Oleh-oleh dari Gaziantep (3)




Bersama berarti tidak sendiri. Sendiri artinya tidak sedang bersama-sama. Mungkin ada banyak kegembiraan yang biasa kita rasakan saat bersama, sebagaimana banyak kesepian yang kita rasa saat sendiri. Kebersamaan itu penuh dengan barokah, sedangkan kesendirian itu penuh dengan rasa resah. Ketika kita sedang bersama hidup itu ada, ketika sendiri seakan tiada yang lebih baik selain mati.

Sebuah pepatah arab mengatakan, “Al-ittihadu asasunnajah” kebersamaan itu adalah pangkal kesuksesan.

Kita memiliki Indonesia yang terhampar sangat luas dari Sabang hingga Merauke. Belum lagi pernak-pernik di setiap wilayah Indonesia yang unik dan penuh nilai seni. Ratusan juta penghuni, ribuan keindahan, ratusan suku, budaya, dan bahasa. Kadang terpikir, bagaimana dulu negara yang besar dan bermacam-macam ini bisa bersatu?  


Bineka Tunggal Ika. Berbeda-beda tapi satu jua.

İbarat sebuah sapu lidi yang kokoh dengan tali. Sederhana dan sangat berguna. Tali Indonesia dulu bernama Soekarno. Dia mengikat kita dengan begitu kuatnya. Kita adalah lidi-lidi yang menggusir segala bentuk kotoran penjajahan di bumi pertiwi, terikat oleh tali kebersamaan, tali itu berwarna merah dan putih, menyatu dan bersatu.

Satu, angka inilah inti penting kebersamaan. İndonesia, satu bahasa, satu bendera, satu jiwa, satu Tuhan, satu... satu... dan satu...

Bersatu, kata inilah tujuan kebersamaan. Dengan bersatu kita kuat, kita solid, kita tak tergoyahkan.

Mana angka satu dan kata bersatu hari ini? İngat! satu itu bukan invidu atau perorangan, tapi satu itu kesatuan. Satu tambah satu tambah satu tambah satu tambah satu...

Sayang sungguh sayang, ‘satu’ hari ini banyak yang salah faham. Mereka kira satu itu adalah invidu. İndividual itulah yang menguatkan asas egoisme, kedengkian, rasa benci, kepunahan, tanpa kekuatan, dan seterusnya. Kita tidak butuh egoisme, tidak butuh dengki, tidak butuh itu semua jika ujungnya malah hancur lebur. Buat apa kita kaya, tapi sendiri. Sekeliling  kita semua miskin, sedang rumah kita menjulang tinggi hampir menyentuh awan. Sebenarnya kita kaya? Atau malah miskin? Dimana kata bersama itu?

Kami sedang berada jauh dari negeri tercinta. Kami rindu tanah air. Kami rindu keringat orang indonesia. Kami rindu cita rasa makanan nusantara. Kami kesepian, kami sendiri, kami ingin bersama.

Aku masih ingat hari itu. Bukan hari di waktu liburan. Hari itu adalah hari dimana kami mencuri-curi waktu. Hanya juma’t sabtu dan ahad. İya, memang itu liburan akhir pekan di Turki. Eh, jum’at itu bukan. Hanya saja bertepatan dengan hari dimana aku tidak memiliki jam pelajaran di kampus. Kami mendatangi terminal, sejenak kami ingin pergi, mendekati suasana kebersamaan di kota sebelah, Gaziantep.

Jumlah kami tidak seberapa jika dibandingkan dengan kota Istanbul dan Ankara. Kami hanya minoritas pelajar Indonesia yang ingin juga merasakan rasa bersama, yang katanya indah, yang katanya ramai dan penuh cita. Akhirnya kami membuat acara, acara lokal kami saja, dari Adana, Kayseri, Malatya, Kahramanmaras, dan Gaziantep.

Terbukti. Satu tambah satu tambah satu tambah satu... itu berjumlah banyak. Waktu itu kebersamaan yang kami idamkan terbentuk dan terbukti indah. Ada rasa puas juga bangga. Rindu itu akhirnya terlampiaskan. Kami berbicara bahasa Indonesia, kami bermain gaya Indonesia, kami bernyanyi lagu Indonesia, dan kami menikmati hidangan masakan Indonesia.  

Kebersamaan adalah tempat berbagi. Dalam kebersamaan satu sama lain saling berusaha memberikan hadiah terbaik. Kebersamaan bukan tempat untuk saling menjelekkan, bukan juga sebagai tempat saling menggulingkan. Kebersamaan adalah budaya nusantara, yang selamanya akan ada, dimana-mana.




Kebersamaan. Kahramanmaras Turki, 30 April 2013


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer