Lessons, dari Eyang Habibi
Bismillah di setiap awal permulaan kebaikan. Sudah sekian lama,
jari ini diliburkan dari tugasnya, menulis. Hari ini sabtu, 16 Februari 2013
saya mendapatkan kekuatan yang besar, dari sebuah cuplikan singkat, hanya 2 jam
untuk menggambarkan kehidupan eyang Rudi Habibi yang penuh hikmah. Terima kasih
eyang.
Pertama, jauh jarak yang saya tempuh sampai pada tanah yang saya pijak saat ini, hampir sama dengan jarak
eyang dulu di Jerman sana. Pelajaran kesungguhan yang saya saksikan dengan mata
yang sadar dari kehidupan eyang begitu terasa. Niat awal eyang tidak pernah
punah, selalu ingat, jujur dan sungguh-sungguh. Untuk bangsa dan masa depan
yang lebih cerah.
Kedua, gaya eyang berbicara, memberikan satu ketertarikan yang
khas. saya suka sekali gaya itu. Tanpa ragu dan penuh prinsip yang kuat, serta
berwibawa.
Ketiga, tanpa putus asa. Ketekatan yang eyang tunjukkan,
menyadarkan kami yang masih memiliki tekat yang lemah, gampang rapuh, bahkan
sering runtuh. Entah, eyang tahu pepatah ini atau tidak ‘man tolaba va jadda
wajada’ (siapa yang menuntut dan sungguh-sungguh, dia dapat). Pepatah ini
ada dalam setiap langkah eyang. Beberapa kali saya juga melihat eyang tertidur
di tempat kerja.
Keempat, bukan karena uang. Andai jam tangan atau uang itu eyang
terima, Habibi yang sekarang tidak akan saya kenal sebaik saat ini. Ikhlas itu
ada, ibu Ainun juga.
Kelima, langkah yang terencana. Terima kasih eyang, karena ketika
ada yang mencoba mengambil copy berkas eyang, eyang tolak. Itu pelajaran
berharga tentang ada yang harus kita pertahankan, karena itu sesuatu yang tidak
harus semua orang tahu.
Keenam, bapak tidak bisa berbohong. Ketika eyang mengatakan ‘Ainun
jelek, hitam dst’, itu bohong eyang. Mata saya mengatakan malah sebaliknya.
Ketujuh, kesederhanaan. Ketika saingan eyang menggunakan
mobil-mobil mewah dan jabatan tinggi untuk menarik perhatian Bu Ainun, bapak
hanya menggunakan becak lalu ketika ada yang mengejek eyang berkata, “Memangnya
kenapa? Biarkan saja!” sambil tertawa renyah.
Kedelapan, ketika eyang bilang, “Ainun, Ainun mau ikut saya ke
jerman? Ikut sama saya, kawani saya, mendampingi, menjadi istri, kita bangun
keluarga, hanya oleh kita berdua, tanpa ada campur tangan dari keluarga saya,
saya tidak bisa menjanjikan banyak hal, entah Ainun bisa menjadi dokter atau
tidak, entah kita bisa hidup mudah atau tidak disana, tapi yang jelas saya akan
menjadi suami yang terbaik untuk Ainun.” Kata-kata eyang yang ini, mungkin
suatu saat akan saya gunakan untuk Ainun saya. Mungkin ada kata yang sedikit
saya rubah, Jerman menjadi Turki misalnya.
Kesembilan, tepat janji. Tidak banyak ada orang yang bisa menepati
janji, terlebih saya. Melihat eyang, menjadikan saya sadar bahwa tepat janji
itu penting dan membawa kepada kedamaian.
Kesepuluh, tegar. Surat yang eyang tulis dengan jujur, penuh dengan
rasa pengabdian yang tinggi. Tapi sayangnya, pemerintah belum siap. Terima
kasih Bu Ainun, karena ibu bapak bertambah tegar. Ketika eyang berada dalam
posisi berat, ketegaran itu bisa saya lihat, sama dengan ketegaran yang ibu
Ainun punya.
Kesebelas, memberikan yang terbaik. Saat eyang dipercaya, optimis
yang eyang punya semakin tinggi, sehingga hasil maupun proses itu benar-benar
baik, menurut saya itu yang terbaik dari eyang.
Keduabelas, ayah teladan. Saya ikut terharu, ketika anak eyang
menyobek foto eyang dalam Koran Jerman, lalu mengabadikannya. Eyang
mengingatkan ayah saya, juga menyadarkan bagaimana suatu saat saya jadi ayah
yang baik.
Ketigabelas, penuh optimis. Ketika eyang mengatakan, “Ainun harus
kuat” saya merasa kata itu tertuju kepada saya juga, menumbuhkan rasa optimis.
Keempatbelas, cinta tanah air. Saya kira, semua yang terjadi dan
eyang lakukan adalah dengan satu alasan ‘cinta tanah air’.
Kelimabelas, cinta yang abadi. Saya masih ingat betul puisi eyang;
“Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu. Karena, aku
tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya, dan kematian
adalah sesuatu yang pasti, dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku
sangat tahu itu.
Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat, adalah kenyataan
bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang,
sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati,
hatiku seperti tak di tempatnya, dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang
isi.
Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang
berganti kemarau gersang. Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam
perpisahan panjang, pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit
manis selama kau ada. Aku bukan hendak megeluh, tapi rasanya terlalu sebentar
kau disini.
Mereka mengira aku lah kekasih yang baik bagimu sayang, tanpa
mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik. Mana mungkin
aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua, tapi kau ajarkan aku
kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu
mencintaimu seperti ini.
Selamat jalan, Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya, kau dulu tiada
untukku, dan sekarang kembali tiada.
Selamat jalan sayang, cahaya mataku, penyejuk jiwaku, Selamat jalan, calon bidadari surgaku ….” (B.J. Habibie untuk Ainun)
Untuk ‘lessons, dari Bunda Ainun’ insyaAllah menyusul.
Kahramanmaras Turki, 16 Februari 2013
Komentar
Posting Komentar