Di Tempat Nan Jauh ini
Gelap
sudah menyelimuti hari. Namun ini masih terlalu sore, bukan di pertengahan
malam yang gulita. Sepanjang perjalanan menuju rumah, aku berbicara sendiri.
Memarahi diri yang semakin hari tak juga menunjukkan perubahan. Aku keraskan
suaraku, persis seperti ketika aku sedang memarahi seseorang. Meski suaraku
keras, tetap saja kalah dengan bising kendaraan yang berlalu lintang.
“Aziz!!!”
Bentakku.
“Kamu
seharian ini, apa saja yang kamu kerjakan?” tanyaku.
“Bangun
jam berapa tadi pagi?” tanyaku selanjutnya setelah pertanyaan pertama yang tak
ada jawaban.
Sepertinya
Aziz sadar kalau dia sedang aku marahi.
“Bangun
jam sembilan,” jawabnya pelan.
“Astaghfirullah!
Tidak sholat subuh? Trus setelah itu ngapain?” bentakku lagi.
“Terus?”
“Cuman
main facebook, kadang juga buka youtube di atas kursi,” tambahnya.
“Sampai
kapan itu?”
“Sampai
azan, trus sholat zuhur.”
“Setelah
itu lagi?”
“Buka
laptop, buka file tulisan, tapi gak nulis. Habis itu laptop aku sambungkan ke
hape. Trus online lagi,” ucapnya sambil menunduk keringetan.
“Astaghfirullah,
lah kamu mau jadi apa kalau online terus seperti itu? İya kalau onlinenya itu
untuk belajar, lah ini cuman duduk, yang dihadepin facebook, youtube, dll.
Tidak punya kerjaan yang lain?”
“Loh,
bukannya kamu ke Turki untuk belajar. Pelajaran kamu gimana? Pelajaranmu itu susah,
pake bahasa Turki lagi. Setiap hari belajar gak?”
“Enggak,
jarang belajar...” jawabnya.
“Astaghfirullah,
Ziz nyebut, inget tujuan kamu kesini. Apa kamu tiap hari seperti ini?” tanyaku
lagi.
“Iya,
sebagian besar pekerjaannya ya cuman githu gthu aja.”
“APA!
Kamu bilang itu pekerjaan? İtu bukan pekerjaan Ziz, itu hal sia-sia. Coba
inget-inget lagi wajah orang tua, inget gimana sedihnya wajah ibumu dulu
melepasin kamu untuk pergi?”
“Kalau
bukan akhir pekan seperti hari ini, biasanya apa yang kamu kerjakan?”
“Kuliah..”
“Iya,
saya tahu. Kuliahnya gimana?”
“Pagi
ke kampus, pulang setelah zuhur. Dari hari senin sampai kamis saja kuliahnya.”
“Habis
kuliah ngapain?”
“Gak
ngapa-ngapain, biasanya online lagi.”
“Waduh..
waduh... online di facebook?” tanyaku. Dia mengangguk.
“Seorang
mahasiswa itu pekerjaannya ya cuman belajar. Titik. Sering keperpustakaan, baca
buku, mengadakan penelitian dan seterusnya. İya mungkin boleh ikut ekstra
lain-lain. Tetapi belajar tetap nomer satu. Lah kamu, ekstra tidak, ini tidak,
itu tidak, belajar juga tidak, kalau internet IYA. Waduh, keblenger tenan kamu
itu!”
“Ya
sudah, maaf kalau kata-kataku membuatmu sedih. Aku cuman mau mengingatkan,
waktu itu selalu berjalan. Biarkan waktu berjalan, tetapi lalui dengan kegiatan
atau hal-hal yang bermanfaat. Di sekelilingmu itu juga ada teman, ada guru, ada
tetangga, coba belajar berkomunikasi dengan baik. Jadi orang yang bisa bersosialisasi dimana-mana. Mumpung kamu
masih muda. Lah katanya kamu juga sudah kepengen nikah? Ya disiapkan toh, bukan
facebookan wae. Facebook boleh, tapi jangan berlebihan, gunakan
sebaik-baiknya.”
“Ziz,
coba kesini, aku mau bilang sesuatu.”
“Iya...”
“Aku
itu sayang kamu,” bisikku di telinganya. Lalu matanya berbinar dan
berkaca-kaca.
Tak
terasa aku sudah berada di depan pintu rumah. Kuambil kunci lalu kubuka pintu.
Sambil memasuki rumah, aku teringat kata-kataku di perjalanan barusan tadi.
Semoga Aziz sadar dan segera berubah. Amin.
NB:
Cerita ini hanya rekayasa, semoga bermanfaat.
Kahramanmaras
Turki, 12 Mei 2013
Komentar
Posting Komentar