sayang. Bismillah!”

Petikan dari sebuah  Novel yang belum dimulai dan belum tahu kapan selesai, “Uskudar, Bukan Sekedar Cinta” Oleh Al-Akh Abdul Aziz.

Kahramanmaras Turki, 30 Des 2013

Komentar

Postingan Populer