Setitik pelajaran perjuangan

Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang.

Pernah ada sebuah kata-kata dari seorang orang tua “biarlah aku menjadi seorang petani tetapi anakku harus menjadi insinyur.”  Kurang lebih begitu. Harapan yang seorang orang tua inginkan dari anaknya tidak lain adalah kebaikan-kebaikan. Orang tua rela membanting tulang asalkan anaknya kelak bisa menjadi sukses bagi nusa bangsa dan agama.

Pernah suatu ketika ku melewati daerah yang jauh sekitar pegunungan sawah. Waktu itu adalah musim panen padi. Saya dan teman saya dengan mengendarai sebuah truk berjalan melewati daerah itu. Terasa panas kering waktu itu. Dari kejauhan terlihat ada seorang tua sedang berjalan pelan-pelan tapi pasti. Mobil truk kami pun datang untuk menghampirinya. Dengan maksud menawarkan tumpangan saya bertanya “tindak pundi pak?monggo tumut kulo sarengan mobil, kulo nggih lajeng tindak ten pulung.” Bapak itupun ikut mobil kami menuju Pulung, sebuah daerah di kota ponorogo tempat kita akan mengambil gabah dari seorang bakul. Diperjalanan, kami mengobrol banyak dengan bapak panjang lebar. Ternyata bapak tersebut datang ke sawahnya dengan jalan kaki hanya untuk melihat keadaan sawah beliau. Subhanallah, padahal jaraknya sangat jauh dari pemukiman bapak tersebut. Pikirku dalam hati “untuk siapa lagi klo bukan untuk kesejahteraan anak dan keluarganya.” Sebuah pelajaran yang mengingatkanku betapa orang tua sangat perhatian dengan masa depan anak-anaknya.

Ditengah perjalanan ada sekumpulan anak-anak kecil berseragam pramuka sedang beristirahat dibawah pohon yang agak rindang. Ternyata mereka baru pulang dari sekolahan yang kami lewati tadi. Sudah lumayan jauh juga mereka berjalan. Beginikah kisah perjuangan mereka belajar tiap harinya. Jauh berjalan beramai-ramai dari pemukiman menuju sekolahan mereka. “ayo lee munggah kabeh ning buri trek kene” Teriak teman sebelahku sambil menyetir mobil. Sebuah ide yang cemerlang gumamku dalam hati. Serentak mereka berlarian menuju belakang truk kami yang kosong sambil tertawa-tawa gembira. Senangnya hati ini bisa berbagi dengan saudara-saudara kita sebangsa. Ketika sampai didesa-desa yang kami lewati satu-persatu mereka kita turunkan didepan rumah mereka masing-masing. Begitu juga bapak tadi. Mereka tersenyum gembira menatap kami. Alhamdulillah..

Waktu itu saya tinggal disebuah pabrik penyelepan gabah milik pondok Gontor. Selama saya mengabdi, pak kyai menempatkan disana sambil belajar berorganisasi dalam bidang penyelepan. Banyak ilmu baru yang kami dapatkan disini. Sungguh kami sangat berhutang jasa kepada pak kyai dengan penempatan ini, entah kapan kami bisa membalasnya tapi yang pasti Allah telah mencatat semua itu. Didepan ada sebuah jalan raya desa. Disekeliling jalan ada sawah-sawah yang luas. Pernah suatu hari sewaktu kumelihat seorang bapak tua yang kurus kumuh lusuh sedang mengendarai sepeda unta. Berjalan lamban sekali. Perlahan tapi pasti. Setiap pijakan pedalnya pasti Allah mencatatnya dengan kebaikan. Bagaimana tidak? Dibelakangnya ada tumpukan rumput tinggi sekali, menggunung bahkan melebihi beberapa senti dari kepala bapak yang sedang mengendarai sepeda itu. Subhanallah, sekali lagi bapak itu mengingatkan tentang kejadian truk kami yang lalu. Untuk siapa lagi kalau bukan anak-anak mereka.

Beberapa kejadian serupa selalu saya dapatkan dalam perjalanan hidup ini. Membuahkan sebuah hikmah yang perlu kita renungkan. Betapa orang tua menginginkan anak-anaknya menjadi lebih baik dari mereka. Sedangkan kita! Apa yang kita sedang lakukan? Duduk-duduk tertawa canda dalam kelas, bercontek-contek, tidak serius belajar, hanya memikirkan diri sendiri, dll. Sudahlah teman waktu kita tidak banyak untuk bisa membalas jasa-jasa mereka. Hanya dengan kesungguhan kita, kesuksesan kita jasa itu terbalas yang membuat bibir tua mereka tersenyum manis memandang kita. Hanya itu yang mereka harapkan. Semoga bermanfaat.


17 september 2011, Uskudar Istanbul.

Komentar

Postingan Populer