Bunga Di Awal Semi (3)
Tidak
ada daun yang bertengger di atas pepohonan Istanbul. Mungkin saja ada, tapi tak
sehijau di waktu musim gugur belum menyapa. Daun-daun mengering, berjatuhan
dihempas angin. Kini pohon-pohon itu berdiri tanpa dedaunan, yang tersisa hanya
ranting-ranting kering dari kejauhan. Terlihat seperti mati.
Pohon-pohon
itu sedang berusaha hidup di musim dingin. Apalah arti daun, jika jantung pohon
malah mati. Lebih baik tanpa daun, biar bunga-bunga sakura tumbuh di musim semi
nanti.
-o0o-
Hati
Daus masih seperti pepohonan itu. Tanpa daun yang hijau.
Kepergiannya
ke New York telah berbuah buah yang sangat pahit. Entah New York itu pohon apa,
hingga buahnya terasa sangat pahit. Dia menyesal. Menyesali dirinya sendiri, karena
dia begitu tergesa-gesa untuk pergi, tanpa mencari tahu kabar sang kekasih.
Nasi
sudah menjadi bubur. Untuk apa dia menyesal, jika bubur tidak pernah menjadi
nasi lagi.
Namun
dia kini menyadari, kesalahan yang ada pada diri dia sendiri. Perkataan Lala
waktu itu,
“Datangi
aku di New York, mungkin aku nanti akan menerimamu sepenuh hati. Aku tidak bisa
jika di Turki."
Ternyata
percakapan itu sudah lama sekali. Daus lupa akan waktu. Dia mengira ucapan itu
baru kemarin sore. Sayang, bukan kemarin sore, akan tetapi dua tahun silam. Dua
tahun tanpa ada komunikasi, masihkah membekas cinta di hati kekasih.
-o0o-
Di
sebuah jalan menuju Beşiktaş pemandangan keramaian begitu mencolok mengisi sisa
hari yang hanya tinggal beberapa menit lagi. Sore itu perlahan menjadi senja. Matahari
kekuning-kuningan tampak menghilang perlahan-lahan.
Daus
duduk dalam sebuah bus umum, memandangi senja dan burung-burung yang menari di
atas selat Bosporus dari sebuah kaca.
-o0o-
“Mohon
maaf! Bisakah anak kami duduk di tempat tuan. İa ingin melihat selat lebih
dekat,” kata seorang ayah yang membawa anaknya dengan Bahasa Inggris yang fasih.
“Owh
tentu tuan,”ucap Daus sepontan lantas mempersilahkan anak itu duduk.
Wajah
anak itu tampak begitu gembira melihat warna kuning yang perlahan tenggelam
itu. Sedang Daus tidak seperti itu. Terasa sulit sekali menyunggingkan senyum
di bibir. Berkat anak itu, Daus sedikit tersenyum lepas.
“Bahagianya
anak ini. Masih polos, belum terluka oleh cinta sepertiku,”gumamnya dalam hati.
Daus
berdiri dalam keramaian bus. Orang yang menumpangi semakin bertambah dari durak ke durak. Durak adalah tempat menunggu bus di Turki.
“Mas,
bisa pinjam Istanbul cardnya tidak? Kartu saya hilang,”ucap seorang gadis tak
berkerudung yang baru saja menaiki bus.
“Biar
uangnya saya kasih ke mas nanti ketika turun,”sambungnya lagi.
“Iya,
silahkan,” kata Daus sambil mengulurkan tangan untuk memberikan Istanbul card
dia.
-o0o-
Gadis
itu berwajah melayu. Dia bisa berbahasa Indonesia dengan lancar. Mungkin dia
seorang mahasiswi di Istanbul, tebak Daus.
“Mau
kemana mbak?”
“Ke
Galatasaray mas. Kalau mas sendiri?”
“Saya
ke Beşiktaş kok. Kalau begitu uangnya gak usah saja. saya kan turun duluan.”
“Wah
jangan mas. Saya kan udah janji ganti tadi,”ucap gadis itu.
“Tidak
apa-apa. Anggap aja sebagai salam perkenalan.” Daus selalu tersenyum ketika
memandang wajah gadis itu. Tentunya tidak berlama-lama. Dia sadar gadis itu
bukan muhrim dia.
“Terima
kasih banyak mas. Eh, nama saya Rosda mas. Kalau mas?” tanya gadis itu.
“Saya
Daus, Jannatul Firdaus.”
“Hehe..
loh, kok seperti nama cewek mas?” tanya Rosda sambil menutup mulut tertawa.
“Eh,
iya.. orang tua ngasih namanya begitu, mau gimana lagi. Yang pentingkan artinya
bagus,”jawab Daus membela.
-o0o-
Daus
telah turun dari Bus. Kini ia berjalan menuju rumah kediamannya sambil diiringi
oleh kumandang adzan yang saling bersautan dari masjid ke masjid. Allahu Akbar...
Allahu Akbar...
Sebelum
turun dia sempat bertanya, tenyata Rosda masih pelajar lise. Lise adalah sebutan untuk sekolah menengah atas di Turki. Orang
tuanya tinggal di Turki. Ayahnya asli Indonesia dan ibu asli Istanbul.
“Makanya
dia tampak cantik sangat,”gumam Daus “Ternyata gabungan dua genetik,” tambahnya
lagi.
-o0o-
Daus
ingat ada banyak bunga-bunga di sepanjang jalanan tadi. Bunga-bunga itu ada di
ranting-ranting pepohonan. İya, pepohonan yang tanpa daun itu. Kini telah
berbunga, pertanda musim semi akan tiba.
Daus
kembali meratapi bintang. Kali ini bintang tampak lebih jelas.
“Apa
Rosda itu bunga di awal musim ini bintang,”tanya Daus kepada bintang.
Bintang
diam tanpa suara. Bintang hanya menunjukkan kelip cahaya yang tak sempurna. Mungkin
saja itu berarti ‘iya’. Daus tersenyum dibuatnya.
Daus
masih berumur muda. Meski dia adalah pelajar S2 namun umur ternyata masih S1. Dia
menuliskan sesuatu di atas kertas putih, di atas meja belajarnya.
“S2
dan Lise!”
Begitulah
tulisannya. Dia menulis berulang-ulang. Berlembar-lembar dengan tulisan yang
sama.
Sepanjang malam ia mengingat Rosda. Dia sedang
mengingat-ingat dan bertanya-tanya, “Parfum bunga apa yang dia pakai saat itu,”
pikirnya. “Bukan melati pastinya,”ucapnya sendiri.
Sebuah
syair musim semi dia tuliskan,
Ranting kering, tak hidup tuk kedua
kali
Di sebuah tanah empat musim,
berkata sesuatu yang lain
Bukan daun yang tumbuh di atas
ranting kering,
Namun bunga yang hendak bersemi
Penjemput hijau di esok hari
Daus
sedang mempertanyakan cinta. Dia mencari-cari Lala, namun tak menjumpainya lagi
di dalam hatinya. Lala bukanlah cinta sejati, namun apakah Rosda menjadi pengganti?
NB:
Sambungan cerita “Aroma Melati, Kini Pudar dan Pergi.”
Kahramanmaras
Turki, 05 Maret 2014
Komentar
Posting Komentar