Catatan Kesyukuran Setengah Abad GONTOR


gontor 1Memandang foto kesyukuran 50 tahun Pondok Modern Darussalam Gontor, seketika rasa sentimentil itu bangkit. Ingatan melayang ke tahun 1976; tahun ketika foto itu dibuat; tahun ketika peristiwa itu terjadi. Di foto itu, terlihat Pak Sahal sedang duduk di kursi tinggi di sebelah timur, sementara Pak Zar di sisi barat. Tidak ada spanduk, apalagi karangan bunga ucapan selamat. Hanya tertera sebuah papan tulis hitam, yang secara agak samar tertulis: “Kesyukuran 50 Tahun Pondok Modern Gontor.” Ya, hanya itu penandanya, penanda acara malam itu, diadakan selepas Sujud Syukur di Masjid Jami‘ usai shalat Maghrib.
Di hadapan kedua beliau, sejumlah tamu undangan tampak tekun menyimak, hanyut dalam perasaan. Mereka, kecuali sejumlah guru dan santri, adalah juga alumni Tarbiyatul Athfal (TA), serta alumni Kulliyatu-l-Muʻallimin al-Islamiyah (KMI) dari periode awal. Secara bergantian, kedua pendiri pondok itu berbicara, mengungkapkan perasaannya yang mengharu biru, emosional, tajam, dalam, penuh ekspresi kesyukuran. Isinya, ajakan bersyukur, menghitung kenikmatan (bukan sekedar pamer jasa), serta review perjalanan pondok yang beriring dengan perjalanan usianya dan usia para hadirin, alumni pertama pondok. Bagaimana ketika awal-awal menancapkan ide; ketika beradu pengaruh dengan dukun desa; ketika satu demi satu do‘a-do‘anya terkabul, tanah-tanah wakaf, sedikit demi sedikit bertambah; ketika santri mulai berdatangan dari tempat yang kian jauh; dan ketika para alumni telah tersebar, berjuang, dan menghimpun jasa adalah jariyah bagi kedua beliau itu. Semuanya seperti mimpi. Tapi, itu bukan mimpi, melainkan kenyataan, setengah mukjizat. Dalam 50 tahun usia pondok itu, tak ada yang berubah dari Pak Sahal. Idenya, semangatnya, panjatan do‘anya, serta kekuatan jiwanya dalam mendidik santri tetap konsisten. Tetap istiqamah, berkarakter.
Pidato Pak Sahal selalu diawali dengan nada datar, berbahasa Indonesia dan kadang disertai peribahasa atau kata-kata hikmah, makin lama kian meninggi, lantang, bahkan seperti emosional. Namun, tujuan sebenarnya untuk menunjukkan ketegasan prinsipnya. Jika sudah begitu, kalimat-kalimat bahasa Jawa pun akan lebih sering terlontar spontan. Tak jarang, air mata menetes deras menyertai kata-katanya. Ketika menyelesaikan pidato, seperti sebuah antiklimaks, nadanya kembali mendatar, dengan tarikan nafas tuanya, satu-satu. Antiklimaksnya adalah nasehat-nasehat bernas, dan diakhiri dengan doʻa untuk pondok, dan para muridnya.
Tidak ketinggalan, sebagai puncak ungkapan rasanya, selalu, Pak Sahal mengatakan kesiapannya untuk mati, “Saya siap mati kalau masjid sudah jadi.” Saat itu, masjid sudah jadi, sudah dipakai, megah, dan kuat, meski belum ada menaranya. Demi kesyukuran dan kebanggaannya itu, Pak Sahal pasti selalu mengatakan, “Masjid ini sangat kuat. Hayo, mau diprekul (ditetak dengan gancu), apa mau dilewati sepur (kereta api), silakan! Tidak apa-apa, tidak akan ambruk.” Sungguh, ekspresi kesyukuran yang bukan saja emosional, namun penuh tanggung jawab: karyanya berkualitas.
Giliran berikutnya, Pak Zar berbicara. Tak beda jauh, namun lebih tertib, sistematis, mantiqi. Beliau mengajak hadirin mencermati, meniti, dan kemudian mensyukuri perjalanan, serta hasil-hasil yang telah diperoleh pondok, dalam 50 tahun usianya itu. Dalam situasi seperti itu, tak pernah ketinggalan beliau menyampaikan pujian dan penghargaannya kepada Pak Sahal, kakaknya yang begitu cemerlang mencetuskan ide pendirian kembali Pondok Modern Gontor. Disampaikan pula pengakuannya dengan rasa ta‘zhiem, bukan basa-basi, bahwa beliau adalah kader pertama pondok, kader Pak Sahal. Sesuatu yang benar-benar diakui dan dirasakan.
Lain dari itu, Pak Zar, biasanya, me-review beberapa nilai-nilai kepondokmodernan, termasuk betapa besarnya makna Panca Jiwa dalam raihan 50 tahun itu, juga Panca Jangka yang mampu mengarahkan langkah-langkah ke depan pondok, yang dinamis, progresif. “Panca Jiwa dan Panca Jangka itu harus selalu dipelihara, dijadikan pedoman.” Diingatkan, betapa Gontor telah mulai terasa mendidik dunia. Kiprah alumni Gontor kian beragam, meluas, dan simultan. Beliau bagai petani yang melihat tanamannya tumbuh berkembang secara bersama dan berkualitas, bahkan telah beberapa kali panen, berkat panca usaha tani yang dilakukan dengan benar. Keyakinan akan ketepatan dan kebenaran sistem yang diperjuangkanya berbuah. “Sistem Gontor ini benar, lagi telah menghasilkan,” ungkapnya acap kali.
Dengan penuh perasaan, diungkapkan pula rasa terima kasih yang begitu tulus, mendalam, kepada para anshar yang telah membantu, menyertai perjalanan pondok, sejak cikal bakal hingga ke usia 50 tahun itu. Bagi Pak Zar, orang-orang desa, alumni TA, seperti Mbah Setu Uluk, Pak Sodimin, Man Wagiman, atau siapa saja, laksana sahabat di zaman Rasulullah SAW. Lebih dari saudara, meskipun, tata lahirnya, mereka hanya tukang kayu, tukang pos, atau mandor bangunan, tukang sapu pondok, dll. Perbedaan peranan tak menghalangi rasa hormat Pak Zar dan Pak Sahal kepada mereka. Kedua jenis manusia itu, di akhirat, insya Allah, akan dipertemukan oleh keikhlasan yang sama-sama disandangnya dalam ikut memajukan pondok.
Di Balai Pertemuan Pondok Modern (BPPM) yang bersejarah itu, di hadapan beliau, para anshar yang juga alumni TA dan KMI, menyimak dengan ta‘zhim. Rasa hormat para anshar itu bukan oleh sebab perbedaan usia —usia mereka relatif sama―, melainkan oleh kemumpunian kyai pendiri dalam hal keilmuan. Mereka pun, secara sadar maupun emosional, mengakui benar, bahwa Pak Sahal Pak Zar adalah gurunya. Dan, ketika pondok kian maju, pengabdiannya tidak luntur. Semangatnya, tawadu‘-nya, kesetiaan, dan keikhlasannya justru kian menandakan rasa syukurnya. Padahal, ketika itu, kesejahteraan belum lagi seperti sekarang, abad 21.
Kedua pendiri itu benar-benar berbicara dari hati ke hati. Dengan kalimat yang emosional, beliau selalu mengatakan, “Dan yang ada di dalam dada kami lebih besar dari ungkapan kata-kata,”karena rasa syukur yang dalam, diikuti rasa terharu yang menyesak.
Malam itu pun tidak ada pesta pora, tidak ada makan-makan besar dengan prasmanan: nasi banyak, lauk banyak, serta mengambil sendiri sesuai selera, seperti dalam perhelatan masa kini. Akan tetapi, cukup dengan pélang (‘nasi bungkus daun pisangʼ) yang diletakkan di atas piring. Dengan jumlah gigi yang tak lagi sempurna, para anshar yang berusia di atas 60-an tahun itu pun makan malam dengan lahap.
Dua tahun kemudian, barulah perayaan sesungguhnya digelar dengan amat meriah. Masjid Jami‘ telah benar-benar jadi, lengkap dengan menaranya. Presiden memerlukan hadir dan meresmikannya. Puluhan Duta Besar berdatangan untuk menyumbang kekaguman, pujian, dan do‘a. Sejumlah acara seremonial digelar. Ratusan alumni dari berbagai penjuru tanah air dan dunia berhimpun, melampiaskan kerinduan kepada pondok, guru, dan kyainya. Tak ketinggalan, sebagaimana adat Gontor dalam menyambut acara serupa, dipentaskan sejumlah hiburan rakyat: layar tancap, wayang kulit, pentas musik, reyog Ponorogo lengkap dengan gajah-gajahannya, serta turnamen beberapa cabang olahraga.
Sayang, Pak Sahal hanya dapat “menyaksikan” dari liang lahat. Setahun sebelumnya, 9 April 1977, beliau dipanggil Allah SWT, tepat usai kumandang adzan Maghrib dari masjid yang sangat dibanggakan dan diidamkannya itu.
Hiruk pikuk acara Perayaan Setengah Abad hampir tuntas. Malam itu acara penutupan digelar di BPPM, sekaligus pembagian hadiah pemenang lomba, dan hiburan kesenian untuk santri: demonstrasi pemenang lomba pidato dalam 3 bahasa, pentas musik, serta pementasan drama yang dimotori oleh Uga Perceka, anak sastrawan Ajip Rasjidi. Dalam pesannya di pembukaan acara, Pak Zar mengingatkan,  “Acara malam ini harus diakhiri tepat pukul 24.00 malam. Jangan molor. Dan, besok pagi, kita kembali kepada kehidupan normal, belajar seperti semula, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Lantas, kita lanjutkan nelajar di kelas sebagaimana biasa.” Pesan yang juga selalu diulang pimpinan sekarang setelah mengevaluasi penampilan Panggung Gembira dalam rangka Khutbatul ‘Arsy. Ini untuk mengingatkan para santri bahwa tujuan ke Gontor adalah untuk belajar, thalabul ‘ilmi, bukan untuk main musik, main drama, atau sepak bola saja.
Pondok kembali berjalan, meniti zaman, hingga ke kedewasaannya, hingga ke peringatan-peringatan setelahnya: 8 Windu, 70 Tahun, dan 80 Tahun. Menurut Pak Sahal dan Pak Zar, peringatan seperti tersebut di atas merupakan tonggak, penanda rasa syukur ahli Gontor dari waktu ke waktu. Juga, washilah pengukur diri (“Najajal awak,” kata Pak Sahal), seberapa besar, seberapa jauh, seberapa kuat pengaruh pondok ketika itu. Salah satu indikatornya: berapa serta siapa (saja) orang terhormat yang hadir dalam puncak acaranya? Itulah cara Gontor, madzhab Gontor dalam bersyukur. Selalu memperingati hari jadi disertai perayaan dengan sejumlah aktivitas, ilmiah dan nonilmiah; bukan dengan haul kematian pendirinya (Apalagi pendirinya 3 orang). Gontor memang pondok yang sangat khas.
Buat Para alumni 1970-an, moga bisa mengenang peristiwa itu!
Buyut Makkah 2010

Komentar

Postingan Populer