Mengejar Aroma Melati... (1)
Istanbul,
bak kelam tak seburam kertas mika di hadapan seorang pemuda, malam terkesiap
gembira lebih cepat hingga tidurnya menidurkan kelopak matanya.
Bintang-bintang
sedang asyik tersenyum memandang bumi, menyaksikan dirinya dalam lelap dan sepi.
İbarat bintang, mungkin dia satu bintang yang tidak ikut terang di waktu
petang, paling redup dalam sepi, dan mungkin juga sangat sedih dalam sendiri
lagi sunyi.
Kesendirian,
membuatnya tenggelam. Membawanya jauh ke alam yang tak nyata, dalam bayang-bayang
bergambar. Bukan hal aneh. Benaknya sedang berlari mengingat bayangan kekosongan
yang tak juga terisi. Rindu akan cinta. Lalu berucap kata,
“Cinta keberadaanmu mengganggu
hidupku...
Jika benar kau ada...
Hadirlah, tenangkan jiwaku..”
Ia
kembali menatap bintang. Kilauannya bertabur menghiasi kebekuan hati. Ia terus
menatap jauh, mencari bulan yg tampak menghilang. Ada cahaya di seberang sana. Jauh
terlihat, terhalang oleh sesuatu gelap awan malam. “Ah, cintaku dipisahkan
Bosphorus,”gumamnya.
Nampaknya
lautan seberang benar membuat cinta enggan tuk menemuinya. Selat yang
membentang indah dari daratan eropa hingga asia itu mengurung cinta yang sedang
ia rindu. Andai cinta tahu bahwa ia selalu berusaha menatap ribuan bintang di
langit sana. Menghibur sepi tiada tara. “Ah, semoga jodohku juga merasakan apa
yang aku rasa,” ucapnya sambil tersenyum menghibur rasa.
“İya,
ini hanya imajinasiku yang kubesar-besarkan,”katanya dalam hati.
“Atau
mungkin saja sudah waktunya aku meminang Lala, gadis cantik yang berkeliaran
dalam bayangku?” Ia bertanya-tanya sebab rasa sepi yang tak kunjung pergi.
Kini
dalam sapaan bintang yang menjurus kedalam hati, dia berbisik pada malam.
“Aku
harap ini bukan bayang semu, yang segera pergi tak pernah kembali. Kuberkirim salam
wahai malam, untuk dia ada cinta dari sini.”
Dia
bangun dari ranjangnya. Lalu mulai meracik tuangan tinta diujung kelupas kertas
mika, menulis kalimat yang berbait syair-syair cinta untuk Lala yang menunggu
dibalik jendela. Puisi cinta pemuda Nusantara di benua yang jauh, di balik
samudera.
Puisinya
telah usai. Namun hatinya tak kunjung damai. Masih bergemuruh. Seperti air
mendidih.
Tekat
sudah bulat. Tidak mungkin lagi diganggu gugat. Seperti kata Frankie, sebarkan
beritanya. “Besok pagi aku akan ke New York. Bosporus boleh memisahkan aku dan
cinta, namun aku takkan bertapa begini sepanjang masa.”
“New
york sambut aku. Pertemukan aku dengan cintaku.”
-o0o-
Namanya
Daus. İa telah berada dalam tubuh pesawat, seperti kereta kencana yang akan
membawa pangeran bertemu sang puteri. İa memandang kaca di samping kanannya. Sedang
berpikir sesuatu yang dalam.
İa
memutar ulang rekaman cintanya. Jauh dipisahkan oleh Kabataş dan Üsküdar. Dan
perbedaan agama diantara mereka. Tidakkah ini terlalu berat. Agama mereka Islam
dan Kristen. Di Bosphorus cinta itu terbit. İya, memang mereka sudah dekat. Percakapan
renyah yang dulu pernah terjadi, di sebuah kapal besar di tengah Bosporus
Turki. Kini berbuah cinta, berbunga rindu.
“Apa
dia mau menerimaku apa adanya? Tanpa menyinggung agama kami yang berbeda,”
pikirnya lebih dalam lagi.
Tapi
ia telah mendamba. Lalu ia lupakan sejenak perbedaan ini. Cintanya sudah tak
kuasa, seakan kelud yang hendak meledak. Membenamkan dirinya dalam dalam. Cinta
membuatnya tak habis pikir. “Hmmm, pernikahan dua agama,”gumamnya sambil
tersenyum ketika melihat awan pagi dari jendela kaca.
İa
tersenyum sendiri selagi menuruni tangga pesawat. Ia teringat perkataan Lala
saat perpisahan terakhir dulu. "Datangi aku di New York, mungkin aku nanti
akan menerimamu sepenuh hati. Aku tidak bisa jika di Turki."
“Kenapa
tidak di Turki? Apa Turki kurang indah dibanding New York?”tanya dia kecewa.
“Keluargaku
disana Daus.” Lala lari dengan menangis memasuki bandara. Sebuah kertas sengaja
ia jatuhkan, bertulis alamat rumah. New York.
-o0o-
Kakinya
terus melangkah. İa sedang mengembara memperjuangkan cinta. Sebentar lagi sang
pangeran akan bertemu sang puteri. İa membawa cinta, bersama derap tapak dunia.
"Lala,
aku datang."
Langkahnya
penuh dengan semangat menjemput cinta yang akan mengisi kekosongan hati.
Entahlah, apakah Lala masih setia menunggu atau tidak. İa tidak peduli dan
terus melangkah, dengan jantung yang tak karuan berdebar-debar.
Masih
dengan gelayut memori tentangnya, ia menikmati gemerlap New York yang indah,
namun tentu bukan indah ini yang ia damba. İndah rupawan pujaannyalah sebab
kedatangannya. Langkahnya semakin lebar.
Tiba-tiba...
BRUKK!
Seseorang
gadis berkerudung terpelanting jatuh di hadapan dia. Langkahnya segera berhenti,
sebelum tubuhnya menimpa sang gadis.
"Maaf,
kau tak apa-apakan?" Kata Daus tanpa sempat memandang wajah gadis itu.
"Aku yang salah,"kata gadis itu, suaranya
tak asing di telinganya. Wajah gadis itu memandang Daus.
LALA???
Deg.
Jantung Daus seakan berhenti berdetak.
"Lala,
kau kah itu?"
“DAUS???”
Keduanya
beradu pandang. Ada air mata yang menetes dari mata keduanya.
“Iya,
aku Daus La.. aku Daus..”ucapnya seakan tidak percaya dengan kenyataan ini. Lala
sudah berkerudung. Tidak ada perbedaan itu lagi.
“Kenapa
kau tak bilang jika sedang di New York?”tanya Lala sambil membersihkan
pakaiannya yang kotor.
“Aku
datang melamarmu Lala,”ucap Daus tanpa ragu.
“Tapi
Daus, ini masih di tengah jalan.”
“Maukah
kau menikah denganku?” Dia ulurkan cincin pernikahan yang sudah disiapkan
sebelum keberangkatan.
Lala
terdiam.
Seperti
sedang bisu saat menyaksikan kesungguhan pemuda ini. Air mata gadis itu
meleleh. İa menggeleng-gelengkan kepala. Tangisnya meledak.
-o0o-
Bayangan
sang puteri tidak hilang dari kepala pangeran. Ia termangu ketika teringat aroma
melati nan wangi memenuhi rongga hidungnya. Bau parfum yang Lala pakai saat di
Turki. Rasanya ia ingin terus menghirup dan tak membiarkannya hilang begitu
saja.
Ponsel
Daus berbunyi.
"Enes
where are you? İm freezing here. Will you come or not?" Ia mulai geram karena
jemputan yang tak kunjung datang. Enes, seorang pemuda Turki yang pernah ia
kenal di Istanbul.
Bayangan
aroma melati itu hilang. Hilang dalam dingin New York yang beraroma salju. Apalagi
ketidak-tepatan Enes datang menjemputnya. “Orang Turki sama saja, dimana-mana selalu
saja terlambat,”batinnya kesal.
Ia
merogoh kantong sakunya. İa teringat ada sebuah kertas bertulis alamat Lala.
Daus lalu membaca dan mulai bertanya kepada setiap orang yang lewat. Tidak begitu
jauh kata mereka.
“Lebih
baik aku berjalan mengikuti petunjuk orang yang kutanya tadi,”pikirnya. Toh
enes tak datang-datang juga.
"İ’m
going alone. İ have an address of Lala’s house," ia kirim pesan singkat
agar Enes tidak jadi menjemputnya.
-o0o-
“Tapi
ini masih di jalan Daus,”ucap Lala sambil terisak.
“Lamar
aku di rumah, di depan orang tuaku.” Lala berjalan dengan bergegas ke rumah di
ujung jalan itu. Daus mengikutinya dari belakang sambil berlari pelan.
Apartemen
itu ada di seberang jalan. Jalanan besar New York terlihat sedikit ramai. Daus menyeberang
dengan berlari. İa memang takut kala di jalanan.
Entah
apa yang ada di pikiran Daus saat ini. Sunyi itu mungkin sudah menjadi taman
melati. Sepi itu juga mungkin sudah pergi ke awan meninggi. Malam masih
berbintang. Para bintang masih setia memperhatikan bumi. Bintang yang dulu
gelap kini sudah terang. Bulan yang dulu bersembunyi, kini datang menghampiri,
tak lagi membiarkan bintang yang merenung sepi.
NB:
Cerpen yang saya edit dari karya keroyokan beberapa anak FLP Turki hari ini;
Kang Firdaus, Mbak Titut, Citra, Lala, Farid, Nana dan saya sendiri. Terima kasih
semuanya.
Kahramanmaras
Turki, 17 Feb 2014
Komentar
Posting Komentar