Bunga di Gülhane Park (6)
“Daus.. us.. Bangun shalat subuh dulu,” kata Wildan
teman serumah Daus.
“Daus, cepetan bangun, waktunya dah mau habis..”
“Iya.. iya..”
Daus membalikkan badan. Membuka mata sambil memicing
secara perlahan. Cahaya lampu terlihat sangat silau. İa menutup matanya dengan
tangan.
-o0o-
Wildan adalah seorang mahasiswa di Istanbul University, berasal dari
Surabaya. Seorang anak yang kaku dan sudah berumur. Dia selalu saja berfikir
untuk segera menikah akan tetapi belum juga mendapat jodoh hingga kini.
“Dan, temenin aku nemuin cewek ya,” kata Daus
selepas shalat.
“Wah, dimana cak?
Aku gak ada kerjaan sih.”
“Di Gülhane Park ntar siang. Mau kan? Pean kan anak ilahiyat mestinya tahu seorang cowok tidak boleh berduaan dengan
cewek bukan muhrim. İya toh? “
“Siapa toh ceweknya?”
“Si Lala..”
“Hah! Lala yang sampean
datangi sampai ke Amerika itu?” tanya Wildan sambil mengerutkan dahi.
“Iya. Dia lagi di Turki. Nggak tahu juga kenapa.”
“Mau ngajak sampean
kawin kabur kali hahaha...”
“Husss! Ngawurrr... cewek baik-baik tauu..” ucap
Daus.
“Yah, pakai dibela lagi haha...
-o0o-
Gülhane Park, sebuah taman besar yang pernah menjadi
taman bagian luar İstana Topkapı, tidak pernah sepi pengunjung. Dahulu disini
digunakan untuk tempat rekreasi, taman bermain, dan rumah kopi, bahkan pernah
dibuat kebun binatang kecil di taman ini. Sejak tahun 1912 taman ini dibuka
untuk umum. Dan setelah renovasi besar-besaran kebun binatang dihapus dan taman
dibangun kembali dengan gaya modern. Musim dingin sudah berlalu dan musim semi kini
sedang berjalan menghampiri. Pohon-pohon di dalam Gülhane Park sudah mulai
menunjukkan keindahan bunga-bunga sakuranya, meski terlihat masih sedikit. Gülhane
Park yang berarti taman bunga mawar atau “Rosehouse”
sebentar lagi akan ramai dengan bunga-bunga musim semi. Kini yang banyak
terlihat hanya tulip-tulip.
Lala sedang duduk di sebuah bangku panjang. İa tidak
sendiri. Di sampingnya ada seorang gadis İndonesia, berkerudung dan juga manis.
“Assalamu’alaikum..” sapa Daus kepada mereka.
“Wa’alaikumsalam. Apa kabar kak?” ucap Lala sambil
berdiri menyambut kedatangan Daus.
“Baik. Lala bagaimana?”
“Baik juga kak. Owh iya.. perkenalkan ini Siti adikku.”
“Saya Daus dan perkenalkan juga ini Wildan teman
serumah kakak.”
Siti, gadis berkerudung yang manis. Ketika tersenyum
giginya saja tak tampak. Ada relung di kedua pipinya. Wildan menjadi salah
tingkah saat menatapnya. Seperti menggaruk-garuk tangan yang tidak gatal atau
pura-pura melihat sekitar ketika mata gadis itu melihat dirinya.
“La, kita ngobrol di kafe terdekat saja yuk. Masa
sambil berdiri gini?”
“Tadinya juga mau bilang gitu kak,” Lala tersenyum.
-o0o-
İstanbul di bagian manapun terlihat sangat ramai,
apalagi di daerah sekitar Gülhane Park ini. Hampir semua objek wisata İstanbul
berada disini. Seperti Alun-alun Sultanahmet yang tidak jauh dari taman ini:
merupakan salah satu lapangan Istanbul yang terpenting. Pada zaman kekaisaran
Bizantium digunakan sebagai hipodrom. Tanda-tanda penting seperti Musium
Ayasofia, Mesjid SultanAhmet (Mesjid Biru), Yerebatan Sarnici (Basilica
Cintern), Dikitas (obeliks) berada di alun-alun Sultanahmet.
Masjid Sultan Ahmet merupakan salah satu karya seni
paling penting milik Sedefkar Mehmet Pasa. Dibangun bukan hanya sebagai tempat
beribadah, melainkan pada waktu yang sama sebagai pusat pendidikan, dagang, dan
kegiatan social. Disebut sebagai “Masjid Biru” karena dibuat dengan hiasan
20.000 keramik biru. Di sampingnya ada Musium Ayasofya yang dibangun sekitar
tahun 532-537 Sebelum Masehi.
-o0o-
“Katanya datang sendiri? Bukannya ada adikmu juga?”
tanya Daus ingin tahu.
“İya kak, tadinya sendiri. Tapi itu sebelum ketemu
adikku. Dia baru saja datang kesini.”
“Hmm.. Siti kuliah juga?” tanya Wildan ikut andil
dalam berbicara.
“İya kak. Alhamdulillah tahun ini mulai.” Jawab Siti.
“Jadi adik Lala kuliah di İstanbul juga? Kok baru
tahu aku ya La..”
“İya.. aku juga kesini karena mau menjenguk adikku
ini kak. Maaf belum sempat cerita sebelumnya...”
“Loh, kirain mau... auuu sakit!!” Daus mencubit
pinggang Wildan yang hendak berbicara ngelantur.
Wajah Daus memerah. Beberapa kali dia mengancam
Wildan dengan isyarat mata agar tidak berbicara yang tidak mengenakkan. Hidangan
teh panas pun mereka nikmati dengan penuh rasa. Udara yang masih belum terlalu
cerah menyebabkan dingin. Biasanya di pergantian musim seperti ini banyak yang
malah menjadi sakit. Teh panas yang dikenal dengan çay oleh masyarakat Turki menjadi penghangat di saat dingin.
“Citra mana? Kok tidak diajak?” tanya Daus membuka
pembicaraan.
“Citra lengket sama neneknya. Sebenarnya ibu yang
tidak mau berpisah dengan Citra. Makanya anakku tidak aku bawa. Lagian aku
sebentar kok disini.”
“Gini kak. Ada satu hal yang ingin aku bicarakan
dengan kak Daus. Kami mempunyai masalah. Maka dari itu aku menghubungi kak
Daus. Aku tidak punya kenalan lain disini.”
“Ada masalah apa? Sepertinya serius.”
“Sebenarnya kami sekeluarga baru setahun masuk
İslam. Siti juga begitu, tapi dia masih punya masa lalu yang membayang-bayangi
sampai kesini.” Jelas Lala.
“Maksudnya?”
“Sejak Siti masuk İslam dia diputus oleh pacarnya
yang Kristen. Namun beberapa bulan terakhir kami mendengar pacarnya pergi ke
sini untuk mencari Siti.”
“Aku takut akan ada apa-apa dengan Siti kak,” ucap
Lala sambil melihat ke arah Siti.
Daus dan Wildan memperhatikan dengan serius. Mereka seperti
akan menghadapi persoalan yang tidak kecil.
“Jadi begitu permasalahannya. İnsyaAllah kakak dan
Wildan bisa bantu semampunya. Siti tinggal dimana?”
“Masih di daerah Fatih kok kak, tidak jauh dari
sini,” kata Siti yang dari tadi diam.
“Oke. Siti hati-hati ya, jangan keluar rumah
sendiri. Kita sedang berada di negara orang, jauh dari kerabat. Kalau ada
apa-apa hubungi kak Daus atau kantor konsulat yang di İstanbul. Ya sudah,
tenang saja,” Daus berusaha menenangkan mereka.
“İni nomerku dan Daus,” Wildan menjulurkan kertas
tisu yang bertulis nomer.
-o0o-
Mereka berpisah. Lala berencana pulang ke New York
malam ini. Daus dan Wildan pulang ke rumah. Perjalanan mereka pun panjang harus
menaiki tramvay menuju Kabataş dahulu. Lalu setelah sampai di Kabataş naik bus
lagi ke arah Beşiktaş. Namun bagi mereka yang tinggal di İstanbul perjalanan
jauh seperti itu sudah biasa.
“Daus, kira-kira Siti mau nggak ya sama ane?”
“Tanya aja sendiri ke Siti-nya. Mana kutahu,” jawab
Daus cuek.
“Jangan pakai cara seperti biasanya. Mau sampean jadikan korban keberapa si Siti
ini. Jangan terlalu percaya diri, jangan juga terlalu memaksa kalau memang
Sitinya tidak suka.”
“Yee... Syirik ajaa... Kita lihat aja nanti..”jawab
Wildan.
“Jangan kayak yang kemarin..”
“Yang mana?”
“Yah, pura-pura lupa, itu cewek Turki yang kita
ikuti kemarin.”
“Dianya memang nggak mau sama aku cak. Mau gimana
lagi?”
“Lawong
caramu yang salah. Masa mau mengungkapkan cinta langsung dengan menyapa cewek
dari belakang bilang bakar mısın (maaf
permisi) haha... kayak sedang tersesat dan menanyakan alamat wae cak cak.”
“Mengungkapkan cinta itu ada tahapnya. Perkenalan dulu,
jangan langsung i love you. Tunjukkan
kalau pean memang benar-benar cinta,
baru kalau dia sudah merasakan kenyamanan berada di samping sampean, monggo bilang i lopyuuu,”
tutur Daus panjang lebar.
“Halah, kayak dewa cinta saja kamu cak. Tidak ingat pas ditolak di New York
kemarin. Haha...”
“Asyem...”
-o0o-
Daus membuka email. Ada dua buah pesan masuk. Keduanya
dari Rosda. Pesan pertama berisi foto-foto bunga tulip yang diambil sore itu. Satu
lagi,
Kak, boleh minta
nomer telfon kak Daus?
“Bunga di Gülhane Park” adalah cerita sambungan dari
“Ini Bukan Tulip.”
Kahramanmaras Turki, 14 Maret 2014
Calon Novelis hebat A. Aziz penerus A. Fuadi... terus menginspirasi
BalasHapusAmin. Wah, saya bahagia sekali kang Budy mau berkomentar disini. Terima kasih banyak kang. :)))
BalasHapusBukan hanya tubuh yg perlu diisi, terima kasih kembali atas ilmunya yg terus dibagi. salam
HapusMari berkarya! :)
BalasHapus