Setitik pelajaran perjuangan 2
Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang.
Pernah ada sebuah cerita, suatu ketika terngiang dipikiranku. Ada seorang anak muda yang sedang berjalan melewati sebuah rumah. Di depan rumah itu ada sepetak ladang kecil dan seorang kakek yang sedang menanam sebuah bibit pohon kecil. Dari kejauhan sang pemuda melihat dengan seksama apa yang dikerjakan oleh sang kakek. Butiran-butiran keringat itu pun jatuh menetes, membasahi kaos lusuhnya. Dalam hati anak muda ini bergumam, “ini kakek sudah tua renta kok malah menanam sebuah bibit pohon kecil yah? Kapan metik buahnya.” Dengan berjalan pemuda itu menghampiri sang kakek bermaksud menanyakan sesuatu yang tidak bisa dia fahaminya waktu itu.
“Bapak, siang-siang panas ini kok diladang? menanam apa pak yah?” Tanya anak muda berbasa basi.
“Ini bibit pohon durian anak muda, biar saya tidak bisa memetik hasilnya kelak. Namun anak-anak dan cucu-cucu bapak pasti bisa menikmati hasilnya,” jawab sang kakek sambil tersenyum percaya diri. Subhanallah!!!
Sungguh mulianya kakek ini. Ada sebuah pelajaran kita dapat dari serpihan cerita sini. Apa coba? Berbuat tidak hanya untuk diri sendiri. Itu dia pelajarannya. Kira-kira dari sebegitu banyak manusi yang hidup di atas bumi ini. Ada berapa orang yang seperti kakek diatas? Kita termasuk tidak ya?
Dalam hati kebanyakan orang jaman sekarang terdapat sebuah sifat “egois”. Pokoknya kalau untuk saya tidak ada untung maka saya tidak mau, itu kan bukan punya saya ngapain saya ikut campur, kan dia punya tangan sendiri gak usah dibantu juga bisa insyaAllah, bonus buat saya ada gak pak, dan lain sebagainya. Kata-kata inilah yang banyak berada dalam hati mereka, bahkan tidak jarang keluar dari mulut mereka langsung. Rasa enggan bercampur egois telah menggerogoti hati-hati, maka tidak usah heran jika para pemimpin di negri kita korupsi. Karena dua sifat telah mendarah daging. Bagaimana kita mengatasi semua hal ini?
Pernahkah terpikir? Kira-kira dulu para pejuang enggan dan egois, kemudian hanya memikirkan batang hidungnya sendiri. Tahun 1945 akankah menjadi tahun yang berharga bagi kita? Darah bertumpah, hanya berbekal bambu runcing bahkan peralatan dapur pun dibawa untuk membela Negara. Nyawa pun melayang. What for? Untuk apa coba? Apalagi kalau tidak masa depan anak-anak bangsa kita. Akankah perjuangan mereka sia-sia? Dengan melihat keadaan kita sekarang. Ayo bangkit pemuda !!! mana semangatmu? Tunjukkan!
Dalam hal lain, cerita yang pernah saya dengar. Sekolahan dulu jauh berbeda dengan sekarang. Setiap kali saya mendapatkan nasehat dari seorang tua “kalian saat ini bersyukur, tidak seperti kami dulu,” dengan nada pelan mengingat masa lalu mereka. Dahulu buku tulis tidak ada, yang ada hanya papan kecil disetiap anak sekolah. Setiap kali selesai belajar tulisan dihapus, kemudian digunakan untuk menulis untuk pelajaran selanjutnya. Padahal tulisan adalah sebuah tali, yang digunakan untuk mengikat binatang buruan. Ilmu adalah binatang buruan. Jika talinya lepas? Tapi inilah kesungguhan dan mereka banyak yang berhasil. Membuat bangsa ini berkembang maju. Tidakkah kita perlu mencontoh mereka? Yang kita perlu kita contoh adalah kesungguhan dalam perjuang. Fasilitas kita lebih ada kan sekarang ketimbang dulu? Berarti kita lebih mungkin untuk maju. Ayo semangat! masa depan Indonesia ada ditangan kita masing-masing. Kemudian kita satukan tangan kita. Tergenggam rapat kita tunjukkan kepada dunia “Indonesia Berjaya”.
Kahramanmaraş, 11 desember 2011
Abdul Aziz Mundzir.
Pernah ada sebuah cerita, suatu ketika terngiang dipikiranku. Ada seorang anak muda yang sedang berjalan melewati sebuah rumah. Di depan rumah itu ada sepetak ladang kecil dan seorang kakek yang sedang menanam sebuah bibit pohon kecil. Dari kejauhan sang pemuda melihat dengan seksama apa yang dikerjakan oleh sang kakek. Butiran-butiran keringat itu pun jatuh menetes, membasahi kaos lusuhnya. Dalam hati anak muda ini bergumam, “ini kakek sudah tua renta kok malah menanam sebuah bibit pohon kecil yah? Kapan metik buahnya.” Dengan berjalan pemuda itu menghampiri sang kakek bermaksud menanyakan sesuatu yang tidak bisa dia fahaminya waktu itu.
“Bapak, siang-siang panas ini kok diladang? menanam apa pak yah?” Tanya anak muda berbasa basi.
“Ini bibit pohon durian anak muda, biar saya tidak bisa memetik hasilnya kelak. Namun anak-anak dan cucu-cucu bapak pasti bisa menikmati hasilnya,” jawab sang kakek sambil tersenyum percaya diri. Subhanallah!!!
Sungguh mulianya kakek ini. Ada sebuah pelajaran kita dapat dari serpihan cerita sini. Apa coba? Berbuat tidak hanya untuk diri sendiri. Itu dia pelajarannya. Kira-kira dari sebegitu banyak manusi yang hidup di atas bumi ini. Ada berapa orang yang seperti kakek diatas? Kita termasuk tidak ya?
Dalam hati kebanyakan orang jaman sekarang terdapat sebuah sifat “egois”. Pokoknya kalau untuk saya tidak ada untung maka saya tidak mau, itu kan bukan punya saya ngapain saya ikut campur, kan dia punya tangan sendiri gak usah dibantu juga bisa insyaAllah, bonus buat saya ada gak pak, dan lain sebagainya. Kata-kata inilah yang banyak berada dalam hati mereka, bahkan tidak jarang keluar dari mulut mereka langsung. Rasa enggan bercampur egois telah menggerogoti hati-hati, maka tidak usah heran jika para pemimpin di negri kita korupsi. Karena dua sifat telah mendarah daging. Bagaimana kita mengatasi semua hal ini?
Pernahkah terpikir? Kira-kira dulu para pejuang enggan dan egois, kemudian hanya memikirkan batang hidungnya sendiri. Tahun 1945 akankah menjadi tahun yang berharga bagi kita? Darah bertumpah, hanya berbekal bambu runcing bahkan peralatan dapur pun dibawa untuk membela Negara. Nyawa pun melayang. What for? Untuk apa coba? Apalagi kalau tidak masa depan anak-anak bangsa kita. Akankah perjuangan mereka sia-sia? Dengan melihat keadaan kita sekarang. Ayo bangkit pemuda !!! mana semangatmu? Tunjukkan!
Dalam hal lain, cerita yang pernah saya dengar. Sekolahan dulu jauh berbeda dengan sekarang. Setiap kali saya mendapatkan nasehat dari seorang tua “kalian saat ini bersyukur, tidak seperti kami dulu,” dengan nada pelan mengingat masa lalu mereka. Dahulu buku tulis tidak ada, yang ada hanya papan kecil disetiap anak sekolah. Setiap kali selesai belajar tulisan dihapus, kemudian digunakan untuk menulis untuk pelajaran selanjutnya. Padahal tulisan adalah sebuah tali, yang digunakan untuk mengikat binatang buruan. Ilmu adalah binatang buruan. Jika talinya lepas? Tapi inilah kesungguhan dan mereka banyak yang berhasil. Membuat bangsa ini berkembang maju. Tidakkah kita perlu mencontoh mereka? Yang kita perlu kita contoh adalah kesungguhan dalam perjuang. Fasilitas kita lebih ada kan sekarang ketimbang dulu? Berarti kita lebih mungkin untuk maju. Ayo semangat! masa depan Indonesia ada ditangan kita masing-masing. Kemudian kita satukan tangan kita. Tergenggam rapat kita tunjukkan kepada dunia “Indonesia Berjaya”.
Kahramanmaraş, 11 desember 2011
Abdul Aziz Mundzir.
Komentar
Posting Komentar