JARIYAH KADER GONTOR


mesjid gontorBukan hanya Syekh Turki, Sekjen Rabithah Alam Islamiy, itu yang kagum demi menyaksikan Podok Modern Darussalam Gontor (PMDG) secara ‘ainul yaqin. Tapi, seluruh peserta Muktamar Perguruan Tinggi Islam Internasional yang diselenggarakan Institut Studi Islam Darussalam (ISID) itu pun terkagum-kagum dibuatnya. Betapa tidak. Di tempat yang teramat jauh dari ibukota negara, bahkan juga jauh dari pusat kelahiran Islam, terdapat sebuah lembaga pendidikan, salah satu benteng Islam, yang mampu menyelenggarakan Muktamar kelas dunia, hampir tanpa cacat.
Kesuksesan itu tak lepas dari telah pulangnya puluhan kader pondok dari studinya di luar negeri, yang kemudian dikerahkan menjadi pendamping, melayani para delegasi. Para kader itu tidak begitu susah memberikan penjelasan kepada para tamunya. Pengetahuannya tentang pondok yang cukup memadai serta kemampuan berbahasa, terutama Arab dan Inggris yang mudah dimafhumi native speaker, membuat para tamu nyaman dibuatnya. Tak hanya itu, delegasi dari Pakistan pun dapat mendengarkan penjelasan tentang pondok dengan bahasa Urdu oleh para kader yang alumni Pakistan dan India.
Tambah lagi, secara fisik, mereka juga terbiasa tampil mengenakan pakaian full dress, berjas berdasi, melengkapi servis intelektualnya. Semua kader itu sama sekali tidak dibayar (mendapat honor). Keberadaannya sebagai kader serta kesempatannya terlibat dalam munasabah berkelas dunia, jauh lebih berharga daripada uang, berapapun itu. Sebab, dengan itu, selain akan mendapatkan pengalaman, nyali mereka juga bertambah, kian eksis. Mereka melakukannya sebagai pengabdian, khidmah kepada pondok. Kemana pun tamu pergi, dimana pun tamu berada, para kader itu tetap setia mendampingi delegasi. Tidur sekamar pun jadi, tidak ada kendala.
Saat ini, kader PMDG, selain telah cukup banyak, juga berlapis-lapis, gradual. Artinya, ada lapis kader yang telah berusia 50–60 tahunan; lapis usia 30 – 40 tahunan, serta lapis di bawah itu. Masing-masing melakukan tugasnya, sesuai lapisan dan kapasitasnya. Tak ada intervensi atau intrusi kader muda terhadap kader senior. Tabu. Sebab, di Gontor, senioritas angkatan (termasuk usia) sangat diperhitungkan, dihargai. Kader seperti al-akh H. Abdul Hafizh Zaid, M.A., atau al-akhH. Setiawan Lahuri, M.A., H. Muhammad Badrun Syahir, M.A., H. Imam Kamaluddin, Lc. M.Hum, dll., (kader lapis usia 30-an), betapapun sudah cukup memiliki pengetahuan serta menguasai seluk-beluk diplomasi dengan orang Arab, tentunya akan segan, dan lebih menyerahkan amanah kepada, Dr. H. Dihyatun Masqon, M.A; seniornya. Mereka akan menurut “Apa kata Pak Dihyah,” siap menjadi anak buahnya, tanpa pamrih. Semuanya menjadi mudah diatur dan mudah mengaturnya.
Ada lagi. Beberapa kader yang tengah menyelesaikan studinya di masing-masing negara, pulang mendadak ke Gontor, mendampingi sang rektor atau guru besarnya yang juga diundang. Ceritanya, begitu sang rektor (yang juga calon delegasi muktamar) mengetahui bahwa mahasiswanya adalah kader Gontor, dia pun langsung menginstruksikan agar sang kader menemaninya sampai ke Gontor. Yang luar biasa, ijazah yang biasanya belum waktunya keluar, langsung dikeluarkan rektor. Tiket pesawat pun dibelikan. Allahu Akbar!
Muktamar serupa, konon, pernah diselenggarakan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Namun, kabarnya jauh dari sukses. Tingkat apresiasi delegasi sangat rendah terhadap panitia penyelenggara. Kepantiaan tidak rapi, tidak kompak. Mungkin karena segala sesuatu dihitung dan diperhitungkan dengan uang, sehingga justru bernilai rendah. Dan mungkin, di antara delegasi tidak menemukan apa yang didapat di Gontor, yakni para pasukan pendamping. Tak ada totalitas servis dari panitia setotal di Gontor. Kesan yang terungkap pun dapat ditebak, hambar.
Kegigihan Trimurti pendiri dalam mendidik santri terbukti tidak sia-sia. Kini, pondok mulai menuai hasil dari keyakinan, keikhlasan, dan kesungguhan para almarhum Trimurti. Tanaman itu telah tumbuh sempurna, berbuah lebat. Para kader yang dulu baru satu-dua orang, kini telah berpuluh orang; kembali dan berkhidmah di pondok. Jariah itu mengalir deras, tak putus. Keharumannya menyeruak sampai jauh, menembus istana negara, saat para delegasi yang akan kembali ke negara masing-masing “dicegat” Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sebagian besar ahli Gontor hanya tahu bagaimana muktamar itu terselenggara dengan sukses di Gontor. Namun, bagaimana ternyata gaungnya masih terus terbawa para tamu, tak banyak yang tahu. Menurut kader yang hadir, acara pertemuan para delegasi dengan presiden itu penuh dengan puja-puji terhadap Pondok Modern Darussalam Gontor; juga keberadaan serta keberhasilan ISID menyelenggarakan muktamar berkaliber internasional. Secara eksplisit —dan konon juga emosional—, di hadapan majelis mendadak itu, Menteri Agama mengaku sebagai alumnus Gontor. Tak ketinggalan, Presiden pun menjelaskan bahwa dirinya adalah juga bagian dari Gontor. Selain, secara darah, masih terhitung keturunan keluarga Gontor, ayahnya pun alumnus pondok tersebut.
Buahnya, tak mau kalah, para delegasi itupun mengungkapkan kekaguman, keharuan terhadap Gontor, serta, tentunya —ini yang paling penting— do‘a bagi masa depan Gontor, terutama perguruan tingginya. Bahkan sebelumnya, ketika pihak ISID Gontor menyodorkan nota kesepakatan kerjasama dengan para delegasi itu, nyaris tak dibaca dengan teliti, langsung ditandatangani. Sebuah bukti tingginya kepercayaan.
Dari segi finansial, sebagaimana sunnah Gontor, tak perlu dibahas lagi. Muktamar yang menghabiskan biasa sekitar Rp 400 juta itu, diganti oleh Syekh Turki dengan uang sejumlah US$ 52.000 (setara Rp 480 juta). Jadi, bukan sekedar impas, melainkan untung. Sebuah tuaian dari sebab kesungguhan dan keikhlasan. Para kader pondok, dari segala lapisan, juga tahu, bahwa uang itu bukan untuk mereka, tetapi untuk maslahat pondok. Di pondok, para santri dan kader telah belajar menyikapi sumbangan seperti di atas sejak zaman pendiri. Meskipun tidak ikut menerima uang —karena biasanya akan diwujudkan dalam bentuk fasilitas pendidikan—, semua warga PMDG memiliki perasaan sama, mensyukuri sumbangan itu. Ini yang tidak mudah mengajarkannya. Tidak menerima, kok, ikut merasa senang?
Buah lain yang akan dipetik Gontor, yakni, di negara dan universitas masing-masing, para delegasi itu pasti akan menjadi syi‘ar gratis bagi Gontor. Terikut dengan itu adalah kian beragam jarigan Gontor di luar negeri. Para alumni pun akan mendapat imbas kemudahan melanjutkan studi di perguruan tinggi tempat delegasi berasal. Hanya, para alumni harus tetap empan papan, tahu diri. Jika tak memiliki kapasitas tak perlu nekad, yang justru akan memalukan diri sendiri dan pondok. Sekali lagi, harus tahu diri.
Barangkali, bagaimana menerima dan menghormati tamu adalah salah satu yang diajarkan di Gontor, dan tidak semua lembaga pendidikan mengajarkannya. Atas dasar al-duyuf ka al-mayyit, maka Gontor mengajarkan bagaimana menghargai dan mengormati “mayyit”. Meskipun tidak lagi merasa sakit, mungkin juga tidak mendengar, serta tidak melihat, mayit harus tetap dihormati, diperlakukan secara manusiawi, baik dalam kata maupun tindakan.
Mengenai perlakuan Gontor terhadap tetamu, pernah seorang tamu dari Jakarta yang mengikuti perjalanan rombogan Presiden berkunjung ke Gontor berkomentar di dekat telinga penulis. Katanya, cara PM Gontor menerima tamu standarnya sudah internasional. Padahal, mungkin, dia sekedar melihat para santri yang tetap tegak berdiri sambil membawa bendera di kehujanan, atau para pramuka yang tetap bersikap sempurna, di kepanasan, sampai tamu benar-benar meninggalkan kampus. Atau adanya demonstarasi marching band yang lumayan rancak, sebagai atribut pelengkap sebuah kunjungan kenegaraan. Entahlah.
Memang, nyata perbedaan Gontor dengan lembaga lain, di luar negeri sekali pun. Pernah dalam suatu acara wisuda di salah satu perguruan tinggi internasional di Malaysia, seorang alumni Gontor berkomentar demi menyaksikan keributan serta kalangkabutnya panitia wisuda yang dihadiri raja negeri itu. Wajah-wajah tegang dan serius menghiasi penantian tamu terhormatnya. Jauh beda dengan Gontor. Ketika akan kedatangan Presiden sekalipun, Ketua Panitia malah santai sambil senyum-senyum rileks menyambut tamu, atau sekedar berbisik antarsesama sambil tertawa kecil ketika menyaksikan para tamu mulai ramai memasuki ruang pertemuan/acara. Mengapa demikian? Jawabnya singkat: telah terbiasa.
Terbayang, betapa terharu jika para pendiri yang telah wafat itu menyaksikan para kadernya berkumpul, berkiprah, bahu-membahu. Trimurti akan menikmati tanamannya tumbuh berkembang, berbuah lebat serta ranum. Dulu, jika seorang kader pulang dari luar negeri saja dielu-elukan dengan segenap sambutan dan do‘a, serta perjamuan syukur. Bagaimana jika puluhan? Terlebih dengan gelar akademik bervariasi, bertingkat, dari S1. hingga S3. Allahu Akbar! Dada beliau pasti akan terasa meledak. Air mata tak lagi sekedar menitik, tetapi mengalir deras. Tapi, yang paling penting, para muassis itu pantang menyebut: “atas jasa saya”, “atas ide saya”, dsb. Insya Allah, para pendiri itu, kini dan kelak telah dan akan memetik “jariyah kader,” sepuasnya.
Oleh karena itu, yang terbaik, sebagai introspeksi, siapapun dia, para kader harus tetap bersyukur melihat apa yang terjadi pada Gontor saat ini. Tak ada yang boleh merasa paling berjasa, paling bekerja, terutama jika menghitung dan mengukur kerja hanya sekedar dari gerak tubuh dan cucuran keringat. Di PMDG, semua kebanggaan tak ada yang (boleh) atas nama pribadi. Semua milik pondok. sebab, itu tak akan terjadi tanpa Gontor. Al-fadhlu li al-mubtadi‘; wa ahsana al-mubtadi’. Kemajuan pondok, oleh pendiri, sering disikapi bukan dengan jumawa, melainkan rasa syukur.
Selanjutnya, semua kader di segala lapisan harus terus dan tetap istiqamah dalam berkhidmah, tanpa pamrih. Masing-masing telah memiliki bagian (baca: imbalan) secara proporsional, baik di dunia, apalagi di akhirat.
Buyut Makkah 2008

Komentar

Postingan Populer