Tarian Burung-burung Uskudar
Kupejamkan
mataku, lalu kubuka lagi. Kuulangi kembali beberapa kali secara perlahan. Kurasakan
tiap hembusan lirih angin yang membuat bulu-bulu tubuhku bergerak naik turun. Kuarahkan
pandanganku kepada desiran ombak yang menghempas di tepian jalan itu, jalan yang
berdampingan dengan selat penghubung dua benua ini. Air laut itu bercipratan
kesana-kemari, mereka yang dekat pun tertawa sambil melompat tuk menghindari.
Permukaan
selat ini tidak pernah diam. Arus air dan gelombang seakan seperti bagian dari
tarian burung-burung ini. Kali ini kumelihat dari jarak yang dekat, sangat
dekat. Kuberada di salah satu tepian selat, dihiasi oleh jajaran kapal-kapal
kecil milik para pelayar. Ada niatan, ada pertanyaan, kapan kubisa menyewa
kapal-kapal itu, lalu berlayar menikmati goncangan ombak di tengah selat ini,
membelai langsung burung-burung yang sedang menari, di atas permukaan air nan
jernih, lagi asri.
Aku
yang beruntung, karena telah datang berkunjung. Istanbul adalah kota pertama
yang menceritakan bahwa Turki adalah indah. Kunjunganku saat ini, membuktikan
kebenaran akan keindahan yang Allah ciptakan. Enam bulan kupernah singgah, di
tahun 2011 yang telah lalu, hanya sekilas yang kutahu, maka saat ini kukunjungi,
melengkapi apa yang belum kujejaki.
Uskudar
Nama
burung-burung itu bukan Uskudar. Uskudar hanyalah kota dimana aku akan
mewujudkan impian ia, kuteringat saat dia berkata, yuk kita ke Uskudara. Entah kapan
aku bisa, apakah aku bisa, membawa impiannya dari yang hanya hayalan kepada
alam nyata. Semoga Allah memudahkannya.
Jalanan
Uskudar masih seperti dulu. Orang-orang masih ramai berjalan mengitari jalanan
itu. Kendaraan-kendaraan yang padat, seperti semut yang berdesakan dalam
barisan sambil membawa makanan, perlahan dan penuh kehati-hatian.
Aku
dan kawanku memilih untuk menikmati pemandangan ini. Dua buah manisan bernama halka ada di masing-masing tangan kami. Sembari
mengomentari apa yang kami lalui, mencoba mengingat kembali apa yang telah
terjadi, dulu saat kami sedang disini.
Marmaray
Kereta
ini yang membawa aku dan kawanku dari seberang benua Eropa menuju benua belahan
Asia. Bukan melewati jembatan, seperti mobil ataupun bus besar. Bukan dari atas
lautan, seperti kapal maupun perahu. Tapi melewati sesuatu yang lain, dari
kedalaman bawah tanah 60 meter, di bawah selat antara dua benua itu. Bukan di
dalam air, tetapi di dalam tanah di bawah air.
Kariye Muzesi
Salah
satu musium yang kita lewati hari ini adalah musium Qariyah. Dahulunya adalah
gereja, lalu mesjid, dan yang terakhir sebagai musium. Sayang, ketika pintu
gerbang telah kami sapa, pintunya tertutup rapat tidak terbuka. Langkah kami
pun beralih menuju tempat yang lain.
Benteng-benteng Konstantin
Sisa-sisa
benteng itu masih ada, padahal umurnya sudah sangat lama. Meski tidak sekokoh
dulu, benteng itu ada berdiri disana. Kawanku menawarkan untuk menaiki tangga
benteng itu. Curam dan sempit. Namun kawanku berlari saja ke atas, mungkin dia
sudah terbiasa. Aku berjalan perlahan, anak tangga demi anak tangga.
Subhanallah!
İnilah kota Istanbul dari atas benteng, semua terlihat dan indah. Terbayang bagaimana
dahulu para prajurit menjaga, membangun, dan berada di benteng ini. Hayalanku terbang
ke alam bayangan yang tak tergambarkan.
Rumeli Hisari
Adalah
tujuan akhir perjalanan kami hari ini. Sebuah musium benteng di tepian selat
Bosphorus, setelah melewati beberapa kota, di antaranya ada Besiktas, ada Galatasaray,
sampai ada yang bernama Bebek (baca; bayi). Sepertinya keberuntungan kurang
berpihak kepada kami. Kala kami berlari dengan semangat ingin mendaki, ingin
melihat selat ini lebih tinggi lagi, pintu gerbang ini tertutup rapi. Kami baru
tahu akan tulisan yang tertera disitu; Müze
Çarşamba Günleri kapalıdır, Musium tutup pada hari rabu.
Disini
aku memandangi selat dengan pandangan yang dalam. Aku diam di dekat jendela,
meratapi dari ujung ke ujung, menghitung gelombang yang menggulung, menertawai
burung-burung yang menari di atas permukaan air yang berisi ikan-ikan.
Hmmm,
bau ikan masuk ke dalam hidungku, berdiam di dalam ingatanku, berbisik kepadaku
tuk mencicipi ikan-ikan itu. Kukabari kawanku, mengajaknya tuk mengakhiri
perjalanan hari ini dengan hidangan ikan panggang yang ditata di antara roti. Kota
Eminonu adalah pilihan kami. Dengan ditemani senja sore hari, keramaian tepian
laut kota Eminonu, kami duduk berdampingan menikmati hidangan sore nan lezat
nian; ekmek arasında balık, sebuah
ikan panggang di antara roti.
Not:
Terima kasih banyak kawanku, M. Nurkholiq. Nan baik, telah sudi menemani, hari-hari selama di Istanbul ini.
İstanbul
Turki, 06 Feb 2014
Komentar
Posting Komentar