Oleh-oleh Dari Gaziantep (1)

Akhir pekan kali ini terasa begitu berbeda. Bukan hal biasa, ketika ada masyarakat pelajar Indonesia yang berkumpul bersama melingkar mendengarkan cerita-cerita memukau dari seorang yang istimewa. Biasanya kami hanya bisa membaca berita via internet, mendengar rekaman-rekaman ataupun radio, dan menyaksikan sesuatu hanya melalui layar computer. Kami jauh dari tanah air, berada di atas tanah yang begitu asing. Kota tempat kami tinggal saat ini apalagi, hanya bertiga bersama, bercakap bahasa Indonesia hanya bertiga, berjalan bersama menikmati keasingan dunia hanya bertiga, dan beberapa kegiatan lain yang hanya kita bertiga. 

Jum’at lalu kami datang, mendekati kebersamaan, di ujung kota itu, bersatu padu menjadi satu. Sabtu malam, di saat kami sedang lelah-lelahnya, bukan berarti hidup kami hari itu harus berhenti begitu saja. 
Di sebuah asrama yang sederhana di mata mereka, kami mendapatkan sebuah ruangan besar, paling besar kataku. Lalu kami duduk melingkar, mengelilingi seorang yang berbicara menatap mata kami satu persatu. Mencoba memberikan sesuatu yang sangat penting, dan kami pun tahu bahwa itu sangat penting, maka dari itu mata kami tak sedikitpun berpaling. Kami rela menatap matanya yang bercahaya, penuh ilmu yang dalam.

Namanya sederhana, Faris, artinya seorang pengendara kuda, dia sering mengatakan bahwa namanya Faris pake ‘s’ bukan ‘z’, ini sebuah humor yang mencuri hati kami saat awal bertemu, pasalnya penulisan namanya sering sekali salah. Ada banyak hal yang mungkin belum kami ketahui tentang beliau, jika ingin tahu, lain kali tanya saja langsung sendiri. Beliau berkata, “Kenapa ketika abang disuruh untuk berbicara tentang menulis, abang begitu semangat? Semua hal yang menuju pada pengayaan literature itu harus dibudayakan; penulisan buku, sanggar terjemah, dll. Dari situ abang merasa perlu berbagi kepada kalian-kalian. Menulis itu salah satu fungsinya adalah agar kita bisa befikir teratur.”
 
Perbincangan kami pun berjalan, kami bertanya dan beliau menjawab. Banyak hal yang beliau bocorkan, mengenai rahasia-rahasia besar dalam dunia penulisan dan penerbitan. Di antara kata-kata beliau adalah, “Jangan pernah membayangkan bahwa konsumen itu sudah biasa dengan buku. Kebanyakan konsumen itu ketika mendatangi toko-toko buku dan mereka hanya menjadi swingbuyer. Swingbuyer adalah sebuah istilah bagi mereka yang hanya berjalan di depan toko buku, melihat dan mengambil apa yang menarik baginya saat itu, tidak seperti sebagian orang yang sudah mempunyai pilihan sebelum mendatangi sebuah toko buku. Maka dari itu sebuah ‘cover’ itu harus bisa mencuri awal dari pandangan, ini tugas penerbit, sedangkan bagi penulis ‘judul’ buku juga harus bisa mencuri pandang.” 

Selain itu judul harus lugas dan memancing. Beliau juga mengatakan bahwa kita harus bisa memahami tren warna yang sedang pupuler, dan kebanyakan sifat yang banyak diminati konsumen adalah bentuk feminine. 

Rahasia selanjutnya adalah backcover. Backcover atau sampul belakang itu memiliki keistimewaan tersendiri. Tulisan yang berada di belakang itu bukan resensi, ringkasan buku atau intisari sama sekali. Tetapi tulisan itu adalah sebuah tulisan yang begitu pembaca membacanya, dia langsung ingin merobek sampul plastiknya. Sebaiknya seorang penulis ketika ingin menyodorkan naskah, semuanya sudah lengkap, dari cover depan sampai cover belakang. Penerbit lebih tertarik dengan yang seperti itu. 

Menulis tidak perlu takut salah. Kita hanya perlu banyak latihan dan istiqamah. Sebenarnya keterampilan menulis itu sudah banyak, hanya saja yang perlu kita kerjakan adalah menguas-nguas saja agar menjadi lebih indah. Ketika kita menulis di sebuah blog ataupun website tidak perlu menulis banyak dan panjang lebar. Cukup singkat dengan bahasa yang lugas, lalu pokok atau bagian penting diletakkan di awal paragraph. 

Untuk bisa menulis, syarat pertama adalah banyak membaca. Dengan banyak membaca kita mempunyai harta karun berupa kata-kata yang sangat berharga. Menulis adalah aktualisasi diri. Menulis tidak boleh menyebabkan ujub. Menulis adalah sebuah kegiatan yang menyembuhkan juga menyenangkan. 

Seorang dari kami bertanya, “Bagaimana kita bisa konsisten untuk menulis?”. Kata beliau, “Pikirkanlah orang lain sehingga kita bisa menghadirkan semangat dan kesyukuran. Kita harus bisa menciptakan habit dalam pikiran.” 

Beliau mengungkapkan sebuah pepatah bahasa arab yang artinya, “Kita itu kadang lupa karena kita menganggap sesuatu itu tidak penting (atau karena kita tidak memperhatikan). Kata-kata ini adalah jawaban ketika seseorang bertanya kenapa kita begitu sering lupa akan nama penulis, nama buku. Sebelum membaca, kita harus bisa memperhatikan lebih pada tiga hal ini; judul buku, penerbit buku, dan juga pengarang buku. 

Tak terasa perbincangan kami hampir mendekati satu jam. Terakhir, ada seorang penanya menanyakan bagaimana cara agar kita bisa memilih buku yang baik denga baik. Jawaban dari beliau cukup singkat dan menarik, “Iklan yang baik itu dari mulut ke mulut”, katanya. “Untuk menulis dari mana kita harus memulai”, tanya beliau, “Memulailah dengan yang paling dekat dengan kita”, lanjutnya. 

Catatan ini mungkin begitu singkat, sebab tidak semua yang beliau katakan terekam baik dalam catatan kecil yang kami punya. Semoga dengan sedikit ini kita bisa mengambil pelajaran berharga. Terima kasih bang Faris, pake ‘s’. 

Kahramanmaraş Turki, 05 April 2013

Komentar

Postingan Populer