Bunga Melati yang Hampir Mati (11)
Malam itu begitu tanpa suara. Tak ada jendela yang
terbuka. Pintu rumah Rudi pun tertutup rapat. Angin malam itu tak mendapat izin
untuk masuk mendinginkan ruangan. Padahal udara Istanbul sudah semakin terasa
panas. Rudi tetap tidak menginginkan hal bersuara apapun datang mengganggu
dirinya. Dia ingin ketenangan dan
kedamaian, meski itu semua adalah sia-sia. Kegelisahan di hatinya tidak kunjung
pergi, malah kian menghampiri.
Rudi sedang terbayang keanggunan wajah Siti saat
berkerudung Islam itu. Beberapa kali dia telah berusaha menghilangkan ingatan
wajah itu, namun tak hilang. Wajah Siti lebih terlihat damai dengan kerudung
itu, apakah agama yang Siti pilih itu memang agama yang benar, apakah agama
yang selama ini aku ikuti itu salah, berbagai macam pertanyaan bersarang di
kepala Rudi.
“Aku tidak bisa menerima seorang imam yang bukan
muslim. Tidak bisa...”
Kata-kata itu terus saja terngiang di telinga Rudi.
Mungkin Siti benar, seseorang yang menjadi pemimpin keluarganya haruslah
seorang muslim juga, pikirnya. Sedangkan aku tidak pernah tahu apa itu Islam,
aku hanya mendengar kabar-kabar tentang terorisme Islam saja, bagaimana bisa
Siti ikhlas menerima agama itu, kenapa aku masih ragu dengan agama itu,
panjang-panjang Rudi berfikir, semakin panjang dia berpikir pertanyaan semakin
menjadi banyak, tanpa jawaban.
Zzzzzzttttttttt!!!!!!! Zzzztttttt!!!!!....
Telepon Rudi yang bergetar membuyarkan semua lamunan
itu. Sebuah panggilan datang dari ibunya di tanah air.
“Apa kabar nak?”
“Baik bu. İbu apa kabar?”
“Ibu baik juga nak. Bagaimana keadaanmu? Apa kamu
berhasil mengajak kekasihmu itu?”
“Tidak bu,” jawab Rudi singkat.
“Ibu kan sudah bilang Maria itu tidak pantas untukmu
nak. Dia sudah berani meninggalkan agama kita. Untuk apa lagi kau terus
membelanya?” Rudi mendengar semua kata-kata ibunya.
Rudi terdiam.
“Ibu benar. Besok Rudi pulang bu.”
“Yasudah, kalau sudah sampai bandara hubungi ibu
nanti akan dijemput.”
“Iya bu.”
--=o0o=--
Sepekan telah berlalu.
Udara asing telah berubah, tak lagi aneh dihirup
oleh hidung orang Indonesia, karena ini adalah udara tanah air. Apalagi ditambah
dengan lingkaran janur kuning yang melengkung dan menjadi pintu gerbang
itu. Suasana gembira dan ceria menghiasi
rumah Wildan di Surabaya. Daus pun ada di dalam acara pernikahan itu. Daus
salut dan tak mengira Wildan akan seserius ini. Bahkan Wildan yang selera
permasalahan cintanya tak sekuat Daus, malah mendahuluinya yang sudah lama
berencana untuk berkeluarga.
“Allahu yubarik
fikuma!” ucap Daus ketika menyalami Wildan. Ada tangis haru
antara keduanya, mereka berpelukan. Siti yang di samping Wildan juga tak bisa
menahan tetesan air mata.
“Ternyata bunga yang kau kenalkan kepadaku di
Gülhane Park itu milikku cak,” ucap Wildan masih dengan gaya canda. Senyum,
tawa, dan haru bergabung menjadi satu. Daus menggeleng-geleng kepala untuk
mengatakan tidak. Tapi air mata harunya berkata iya.
Acara pernikahan dilangsungkan dengan sederhana
seperti masyarakat Surabaya pada umumnya. Tidak ada seremoni adat yang begitu
kental khas Jawa Timur. Tadi malam juga tidak ada acara malam Midodareni. Sebuah seremoni yang mana
sang calon pengantin putri dimandikan atau disucikan sehingga tampak secantik
bidadari menjelang pernikahan yang juga bersifat suci hingga prosesi temu
manten dan resepsi. Kini kedua mempelai duduk di sebuah singgasana layaknya
seorang raja dan ratu. Tidak lupa hiasan bunga-bunga menyelimuti panggung itu.
Bunga berwarna putih yang dikenal dengan melati itu bergelantungan di rambut
sang ratu. Para undangan pria duduk dan berada di barisan depan singgasana
sebelah kanan. Sedang para undangan wanita duduk di sebelah kiri. Selain itu,
ada barisan penyambut tamu yang berdiri di sekitar pintu gerbang. Para
lelakinya mengenakan peci hitam dan batik berwarna terang. Sedang para
wanitanya telah berdandan tak mau kalah dengan kecantikan ibu ratu. Setiap tamu yang datang disuguhi kotak
bingkisan dan dipersilahkan untuk duduk.
“Daus uncle!!!!”
Sebuah panggilan dari seorang gadis kecil. Daus
mencari-cari asal suara itu.
“Citraaaa!!!” Daus terkaget.
Citra mendekati Daus, kemudian diangkat dan diciumi
oleh Daus.
“Dont kiss
me!!!” Citra menolak ciuman Daus. Kedua tangannya
memukul-mukul wajah Daus. Tapi Daus tetap saja berhasil mencium gadis kecil
itu.
“Datang dengan siapa?” tanya Daus.
Citra menunjuk sepasang suami istri yang tidak jauh
dari tempatnya berdiri.
“Lala?” perlahan Daus mendekati Lala dan suaminya.
“Kapan datang?” ucapnya sambil menyalami suami Lala
yang bernama Ahmad.
“Barusan saja. Apa kabar kak Daus?”
“Baik Alhamdulillah. Mas Ahmad juga apa kabar?” kini
Daus mengajak Ahmad berbicara.
“Baik baik...” ucap Ahmad dengan bahasa İndonesia
yang masih kaku. Mereka pun tertawa.
“Finally, you
can speak İndonesian brother.”
“Yes, of
course...”
Kami tertawa lagi.
Semua orang berkumpul di keramaian itu dan merasakan
kegembiraan. Daus duduk di barisan kursi depan berhadap-hadapan dan tidak jauh
dari Wildan dan Siti. Daus bersama Citra yang dari tadi tidak beranjak dari
pangkuannya. Daus memandangi wajah cantik gadis kecil ini. Beberapa kali Daus
mencoba menciumnya lagi. Citra diam dan tersenyum tidak menolak seperti
sebelumnya.
Ping!
Ada sebuah pesan masuk.
“Bagaimana acaranya kak?” tanya Rosda.
“Tidak ramai.”
Ping!
“Kok tidak ramai?”
“Tidak ada Rosda disini.” Jawab Daus sambil
tersenyum sendiri.
Ping!
“Kakak sendiri yang tidak mengizinkan Rosda untuk
ikut. Kan Rosda juga ingin pulang ke tanah air.”
“Tidak perlu. Lagian cuman sebentar. Seminggu lagi
kakak akan kembali. Kan tidak enak, masa kakak jalan sama gadis bukan istri
kakak, terus pulang ke tanah air hanya seminggu tidak ada rasanya Rosda.”
Ping!
“Kalau begitu rasain saja kalau sepi.”
“Biar dah,” jawab Daus menyudahi.
--=o0o=--
“Citra sudah sekolah?”
“Belum uncle,”
kata Citra sambil memakan sate.
“Ibu pernah bikin sate tidak?” tanya Daus lagi.
“Pernah, tapi not
delicious seperti ini.” Sebuah jawaban yang membuat Daus menoleh ke arah
Lala yang duduk tidak jauh darinya.
Wanita cantik dan sholehah, semoga keluargamu
bahagia, ucap Daus dalam hati. Beberapa menit sebelum Daus menoleh ke arahnya,
Lala sebenarnya telah memandanginya lama. Citra terlihat begitu akrab dengan
Daus. İtulah yang menjadi pemandangan menarik bagi Lala. Menyadari Daus yang
memandanginya, seketika tangan lembut Lala mengusap matanya yang berkaca-kaca.
Lala takjub dengan ketabahan hati Daus, yang tak berbekas dendam sedikitpun.
--=o0o=--
“Akhirnya, kita telah menginjak acara yang terakhir
siang hari ini. Yaitu, penutup,” ucap pembawa acara yang mirip dengan Siti.
“Itu siapa Citra? Kenal tidak?” tanya Daus
penasaran.
“Adik Mama,” jawabnya pendek.
“Mari kita tutup acara kita pada hari ini dengan
mengucapkan hamdalah. Alhamdulillahirabbil
alamin...”
Para tamu undangan perlahan meninggalkan tenda
pernikahan. Beberapa sanak keluarga Siti berberes-beres membersihkan kotoran
yang ada. Sedang beberapa orang tamu undangan terlihat masih menyalami sang
mempelai untuk berpamitan.
Suara kendaraan-kendaraan pun terdengar. Di tempat
parkiran sepeda motor terlihat ada seorang sosok yang mencurigakan. Dia
mengenakan helm dan jaket hitam. Daus tidak sengaja memperhatikan lelaki itu.
“Wildan awaaaasssss!!!! Daus berteriak
sekuat-kuatnya.
DOORRRRR!!!!
Sebuah peluru telah melesat cepat dari senjata orang
mencurigakan itu. Masyarakat pun semakin kalang kabut. Semua orang berlari
mencari perlindungan. Sedang penembak itu bergegas hendak kabur.
“Tangkap orang ituuuu!!!” teriak Daus lagi.
Namun teriakan itu kalah cepat dengan pergerakan
sang penembak. Dia telah menyalakan motor dan pergi. Beberapa polisi yang ada
pun berusaha mengejarnya.
“Tahan sayang. Tahan dengan kuat...” ucap Wildan kepada
istrinya.
“Sakit mas... sakit...” rintih Siti sambil menangis
dan memegang pundaknya yang berdarah.
“Angkat.. angkat Siti ke dalam...”
Beberapa orang berusaha mengangkat Siti dan
membawanya ke dalam rumah.
“Bunga Melati yang Hampir Mati” adalah cerita
sambungan dari “Seperti Bunga Matahari.”
A4, Kahramanmaras Turki, 03 Mei 2014
Komentar
Posting Komentar