Aroma Melati, Kini Pudar dan Pergi (2)
New York. Tidak pernah terlintas di kepala Daus untuk berkunjung ke Negara ini sebelumnya. Namun, saat ini kakinya sudah menyapa bumi New York tanpa harus berpikir lama. Langkah-langkah seperti pasti menyelimuti hati. Kemungkinan untuk ‘iya’ selalu terpikir di sepanjang jalanan New York. Bahkan ia lupa akan kemungkinan untuk ‘tidak’. Dia masih terus berjalan. Tetap pasti.
Hari
masih belum terlalu siang. Pertemuan Daus dengan Lala di ujung jalan mungkin
sudah tertulis dalam buku catatan Tuhan. Tanpa rencana, tanpa mengira, begitu
mudah ia menemukannya.
-o0o-
“Silahkan masuk kak Daus!” Lala membukakan
pintu dari dalam. Beberapa menit Daus dibuat menunggu di pelataran. Kini ia
perlahan masuk ke dalam.
“Iya,
assalamu’alaikum,” jawab Daus ramah.
“Wa’alaikumsalam.
Mari kak...
-o0o-
Entah
hangat yang Daus rasakan berasal dari mana. Apa karena ruangan rumah yang
memang hangat dengan penghangat, juga karena udara luar yang memang dingin. Apa
karena sambutan hangat Lala dan ibundanya, yang kini lebih menghangatkan
suasana.
“Silahkan
duduk nak Daus,” ucap seorang ibu paruh baya berwajah jawa.
“Terima
kasih bu.”
“Wah,
sepertinya nak Daus terlihat sangat lelah. Apa baru datang?” tanya ibu Titut memulai
bicara.
“I..
iya.. bu, tadi setelah dari bandara saya langsung saja kesini. Maaf, sebelumnya
tidak bilang-bilang terdahulu.” Daus duduk dengan gugup dengan kepala
tertunduk. Sekali-kali ia mengangkat kepala melihat sekitar ruangan rumah.
“Nak
Daus sedang kerja apa di Istanbul?”tanya ibu Titut lagi.
“Eh,
tidak kerja ibu. Alhamdulillah, saat ini saya masih berstatus pelajar untuk S2
di bidang Sastra.”
“Ouwh
begitu. Lala sudah pernah cerita sedikit tentang nak Daus kok. Maaf kalau ibu
lupa.” Lala terlihat malu karena disebut oleh ibundanya. Daus pun sekilas ikut
menikmati senyuman Lala yang duduk di samping ibunya.
Musim
dingin kini yang sedang terjadi, sepertinya tidak terasa lagi. Beberapa menit telah
berlalu, berada dalam pembicaraan ringan tapi berkesan sedang Daus nikmati
sebagai penenang. Jantungnya masih berdegup. Tadi degupan itu begitu kencang,
kini sudah mulai berkurang.
Pangeran
kembali mengingat kenapa dia datang. Kemudian ia memperbaiki duduk menjadi
lebih rapi, meski kini menjadi tegang lagi.
“Ibu..”
Daus terlihat ingin memulai pembicaraan serius.
“Iya
nak..
“Kedatangan
saya kemari adalah... u..ntuk melamar Lala, anak ibu,”ucapnya tegas setelah
gugup.
İbu
Titut ibunda Lala terdiam. Sesekali berpandangan dengan putrinya. Daus sekarang
kembali menundukkan pandangan. Ada empat mata yang menjadi tempat air mengalir.
Lala terhisak lebih keras, lalu memeluk ibu Titut yang di sampingnya.
-o0o-
Kini
Daus baru terpikir kata-kata ‘tidak’ yang sempat ia lupa tuk mengingatnya. Optimis
yang ia punya, kini malah seperti pesimis yang datang menyapa. Entah kata-kata
apa yang akan keluar dari mulut mereka berdua, seorang putri dan ibundanya. Daus
masih menunggu dengan seksama. Tangan kanan dia menggenggam cincin yang sudah
dibawa.
“Nak
Daus...
“Iya
bu.”
“Ibu
tahu tentang nak Daus. İbu tahu ada rasa di antara kalian berdua. İbu tahu dari
cerita-cerita yang pernah ibu dengar dari Lala. İbu tahu semua...”
“Begini
nak Daus... “ perkataan Ibu Titut terputus ketika mendengar suara pintu depan
terbuka.
KREEKKK!!!
“Assalamu’alaikum!!”
seorang anak kecil datang berlari dari arah pintu.
“Wa’alaikumsalam.”
Anak
kecil itu berlari ke arah ibunya, Lala.
“Assalamu’alaikum,”
salam kedua datang menyapa. Kini dari seorang pria gagah berkumis tipis berjas
hitam bercelana levis.
“Wa’alaikumsalam.”
Jawab mereka serentak setelah salam.
“Loh,
ada tamu toh?” tanya pria bernama Rahmat itu dengan bahasa inggris yang fasih.
“Iya
abi, ini teman Indonesia umi yang kuliah di Turki,” jawab Lala setelah mengusap
kedua matanya.
Rahmat
menyalami tangan Daus dan saling bertukar senyum. Perbincangan baru kembali
dibuka, tujuan awal Daus sudah terlupa. Artinya, setelah detik ini Lala untuk
Daus bukan siapa-siapa.
Cincin
yang tadi digenggamnya sudah jatuh entah kemana. Daus tak peduli, seketika ia merasa
syok dan terlupa.
Lala
yang ia kira sedang menunggu kedatangannya sejak lama, ternyata hanya perkiraan
yang salah semua. Ibu Titut dan Lala tidak lagi membicarakan asal kedatangannya.
Mungkin mereka merasa Daus sudah mengerti dengan keadaan yang sebenarnya.
-o0o-
Udara
malam New York semakin dingin. Jalanan terlihat sepi sesepi hati Daus yang
kembali sunyi tanpa bunyi. İa masih seperti biasa, memandang langit dengan
bertelanjang mata. İa kembali menghitung bintang yang bertebaran di angkasa. Berulang-ulang
seperti sengaja, menyadarkan diri akan bintang yang dia kira telah terang,
ternyata masih gelap di setiap malam.
Bulan
pun masih bersembunyi seperti cinta Daus yang tak kunjung menghampiri. Masih sendiri
di sudut tepi, kota New York yang kini sudah tak berarti.
-o0o-
Rahmat
adalah pria Pakistan yang menjadi perantara keluarga Lala mendapatkan
hidayah-Nya. Begitu besar jasa yang ia punya, hingga keluarga Lala menerimanya
sebagai imam pilihan Tuhan, yang mengajarkan apa itu iman, bagaimana itu Islam.
“Citra,”
Lala dan keluarga besar dia memanggilnya, anak gadis kecil yang datang saat
Daus sedang menunggu jawaban lamarannya. İya, lamaran Daus sudah terjawab
dengan kedatangan mereka berdua, Rahmat dan Citra, tanpa harus terucap kata
dari Lala dan ibundanya.
Daus
memejamkan kedua matanya. İa berusaha mengingat harum melati yang pernah dia
cium kala bersama Lala. Berkali-kali ia mencoba, namun sayang kini tak lagi
menyapa. Aroma melati itu, kini telah pudar, lalu pergi entah kemana...
NB. Merupakan sambungan cerita sebelumnya "Mengejar Aroma Melati"
keren ceritanya
BalasHapussedikit menusuk hati akan kesetiaan seorang cowok....
tapi ceritanya kok belum lengkap??
Sedang digarap, makanya masih belum lengkap. Makasih dah mampir, jangan bosan yah. :)
BalasHapus