İni Bukan Tulip! (5)
Daus sedang melihat-lihat hasil foto yang telah dia
ambil dengan telefon genggamnya. Di sedang terpesona dengan warna keindahan
dari beberapa bunga tulip itu.
Jari jempol Daus terhenti di sebuah foto. Dia terdiam.
Lalu tersenyum.
-o0o-
Hari itu terlihat sangat cerah. Di setiap mata
memandang ada banyak orang yang meramaikan jalan. İya, ini adalah pusat kota
New York.
Tidak
mendapatkan hasil dari tujuan awal kedatangan Daus ke New York, menjadikannya
memilih untuk berjalan-jalan sembari menikmati kota yang sangat terkenal dan
terdengar di telinga seluruh orang di dunia.
Musim
di kota ini masih dingin. Pepohonan pun terlihat tanpa daun, hanya tertinggal
batang dan ranting. Udara dingin pun sedikit menusuk tulang belulang Daus. Hawa
sedang di bawah titik beku.
“Kak
Daus!” sebuah teriakan terdengar dari arah belakang. Daus menoleh. Langkahnya terhenti.
“Lala?”tanyanya dalam hati.
“Siapa dia?” Enes yang di samping Daus bertanya.
“Lala yang pernah kuceritakan itu..”jawab Daus.
Enes
tidak menanyakan pertanyaan lain lagi. Dia tahu keadaan sebenarnya dari cerita
kehidupan Daus. Lala bukan tipe wanita yang setia, pikir Enes.
“Bos ver, haydi gidelim. Udahlah, jangan
hiraukan, kita pergi saja.”
“Yok.. Bekle..Tidak.. Tunggu sebentar...”
“Biarkan
dia datang kemari...” ucap Daus tenang.
-o0o-
Mereka
duduk di sebuah bangku di bawah pohon kering. Enes menunggu dengan berdiri
tidak jauh dari mereka berdua. Hembusan angin menerpa, hawa dingin pun semakin
menusuk.
“Ada
apa La?”
“Tidak
ada apa-apa. Tadi aku tidak sengaja melihat kakak di jalan. Makanya aku
menghampiri kakak.”
“Kapan
kembali ke Turki?” tanya Lala.
“Entahlah.
Mungkin secepatnya. Aku sudah tidak mempunyai urusan disini.”
Hening.
Yang
terdengar hanya hembusan angin. Enes terlihat sedang menghisap rokoknya. Asap juga
keluar dari lobang mulut dan hidung Daus dan Lala. Pertanda dingin sangat
terasa.
“Udara
semakin dingin. Habis ini mau kemana?”
“Aku
mau mengembalikan ini. Sepertinya terjatuh ketika kakak di rumahku dulu,” jawab
Lala sambil mengulurkan sebuah cincin.
“Maafkan
aku. Mungkin aku bukan orang yang tepat untuk cincin itu.”
Hening.
Daus
memutar-mutar cincin.
“Aku
yakin kakak akan menemukan yang lebih baik dariku. Aku yakin..” air mata Lala
terurai. Namun tidak membeku seperti air di genangan jalanan.
“Selama
ini aku salah. Aku salah mengira,” kata Daus.
“Aku
pikir ini sudah tepat dan tidak akan meleset. Namun ternyata... Aku lupa
bertanya kepada sang Kuasa. Aku juga salah..”
“Maafkan
aku juga La... yang telah meninggalkanmu tanpa kabar. Maaf..”
-o0o-
Daus
dan Enes pergi ke kawasan Times Square.
Malam itu mereka akan berkunjung ke tempat ini. Menikmati dingin yang kian
mendingin. Sedang Lala kembali pulang ke kediamannya. Mendekati kehangatan yang
telah ia temukan.
Aroma
melati perlahan pergi, hilang di tengah-tengah udara persimpangan jalan utama
di Manhattan. Mungkin tak akan pernah tercium lagi.
-o0o-
Daus
masih memandangi foto gadis itu. İya, memang gadis itu cantik dan indah,
seindah tulip yang sedang mekar, secantik pemandangan taman tulip dari
kejauhan.
Daus
sempat memberikan alamat emailnya kepada Rosda. Kata Rosda malam ini foto-foto
akan dikirimkan melalui email. Hari telah malam. Sudah berkali-kali Daus
menengok dan membuka emailnya.
Kosong.
Tidak
ada inbox yang masuk.
Daus
kembali melihat langit Istanbul.
Bintang-bintang
itu kini jarang muncul. Mendekati musim semi bukan berarti membuat cerah
hari-hari. İni masih hari-hari pergantian musim. Masih sering mendung. Masih sering
hujan. Masih terasa dingin.
Secarik kertas. Lalu dia mulai menulis,
Di hari yang tak terkira
Di antara keindahan bunga-bunga
Seperti halnya cinta
Sesuatu yang datang tiba-tiba
Apakah benar itu tulip namanya?
İa berdiri dimana tulip berdiri
İa tersenyum layaknya tulip
tersenyum
İa indah sebagaimana tulip indah
İa bukan tulip?
Bukan...
Tapi...
İa lebih indah dari tulip itu sendiri...
Daus
kembali menilik email yang dari tadi sudah terbuka. Ada satu pesan masuk.
Bukan
tulip!
Pengirim
: lala@yahoo.com
Assalamu’alaikum. Kak Daus, apa
kabar? İni Lala kak. Lala di Istanbul sendiri.
Aroma
melati kembali tercium. Namun wangi ini membuat kepada Daus menjadi pusing. Aroma
yang datang, pergi, lalu datang lagi.
Daus
menutup wajahnya dengan selimut. İa berusaha menghindar dari monitor laptop.
“Apa
dosaku ya Allah!” Daus berteriak.
“Kenapa
dia datang lagi ke kehidupanku,” kini ia berbicara dengan bantal.
Layar
laptop sudah tertutup. İa lupa melihat pesan dari Rosda. Keindahan tulip yang
Daus rasa tiba-tiba menghilang sebab melati yang menghampiri.
Dari
mana dia tahu alamat emailku, tanyanya dalam hati. Dia berusaha mengingat-ingat
kesalahannya. “Astaghfirullah...
Ketika
di rumah itu, saat beramah tamah dengan Rahmat suami Lala...
Daus
mulai teringat. Kala itu ia pernah memberikan alamat email agar hubungan mereka
selalu terjalin.
Untuk
apa ia ke Turki? Kenapa dia sendiri? Kenapa?
Malam
semakin gelap. Kini bertambah gelap. Sangat gelap. Dan mata Daus tetap masih terbuka
bersama kegelapan. Dia sedang mencari cahaya di tengah gelap. Cahaya...
“Ini
Bukan Tulip” adalah cerita sambungan dari “Rahasia Bunga Tulip.”
Kahramanmaras
Turki, 13 Maret 2014
Komentar
Posting Komentar