Di Balik Bunga Dan Awal Cinta (7)



Langit Istanbul tidak secerah hari-hari biasa. Malam itu purnama terlindung gumpalan awan-awan hitam. Hawa dingin terbang bersama hembusan angin kencang, terombang-ambing seperti halnya ombak selat Bosphorus yang bergelombang tanpa ada keseimbangan, seakan ia berucap, “Aku ikut kemana saja arus pergi.”


 TAKK!!! JEDAARR!!!

Jendela kamar Daus terhempas oleh angin keras dari luar.

“Astaghfirullah!!!” Daus terjingkat lalu bangun dari kursi sofa tempat dia tertidur.



Layar laptop masih menyala. Pertanda memang lelah telah menyapanya petang itu. Bahkan email-nya pun masih terbuka sebagaimana mata dia belum terpejam kala malam. Sebuah pesan,

Kak, boleh minta nomer telfon kak Daus?

-o0o-


Pukul 03.00 dini hari.

Daus berlainan kamar dengan Wildan, namun masih berdampingan. Dari kaca pintu terlihat jelas bahwa lampu kamar Wildan masih menyala. Sudah lama Daus takjub dengan sahabat serumahnya ini. Tiada malam berbalut gelap, sepanjang malam tak pernah lelap, tubuh Wildan selalu tegap, dengan kamar yang selalu bercahaya.

Ada satu hal yang Daus fahami dari Wildan. Wildan ketika bersama sesama selalu saja tampak biasa, namun berbeda tatkala bersama sang Pencipta malam yang gelap pun berganti cahaya. Daus merasa malu dengan dirinya.

Daus tidak ingin menggangu.

İa perlahan ke belakang, mengambil air wudhu dan sarungan.

Kala terbangun di tengah malam, tidak semua orang merasa senang, tidak juga sedikit yang bersyukur kepada Tuhan. Daus kembali memahami akan hal itu; bahwa benturan jendela adalah perantara kasih sayang Allah kepada para hamba, yang seakan berkata, “Bangun Daus, ungkapkan kegundahanmu kepada Rabbmu yang sedang menunggu!”

İya, Allah lebih tahu tentang kebutuhanku daripada aku sendiri, bisik Daus pada diri sendiri.

Malam yang dingin telah berangsur menjadi hangat. Di atas sebuah sajadah Daus menengadah, dan berdoa,

“Ya Allah, tiada yang memiliki kasih sayang melebihi kasih sayang-Mu. Hadiahkan pada hamba-Mu yang hina ini kasih sayang itu sendiri, agar hamba bisa mengasihi setulus kasih sayang sejati kepada wanita pilihan-Mu Rabbi. Tunjukkan jalan lurus-Mu, jalan para Anbiya’ jalan para kekasih-Mu. Amin.”

Doa itu terucap begitu saja, bukan dengan rencana sebelumnya, doa yang ikhlas dari kata hati yang mengharap kebaikan sebagaimana yang Allah inginkan.


-o0o-
   


Pagi-pagi sekali Daus dan Wildan berjalan layaknya di kampung dulu yang pernah mereka lakukan selepas subuhan. Kata Wildan,

“Cak, sampean ingat nggak? Kalau habis subuh begini ngapain di kampung?”

“Haha.. ingat lah! Biasanya kami bersama beberapa anak kampung setelah subuhan di langgar ya berjalan santai, masih pakai sarung dan peci. Sambil menggerakkan tangan ke depan dan ke belakang. Olahraga praktis ala kumpung dan, sama seperti kita sekarang. Cuman bedanya kita gak pakai peci dan sarungan. Hehe...” jawab Daus panjang.

Iyo cak, di Turki subuh gini sepi ee... Semuanya sedang asyik berguling-guling di atas kasur di bawah selimut. Sayang sungguh sayang...”

“Tidak semua cak, ada banyak juga yang rajin seperti kita kok. Cuman mungkin kita tidak tahu saja. iya toh?”

“Iya cak Daus. Eh, katanya dapat pesan dari Rosda? What is that?

“Cak cak.. Kepo aja loe yee...”

“Katanya kita sehati, ya saling berbagi dong. Kalau gue punya kabar kan juga ngasih kabar ke elo cak,” jawab Wildan sambil berjalan santai.

“Kalau sehati berarti loe sudah tahu kan?”

“Lah, itu kan bahasa gombal hahaha....” kata Wildan sambil terbahak.

“Hussss.. ganggu wong turu sekampung!!

“Eiiittt... Cak! obrolan kita sudah seperti Cak Sura dan Boyo saja?haha..”

Mereka berdua tertawa membahana di pagi buta. Beberapa orang Turki yang lewat seketika menoleh ke arah mereka. Sekilas juga Daus dan Wildan pura-pura diam tak memperhatikan.

“Dan, hari ini sepertinya aku ingin mencari tahu banyak hal tentang si Rosda. Aku penasaran dengan sesuatu di balik bunga tulip itu,” ucap Daus.

“Kalau mau melihat sesuatu yang di balik bunga tulip ya tinggal bolak-balik saja bunga tulip depan rumah kita itu. Apa hubungan tulip sama Rosda.”

“Maksudnya ya Rosda itu saja cak. Ane kan sastrawan, pahamilah bahasaku.”

“Halah, sastrawan bagaimana? Buktinya aku saja nggak faham bahasamu.”

“Sudahlah canda di pagi buta ini. Tidak enak dilihat orang. Bagaimana caranya menurutmu cak?”

Wildan diam seakan sedang berfikir. İa melentikkan jari telunjuk tangan kanan dan meletakkan jari telunjuknya itu di jidat, lalu pindah ke hidung, lalu jari telunjuknya bergerak pindah menepuk-tepuk bibirnya. Sedang Daus hanya memperhatikan tingkahnya sambil masih berjalan.

Wildan masih saja berfikir, matanya melirik ke arah langit, jarinya pindah ke pipi dan menepuk-tepuk pipinya lagi, tapi mulutnya seakan hendak berbicara namun dibatalkan kemudian diam lagi. Daus tidak kuasa lagi.

“Halah! Kelamaan!!!”

“Hahaha!!” Wildan kembali tertawa senang melihat Daus sengsara menunggu. Daus geleng-geleng heran dengan sikap Wildan yang tidak berhenti bercanda.

“Dasar periang gak tahu waktu,” ucap Daus kesal.



 -o0o-



Kak, apa kabar? Sedang dimana?
Maaf ini siapa ya? Rosda? Baik-baik, lagi di kampus nih, mau pulang.

Wah, kebetulan Rosda juga sama.
Ada apa? Apa ada perlu sama kakak?

Hmm.. iya kak, temenin Rosda minum teh kak, mau tidak?
Cuman minum teh? Dimana?

Di cayhane yang dekat pemberhentian Beşiktaş tahu nggak kak?
Tahu, mau disana aja?

Yups... Rosda tunggu ya..
Oke. Sudah disana toh?
Tidak, cuman dekat.

Tamam görüşürüz.
Görüşürüz.

Daus keluar dari kelas kuliah. Puluhan pesan langsung menghampiri. Rosda ternyata gadis yang aktif. Daus yang biasanya aktif kini tiba-tiba berubah pasif.

Dan, dimana? Ane pulang agak terlambat ya, haberin olsun.
Sebuah pesan Daus kirim ke Wildan.

Oke.
Jawaban singkat datang.

Daus sudah terbiasa berhadapan dengan wanita. Tidak sedikitpun dia bersikap gugup saat di hadapan mereka. Namun kali ini degup jantung Daus berdetak lebih cepat. Berkali-kali tangannya diletakkan di daerah dada. Degupan semakin terasa. Dia teringat saat di awal berjumpa dengan Lala di atas kapal itu. Detak jantung yang sama, pikir Daus.

Daus kembali merasa bingung bagaimana cara menatap Rosda saat berjumpa nanti. Daus memejamkan mata. Berusaha menenangkan hati.

Entahlah sudah berapa kali dia mencoba, yang dia lakukan hanya berujung sia-sia.

Apa perlu baca doa yang telah dia hafal sebelum masuk ujian, pikir Daus. Baca saja, tambahnya lagi pada diri sendiri.

Rabbissyrahli shadri wa yassirli amri. Ya Allah lapangkanlah dadaku dan permudahkanlah urusanku. Amin.”

İya, Daus memang sedang menghadapi  ujian. Ujian bersama wanita bukan muhrim adalah urusan berat. Akan ada banyak peraturan yang harus Daus taati sebagai seorang muslim yang baik. Sahabatnya Wildan seringkali menasehatinya untuk berhati-hati saat bersama wanita, tentunya gaya bahasa yang digunakan Wildan sama dan penuh canda. Meski kadang Daus sendiri melihat si Wildan yang belum berhasil mengaplikasikan dalam dirinya sendiri.


-o0o-


“Kak Daus, maaf mengganggu sore hari begini,” ucap Rosda sambil mengaduk gula yang baru saja dia masukkan ke dalam gelas teh hangat.

“Enggak, kak Daus kosong kok. Ada apa? Rosda punya masalah?”

“Kak, sudah lama aku berusaha menghibur diri sendiri. Bermain dengan kamera dan memutari bunga-bunga. İya, sebenarnya aku terhibur kak. Tapi kadang bosan masih terus datang,” terang gadis Lise itu.

“Emang di rumah gak ada teman?” tanya Daus mencari tahu.

“Ada. Kak Aziz yang juga bikin bosan.” Wajah Rosda berubah murung.

Daus merasakan hal berbeda. Gugup itu telah hilang. Daus untuk yang pertama kali merasa dibutuhkan oleh seseorang. Rosda gadis kenalan yang ia temui di bus itu menghadirkan tenang saat bersamanya. Gadis itu pun merasa nyaman bercerita kepadanya. Pada saat yang sama Daus tersenyum bahagia, pada saat yang lain dia merasa bersalah telah berduaan dengan gadis yang bukan mahramnya.

“Kak Aziz itu siapanya Rosda?”

“Hmm...

Sebuah nada dering berbunyi tiba-tiba. Daus merogoh saku celananya dan mengambil handphone-nya. Lalu ia mengangkat jari telunjuk kepada Rosda, berarti tunggu sebentar.

“İya, hallo. Assalamu’alaikum. Ada apa cak?”

“Daus. Wassalam. Cak aku pergi ke tempat Siti,” ucap Wildan sambil terengah-engah seperti berlari.

“Ada apa sih?”

“Siti dalam bahaya, sampean kalau mau ikut pergi ke Uskudar ya. Dia disana.”

“Ya sudah aku kesana sekarang.”

Tutt.. wildan sudah menutup telfon.

Suasana berubah dalam sekejab. Daus bingung bagaimana harus mengutarakannya kepada Rosda yang baru saja duduk dan memulai cerita.

“Rosda, teman kakak barusan telfon. Kakak harus pergi,  ada teman di Uskudar yang dalam bahaya.” Kata Daus tegas.

“Ada apa kak?” Rosda pun tiba-tiba pucat.

“Ntar kakak ceritakan. Kakak tinggal dulu yah. Assalamu’alaikum.”

Daus langsung berlari ke seberang. Sebuah taksi yang lewat dia berhentikan. Daus pergi.

“Di Balik Bunga Dan Awal Cinta” adalah cerita sambungan dari “Bunga di Gülhane Park.”
Kahramanmaraş Turki, 17 Maret 2014









Komentar

Postingan Populer