Aku menggugat Akhwat dan ikhwan ( Novel Islami )
JILID 1
Panas terik matahari, bersinar. Terlihat bayang-bayang fatamorgana didepan aspal yang aku lewati. Panas sekali. Angkot yang aku tumpangi pun, malaju dengan kecepatan yang sedang. Bagaikan menikmati hawa panas yang menyengat kulit.Apalagi aku, dengan jilbabku ini. Keringat sudah dari tadi mengalir deras ditubuhku.Tetapi, karena aku memakai pakaian yang berlapis. Dengan jilbab yang mengurailebar dan besar. Sehingga mungkin keringatku tertahan. Dan tidak sampai membuatku menjadi terlihat sebagai pepesan akhwat. Tetapi, tidak sedikit pula keringat yang mengalir deras diwajahku. Beberapa kali orang melihatku. Mungkin, mereka berfikir panas-panas kok pakai jilbab, besar pula. Tak seberapa lama, benar juga pikirku.
HCuaca panas inilah yang menjadi pembenar. Untuk melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh sang Al Haq. Dengan berbagai alasan, banyak wanita yang enggan atau tidak mau memakai jilbab. Sungguh ironis dalam sebuah agama terbesar di Negara ini. Lucu sih, alasan tidak memakai jilbab karena cuaca dinegara ini yang bersifat tropis. Padahal, di Arab. Cuacanya tidak kalah panasnya, bahkan lebih panas dibandingkan Negara ini. Tetapi toh, tidak menyurutkan para wanita yang berada di Arab untuk berjilbab.
Panas tetap menyertaiku dalam sebuah mobil angkot yang sangat pengap. Tak jarang, bau keringat pun menyengat. Entah itu bau keringat siapa. Supir angkot, kenek, atau bahkan penumpang lain. Yang penting aku tidak merasa tubuhku berbau.
Meskipun aku berjilbab. Aku tidak ingin tubuhku berbau badan yang tidak enak.Tetapi tetap aku juga tidak mau tubuhku harum ditempat yang tidak semestinya. Akutidak mau dianggap sebagai wanita murahan dalam agamaku. Apalagi dituduh sebagai wanita nakal karena memakai wewangian bukan pada tempatnya. Angkot tetap melaju pada setiap detik hawa panas yang menyengat aspal.
Memang berat hari ini. Tetapi aku harus tetap datang dipertemuan. Beberapa kali aku diundang, tetapi aku sering ada acara lain. Maka ini saatnya aku harus menyempatkan untuk datang di teman-teman LDK (Lembaga Dakwah Kampus). Hembusan angin yang keluar dari jendela angkot. Membuatku sedikit merasa nyaman.
Hem, sampai juga akhirnya! Ucapku dalam hati.Aku turun dari angkot. Dan berjalan menuju masjid kampus. Pusat para kader-kader dakwah kampus yang akan berkumpul. Terlihat sudah banyak akhwat dan ikhwan yang berkumpul.
“Assalamualaikum!” Salamku.
“Walaikumsalam! Masuk Ukh.” Sambut Ukhti Erni dengan senyum. “Alhamdulillah anti datang juga!” ucapnya lanjut.
Aku hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. “gimana, sudah dimulai?” Tanyaku basa-basi.
“Iya, baru saja dimulai!”
Setelah itu kami menyimak pemapaparan yang diberikan oleh Akhi Samsul, ketua LDK. Memang, akhir-akhir ini aku tidak terlelalu aktif dalam kepengurusan LDK. Karena banyaknya amanah diluar membutuhkan waktu yang sangat besar. Dan tak lupa juga, skripsiku yang menggantung karena banyaknya kegiatan. Akhirnya aku memutuskan untuk memfokuskan beberapa hal yang aku anggap penting. Seperti, skripsiku, dan juga amanah diluar.
Hijab yang menutupi saat syuro’. Tidak menurunkan kualitas para ikhwan dan akhwat untuk bisa memberikan kontribusinya dalam dakwah. Mereka sangat semangat dengan cara-cara seperti ini. Bahkan memberikan ruang tersendiri bagi para akhwat. Atau bisa juga disebut. Ruang privacynya para akhwat. Jadi benar-benar sangat menyenangkan. Karena dengan begitu, kami tidak terlihat bercampur baur dengan para ikhwan. Sehingga dengan bebas mengutarakan pendapat, tanpa harus malu dilihat para ikhwan.
“Setiap dari kita, harus bisa memberikan kontribusi yang jelas terhadap dakwah kita! Maksudnya adalah, setiap anggota harus mampu berkomunikasi dengan baik kepada para mahasiswa-mahasiswa. Jadi agar kita tidak terlalu dibilang eksklusif oleh mereka. Terkadang julukan itu, membuat gerakan dakwah kita menjadi terhambat.
Maka dari itu, ana harap. Setiap kader LDK, dapat bersosialisasi dengan mereka. Minimal menjelaskan beberapa hal tentang kegiatan LDK. Dan, maksimal kita dapat mengajak mereka untuk dapat ikut serta berdakwah!” Ucap Samsul dengan panjang lebar. “Baik, ada yang perlu ditanyakan?” Lanjutnya.
“Begini, Akh. Ana mempunyai beberapa trik-trik untuk membuat statement kepada mahasiswa yang merasakan keeksklusifan kita! Seperti halnya, menyebarkan bulletin kepada mahasiswa-mahasiswa dengan tema yang diangkat. Adalah program-program LDK. Jadi kita tidak usah repot-repot untuk mendatangi mereka!” Ucap, Rofiq.
“Hem, boleh juga! Ada masukan lain, mungkin? Dari para Akhwat!” Ucap Samsul.
“Assalamualaikum!” Ucapku. Yang akhirnya disambut dengan jawaban salam para peserta syuro’. “Kalau menurut ana, lebih baik memberikan pendekatan kepada mereka. Dengan cara ikut bergabung dengan mereka, tentunya jika tidak menyimpang dari syari’at. Tetap! Karena pada dasarnya, mahasiswa-mahasiswa yang menganggap kita eksklusif, karena kita sangat jarang sekali berkumpul dengan mereka. Sehingga statement seperti itu muncul dipermukaan, karena perilaku kita sendiri. Ana memang merasakan benar, bahwa banyak ikhwan atau pun akhwat. Yang merasa lebih enjoy bergabung dengan halaqoh mereka, dari pada dengan mahasiswa yang bukan dari halaqoh mereka. Ini merupakan bentuk ketimpangan yang mendasar. Yang akhirnya
menjadikan para mahasiswa merasa bahwa para kader LDK. Mempunyai kehidupan sendiri. Atau dalam kata lain, mengasingkan dari kehidupan mahasiswa.” Aku sedikit menghela nafas. “ana rasa jika ingin tetap terlihat eksis dalam dakwah kita. Seharusnya, kita malah harus punya objek dakwah yang jelas. Atau dalam kata lain. Bahwa kita tidak mengesampingkan objek dakwah lain, meskipun kita sudah mempunyai objek dakwah! Seperti halnya, jika kita berada dilingkup kampus. Maka objek dakwah yang fital, adalah para mahasiswa-mahasiswa yang belum tersentuh oleh dakwah. Ini merupakan sebuah tantangan besar bagi kader dakwah kampus! Jadi kader dakwah kampus, tidak hanya diluar saja mereka bisa berdakwah. Seperti mengajar ngaji didesa-desa kumuh, bakti social, dll. Tidak hanya seperti itu. Tetapi seharusnya kita harus membenahi juga rumah kita sendiri, dalam artian kampus kita ini. Karena, antum dan anti lihat saja sendiri. Bagaimana kondisi akhlak dan akhidah kampus kita. Jadi ini merupakan sebuah ladang dakwah bagi kita juga!” Sejenak, peserta kami pun terdiam.
“Wah, Ukhti! Jarang ikut syuro’ tapi selalu dapat memberikan penjelasan yang bagus” Bisik ukhti Erni.
Aku hanya tersenyum, sambil berkata. “Ini sanjungan apa sindiran! Kalau sanjungan, biasanya Ali Bin Abi Tholib itu membalasnya dengan melemparkan sandalnya. Nah kalau ini sindiran, mending nggak usah disindir gitu! Ana datang aja sudah merasa kesindir.” Bisikku ke ukhti Erni.
“Hhihihi…!” Ukthi Erni sambil memegang kepalanya, takut dilempar sandal.
“Hem iya, bisa juga seperti itu! Syukron Ukhti atas sarannya. Ana rasa, saran anti boleh juga!” Ucap Samsul.
Syuro’ diakhiri dengan beberapa pernyataan untuk dapat memberikan kesan yang lebih baik kepada para mahasiswa. Tidak terlalu terlihat mengasingkan diri dari kehidupan mahasiswa lainnya. Mau ikut bergabung dengan kegiatan-kegiatan mahasiswa lainnya selama tidak keluar dari izzah para kader dakwah kampus. Dan beberapa hal keputusan yang lainnya. Intinya, kader dakwah kampus harus mampu dapat memberikan kontribusi yang jelas baik dan menjadikan mahasiswa lebih senang bergaul dengan aktivis dakwah kampus ketimbang aktivis yang tidak jelas akhidahnya.
***
Aku rebahkan tubuhku diatas kasur busa. Aku rasakan kenyamanan. Sudah dari pagi tadi, aku belum istirahat sama sekali. Capek sekali, tubuhku terasa sangat pegal-pegal sekali.
“Zah!” suara Ummi membangunkanku dari rebahanku.
“Iya, Mi! Masuk aja” ucapku
Ummi membuka pintu. Senyum pun mengembang, dalam wajah Ummi yang begitu teduh. Nikmat sekali.
“Zah, sudah makan belum?” tanya Ummi sambil membelai lembut rambutku.
“Zah belum lapar, Mi!”
“Hem! Nggak boleh seperti itu, nanti Zah sakit!” ucap Ummi lembut.
“Nggak kok, Mi!”
“Nggak, pokoknya Zah harus makan sekarang! Ummi, sudah buatin makanan kesukaan anti!” Ucap Ummi agak memaksa. Tapi tetap, dengan kelembutan.
“Ya udah. Zah mandi dulu! Nanti selesai mandi baru makan” ucapku dengan manja.
“Hem. Zah, kenapa nggak pakai mobil sendiri! Anti kan bisa lebih nyaman! Dan nggak terlalu capek!” Ujar Ummi.
“Nggak, dulu Mi! Zah pengen, nanti aja kalau udah mau punya suami. Baru, Zah akan bawa mobil sendiri.” Kataku menggoda.
“Iya, Ummi juga pengen Zah cepat-cepat menikah! Apa mau dicarikan?” Goda Ummi balik.
“Ah, Ummi. Nggak dulu, nanti aja! Zah masih ingin menyelesaikan sesuatu yang harus diselesaikan dahulu!” Jawabku lugas. “Mi, Zah mandi dulu!” Ucapku sambil mengambil handuk di lemari.
***
Segar, tubuhku serasa kembali bugar. Air benar-benar memberikan kehidupan. Tidak mungkin aku pungkiri, bahwa air memberikan perbaikan. Sungguh nikmat yang tidak dapat aku ingkari.
Aku langkahkan kaki ini. Pada sebuah meja makan, yang sudah terisi dengan masakan-masakan menggoda untuk segera dinikmati. Kenikmatan yang terus menerus membuatku menjadi bertambah keimanan. Tapi entahlah, ini sebuah kenikmatan atau ujian yang diberikan Allah kepadaku.
“Gimana! Enakkan?” tanya Ummi. Sambil menemaniku makan.
“Enak banget Mi! Tapi, Zah nggak mau sering-sering makan-makanan enak Mi!” Ucapku sambil melahap ayam bakar berbumbu pedas.
“Loh, kenapa?” Ummi terlihat heran.
“Iya Mi. Nanti bisa-bisa Zah ketagihan! Masa aktivis dakwah makannya harus enak-enak terus?” Ucapku sambil tersenyum.
“Hem, Zah ini gimana. Aktivis dakwah itu seharusnya makanannya harus yang bergizi! Biar nggak kelelahan dalam berdakwah. Malahan, seharusnya wajib bagi aktivis dakwah untuk makan enak!” Jelas Ummi, sambil tersenyum.
“Tapi nanti malah nggak bisa merasakan penderitaan, apalagi nanti nggak zuhud!” Ummi tersenyum penuh arti. Wajahnya terlihat sangat gembira. “Zah, sudah menjadi wanita yang dewasa! Ummi senang mendengar apa yang keluar dari mulut anti!”
“Ah, Ummi. Zah ini masih kecil! Masih suka bermanja-manja sama Ummi! Masih suka dengan boneka-boneka lucu. Zah, tetap masih kecil dihadapan Ummi.” Ucapku sambil terlihat manja.
Ummi hanya tersenyum. Belaian lembut terasa menyejukkan, saat tangan Ummi menyentuh rambut dan kepalaku.
Aku hampir menyelesaikan makan malamku. Segelas air putih, membasahi tenggorakanku. Hingga menurunkan semua sisa-sisa makanan yang sedang nangkring ditenggorakanku. Nikmat sekali. Benar-benar, nikmat mana yang harus aku dustai.
Selesai makan aku langsung menuju kamarku. Sudah jadi kebiasaanku. Jika selesai makan malam, berwudhu, dan langsung melantunkan ayat-ayat suci. Serta mencoba mengerti tentang apa yang terkandung dalam ayat-ayat suci Al Qur’an. Dan berusaha menghayati, serta mengamalkannya. Setelah itu, tak lupa membaca buku.
Buku-buku yang bisa memberikan tingkat pengetahuan dan keimanan. Jika semua itu sudah aku kerjakan. Maka aku harus menyelesaikan tugasku selanjutnya, Allah memberikan malam untuk dijadikan sebagai waktu istirahat.
***
Pagi begitu cerah. Bunga-bunga terbasahi oleh embun-embun pagi. Nyanyian burung-burung yang hinggap dibeberapa ranting pepohonan. Menjadikan pagi ini begitu komplit. Tak lupa teh hangat, yang akan selalu menemaniku dalam setiap pagi.
Tugas-tugas yang seharusnya aku kerjakan, sudah aku selesaikan. Mulai dari membaca Al ma’tsurat setelah subuh setelah itu tilawah, olah raga pagi, dan yang terakhir. Menikmati pagi dengan secangkir teh hangat, tak lupa ditemani dengan berbagai macam kue kering sebagai pelengkap.
“Zah. Nggak kuliah hari ini?” Sapa Ummi, yang terlihat baru menyelesaikan tilawahnya.
“Kayaknya sih, nggak Mi! Skripsi Zah kan sudah selesai. Tinggal sidangnya aja! Emang ada apa Mi?”
“Oh nggak! Ummi hanya mau ngajak Zah jalan-jalan aja! Kayaknya dibutik muslimah dekat rumah ada jilbab yang bagus-bagus. Ummi mau cari beberapa motif jilbab yang bagus! Anti mau ikut nggak?” jawab Ummi. Promosi.
“Hem, Ummi gimana sih. Zah kan pengen hidup zuhud! Tidak bermegah-megahan. Jilbab Zah kan udah banyak!” Jelasku.
Ummi tersenyum. Masih seperti senyumnya tadi malam. “Alhamdulillah, anakku benar-benar sudah dewasa! Sayang, bukan berarti hidup zuhud itu mengesampingkan keindahan. Bukankah Allah paling suka dengan keindahan! Dan memang, bukan berarti Ummi membeli jilbab itu karena keinginan semata. Tetapi lebih didasarkan kebutuhan Ummi sendiri! Beberapa jilbab Ummi kan sudah banyak yang kekecilan. Tahu sendirikan! Ummi semakin gemuk”
“Ok Mi! Zah ikut” Ummi mengangguk. “Nanti, jam 9 kita berangkat!” Ummi bergegas meninggalkanku, menuju dapur. Untuk membantu Bi Iyem.
Banyak beberapa akhwat yang terjebak dengan trend busana muslim. Memang kita tidak boleh mengesampingkan keindahan. Tetapi keindahan itu pun tidak boleh terlepas dari kebutuhan kita sendiri! Apalagi budaya shopping bagi wanita ammah pun menjadi trend yang barbeda bagi para akhwat. Kalau orang ammah shoppingnya di mall, tapi kalau akhwat shoppingnya di butik muslimah. Lalu, apa bedanya? Pikirku dalam hati.
Suasana pagi barangsur-angsur pergi. Meninggalkan aku yang sejak tadi bersama pagi. Aku biarkan pagi, pergi untuk datang kembali. Bersama keindahan yang diberikan kepada umat seisi bumi. Kubiarkan pagi pergi. Agar bisa memberikan keindahan pagi hari di belahan bumi yang lain. Bergegas aku menuju kamar mandi. Aku hampir lupa, punya janji menemani Ummi ke butik muslimah.
“Zah, gimana sudah siap belum?” Teriak Ummi diluar kamarku.
“Iya Mi. Sebentar! Ini lagi membetulkan jilbab!” Sahutku.
“Ok, Ummi tunggu dibawah ya!”
“Ya..!” jawabku singkat.
Aku keluar dari kamar. Bersama jilbabku yang tetap membalut tubuhku dalam balutan kemesraan perlindungan dari mata-mata jahil yang melihatku. Selain jilbab adalah perintah dari agamaku. Jilbab merupakan sebuah pakaian yang memang lebih nyaman untuk dikenakan dalama acara apapun. Karena jilbab adalah pakaian pembebasan wanita dari pria. Dan wanita berjilbab adalah wanita yang terbebaskan dari pria. Dan jilbab adalah pakaian yang bebas dan merdeka.
“Ok Mi! Zah sudah siap.” Ucapku, saat Ummi sedang duduk santai diruang depan. Menungguku.
Kami pun berangkat berdua. Setiap jalan yang aku lewati. Selalu ada saja pandangan yang tertuju pada kaum dhuafa yang berada diperempatan lampu merah. Ada kalanya, juga perkampungan kumuh yang berjejer. Sangat mengherankan, bagi negeri yang disebut gemah ripah ini. Mercedez melaju dengan nyaman disetiap jalan. Mang Kujang, supirku. Mengendarainya dengan santai. Hem enak memang, saat menaiki mercedez ini.Ya Allah, jangan lupakan aku dengan derita umatmu yang selalu bercucuran keringat saat naik angkot. Bagaikan ikan asin yang dijajar rapi. Entah kenapa, tiba-tiba aku terkaget dari lamunanku. Sesosok yang aku kenal, terlihat berjalan kaki disebuah desa kumuh. Apa benar dia! Benar nggak sich? ucapku dalam hati. Bingung. Oh benar, dia! Iya tidak salah lagi, Akhi Khalid! Aku melintasinya. Aku tersenyum sendiri. Tersenyum dengan kegembiraan yang tiada tara. Ikhwan itu yang membuat hatiku selalu berbunga-bunga. Ikhwan itu yang membuat jantungku selalu berdetak tidak karuan saat aku berbicara dengannya. Aku tidak berani menatap matanya, bahkan untuk melihat tubuhnya pun. Aku tidak berani. Dan sekarang pun, jantungku berdetak tak beraturan. Entah kenapa ini. Selalu seperti ini jika aku bertemu dengannya. Memang akhir-akhir ini aku tidak pernah bertemu dengan dia, mengingat kesibukanku dan kesibukannya yang semakin padat. Entah kenapa, aku seperti berbunga-bunga saat melihatnya. Apalagi saat dia berjalan diperkampungan kumuh itu. Aku bagaikan melihat seorang mujahid, yang melangkah pasti dalam barisan tentara Allah. Seorang penjuang yang terus mendambakan surga ketimbang dunia. Seorang yang tiada hentinya berdakwah dalam arus ketidakpastian dalam materinya. Seorang yang merasa tidak pernah kekurangan dalam segala hal selain pahalanya. Bahkan untuk urusan dunia sekalipun. Dia tidak pernah terlihat menginginkannya. Ya Allah, teguhkanlah sikap dia tetap dijalanmu!
Hadiahkan bidadari kepada dia didunia maupun disurga-Mu. Aku benar-benar bangga terhadap dia. Aku tidak akan layak untuk bisa mendampinginya. Sungguh seorang ikhwan yang begitu tegar dalam perjuangan-Nya. Subhanalah. Ucapku lirih dalam hati.
“Zah, kenapa? Dari tadi kok senyam-senyum sendiri!” Ummi mengagetkan lamunanku.
“Nggak kenapa-napa kok Mi!” jawabku enteng.
“Ah, masa nggak ada apa-apa? Pasti ada yang menyenangkan hati, Zah?” selidik Ummi.
“Nggak kok! Zah nggak apa-apa kok Mi!”
“Hem, Ummi tahu. Pasti ada salah satu ikhwan yang sudah masuk kedalam hati Zah!” Ucap Ummi terlihat pasti.
“Nggak Mi!” Jawabku malu.
“Hehe….. nggak usah malu. Kalau memang sudah ingin menikah! Bilang sama Abi atau Ummi. Insya Allah tidak akan ada ikhwan yang akan menolak dinikahkan dengan anti!” Ummi terlihat serius. “Mana ada yang menolak dinikahi seorang akhwat yang cantik begini, apalagi hobinya tilawah dan membaca tafsir!” Goda Ummi.
“Ummi..!” Jawabku sewot, dan terlihat manja. Ummi hanya tersenyum, sambil memeluk kepalaku.
Aku tidak akan sepadan dengan Ikhwan yang aku impikan itu. Hanya untuk melihat pun aku tidak akan sanggup. Apalagi memilikinya. Sungguh sangat mustahil! Gumamku dalam hati.
***
“Mi, itu bagus juga! Warnanya cocok dengan jilbab yang ini!” Usulku sambil mengambil contoh beberapa jilbab.
“Iya, yang itu terlihat bagus. Bahannya halus, cocok memang. Warnanya juga nggak terlalu mencolok!” Jawab Ummi.
“Hem… iya! Ya sudah Mi, beli yang itu aja!”
Ummi mengangguk tanda setuju. “Mbak, yang ini yah!” Ucap Ummi kepada pegawai butik itu.
Saat kami akan bergegas keluar butik. Aku melihat seorang akhwat, yang sedang memilih-milih pakaian. Jelas aku melihatnya. Dan benar dia adalah temanku. Ukhti Ria.
“Assalamualaikum” Salamku, saat mendekati akhwat itu.
“Eh… Walaikumsalam!” Jawabnya sambil tersenyum.
“Wah. Lagi belanja yach, Ukh?” Tanyaku Ria hanya tersenyum, sambil menganggukan kepalanya. “Anti lagi shopping juga?”
“Oh nggak, lagi nganter Ummi!” Ucapku. Sambil telunjukku menunjuk kearah Ummi.
“Oh!” Ria hanya tersenyum. Sambil melambaikan salamnya kepada Ummiku.
“Ok. Ana balik dulu yah Ukh!” Ucapku sambil menyalami dan memeluknya.
“Assalamualaikum” salamku. Sambil berjalan menuju Ummi.
“Walaikumsalam.”
***
Entah kenapa. Aku terus mengingat Akhi Khalid. Bayang-bayangnya menghiasi alam bawah sadarku. Sejak aku melihatnya berjalan. Aku semakin menganggumi sosok Khalid. Sosok ikhwan yang tegar, dalam balutan singgah sana keimanan. Meskipun terlihat sangat kekurangan materi, tetapi sosok ikhwan yang satu ini. Tidak pernah meminta sesuatu hal yang dapat merendahkan harga dirinya. Aku sangat bangga bisa bekerja sama dengannya.
Hari ini aku benar-benar tidak ada kesibukan. Memang untuk hari ini aku sudah ijin kepada beberapa teman-temanku. Hari ini aku ingin beristirahat total. Aku tidak ingin disibukkan oleh kegiatan-kegiatan dakwahku dulu. Bukannya karena aku futur. Tidak, aku tidak futur. Tetapi aku sedang kedatangan tamu bulanan. Seperti persoalan lainnya, akhwat juga manusia. Yang merasakan ketidak sehetan, jika datang waktunya. Hanya untuk saat seperti ini. Dan hanya satu hari ini saja.
“Tluutt…tluutt..” dering hpku.
No tak dikenal! Siapa yach? Tanyaku dalam hati. Aku ambil hpku, “Hallo…
Assalamualaikum!”
“Walaikumsalam!” Ucapnya.
“Ini siapa yah?” Tanyaku penasaran.
“Hehehe…. Sayang. Masa lupa dengan aku!” Ucapnya
Siapa nich! Pikirku jengkel. “Ini siapa?” Ucapku ketus.
“Wah… benar-benar aku sudah dilupain yah! Ini aku, Deryl!” Ucap si Penelphon
Ha.. Deryl! Anak keluarga Wiryo. Anak itu lagi! Huh.. Gumamku dalam hati. “Oh
Deryl! Kapan datang?” Tanyaku basa-basi.
“Aku datang dari Australi kemarin! Wah aku kangen berat nih sama kamu!”
Huh… nih orang. Apa nggak pernah diajari akhlak sama sekali!
“Oh” Jawabku datar.
“Eh, gimana jalan yuk! Aku pengen jalan-jalan nih. Kamu mau kan!”
“Maaf aku nggak bisa!” Jawabku. Bingung. Bagaimana ngomong masalah hijab kepada dia.
“Ah kamu, dari dulu tetap begitu! Kalau gitu aku kerumah kamu aja yah?”
“Maaf aku lagi pengen sendirian! Ok yah Ryl aku udahan dulu! Wassalam” Ucapku sambil mematikan tombol HPku.
Deryl, anak keluarga Wiryo. Seorang pengusaha yang sukses. Tapi sayang tidak diimbangi dengan kesuksesan mendidik anak-anaknya. Mulai dari SMA dulu, Deryl selalu ingin mendekatiku. Pengen mengajak jalanlah, pengen curhatlah. Tapi alhamdulillah, Abi dan Ummi selalu menjaga hijabku dengan setianya. Untunglah orang tuaku tidak menginginkan harta yang berlimpah. Materi yang banyak. Kalaulah orang tuaku menyukai dunia dan isinya. Materi juga harta benda. Pastilah dengan segera aku dinikahkan dengan, Deryl. Tapi, untunglah orang tuaku termasuk prajurit-prajurit dakwah. Alhamdulillah.
Dari kekayaanku saja. Aku sudah sangat bersyukur. Beberapa usaha Abi sudah sangat maju. Hampir setara dengan keluarga Deryl. Perusahaan-perusahaan Abi bahkan sudah menerapkan system management yang sangat bagus. Tidak seperti perusahaan-perusahaan yang lainnya. Dengan system management Syari’ah itulah, perusahaan Abi semakin lama samakin maju pesat. Benar-benar berkah yang diberikan oleh Allah kepada keluargaku.
Dulu, beberapa kali Deryl datang kerumahku. Dengan sopan aku menemaninya. Tentunya dengan ditemani oleh Abi disampingku. Lucu juga kalau mengenangnya. Deryl menjadi kikuk saat akan berbicara. Kelakuan Deryl pun terlihat kaku. Sangat terlihat tidak nyaman sekali. Lalu, setelah Deryl pulang. Pasti Deryl akan langsung menelphoneku. Lalu mengata-ngataiku, juga Abi dan Ummiku.
Kunolah, mengekang anaknyalah, suka mau tahu urasan anak mudalah. Entahlah, banyak sekali yang dikatakan Deryl dalam telphone. Tetapi tetap aku membalasnya dengan sopan, “Aku senang kok dengan perlakuan orang tuaku. Dan aku merasa sangat terlindungi dengan sikap orang tuaku yang seperti itu! Sudah yah aku mau tidur.” Ucapan itulah yang selalu aku gaungkan kepada Deryl, jika dia sudah mengata-ngataiku.
Aku jadi teringat Akhi khalid. Saat sering menelphoneku. Seorang Al Akh yang menelephone hanya untuk mengetahui tingkat keilmuan seorang akhwat.
Mengetest kemampuan akhwat. Entahlah, banyak cara-cara jahiliah yang saat itu masih digunakan oleh Akhi Khalid. Tapi entah kenapa, Akhi Khalid menjadi malu sekali saat bertemu denganku. Saat setelah, menelephoneku terakhir kali. Hingga akhirnya aku menjadi sekretarisnya di LDK. Aku tak menyangka, ternyata Akhi Khalid sangat berbeda sekali dengan apa yang aku kira. Seorang Ikhwan yang begitu teguh dalam menjalani dakwahnya. Hingga akhirnya, hatiku luluh dibuatnya. Tetapi tetap, aku harus menjaga hijab dengannya.
Lantunan ayat-ayat suci mengembang dalam alunan tilawah dari MP3ku.
Getaran-getaran hati selalu mengembang dalam setiap alunan tilawah itu. Serasa ingin sekali menangis, menangis karena dosa-dosaku yang telah menjadikanku lalai mengingat nama Rabbku. Mengingat nama Sang Maha Haq. Ya Allah, ampuni aku!
JILID 2
“Gimana Ukhti! Siap?” Tanya ukhti Erni.
“Insya Allah, ana siap!” Ucapku pasti.
“Tapi Ukh. Disana tempatnya sangat kumuh!” Erni terlihat khawatir.
“Insya Allah. Medan dakwah yang berliku-liku, sudah ana lewati. Tinggal anti memberikan medan dakwah yang lainnya! Ana sudah siap dengan medan jihad itu” Jawabku mantap.
“Baik Ukh! Ana serahkan kepada anti. Ana tahu, anti lebih berpengalaman dari kami.
Makanya ana ingin anti ikut dengan kita. Ana juga ingin memastikan, apakah anti siap!”
“Insya Allah, ana akan selalu siap! Demi dakwah kita. Ana akan selalu siap!”
Erni telah memberikan amanah dakwah kepadaku. Aku tidak mungkin untuk melepaskan amanah itu. Meskipun amanah dakwahku juga sangat banyak. Aku harus tetap bisa memberikan yang terbaik, demi dakwah ini. Demi untuk meraih kemuliaan disisi sang Maha Mulia.
Beberapa amanah-amanah dakwahku. Membuat benar-benar bikin hidup lebih hidup. Meski memang bahu ini terasa berat. Tetapi amanah-amanah yang telah dipercayakan, tidak boleh dinafikkan. Selama amanah-amanah itu, tidak diamanahkan secara sembarangan.
Desa kumuh. Binaan para akhwat kampus, terlihat dengan jelas. Aura-aura kejahilan terasa begitu menyengat. Apalagi bau-bau yang tidak mengenakkan. Memang ironis sekali. Ternyata masih banyak saudara-saudara umat Islam yang sangat menderita.
Menderita karena kemiskinan, dan tak pelak penderitaan akhidah pun mereka rasakannya juga. Dengan pasti, aku dangan akhwat-akhwat lain. Berjalan. Tak lama, Erni berhenti disuatu rumah.
“Kita, telah sampai!” Erni menunjukkan sebuah rumah. Rumah yang terlihat terawat lebih bagus ketimbang rumah yang lainnya. “Assalamualiakum”
Terlihat seorang wanita paruh baya datang menyambut. Terlihat sangat suka cita melihat kedatangan kami.
“Mari-mari silakan masuk! Maaf ya, rumahnya berantakan.” Ucap wanita itu. Sambil membersihkan beberapa debu-debu yang menempel dibeberapa kursi kayunya.
“Bu Inah, jangan repot-repot yah!” Ucap Erni. Terlihat mereka sudah kenal sebelumnya.
“Oh, nggak kok neng!” Ucap bu Inah, sambil mempersilahkan duduk.
“Bu. Erni disini mau memperkenalkan ustadzahnya!” Ucap Erni sambil tersenyum.
“Oh, iya!” Jawab bu Erni sambil duduk.
“ini, Bu!” Erni menunjukku. Aku tersenyum.
“Namanya Mbak Farah, Bu! Nanti Mbak Farah ini yang akan mengajarkan ngaji dikampung sini. Termasuk, juga nanti teman-teman kami akan ikut pengajian Mbak Farah disini!” Ucap Erni lanjut.
“Insya Allah!” Jawabku pelan. Sangat beda sekali dengan kondisi dirumahku.
Kampung ini benar-benar menjadikan ladang pahala. Yang representative bisa aku dapatkan. Dan ini adalah tugas yang berat bagikut. Ya Allah kuatkan perjuangan hambamu! Ucapku dalam hati.
Bu Inah tersenyum melihatku. “hebat yah! Masih muda dan cantik, sudah jadi ustadzah.” Pujinya.
“Apalagi belum menikah! Kalau Ibu punya anak laki-laki, bisa dijodohkan sama Mbak Farah. Kok Bu!” Veletuk Dita. Yang akhirnya membuat “GERR…” Semua.
Aku hanya tersenyum. Akhwat ini, ngomong apaan sich! Batinku.
Dari balik kelambu, penutup ruang dalam. Muncul seorang pemuda, dia berjalan menuju kedepan dengan langkah yang menunduk-nunduk sopan. “Itu anak Ibu!
Rendra namanya!” Yang akhirnya diikuti dengan anggukan para akhwat.
“Mbak Farah, rumahnya dimana?” Tanya Ibu Inah. Memecahkan suasana.
Aku bingung untuk menjawabnya. Jangan sampai aku bilang rumahku dikawasan cemara indah! Bisa-bisa Ibu Inah segan kepadaku. Bukan karena agamaku, tetapi karena kekayaan orang tuaku. Gumamku dalam hati. “Saya tinggal didekat sini aja kok Bu!” jawabku sekenanya.
Bu Inah hanya mengangguk. Beberapa akhwat mencoba mengerti dengan jawaban itu.
“Kapan kita mulai!” Ucap Bu Inah
“Lebih baik, secepatnya Bu!” Ucapku
“Baik, kalau begitu minggu depan! Gimana?” Bu Inah terlihat bersemangat sekali.
“Bisa, Bu! Tempatnya dimana?” Tanyaku.
“Gimana kalau disini saja! Dirumah ibu.” Bu Inah menawarkan diri.
“Iya, tidak apa-apa!” Jawabku. Yang akhirnya diikuti oleh teman-temanku.
Terlihat senja memerah. Panas mentari tak lagi segarang disiang hari. Aku dan teman-temanku langsung berpamitan.
Dalam perjalanan kami pun berbincang-bincang.
“Anti, dapat darimana desa itu?” Tanyaku kepada Erni penasaran.
“Sebenarnya sich, bukan ana. Tetapi Akhi Khalid yang duluan masuk kedesa itu! Saat itu, akhi Khalid melihat ladang dakwah desa itu besar!” Ucap Erni serius.
“Oh!” jawabku sekenanya. Ikhwan itu lagi! bisik hatiku. Entah kenapa setiap nama Ikhwan itu disebut. Hatiku berdesir. “Lalu, apakah Akhi Khalid ikut membina desa itu juga?” Tanyaku penasaran.
“Loh! Malahan, Akhi Khalid yang pertama kali membina desa itu. Yang pertama kali, membina anak-anak desa itu. Lalu, setelah itu membina para bapak-bapaknya. Kalau anti tahu, pasti anti akan kaget. Siapa bapak-bapak para anak-anak yang ada didesa itu!” Erni terlihat begitu serius sekali.
“Emang siapa Ukh?” Aku benar-benar penasaran.
“Bapak-bapak didesa itu, kebanyakan adalah para preman-preman!”
“HAH! Preman” ucapku kaget. Masya Allah, para preman saja bisa dibina oleh Akhi Khalid! Sungguh dakwah tidak hanya berada dimasjid. Tetapi berada dimana-mana!
Gumamku dalam hati. Semakin menjadikan kekagumanku dengan Al Akh yang satu itu.
“Itulah, Ukh! Akhirnya Akhi Khalid mencoba membentuk pengajian untuk para ibu-ibu.
Dan diserahkan kepada akhwat-akhwat LDK. Anti kan tahu, akhwat-akhwat LDK masih belum seberapa pengalaman. Akhirnya, kami memilih anti. Karena kami melihat anti lebih berpengalaman dalam pembinaan ibu-ibu!”
“Ah. Nggak juga! Ana sama saja dengan anti” Ucapku merendah. Masya Allah, benar-benar berat amanahku.
Erni tersenyum. “Siapa sih, yang nggak kenal ukhti Farah! Apalagi, mantan sekretaris LDK. Dan termasuk tangan kanannya akhi Khalid!” Goda Erni.
JANGAN…jangan sebut nama itu terus. Jantungku sudah tidak kuat menerima nama jundi itu. Teriakku dalam hati. “Anti itu, ngomong apaan sich!” Ucapku mencoba mengalihkan perhatian.
Melewati persimpangan Jl. Raden Shaid. Teman-temanku mulai berpamitan.
Aku pun harus naik angkot menuju rumahku. Meskipun nanti aku harus menjadi pepesan akhwat lagi. Atau bahkan berjalan dari perumahanku, karena angkot tidak boleh memasuki permukiman elit itu. Biarlah, biar aku terbiasa untuk menjadi orang susah. Biar nuraniku tertempa dalam setiap hal-hal baru yang aku dapatkan. Meskipun pahit getir itu juga, harus aku alami dan merasakannya.
***
Tilawah sudah aku kerjakan. Entah kenapa rasa-rasanya pengen sekali melihat acara-acara tv. Sudah sangat lama, aku tidak menontonnya. Dengan malas, aku ambil remote untuk menyalakan tv. Hem tidak pernah berubah, sudah lama aku tidak melihatmu. Tapi kamu masih tetap saja sama!.
Tak seberapa lama. Aku menekan salah satu program tv yang bernuansa Islami. “HIDAYAH” hem bagus juga nih! Sesaat aku menonton sinetron itu. Dari alur ceritanya bagus juga, tetapi sayang dari artisnya masih senang mempertontonkan aurat-auratnya. Bagaimana kalau, masyarakat meniru gaya berpakaian seperti mereka! Pikirku dalam hati. Ternyata sama sekali tidak Islami. Dari judulnya saja seperti film yang Islami. Ternyata dalamnya, sama saja dengan program tv yang lainnya. Apalagi, mempersepsikan seorang laki-laki yang berpoligami. Bertindak semena-mena terhadap istri-istrinya. Ini sama saja menghasut seseorang untuk melanggar syariat Islam. Apalagi, ini termasuk menyatakan bahwa poligami akan terus membuat dampak yang tidak baik. Aku sangat tidak setuju.
Ini pemutar balikan ajaran namanya. Memang, sering terjadi poligami dianggap sebuah malapetaka bagi sebuah keluarga. Tetapi, seharusnya bukan poligaminya yang dipersepsikan seperti itu. Seperti malapetaka yang sangat besar.
Seharusnya, laki-laki yang melakukan poligami itulah. Yang menjadi sumber masalah. Karena akhidah dan akhlaknya masih belum mengetahui ajaran rasulullah secara benar. Jadi itulah yang harusnya jadi masalah awal. Bukan ajaran poligaminya.
Jadi sama saja, jika ada yang mengatakan bahwa tidak akan pernah bisa adil seorang laki-laki yang berpoligami. Malah seharusnya, ungkapan itu dibalik. Menjadi, tidak akan pernah bisa adil laki-laki yang tidak berpoligami. Karena, nyata-nyata bahwa poligami itulah yang menjadikan ujian suami menjadi adil apa tidak. Dan adil itu sendirilah, nantinya yang mengantarkan seorang laki-laki menuju jahannam atau jannah Illahi.
Bosan juga melihat tayangan-tayangan menyedihkan itu. Maksudnya, menyedihkan karena tidak berlandaskan Al Qur’an. “KLIK.” Aku matikan saja tvnya.
Lebih baik aku terlelap dalam tidur. Memimpikan berjuang bersama mujahidah-mujahidah Allah. Bermimpi tentang indahnya bertemu dengan istri-istri manusia termulia didunia. Bermimpi tentang segala perjuangan. Bermimpi tentang indahnya kemenangan. Dan saat aku bangun. Semua mimpi-mimpiku terwujud. Tapi memang tidak semudah itu. Ya Allah untuk-Mu lah aku tertidur. Dan untuk-Mu lah aku terbangun. Dan bangunkanlah aku pada sepertiga malam-Mu.
***
Pagi yang indah. Aku berjumpa lagi denganmu. Aku tetap setia menantimu. Pagi. Embun pagi tetap setia menyirami bunga-bunga. Amanah-amanah dakwah sudah menantiku. Siang ini aku harus berkumpul dan bertemu dengan teman-teman.
Kali ini bukan di LDK. Tetapi ditempat pengajian yang setiap minggu harus aku hadiri. Wajib. Untuk dapat selalu mengingatkan dan menguatkan azzamku. Agar dapat selalu istiqomah dalam berdakwah.
Seperti biasanya. Aku harus berjalan menuju pangkalan angkot. Sudah kebiasaanku. Dan sudah kebiasaan akhwat-akhwat yang lain. Biarlah, sesulit apapun jalan dakwah. Aku akan tetap setia dalam mengembannya. Meskipun jalan didepan, sangat terjal dan sulit untuk aku lalui.
Pengap, panas, bau keringat dan bau parfum yang menyengat. Bersatu padu dalam udara yang ada diangkot. Terlihat seorang ibu, berusaha menenangkan bayinya.
Karena menangis, kepanasan. Seorang siswa SMA berada disamping pintu masuk angkot. Berusaha untuk mendapatkan angin segar. Beberapa orang pun terlihat berkipas-kipas ria. Termasuk yang berada disampingku. Rok yang diatas lutut, baju atasnya terlihat trendy. Sepertinya wanita karier yang berada di kantoran. Ternyata sebuah baju yang dipilih oleh wanita sendiri, belum tentu nyaman dipakai oleh wanita! Makanya, jangan asal pilih baju. Pilih yang telah dipilihkan-Nya. Pikirku dalam hati.
Bagaimana bisa nyaman. Wanita yang berada disampingku, sedaritadi.
Berkipas-kipas, sangat terlihat kepanasan. Padahal bajunya, sangat kontras dengan pakaian yang aku kenakan. Sesekali wanita itu melihatku. Tatapan matanya datar, terlihat sinis. Aku hanya tersenyum, saat wanita itu melihatku. Namun sayang, wajahnya terlihat tidak bersahabat. Ingin sekali aku menyapanya. Tetapi, aku takut jika dia tidak menanggapiku. Beberapa kali, dia selalu melihatku. Dan selalu, tatapan datar dan tarlihat sinis yang ditujukan. Aku harus menyapa dia, toh nggak ada salahnya! Kalau dia tidak menanggapi. Aku juga nggak rugi apapun. Dan nggak perlu merasa malu dengan wanita yang tidak punya malu. Pikirku.
“Mau turun dimana, Mbak!” Tanyaku, berusaha ramah.
“Jl. Sriwijaya.” Jawabnya datar tanpa menatapku.
“Oh!” Aku masih berusaha tersenyum ramah. Itu kan daerah perkantoran! Aku tidak lagi bermaksud tanya lagi. Jika aku terus bertanya, nanti dikira aku menginterogasinya. Apalagi, biar wanita itu yang balik bertanya. Nggak etis, seseorang banyak bertanya dengan lawan bicaranya, yang tidak dikenal.
Tak seberapa lama, wanita itu pun bertanya. “Kalau Mbak, turun dimana?”
Nah kan, umpannya dikembalikan. “Saya, turun, didaerah Jl. Diponegoro” Ucapku dengan senyum.
“Mbak, bekerja disana?” tanya wanita itu kembali. Sekarang lebih terlihat memanusiakan manusia.
“Oh, nggak kok Mbak! Saya disana mau kerumah saudara”
“Oh!” Ucapnya datar.
“Mbak, bekerja?” Tanyaku membuka percakapan kembali.
“Iya!” Wanita itu menjawab dengan lebih ramah.
“Kalau boleh tahu, Mbak bekerja dibidang apa?”
“Saya, bekerja disalah satu perusahaan asing!” jawabnya, terlihat bangga.
“Wah, pasti gajinya besar ya Mbak!” Ucapku memuji dia.
Wanita itu tertawa. Terlihat bangga sekali.
“Sudah berapa lama, bekerja disana Mbak?”
“Sudah, hampir empat tahun!”
“Sudah lama juga, ya Mbak!”
“Ya, begitulah!”
“Oh iya, nama saya Farah!” Kataku sambil mengulurkan tangan. Mengajak bersalaman.
“Oh iya! Nama saya Vita” Jawabnya ramah.
Hem, ternyata ramah juga kok wanita ini. Pikirku.
Angkot terus melaju. Sesekali terhenti, karena kemacetan. Aku dan Vita, masih asyik mengobrol. Banyak hal yang dapat aku ketahui darinya. Ternyata dia seorang PR (Publik Relation). Seorang wanita muda yang sudah bersuami. Kariernya yang terus menanjak, dari tahun ketahun. Sungguh sangat dibanggakannya. Kasihan wanita ini, dunianya terbelenggu dengan kefanaan dunia.
“Eh, Fara! Aku mau tanya, boleh?” Vita sudah tidak segan-segan lagi untuk memanggil namaku.
“Silakan!”
“Baru kali ini loh, aku mengobrol dengan seorang wanita yang berjilbab besar. Seperti kamu! Aku sering, bertemu dengan seorang wanita yang berjilbab seperti kamu. Tapi sayang, wanita-wanita yang berjilbab seperti kamu memandangku dengan tatapan yang terlihat jijik sekali. Aku juga muslimah loh! Apakah karena aku nggak berjilbab, makanya mereka melihatku seperti itu?” Serunya.
Oh jadi itu! Yang membuat pandangan datarnya tadi tertuju kepadaku. Bagaimana aku menjelaskan tentang ini. Gumamku dalam hati. Bingung. “Mungkin itu perasaan Mbak Vita saja, deh! Karena Mbak Vita nggak berjilbab, lalu ada orang yang berjilbab memandang Mbak Vita. Sehingga Mbak Vita melihat diri Mbak merasa dihina oleh wanita yang berjilbab! Hem, kalau misalkan Mbak Vita bertemu dengan wanita berjilbab besar. Dan wanita itu memandang dengan tidak enak!” aku diam sejenak. “Atas nama wanita yang berjilbab, saya meminta maaf!” Ucapku serius.
Memang banyak sekali akhwat-akhwat yang kelewat batas. Memandang seorang wanita yang tidak berjilbab, dengan tatapan yang merendahkan. Sepertinya, akhwat itulah yang paling tinggi derajatnya. Padahal, seorang wanita yang tidak berjilbab. Adalah sebuah objek dakwah yang sudah pasti.
“Aku tadi, memandang Fara. Sama seperti mereka! Tetapi saat Fara yang menyapaku dengan ramah. Aku seperti, seorang wanita yang benar-benar dihargai. Meskipun aku tidak berjilbab”
“Ah, Mbak Vita terlalu berlebih-lebihan! Semua wanita yang berjilbab, juga sama semuanya kok. Hanya saja, mungkin karena Mbak Vita sudah menjaga jarak dengan mereka. Sehingga mereka pun menjaga jarak dengan Mbak Vita! Kalau aku sich,nggak mau menjaga jarak. Mau, menjaga perasaan aja deh!” Ucapku sambil tertawa kecil.
“Iya, mungkin juga sih! Dalam ilmu komunikasi, aku juga pernah diajarkan seperti itu. Seorang yang menjaga jarak dengan orang lain, maka otomatis. Orang lain pun akan menjaga jarak dengan kita. Maka, diharuskan dalam ilmu komunikasi itu.
Seseorang tidak boleh menjaga jarak dengan orang lain. Tetapi malah lebih diutamakan, bagaimana menjaga pembicaraan agar tetap berkesinambungan dengan lawan bicara. Dan lawan bicara tidak tersinggung dengan ucapan kita.” Vita terlihat yakin dengan ucapannya.
“Nah, itu kan Mbak Vita sudah lebih paham!”
“Ah, nggak juga! Kamu aja yang mengingatkanku, tentang ilmu itu. Berarti kamu yang lebih paham dari aku!” Ucapnya merendah.
“Ah, Mbak Vita suka merendah!” Ucapku. Yang akhirnya membuat kami berdua tersenyum.
“Eh, tukeran no Hp yuk!” Usul Vita.
“Ok! No Mbak berapa?”
“081234238483! Kalau kamu berapa Far!”
“081323137485!”
“Wah, kamu enak diajak ngobrol Far! Kapan-kapan kita ngobrol lagi yah!” Vita sambil memasukkan lagi Hpnya kedalam tasnya.
“Mbak Vita juga! Iya, aku tunggu ngobrolnya kapan-kapan.”
“Eh, aku mau turun nich! Sudah dekat. Ok yah.” Vita terlihat menekan bel.
“Iya hati-hati Mbak!”
Angkot sudah berhenti. Saat, Vita akan turun. “Assalamualaikum!” Salamku kepada Vita.
Vita terlihat gelagapan melihatku. “Wa…laikumsalam!” Vita tersenyum.
Aku hanya tersenyum sambil melambaikan tangan.
Ironis memang. Banyak umat Islam yang lupa atau bahkan enggan mengucapkan sebuah salam keselamatan kepada saudara muslim lainnya. Contohnya Vita. Masih banyak Vita-Vita yang lain dinegeri ini. Mereka mengaku Islam, tetapi tata cara kehidupan mereka. Tidak mencerminkan keIslamannya. Mereka lebih mudah memakai hal-hal yang berbau tidak Islami. Dan mereka merasa bahwa hal-hal yang Islami itu, adalah aneh baginya. Entahlah siapa yang dapat disalahkan. Mereka hidup seperti itu karena ketidak tahuan mereka, atau ketidak mautahuan mereka. Atau mungkin juru dakwahnya yang kurang aktif dalam mendakwahkan hal-hal yang Islami. Atah bahkan juru dakwahnya sendiri, tidak Islami. Mungkin juga juru dakwahnya malu untuk mengatakan hal-hal yang Islami. Kemungkinan juga, hal-hal yang berbau Islami itu, hanya diibaratkan dengan sholat, puasa, zakat, naik haji. Itu saja?
Entahlah. Hanya Allah, yang dapat mengetahui itu semua. Dan hanya Allah, yang dapat menyalahkannya. Bukan manusia. Manusia hanya mahluk yang diutus Allah untuk saling mengingatkan tentang hukum-hukum Allah. Jika hukum Allah dilanggar oleh manusia. Maka, bukan kesalahan yang ditujukan kepada manusia yang bersalah.
Tetapi manusia, hanya bisa mengingatkan kepada manusia yang bersalah. Dengan cara, menjalankan hukum-hukum Allah tentunya.
Angkot sudah melaju kembali, berjalan bagaikan kura-kura laut. Anggap saja ini safari murah! Gumamku dalam hati. Karena angkot berjalan sangat pelan sekali.
Matahari, masih bersinar terik. Memamerkan panasnya kepada manusia. Seakan-akan, mengisyaratkan bahwa dineraka akan jauh lebih panas dari pada teriknya sekarang.
“CIIITT….” Angkot berhenti mendadak. Seketika itupun, aku dan penumpang lainnya hampir terjungkal. Astaghfirllah ucapku lirih dalam hati.
“BRENGSEK…. Bisa bawa mobil apa nggak!” Teriak seorang anak yang berseragam sekolah SMA, sepertinya menantang sopir angkot. Suzuki Baleno merahnya, bagaikan sebuah keperkasaan jiwanya.
Sopir angkot hanya duduk diam. Seperti tersirat ketakutan yang teramat dalam. Wajahnya mengisyaratkan penyesalan. Sopir angkot mengangguk-anggukkan kepala dan tangannya, seraya mengisyaratkan perminta maaf.
Anak sekolahan itu maju, dan menggedor pintu samping supir angkot.
“BANGSAT…! Mau lo.” Ucapnya sambil mengepalkan tangannya.
“Maaf…. Saya minta maaf!” Ucap supir angkot.
“AWAS, lo!” Anak sekolahan itu kembali kemobilnya. Gayanya, bagaikan seorang jagoan yang telah memenangkan sebuah pertempuran. Berdecit keras mobil Suzuki Baleno itu. Seketika itu, dengan cepat berjalan melesat kembali.
“HUH! Dasar anak orang kaya. Kalau bukan anak orang kaya, sudah gue jadiin berkedel.” Gerutu sopir Angkot.
Masya Allah ucapku saat melihat semua itu terjadi. Memang, seharusnya sopir angkot meminta maaf kepada anak SMA itu. Karena telah memotong jalan seenaknya sendiri. Memang, sering kali sopir angkot seenaknya sendiri kalau mengemudi. Aku, dulu juga hampir menabrak angkot yang supirnya memberhentikan mobil seenaknya.
Tetapi, tidak juga dibenarkan seorang anak yang tidak hormat kepada orang yang lebih tua. Sikap anak SMA tadi sangat keterlaluan juga. Dengan sok jagoan, dan kata-kata makian yang membuat panas telinga. Itu sudah menunjukkan, pendidikan orang tuanya tidak merasuk dalam diri anak itu. Atau bahkan orang tuanya tidak pernah mendidik anak itu dengan ajaran akhlak yang baik. Hem, entahlah.
JL. Diponegoro, Angkot tepat berhenti disisi jalan. Aku pun melangkah turun. Dan berjalan menuju rumah ustadzah Heni. Sudah kebiasaan juga. Meskipun agak jauh, tetapi disetiap jalan aku merasakan sebuah kenikmatan tersendiri. Dzikir-dzikir dalam perjalanan pun, selalu terucap. Atau bahkan muraja’ah-muraja’ah pun selalu dapat aku lakukan. Karena aku yakin, disetiap jalanku Allah memberikan pahala dan keberkahan-Nya. Tetapi jika aku memakai mobil sendiri. Pasti aku tidak dapat melakukan hal-hal yang biasa aku lakukan. Karena jika aku mengendarai mobil sendiri. Sudah dipastikan aku harus selalu berkonsentrasi dalam mengemudi. Atau, aku akan dengan cepat sampi ditempat tujuan. Dan itu membuat, dzikir-dzikirku, muraja’ahku. Tidak benar-benar maksimal.
Langkahku terus disertai dengan teriknya matahari. Sinarnya memancarkan kedahsyatan Penguasa alam. Menyiratkan sebuah hakekat tentang kehidupan yang akan datang. Kehidupan yang akan dilalui oleh setiap manusia. Kehidupan yang kekal dalam kehidupan kedua manusia. Kehidupan yang akan menentukan, tempat kehidupan selanjutnya. Tempat yang akan memisahkan, antara kenikmatan dan kesengsaraan. Tempat yang memisahkan, antara perbuatan kebaikan dan perbuatan keburukan. Tempat yang akan menjadikan manusia menjadi sadar. Sadar akan perbuatan kebaikan dan perbuatan keburukan. Bagi manusia yang telah melakukan perbuatan baik, melakukan perintah yang diturunkan oleh-Nya. Maka tempat kembalinya, adalah sebaik-baik tempat kembali. Jannah. Tetapi bagi manusia yang melakukan perbuatan keburukan. Maka manusia itu akan mendapatkan tempat, seburuk-buruknya tempat kembali. Neraka jahanam. Dan bagi manusia yang telah tersadar akan keburukan perbuatannya. Telah terlambat.
Siang ini memang begitu terik. Peluh pun bercucuran, saat-saat kaki ini terus berjalan. Melangkah dalam setiap aral yang melintangi jalan-jalan aspal. Tak jarang aku melihat fatamorgana bermunculan. Karena panas terik matahari, yang membakar aspal. Sungguh, panas seperti itu tidak ada apa-apanya dari pada panasnya neraka.
Kakiku terus melangkah, hingga akhirnya aku pun tiba disebuah rumah. Rumah yang asri nan rindang. Membuat sebuah pandangan yang menyenangkan. Tersirat, bahwa si pemilik rumah adalah seorang yang mencintai keindahan. Mencintai kesejukan, dan yang paling indah. Adalah, mencintai sang Maha Keindahan.
Beberapa motor sudah terparkir dipekarangan rumah yang rindang itu. Pohon mangga dan pohon jambu air yang rindang. Membuat suasana semakin benar-benar sejuk. Tak jarang aku dan teman-teman lebih sering duduk dibawah pohon-pohon itu.
Nikmat sekali. Serasa kenikmatan surga turun kedunia. Tetapi aku yakin, kenikmatan itu tidak ada secuil bahkan. Daripada kenikmatan surga.
Aku buka pagar rumah. Dan melangkahkan kaki masuk kedalam rumah.
“Assalamualaikum” Salamku pada seisi rumah.
“Walaikumsalam” Serentak jawaban dari seisi rumah
“Masuk, Ukh!” Ucap Reni.
Aku segera masuk kedalam rumah. Tak lupa, berjabat tangan dengan pelukan persaudaraan.
“Ana, telat yah?” Tanyaku
“Nggak kok, Ukh! Kita aja yang nyampainya duluan.” Jawab Resti.
“O..h!”
“Ustadzah Heni masih belum pulang dari ngajarnya! Jadi dari pada diam kita ngobrol-ngobrol
aja.” Ucap Wira.
Hem, kok ngobrol sih. Daripada ngobrol kan mending tilawah, muraja’ah atau dzikir.
Hem, akhwat! Semoga aja nggak ghibah! Aku tersentak dari lamunku. Saat Resti memegang tanganku, sambil mengatakan.
“Ukhti, anti sampai kapan kuat berjalan!”
“Maksud anti?” Aku sedikit bingung.
“Iya. Maksudnya, anti sampai kapan kuat berjalan dari jalan besar keperumahan ini! Belum lagi, panasnya minta ampun.” Ucap Wira.
Wah kok pada ngomongin aku nich! Jangan-jangan, dari tadi cuma ngobrolin aku! Wah, aku kok jadi su’udhon sich. Semoga saja, nggak ngobrolin aku! Gumamku dalam hati. “Oh itu, Insya Allah sampai kapan pun ana kuat berjalan kemana pun! Kalau hanya dari sini sampai jalan besar, itu kan biasa. Yah, sambil berjalan kaki.
Dzikir tidak pernah berhenti!” Ucapku sambil tersenyum.
“Ih, anti aneh! Kenapa mesti jalan kaki? Kan, kita bisa naik motor atau mobil sambil berdzikir! Apalagi, apa anti nggak takut hitam! And nanti, para ikhwan pada nggak mau loh ta’aruf dengan anti!” Ucap Wira, sambil tersenyum dan mengerdipkan sebelah matanya.
“Iya. Apalagi, anti kan sudah punya mobil! Mending itu aja dipakai, dari pada menyulitkan diri sendiri! Bukan berarti, dakwah itu harus selalu sulit loh Ukh! Kalau ada kemudahan, pakai saja kemudahan itu.” Sahut Resti.
“Hem,” aku tersenyum. “Yah memang, bisa saja kita berdzikir saat kita mengendarai motor atau mobil. Tapi kalau ana sendiri, ana tidak bisa seperti itu. Ana jadi nggak konsen untuk berdzikir saat mengendarai kendaraan. Takut nabrak! Dan untuk masalah dakwah pun, ana merasa enakkan berjalan kaki. Yah itung-itung, bisa merasakan menjadi kaum dhuafa yang tidak punya apa-apa! Dan cara seperti itu yang menurut ana dapat membangkitkan rasa zuhud dalam diri ana sendiri! Menurut ana, bahwa kemudahan dalam berdakwah itu adalah dalam cara atau strategi dalam melakukan ekspansi dakwah. Bukan dalam seorang yang ingin membuat motivasi bagi dirinya untuk dapat selalu merasakan kehidupan kaum-kaum dhuafa. Dalam artian, memberikan sebuah kepekaan dalam diri untuk selalu menyayangi saudara-saudara kita yang tidak beruntung. Dan menurut ana, itu lebih baik! Daripada ana harus mengambil kemudahan-kemudahan itu, hanya untuk kepuasan diri ana sendiri.
Atau dalam kata lain, ana memanfaatkan kemudahan hanya karena ingin kulit ana bisa tetap putih dan mulus selamanya. Nggak! Ana nggak mau itu! Tidak ada mahluk mana pun yang bisa menjamin itu! Selain sang Maha penjamin kehidupan. Toh, jika takdir menyatakan kulit putih dan mulus ana hilang. Maka secara otomatis, meskipun ana menjaga agar kulit putih dan mulus ana tidak hilang. Pasti dengan cara apapun, kulit putih dan mulus ini akan hilang!” Aku sedikit menghela nafas, lalu melanjutkan perkataanku “pada dasarnya, jika ada seorang ikhwan yang tidak mau berta’aruf dengan ana! Ya, kenapa ana harus menunggu ta’aruf ikhwan. Mending ana, yang berta’aruf duluan ke ikhwan!” Ucapku sambil senyum.
Terlihat wajah-wajah yang sangat heran pada Al Ukh, yang berada disekitarku.
Meraka merasa tidak percaya, aku mengatakan seperti itu.
“Masya Allah, Ukh! Apa anti nggak malu berta’aruf duluan dengan ikhwan?” Ucap Wira.
“Ukhti, dimana rasa malu anti! Pernyataan anti seperti itu, membuat kami malu. Akhwat, harus punya harga diri yang lebih ketimbang ikhwan. Biarlah ikhwan yang mendahului kita, dalam masalah yang satu ini!” Ucap Resti
“Ukhti. Apakah anti ingat Ibunda Khadijah?” Ucapku.
Dengan cepat Wira menyela pembicaraanku. “Selalu Ibunda Khadijah yang dijadikan alasan, oleh para akhwat untuk hal-hal yang seperti itu! Ukhti harus ingat, bahwa Ibunda Khadijah adalah wanita yang mulia, dan beliau pun meminang orang yang paling mulia didunia! Nah kita? Siapa kita? Apakah kita semulia ibunda Khadijah? Atau adakah Ikhwan semulia Rasulullah? Kalau ada ikhwan seperti Rasulullah, ana pun akan bersedia untuk melakukan cara yang dipakai ibunda Khadijah!”
Aku tersenyum. “Al Ukh! Apakah kita tidak pernah merasa dimuliakan oleh Allah? Apakah cara yang dibolehkan menurut Allah, tidak kita lakukan. Hanya karena harga diri kita! Lalu apa bedanya kita dengan orang-orang ammah pada umumnya? Yang merasakan bahwa harga diri atau pun adat istiadat rasa malu itu lebih besar ketimbang hal-hal yang dibolehkan didalam syariat! Jika seperti itu, maka dengan sendirinya kita pun telah menafikkan hal-hal yang bersifat benar dan dibolehkan! Lalu apa bedanya kita dengan wanita-wanita ammah? Apakah kita merasa bahwa harga diri kita lebih tinggi dari pada ikhwan! Apakah itu benar? Atau hanya, kita yang memasang tarif itu? Apakah kita tidak akan kecewa, jika ada seorang ikhwan. Yang bagus dalam akhidah, cakap dalam kegiatan dakwahnya. Dan kita tertarik dengan dia. Apakah kita hanya diam, mengharap ikhwan itu datang dengan sendiri tanpa ikhtiar kita. Tentunya, ikhtiar yang dibolehkan menurut syariat!”
“Ya udah kita nanti menanyakan hal ini ke Ustadzah Heni! Gimana?” Ucap Reni.
Yang dari tadi hanya diam. Sepertinya menyimpan sesuatu hal, didalam maksud pembicaraan masalah ini!
JILID 3
Entah kenapa, suasana yang tadinya begitu bersahabat. Menjadi terlihat begitu serius. Sudah tidak ada lagi sendagurau dari para Al Ukh. Padahal, aku tadi tidak bermaksud menyinggung mereka. Aku hanya mengungkapkan isi hati yang ingin mereka ketahui. Kalaulah hanya masalah seperti ini saja, menjadi dongkol dihati.
Apalagi masalah-masalah perdebatan yang panjang dalam masalah akhidah, syari’at, hadits, pemahaman Al Qur’an, dll. Pasti perdebatan-perdebatan seperti itu yang membuat perpecahan. Padahal solusinya mudah, menurutku. Tinggal kita tidak usah memperdebatkan hal-hal yang tidak dilarang dalam agama. Jika seseorang tidak melanggar syari’at. Kenapa harus dicari-cari pelanggarannya.
Kalaulah ingin berdebat, yah harus dengan hati yang terbuka. Terbuka dengan hujjah orang lain, terbuka dengan pendapat orang lain, terbuka dengan pemikiran orang lain, selama hal-hal itu tidak menyimpang dari syari’at. Dan yang lebih penting, kita terbuka untuk mencari sebuah kebenaran dari perdebatan. Bukan mencari pembenaran dari pendapat kita sendiri. Jika kita memang mencari pembenaran pendapat kita dalam perdebatan. Pastilah, kita tidak akan pernah mau mendengarkan kebenaran. Karena, pembenaran itulah yang akan memakan egoisme seseorang untuk menafikkan kebenaran dalam perdebatan. Dan akhirnya, dalam perdebatan. Tidak akan pernah selesai, dan akan membuat rasa benci seseorang kepada lawan bicara. Meskipun, lawan bicara berkata benar. Tak seberapa lama, ustadzah Heni datang.
“Assalamualaikum!”
“Walikumsalam!” Jawab kami serentak tanpa dikomando.
“Afwan, ana terlambat! Ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan” Ucap Ustadzah Heni.
Kami pun tersenyum, dan memaklumi. Karena kami tahu, bahwa ustadzah Heni.
Bukanlah seorang ummahat yang sedikit kegiatan. Tetapi, jam-jam produktif yang membuat begitu banyak kegiatan. Sungguh seorang mujahidah sejati. Aku tahu semua itu, karena Ummiku adalah kakak dari ustadzah Heni. Tetapi, teman-teman sekajianku. Belum mengetahui, kalau aku. Adalah saudara ustadzah Heni. Atau dalam kata lain. Ustadzah Heni adalah Bibiku yang telah merawatku semenjak aku kecil.
Tetapi aku tidak mau, membuat mereka menjadi tahu. Kalau Ustadzah Heni adalah Bibiku.
“Gimana, sudah lama tadi?” Tanya ustadzah Heni.
“Nggak juga kok Ustadzah! Kami juga lagi membahas masalah yang besar!” Ucap Wira. Terlihat seperti cari muka.
Ha! Masalah besar? Jadi mereka menganggap masalah kecil ini menjadi besar?
Masya Allah! Semoga tidak menghalangi dengan masalah-masalah yang memang seharusnya dikatakan besar. Gumamku dalam hati.
“Ha! Masalah besar? Masalah apa kok sepertinya sangat penting!” Ustadzah Heni terlihat penasaran.
“Iya, masalah tentang menikah!” Jawab Wira lagi.
“Hem! Masalah itu. Yah memang itu masalah besar bagi anti-anti yang masih belum menikah!” Sindir ustadzah Heni, sambil tersenyum.
Hihihi! Maunya pengen cari muka. Eh kesindir sendiri. Masya Allah! Aku kok su’udhan sih!.
“Baik, sebelum membahas masalah besar! Kita buka dulu kajian kita.” Ucap Ustadzah Heni, bijak.
Sebuah materi kajian diberikan kepada kami. Kami bersama-sama pun menyimak apa yang diberikan oleh ustadzah Heni. Materi tentang Pembersihan Hati. Ini adalah materi yang membuat kami benar-benar tahu akan makna kesucian hati. Kesucian dalam melakukan perbuatan-perbuatan yang suci. Yang menjadikan aku lebih memaknai kesucian diri. Kesucian untuk selalu menyembah Rabbul izzattih. Tidak ada keraguan didalamnya.
“Bagaimana, ada yang mau bertanya?” Ustadzah Heni memandang kami satu persatu. Semua diam. Semua terlihat mengerti tentang arti kesucian diri. Hanya saja, kesucian itu sulit untuk dilakukan.
“Hem, kelihatannya semua sudah mengerti yah!” Ucap ustadzah Heni. “Jadi, menjaga kesucian hati. Memang sangat berat untuk diimplementasikan. Namun, jika kita sudah dapat melakukan itu. Maka apapun yang akan kita lakukan, sangat menentramkan hati! Karena perbuatan yang kita lakukan, merupakan perbuatan yang tidak terlepas dari keridhaan Ilahi. Dengan kata lain. Perbuatan yang kita lakukan, akan menjadikan kebaikan bagi kita. Selama perbuatan itu baik menurut syariat. Dan tidak bertentangan!”
Semua mengangguk, Insya Allah tanda mengerti.
“Baik. Untuk masalah besar tadi gimana? Tetap mau dibahas?” Ustadzah Heni dengan senyum membangkitkan tema besar lagi.
“Iya Ustadzah! Masih pelu dilanjutkan.” Ucap Wira antusias.
“Baik. Apa sebenarnya yang menjadi masalah itu!” tanya Ustadzah Heni.
Wira menceritakan pembicaraan yang masih hangat itu. Dengan antusiasnya, sampai kepada hal-hal yang mendetail.
“Ya, seperti itu Ustadzah! Kalau menurut pendapat Ustadzah gimana?” Ucap Wira.
Mengakhiri penjelasannya.
“Oh, jadi begitu!” Ustadzah Heni menghela nafas panjang. “Begini sebenarnya, kalau menurut ana. Akhwat mendahului ikhwan dalam berta’aruf, itu sah-sah saja. Hanya saja, budaya timur ini yang membuat kita salah persepsi tentang hal itu. Rasa malu memang sangat harus dipertahankan dalam kepribadian seorang muslim. Bahkan malu itupun adalah sebagian dari iman, bukan! Tetapi, yang paling penting adalah bisa menempatkan rasa malu itu sendiri. Tidaklah seorang muslim yang tidak dapat berlaku proporsional. Semua orang muslim, harus dapat menempatkan sesuatu dengan benar! Karena, jika kita tidak menempatkan sesuatu dengan benar. Maka kita disebut dholim!” Ustadzah Heni tersenyum, dan memandang kami satu persatu. “lalu, apakah akhwat yang mendahului ikhwan berta’aruf itu tidak punya rasa malu? Mungkin kita sering mendengar dan membaca tentang riwayat Ibunda kita, Khadijah! Seorang wanita mulia, yang menikahi manusia paling mulia pula. Mungkin kita berfikir bahwa Siti Khadijah adalah seorang wanita mulia, dan kita tidak setara dengan beliau. Maka kita tidak boleh meniru beliau. Atau karena kita menganggap bahwa yang dinikahi oleh Siti Khadijah adalah seorang yang sangat mulia, sehingga kita memakluminya.
Sedangkan sekarang, tidak ada lagi ikhwan yang paling sempurna. Maka sudah tertutup pintu wanita untuk menkhitbah duluan. Wahai ukhti, ingatlah. Bahwa tidak ada seorangpun yang menyamai Rasulullah. Bahkan, jin sekalipun. Lalu, apakah salah jika seorang akhwat menembak ikhwan duluan! Sebuah pertanyaan besar, mungkin!
Tetapi pada dasarnya, Allah memberikan derajat yang sama kepada seluruh hambanya. Baik wanita maupun pria. Tidak ada perbedaan derajatnya. Yang membedakan hanyalah, Iman dan ketaqwaannya! Lalu, hubungannya dengan akhwat nembak duluan? Yaitu, wanita sah-sah saja menembak ikhwan lebih dulu. Dan, sudah ada beberapa contoh, selain Siti Khadijah! Tidaklah wanita lebih rendah derajatnya, jika wanita itu menembak ikhwan duluan. Tetapi, kesiapan seorang wanita untuk menembak ikhwan duluan. Haruslah sangat matang. Disamping kesiapan akhidah dan ilmu, juga harus dikuatkan pada sisi mentalnya. Dan seandainya, ikhwan tidak menerima tembakan akhwat. Maka, harus diingat bahwa niat untuk menembak hanya karena Allah. Bukan karena siapa-siapa. Jadi meskipun ikhwan tidak menerima, akhwat tetap bisa berlapang dada. Karena niatnya, hanya untuk Allah! Ya, meskipun kita tahu. Bahwa, hati seorang wanita sangatlah sensitif untuk masalah yang satu ini!
Tetapi minimal, bahwa rasa malu harus ditempatkan pada tempatnya! Akhwat boleh malu, misalkan saat tembakannya tidak diterima oleh ikhwan. Tetapi hal itu tidak memalukan. Perlu diingat, bahwa hal itu bukanlah perbuatan yang memalukan! Atau bahkan merendahkan derajat wanita itu sendiri.
Jadi derajat wanita, tidak akan pernah luntur meskipun tembakannya meleset!”
Ustadzah Heni, lagi-lagi melihat kami satu persatu dengan memberikan senyumnya.
“malu boleh, asal tahu penempatan malu itu! Ada sebuah contoh dari seorang shahabiah. Dinukilkan dari hadits! Seorang wanita datang kepada Rasulullah, shahabiah itu menghibahkan dirinya, untuk dinikahi oleh Rasulullah. Tetapi apa yang dilakukan Rasulullah? Rasulullah hanya terdiam, tidak berkata apapun sampai ketiga kalinya. Lalu tiba-tiba seorang pria berkata kepada Rasulullah ‘Wahai Rasulullah, nikahkanlah aku dengannya!’ Rasulullah mengatakan ‘Apa engkau punya sesuatu?’’ lalu jawab pria itu ‘Aku tidak memiliki apapun ya Rasulullah!’ lalu Rasulullah bertanya ‘Apakah engkau hafal suatu surat dalam Al Qur’an?’ lalu pria itu pun menjawab ‘Aku hafal ini dan itu!’ lalu Rasulullah, mengatakan ‘pergilah, karena aku telah menikahkanmu dengannya, dengan mahar surat Al Qur’an yang engkau hafal!’ apakah wanita itu menjadi rendah karena tidak dinikahi oleh rasulullah? Ataukah wanita itu rendah karena telah ditolak Rasulullah? Atau wanita itu rendah karena dinikahi oleh orang yang bukan Rasulullah? Apalagi dinikahi dengan mahar yang hanya hafalan Al Qur’an! Apakah wanita itu menjadi hina? Tidak! Shahabiah itu tetaplah seorang shahabiah. Seorang yang derajatnya tidaklah lebih rendah dari shahabiah-shahabiah lainnya! Ada sebuah contoh. Ada sebuah riwayat juga, yang menyatakan, ada seorang yang menikah dengan mahar sepasang sendal yang dipakai oleh orang itu. Dan Rasulullah bertanya ‘Apakah engkau ridha terhadap diri dan hartamu dengan sepasang sendal?’ si wanita itu menjawab ‘Ya.’ Maka Rasulullah membolehkannya.
Dari kisah-kisah seperti tadi. Apakah wanita itu sangat rendah? Hingga dia harus dihargai dengan hanya sepasang sendal! Atau, ada kisah lain yang menyatakan sahabat Rasulullah menikahkan dengan mahar, sebuah cincin besi. Semua ini pernah terjadi! Dan itu, tidak pernah menjadikan rasa malu terhadap para shahabiah-shahabiah.
Ini sebuah contoh yang telah dilakukan oleh generasi Rasulullah! Jadi yang terpenting adalah. Rasa malu itu ditempatkan dengan sebenar-benarnya tempat malu itu sendiri. Jika kita telah melakukan kesalahan terhadap syari’at Islam! Baru rasa malu itu timbul. Jika kita melakukan dosa-dosa, baru rasa malu dan derajat yang rendah itu boleh muncul! Tetapi jika, kita tidak melakukan perbuatan yang melanggar syari’at. Maka sesungguhnya, kita tidak perlu merasa malu. Karena itu memang perbuatan yang tidak memalukan!
Hanya karena adat daerah, yang membuat rasa malu itu muncul. Dan persoalan-persoalan yang dianggap tabu dalam adat kita. Maka kita sering terkecoh dengan menempatkan rasa malu itu sendiri! Jadi, jika sebuah perkara yang pada dasarnya tidak dilarang oleh agama. Maka seharusnya, kita tidak usah memperdebatkan atau mencari-cari kesalahan pada hal-hal itu!” Ustadzah Heni mengakhiri penjelasannya dengan sebuah kata-kata yang bijak.
Kami berempat pun, akhirnya mengerti tentang rasa malu itu sendiri. Memang harus ada penempatan dari rasa malu itu. Bukan hanya dengan ego kita, dalam menyatakan sebuah rasa malu. Tetapi pada prinsipnya, rasa malu itupun harus berada pada hal-hal yang sudah ditetapkan. Karena ego kitalah, kita sering menganggap rasa malu itu tidak dapat ditempatkan sebagai mana mestinya. Sebuah contoh, jika kita tidak bisa mengikuti apa yang sudah menjadi kebiasaan sebuah daerah. Maka kita akan lebih cenderung untuk malu, jika kita tidak mengikuti kebiasaan mereka.
Dengan kata lain, kita malu untuk tidak mengikuti kebiasaan seseorang yang pada dasarnya kebiasaan itu adalah sebuah kebiasaan yang memalukan.
Jadi sungguh besar memang manfaat rasa malu itu sendiri. Sampai-sampai dalam agama Islam, malu merupakan sebagian dari keimanan. Jadi sebagaimana apa yang telah diajarkan dalam agama Islam. Malu, merupakan hal yang harus dimiliki oleh setiap muslim. Dan setiap muslim harus bisa menempatkan rasa malunya.
Tidaklah setiap muslim mengumbar rasa malu itu, hingga menjadi malu-maluin. Atau tidaklah seorang muslim menyimpan terlalu dalam rasa malu, hingga dia tidak mengetahui tempat dimana menyimpan malunya. Maka dari itu, setiap muslim telah diajarkan oleh Allah, dengan memiliki sifat tawadzun. Dengan begitu, kita akan dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dan menempatkan sesuatu dengan tempat yang benar. Bukan asal-asalan, dalam menempatkan.
***
Didalam kamar, aku memikirkan penjelasan yang dikatakan oleh bibiku. Ustadzah Heni. Terekam kuat dalam benakku. Entah kenapa. Malam, tak membuatku larut dalam buaiannya. Aku masih belum bisa untuk menutupkan mata. Aku masih larut dalam alur pikirku yang tak menentu. Tak seberapa lama, terdengar handphoneku berdering.
“Tluuutt…tluutt…”
Dengan malas aku mengambil handphone. Siapa, yach? Malam-malam kok telp!
Terlihat di screen layar handphone Ukhti Reni.
“Assalamualaikum, Ukh!” Ucapku
“Walaikumsalam!” Jawabnya dari seberang sana.
“Ada apa Ukh? Kok telphon malam-malam! Ada yang penting?”
“Afwan Ukh! Ana ngganggu nggak? Ana ingin ngobrol dengan anti nih!” Ucapnya, terlihat sangat berhati-hati sekali.
“Nggak kok! Emangnya ada apa?”
Reni berhenti sejenak. Dan tak lama terdengar desahan nafas. “Ukh. Ini masalah yang tadi! Masalah tentang akhwat nembak duluan!”
“Memangnya, kenapa Ukh?” Tanyaku penasaran. Jangan-jangan Reni tidak setuju dengan hujjahku dan hujjah bibiku. Ustadzah Heni.
“Ana, percaya sama anti. Dan ana menganggap anti, dapat merahasiakan permasalahan ana!”
“Memangnya, ada permalahan apa ukh?” Tanyaku penasaran.
“Ukh. Ana sebenarnya menyukai salah seorang ikhwan, dari kampus anti!” Sejenak Reni menghentikan ucapannya. “Anti tahu Akhi Khalid?”
Hah…! Nama itu lagi. Sejenak aku terdiam. Tetapi yang menjadikanku terpukul. Reni juga menyukai Akh Khalid. Kami berdua menyukai ikhwan yang sama. Tetapi, aku yakin tidak hanya aku dan Reni saja yang menyukai ikhwan itu. Pasti banyak juga yang menyukainya.
“Ukhti. Anti kenal nggak?” Ucap Reni, lagi.
Aku sedikit tergagap dari lamunanku. “Akhi Khalid! Akhi Khalid yang mana? Fakultas Hukum atau dari Fakultas Psikologi?” Ucapku. Sedikit, aku buat bingung. Karena aku pasti yakin, tidak ada yang tidak menyukai Akhi Khalid dari Fakultas Hukum.
“Hehee… ternyata anti banyak tahu para ikhwan yah!” Ucapnya.
“Ah, nggak juga. Hanya saja, ana kan kenal karena satu organisasi dengan mereka?” Jawabku sedikit memendam rasa malu.
“Oh, iya! Akhi Khalid yang ana kenal, dari Fakultas Psikologi.”
“Oh…!” Sedikit hati ini menjadi lega. Entah kenapa.
“Anti, kenal?” Ucapnya sedikit memastikan.
“Kenal! Memangnya kenapa?” Tanyaku penasaran.
Akhirnya Reni menceritakan semuanya kepadaku. Dari mulai perkenalannya dengan Khalid Wicaksono. Mahasiswa Fakultas Psikologi. Awal pertemuan mereka cukup unik. Saat Reni sedang berjalan-jalan disebuah toko buku. Reni dan Khalid, berada pada counter yang sama. Counter buku Psikoloagi. Karena memang Reni juga adalah mahasiswa psikologi. Saat mereka sedang mencari-cari buku yang mereka inginkan. Ternyata stock buku itu tinggal satu. Saat Khalid akan mengambilnya, tak disangka Reni pun sedang akan mengambil itu. Tak ayal, tangan mereka mengambil buku yang sama. Sehingga akhirnya Khalid meminta maaf, dan mempersilahkan Reni untuk mengambilnya. Reni pun berfikir, bahwa Khalid ini pasti sudah terbina akhlaknya. Karena sikap dari Khalid, cenderung dimiliki oleh setiap ikhwan. Setelah itu perjumpaan mereka akhirnya berakhir.
Malam setelah perjumpaan. Reni ditelephone oleh seorang Ikhwan. Dan ternyata itu adalah Khalid. Reni sempat terkejut, bagaimana Ikhwan itu bisa mengetahui nomor telephonenya. Akhirnya Khalid menjelaskan, bahwa dia menemukan dompet Reni yang terjatuh didepan toko buku. Tak lama, akhirnya mereka sering berdiskusi masalah-masalah psikologi. Yang sesuai dengan jurusan mereka. Entah kenapa, ada benih-benih yang bergejolak didalam hati Reni. Itulah yang membuat Reni menjadi jarang untuk menerima telephone Khalid. “Ana takut, terjadi cinta yang terlarang! Dan menjauhkan ana dari-Nya.” Kata Reni.
Hingga akhirnya. Diskusi pada kajian tadi siang itu yang membuat Reni menjadi siap untuk menembak Khalid. “Ana siap malu! Dari pada rasa ini, tidak diketahui oleh Akhi Khalid! Entah apa rasanya ini. Karena selama ini, ana belum pernah merasakan yang seperti ini! Mungkin orang akan mengatakan ini cinta, tetapi ana tidak tahu apakah ini benar-benar sebuah kata yang sakral untuk diucapkan.
Cinta!” Kata-kata itulah yang terlontar dari mulut Reni. Hingga akhirnya, Reni inginmencari tahu. Bagaimana tingkah laku Khalid salama ini, yang aku ketahui.
Hem, mujahidah sejati! Gumamku dalam hati. Seorang akhwat yang siap menembakkan sebuah gejolak perasaan batin. Sangatlah tidak mudah. Apalagi di daerah yang mayoritas akhwat-akhwatnya masih memeluk kebudayaan daerah mereka.
“Kalau menurut anti, gimana?” Ucap Reni, mengakhiri ceritanya.
“Hem, anti berani! Allahu Akbar!” Ucapku. Aku benar-benar salut dengan akhwat yang satu ini.
“Bukan itu, yang ana maksud! Apakah ana, tidak melampaui batas?” Ucap Reni, terdengar bingung.
“Tidak. Anti tidak melampaui batas! Itukan juga termasuk Ikhtiar Ukh! Selama cara-cara itu tidak melanggar syar’i. Ana rasa, ana akan mendukung anti. Tapi usul ana, anti harus memberitahukan murabbiah dulu. Biarkan murabbiah anti yang menjadi perantara, bukan anti sendiri. Yah minimal, meminimalkan rasa malu itu sendiri jika ditolak!”
“Oh iya, betul juga anti!” Reni sedikit menghela nafasnya. “Untung Ukh. Kita punya murabbiah yang bisa dikatakan excellent. Ada salah satu Akhwat, teman ana. Dia mempunyai murabbiah yang sangat tidak setuju jika akhwat nembak duluan! Sampai-sampai teman ana itu menjadi malu dengan halaqohnya!”
“Nah itulah Ukh! Yang ana tidak begitu senang. Kenapa kita harus mempersoalkan sesuatu yang tidak melanggar syariat! Hanya karena egoisme semata, syariat kita tafsirkan dengan seenak hati kita sendiri. Termasuk dalam hal ini, perkara akhwat menembak Ikhwan duluan. Sering dikatakan kepada para akhwat yang menembak ikhwan duluan. Dengan kata-kata tidak tahu malulah, karena tidak lakulah, karena kepepetlah, karena mengejar targetlah. Dan banyak Lah-lah lainnya. Jadi ini menurut ana sudah melanggar koridor-koridor yang pernah diterapkan oleh shahabiah-shahabiah Rasulullah. Yang tidak pernah dilarang oleh Rasulullah. Ana menggugat akhwat dan ikhwan. Karena perkara-perkara yang seperti ini.
Ikhwan banyak yang mematok kriteria yang terlalu tinggi bagi para akhwat calon istrinya. Padahal, akhwatkan juga manusia! Sedangkan para akhwat, mereka suka dengan euphoria. Dengan mendambakan ikhwan yang hafalannya bagus, banyak aktif diorganisasi. Sampai-sampai, siap hidup sengsara dengan para ikhwan. Ini merupakan sebuah euphoria yang membuat akhwat-akhwat menjadi terbelenggu.
Hingga akhirnya akhwat-akhwat hanya bisa menunggu saja, sedangkan para ikhwan terus mencari kriteria-kriteria yang standart dengan pikiran ikhwan itu sendiri.
Bahkan ini menurut ana, sudah diluar jalur tentang koridor-koridor kesyar’ian. Apalagi ada seorang akhwat yang tidak mau menembak ikhwan duluan. Tetapi dia lebih memilih mengajukan proposal pernikahannya kepada murabbiahnya. Nah, ini kan sama saja! Hanya, beda cara! Kalau saja akhwat tidak ingin menembak ikhwan duluan. Maka seharusnya akhwat itu pun, tidak boleh menngajukan proposal Pernikahan kepada murabbiahnya. Tetapi, harus menunggu sampai ada seorang ikhwan yang melamarnya! Bukan karena ikhwan itu melihat proposal pernikahan si akhwat! Masalah-masalah kecil seperti ini, kadang menjadi besar saat-saat kita membesarkannya. Rasa malu kadang tidak seberapa, dibandingkan rasa sesal dikarenakan tidak mendapatkan apa yang kita harapkannya! Lebih baik kita malu dengan ditolak, daripada kita menyesali dengan apa yang tidak kita dapatkan!” Jelasku, serius.
“Hehe… Anti kok antusias banget!” Ucap Reni.
“Ana kan, hanya menjelaskan Ukh!” Ucapku, kecut. “Yah, yang terpenting. Semua apa yang kita lakukan. Tidak menyimpang dari syari’at! Dan apa yang kita lakukan hanya untuk mencari Ridha Rabbil Izzati!”
“Ya, benar ukhti! Ana setuju dengan semua yang dikatakan oleh ustadzah Heni dan anti. Ana sebenarnya malu, jika ikut nimburng dalam diskusi siang tadi! Kesannya, kok nanti ana kelihatan belain anti! Nanti bisa-bisa nggak baik buat ukhuwah kita.
Dikira ada kelompok-kelompokan!”
JILID 4
Mentari bersinar lagi. Cahanya memancar pada setiap denyut sisi dunia ini.Aku mempercepat gerak langkahku. Menuju sebuah perkampungan kumuh. Aku harus menuju kesana. Karena seperti biasanya, aku harus mengisi kajian disana.
Beberapa kali aku melihat orang-orang yang berlalu-lalang dengan membawa gerobak. Gerobak asongan, untuk mengisi dagangan atau besi-besi tua. Hilir mudik disetiap laju jalan daerah kumuh ini. Aku pasti sudah terlambat nich! Ini salahku.
Kenapa aku harus ngobrol dengan Ukhti Reni sampai larut malam. Sampai-sampai aku tidak sholat tahajjud tadi malam! Gerutuku dalam hati. Dengan tetap berjalan.
Rumah ibu Inah sudah terlihat. aku percepat langkahku, menuju medan dakwah yang menunggu. Menunggu ladang-ladang dakhwah yang akan aku semai.
“Assalamualaikum” Ucapku, sembari langsung masuk rumah ibu Inah.
Serempak, seisi rumah langsung menjawab salamku. “Walaikumsalam”
“Wah, maaf yah. Saya terlambat!”
“Oh, nggak kok Mbak Farah!” Jawab ibu Inah, ramah.
Setelah itu aku langsung memberikan materi tarbiyah, untuk para ibu-ibu. Mereka dengan baik menyimak beberapa materi tarbiyah yang aku sampaikan.
Sesekali terdengar celetukan para ibu-ibu, bingung karena tidak mengerti materi yang aku sampaikan. Materi Tauhid, materi awal pada setiap kajian. Ternyata, masih sangat banyak para wanita-wanita Islam ini yang belum mengerti tentang ajaran ketauhidan.
“Tauhid, merupakan sebuah hal yang mendasar dalam agama Islam sebelum Iman! Kalimat tauhid merupakan kalimat pertama yang harus diucapkan. Bentuk kalimat Tauhid, ada beberapa macam. Ucapan tauhid yang pertama adalah, syahadat. Dalam kalimat syahadat, telah ditetapkan. Bahwa, kita hanya boleh menyembah Allah dan mengikuti aturan-aturan yang telah dilakukan oleh Rasulullah. Kadang, kita melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama. Tetapi anehnya, kita tidak merasa bahwa perbuatan yang kita lakukan itu melanggar agama! Contohnya, saat kita kesulitan mendapatkan uang. Beberapa macam cara kita gunakan, sampai-sampai datang meminta pertolongan kepada orang pintar! Nah, kadang kita menganggap bahwa memita pertolongan kepada orang pintar itu sebagian dari ikhtiar kita!” sejenak aku menghentikan penjelasanku. Para ibu-ibu ini terlihat sangat antusias sekali mengikuti kajian.
Sesudah menghela nafas, aku meneruskan penjelasanku. “Ibu-ibu, ikhtiar itu bukan meminta tolong kepada selain Allah. Mungkin kita menganggap, bahwa orang pintar bisa dijadikan sebagai perantara pertolongan dari Allah? Sebenarnya, saat kita meminta pertolongan kepada mahluk Allah. Maka Allah itu akan sangat murka kepada kita, karena berarti kita meminta tolong bukan kepada Allah langsung.
Padahal dalam Al Qur’an [16.53] ‘Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudaratan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.’ Jadi, Allah sudah memperingatkan kita untuk selalu langsung meminta pertolongan kepada-Nya. Bukan melalui perantara orang yang diragukan keimanannya untuk menyembah Allah. Seperti dalam AlQur’an [29.41] ‘Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui’ ini merupakan sebuah perintah Allah kepada kita. Untuk langsung meminta sesuatu kepada Allah langsung. Dan, kita harus meminta dengan segenap ketaqwaan kita terhadap Allah Dan Allah pasti mengambulkan permintaan kita! Jika permintaan kita belum dikabulkan secepatnya, pasti Allah akan mengabulkannya diwaktu mendatang!
Karena Allah itu maha pemberi. Maka memintalah kepada yang Maha mengasih!”
Ibu-ibu terlihat mengerti dengan materi kajian yang aku berikan. Insya Allah. Waktunya tanya jawab. Waktu inilah yang akan membuatku lebih berinteraksi, jika memberikan sebuah materi kajian. “Mungkin ibu-ibu, ada yang belum mengerti?” Tanyaku,
Ibu Inah mengacungkan tangannya. “Mbak Farah, saya mau bertanya!”
“Iya silan Bu Inah!”
“Mungkin ini agak, menyimpang dari tema kajian kita kali ini! Yang saya tanyakan adalah. Apakah seorang wanita muslim wajib memakai jilbab? Apakah jilbab juga bentuk ketauhidan kita kepada Allah? Itu aja Mbak!”
Hem, memang ini saatnya aku memberitahukan perintah berjilbab! Tapi tetap dalam koridor-koridor yang bisa mereka mengerti! Ucapku dalam hati. “dalam Al Qur’an yang tertera dalam Annur 31 dan Al Ahzab 59. Allah sudah mengatur beberapa cara berpakaian wanita! Ibu-ibu, tubuh wanita itu sesungguhnya sangat sempurna.
Sungguh kesempurnaan yang sangat luar biasa, karena Allah menciptakan mahluk yang dinamakan wanita itu dengan keindahan! Alangkah sayang, jika keindahan yang diberikan Allah kepada kita, kita perlihatkan kepada khalayak umum. Karena keindahan itu, harus diberikan kepada manusia yang berhak menerima keindahan.
Yaitu suami kita. Karena Allah memualiakan kita, maka akhirnya dengan kemuliaan Allah kita diberikan ciri pakaian yang pantas untuk dipakai oleh seorang wanita!
Sungguh wanita itu sangat mulia. Maka jika kita ingin mulia berpakaianlah sesuai dengan kemuliaan.
Hubungannya jilbab dengan ketauhidan. Merupakan sebuah mata rantai yang bertautan. Karena jilbab merupakan perintah Allah. Maka dengan begitu, jika kita wanita yang bertauhid. Dengan sendirinya kita akan menuruti apa yang diperintahkan oleh Allah. Termasuk perintah untuk berjilbab menutup aurat! Jika kita tidak menuruti perintah Allah. Berarti kita telah menafikkan perintah-Nya. Orang-orang, yang tidak menuruti perintah Allah. Berarti dia telah mempunyai sesembahan baru selain Allah.
Dengan begitu, seorang wanita yang tidak berjilbab. Sama saja dengan mempunyai sesembahan baru selain Allah. Karena telah berani menentang perintah Allah!
Tapi bukan berarti ibu-ibu menetang perintah Allah. Saya yakin, bahwa ibu-ibu sebenarnya pengen sekali berjibab! Tetapi mungkin, hanya belum dilaksanakan saja” kataku sambil tersenyum kepada para ibu-ibu.
Para ibu-ibu terlihat serius sekali memperhatikan penjelasanku tentang penutup aurat.
“Tapi Mbak, kalau kita belum punya uang untuk beli jilbab. Gimana?” tanya bu Darmin.
“Insya Allah Ibu-ibu. Jika kita berniat kuat untuk melakukan sesuatu kebaikan. Maka Allah akan memudahkan usaha kita! Sesungguhnya, jika kita mendekati Allah dengan berjalan, maka Allah akan mendekati kita dengan berlari. Maka jangan putus asa, jika kita memang belum punya uang untuk berjilbab. Niat saja, itu sudah dihitung menjadi pahala oleh Allah. Apalagi melakukannya!” Senyumku terus mengembang, pada ibu-ibu.
“Mbak Farah, saya mau bertanya!” Giliran ibu Ijah.
”Iya Bu!”
“Apakah benar, wanita itu tidak boleh bersalaman dengan laki-laki?”
“Hem. Dalam hadits, dikatakan bahwa Rasulullah itu berkebiasaan berjabat tangan atau bersalaman. Tetapi Rasulullah tidak pernah berjabat tangan dengan wanita. Dan para sahabat pun, tidak pernah berjabat tangan dengan wanita. Dengan contoh seperti itu, maka kita harus mengikuti aturan-aturan yang dilakukan oleh Rasulullah. Seperti penjelasan saya tadi, bahwa seorang wanita itu adalah mahluk yang mulia. Maka, muliakanlah wanita dengan kemuliaan akhlak wanita itu sendiri. Maka wanita, akan menjadi benar-benar seorang yang dimuliakan! Bagaimana ibu-ibu, ada pertanyaan lagi?” Tanyaku menutup penjelasan.
Semua mengangguk, tanda mengerti.
***
Saat aku berjalan.
“Tluut...Tliiluut...” Bunyi Hpku. Saat aku lihat, Sms masuk dari Ukhti Dewi.
“Mbak, ada dimana? Ana butuh bantuan Mbak, sekarang bisa?” Tulisnya. Langsung saja aku meneleponnya.
“Assalamualaikum, Mbak!” Ucap Dewi.
“Walaikumsalam, Ukhti! Ada apa Ukh?” Ucapku saat setelah Dewi mengaangkat Hpnya.
“Mbak, ana butuh konsultasi nih! Mbak ada dimana?”
“Ana lagi dalam perjalanan pulang! Ini sudah sampai Jl. Sudirman.”
“Oh ya! Mbak, bisa nunggu ana di rumah makan LEZAT nggak? Itukan didaerah JL. Sudirman!” Serunya.
“Hem, ok! Ana tunggu disitu. Udah yah, ana menuju rumah makan Lezat sekarang!”
“Iya Mbak, ana kesana sekarang! Assalamualaikum” Ucap Dewi, sambil menutup pembicaraan.
Walaikumsalam! Hem, itung-itung makan siang disana. Gumamku dalam hati.
Dewi adalah adik kelasku saat masih di SMU. Dia termasuk anak ROHIS, yang militan banget. Semangatnya hebat sekali. Aku salut kepadanya. Jarang ada akhwat semilitan dia. Entahlah, Dewi memang lebih sering mengadu masalahnya kepadaku, daripada Akhwat senior yang lainnya.
***
Siang ini begitu terik, mentari bersinar dalam naungan panas yang menyengat. Aspal-aspal jalanan, mengeluarkan fatamorgana yang berhamburan. Pasti sangat panas! Tetapi dari sudut jalan, terlihat anak-anak kecil berlarian tanpa alas kaki.
Mereka meminta beberapa rupiah, pada setiap pengendara. Aspal-aspal jalanan, seperti sudah menjadi saudara anak-anak itu. Hingga panasnya pun, tidak menyengat mereka. Pantas mereka disebut, anak jalanan. Sebenarnya pilu, saat melihat mereka berlarian mengais rupiah. Tetapi, aku hanya bisa merubah sedikit sekali anak-anak jalanan itu.
Tetap, diruang yang berAC dingin ini. Aku melihat mereka, si anak-anak jalanan. Semoga Allah, tetap membibing mereka. Terlihat Dewi berjalan menuju kearahku. Sambil tersenyum. Jilbab dan gamisnya pun seraya ikut menyapaku.
“Assalamualaikum. Afwan mbak, ana baru datang!” Ucap Dewi.
“Walaikumsalam. Nggak kok, ini aja ana belum makan apa-apa!” Gurauku.
Dewi hanya tersenyum. Senyumannya terasa berat. Terlihat aral yang membelunggu dalam hatinya. Hem! Kenapa lagi adikku ini? Kasihan!
“Ada apa, Ukh?” Tanyaku langsung.
Sejenak, saat aku bertanya itu. Dia langsung memelukku. Isak tangisnya langsung mengalir dalam pelukanku. “Mbaa...k, Ana kena musibah!” Suaranya parauh dan terdengar lirih. “Mbak, Allah memberikan banyak musibah kepada ana! Ana nggak kuat Mbak!” isak tangisnya menandakan kegalauan yang sangat besar.
“Innalillahi.... Sabar, ya Ukh! Anti jangan ngomong gitu. Nggak boleh! Lebih baik sekarang kita makan dulu. Lalu, kita bicaranya dirumah ana aja! Biar, lebih leluasa!”
kataku, sambil mengusap-usap punggung Dewi.
Wajah yang jelita, ceria dengan kegiatan yang begitu dia senangi. Kini seakan, musnah. Aral telah membelunggu tubuhnya. Jiwanya terlihat lemah. Matanya sayup dan terlihat tidak bergairah. Dengan sedikit mengangguk, Dewi menyetujui saranku.
Tetapi tidak seberapa lama, Dewi menatapku. Wajahnya terlihat khawatir. “Mbak..!” ucapnya lirih.
“Apa, Ukh!”
Dewi terlihat berhati-hati dalam setiap ucapannya. “Afwan ya, Mbak! Eem... Mbak, sebenarnya ana nggak punya duit banyak untuk mentraktir Mbak Farah!”
Saat Dewi mengucapkan itu. Aku langsung tersenyum. Adikku yang satu ini, sifatnya memang nggak pernah berubah! Pasti nanti minta bayarnya sendiri-sendiri. Tapi ini yang aku suka, sifat blak-blakkannya inilah yang membuatku semakin senang dengan dia. Sifat yang jujur, polos dan lugu. Gumamku dalam hati.
“Hehe... pasti anti mau bilang kalau bayarnya, sendiri-sendiri aja! Ya kan?” Ucapku sambil menggoda, si lugu.
Dengan sedikit malu, Dewi menundukkan wajahnya dan mengangguk pelan.
“Hehee... Udah deh, Ukh. Anti nggak usah bayar, biar ana yang traktir anti!”
“Eh... jangan Mbak! Ana kan sudah merepotkan Mbak. Masa makan, Mbak juga yang repot!” Ucapnya, seraya memang terlihat rasa malu diwajahnya.
“Nggak apa-apa, lagi Ukh! Anti kan saudara ana. Jadi sesama saudara itu kan harus saling memuliakan!”
Dewi langsung tertunduk. Wajahnya memerah. “Afwan ya, mbak. Memang saudara harus saling memuliakan. Tetapi ana tidak pernah memuliakan Mbak Farah! Malah Mbak Farah yang terus memuliakan ana. Saudara macam apa ana ini! Ana malah sering merepotkan Mbak Farah, dengan masalah-masalah ana sendiri!”
Waduh, aku salah ngomong nich! Wah, jadi mendung kembali nih.
“Ukhti, anti selalu memuliakan ana kok! Dengan menceritakan masalah anti ke ana.
Ana merasa anti sudah menganggap bahwa ana adalah saudara anti. Karena saudara, adalah seorang yang tidak saling menutupi kekurangan dan kelebihannya. Kepada saudara yang lainnya! Dengan menceritakan problem anti, ana sudah sangat merasa anti muliakan!” Aku menatapnya dengan penuh keikhlasan.
“Terima kasih, ya Mbak!” Ucap Dewi polos.
Aku tersenyum. “Baik, sekarang kita pesan makanan. Ok!”
Dewi mengangguk sambil tersenyum. Senyuman seorang saudara, yang mengandung keteduhan hati.
Uhibbukka fillah yaa ukhti.
***
“Ceritakan masalah anti, sekarang!” Ucapku. Saat sudah berada dikamar yang setiap hari memberikan fasilitas tidurnya untuk selalu kutempati. Tak lupa, aku memeluk boneka panda, yang setiap hari menemani tidurku.
“Mbak, Papa dipecat dari perusahaannya! Yang lebih parah lagi. Papa sakit jantung! Papa sekarang dirawat dirumah sakit. Kata Mama, saat Papa dipecat tidak membuat Papa sakit. Tetapi saat Papa dapat surat panggilan dari kepolisan, tentang dugaan korupsi diperusahaan. Papa langsung pingsan, dan langsung dirawat dirumah sakit!
Pernah Papa, mengatakan kepada ana. Bahwa Papa, sedang menyelidiki dugaan korupsi diperusahaan. Papa curiga dengan, seorang anak pemilik salah satu pemodal perusahaan. Yang melakukan korupsi itu! Tapi entah kenapa. Pada saat Papa, sudah hampir menemukan semua bukti-bukti. Papa dengan cepat dipecat diperusahaan! Dan setelah itu Papa, balik dituduh sebagai seorang koruptor! Ana bingung Mbak. Biaya rumah sakit sangat besar. Hingga akhirnya, kami sekarang tidak mempunyai apa-apa!
Alhamdulillah, Mas Aldi. Siap menanggung biaya pengobatan Papa. Tetapi mas Aldi, tidak punya cukup banyak uang untuk membiayai kuliah ana. Kasus tuduhan dugaan korupsi Papa, sampai saat ini masih diusut!” Sejenak Dewi menghela nafas panjang.
Dengan masih terisak tangis, Dewi mengatakan. “Mbak ana bingung, ana nggak punya cukup uang biaya kuliah. Ana sekarang harus DO! Mbak ana juga takut, kalau Papa benar-benar akan masuk penjara! Ana takut.... Mbak!” dengan serta merta pun, Dewi langsung memelukku.
“Sabar ya Ukh! Ukhti, sesungguhnya anti sudah pernah mempelajari tentang teori kesabarankan! Hanya saja, kita terkadang dengan mudah berkata-kata tentang teori kesabaran yang diajarkan oleh agama kita! Tetapi, pada saat ujian itu datang kepada kita. Masya Allah, kita lupa dengan segudang teori kesabaran yang telah kita pelajari!
Ini sudah sangat sering terjadi Ukh! Ana hanya mengingatkan kepada anti. Anti harus ingat, bahwa Allah sangat menyukai dengan hamba-hambanya yang sabar. Dan kemuliaan orang yang sabar, adalah dijanjikannya surga dan pahala. Anti harus ingat dengan Al Baqarah 214 ‘Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta diguncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersama-sama. ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’
Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.’ Atau dalam Al Ankabut dalam ayat 2-3. ‘Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami tealh menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia megnetahui orang-orang yang dusta.’
Ukhti, cobaan merupakan sebuah rasa kasih sayang Allah. Yang diberikan kepada seluruh hambanya. Manakala seorang hambanya, saat diberikan cobaan. Maka kita harus ingat, katakanlah innaa lillahi wa innaa ilayhi raaji’uun. Yaa Ukhti, ana juga akan mengingatkan kepada anti, tentang hadits Abu Razin “Allah Swt. Merasa heran kepada seorang hamba yang putus asa padahal Allah Swt. Dapat merubah segala sesuatu dengan mudah. Allah Swt. Melihatnya dalam keadaan putus asa, lalu Dia tertawa karena jalan keluar sebenarnya sudah dekat” Ukhti, anti harus ingat.
Bahwa sesungguhnya cobaan yang anti dapatkan, merupakan sebuah ungkapan kasih sayang Allah kepada anti. Sungguh besar, kenikmatan yang diberikan Allah kepada saat ini. Jika anti menyadarinya! Anti ana sebagai saudara, apalagi ana merasa sebagai kakak Anti. Tidak akan mau melihat saudara atau adik ana, berputus asa. Karena, sebenar-benar seorang manusia yang terhina, adalah manusia yang berputus asa!
Ingat Ukh, ‘Sesungguhnya pertolongan turun dari langit sesuai dengan cobaan yang ditimpakan kepada seseoarang, dan kesabaran turun sesuai dengan besarnya musibah’ (Ibnu Katsir IV/526). Maka sesungguhnya, Allah pasti memberikan pertolongan kepada anti. Sesuai dengan tingkat cobaan yang diberikan anti!” sejenak aku melihat wajah sendu Dewi. Terpancar cahaya kemuliaan kembali.
Semangatnya timbul, seiring dengan terpacunya penghambaan kepada Allah. Aku tersenyum. “Ukhti, ana siap membantu semua biaya kuliah anti! Mulai dari apapun. Ana tidak mau saudara atau adik ana putus kuliah hanya karena masalah seperti ini! Biaya kuliah ana yang tanggung. Untuk proses fitnah korupsi yang dituduhkan kepada Papa anti. Ana siap untuk membantu, menyediakan pengacara muslim, yang berkompeten dalam bidang ini! Insya Allah, Abi punya banyak kenalan tim pengacara Muslim!
Wajah sendu itu kembali tersenyum. Keceriaan yang meredup, kembali merekah. Kini saudaraku bahagai, sebahagia aku membahagiakan saudaraku. Aku pun tersenyum, bahagia.
Tapi tak lama. Wajah itu kembali meredup. “Nggak Mbak! Ana udah terlalu banyak merepotkan Mbak Farah! Ana menceritakan masalah ana, hanya untuk mendapat taujih dari Mbak Farah. Serasa damai saat Mbak Farah memberikan taujih Rabbani kepada ana! Itu sudah cukup! Ana nggak mau merepotkan Mbak terlalu banyak.” Dewi menundukkan kepalanya. Sebutir kristal kembali berjatuhan. Wajah sendu itu pun, kembali datang tanpa diundang.
“Yaa Ukhti! Apakah anti menganggap ana adalah saudara anti?” Ucapku, mempertegas.
Dewi mengangkat kembali kepalanya, dia tersentak. Kaget. “Pasti Mbak Ana sudah menganggap Mbak Farah adalah kakak ana!” sejenak dia menghela nafas panjang “Tapi, ana nggak mau menerima pemberian Mbak Farah dengan cuma-cuma. Ana malu, Mbak! Lebih baik Mbak Farah memberikan pekerjaan kepada ana. Dari pada ana harus berdiam diri, meminta pertolongan Mbak Farah terus menerus! Atau ana bisa menjadi seorang pembantunya Mbak Farah. Ana siap!” Ucapnya terbata-bata.
Aku tersenyum. Sebuah kesalahan besar, jika seorang Muslim hanya mendapatkan harta tanpa bekerja. Karena itu akan merendahkan kemuslimannya. Aku bertambah salut dengan Dewi. Memang benar-benar seorang adik yang memegang izzah! Pikirku. “Baik kalau begitu! Ana akan memberikan pekerjaan buat anti. Tapi bukan menjadi pembantu ana!” Kataku sambil senyum.
Dewi tersenyum puas. “Ana siap bekerja, apapun yang Mbak Farah perintahkan. Ana akan menurutinya! Apa pekerjaan ana, Mbak?” Dewi terlihat sangat antusias sekali.
“Mudah, anti tinggal menjadi pembantunya pembantu ana! Gimana?” Mata Dewi terbelalak. Seakan tidak percaya dengan ucapanku. Bibirnya terlihat berat untuk berkata. Saat dia akan berkata.
“Hehhehe... afwan ana bercanda! Nggak mungkinlah, seorang akhwat yang cantik jadi pembantunya pembantu ana! Insya Allah, ada beberapa perusahaan ana yang akan membutuhkan seorang akhwat yang brilian dalam bekerja. Dan istiqomah tentunya.
Apalagi yang siap berdakwah dalam perusahaan. Dan masih tetap bisa kuliah!” Dewi kembali tersenyum. “Mbak Farah bisa aja! Ana kaget, tapi sebenarnya ana siap aja jadi pembantunya pembantu Mbak Farah. Asal pembantunya Mbak Farah mengijinkan ana kuliah!” Ucapnya dengan lugu dan polos.
Aku jadi teringat saat pertama kali Dewi masuk Rohis. Seorang anak direktur perusahaan yang baru beranjak dewasa. Apapun kegiatan dia ikuti. Sampai-sampai kegiatan ngeceng di mall pun dia ikuti. Lucu. Dia tidak mengetahui hukum-hukum Islam secara benar. Tetapi semangatnya benar-benar kuat. Dia pernah berkata, bahwa saat masih SMP dulu. Dia tidak boleh mengikuti kegiatan apapun. Jika sudah pulang sekolah, dia harus langsung pulang tepat waktu. Tidak boleh kemana-mana.
“Bagaimana bisa kemana-mana Mbak! Setiap hari diantar supir. Kalau telat sedikit, langsung supir diomelin sama Mama. Makanya supir nggak berani nuruti kemauan yang aku minta!” itulah curhat pertama Dewi kepadaku. Hingga akhirnya, saat dia beranjak dewasa. Apapun ingin diikutinya. Alhamdulillah, setelah bergabung dengan anak-anak ROHIS. Dia lebih cenderung untuk mengikutinya, meskipun Dewi masih sering pergi konkow-konkow di mall. Tetapi lama kelamaan, dia mengetahui sendiri.
Bahwa anak-anak ROHIS punya jiwa pembeda dengan yang lainnya. Dan mempunyai jiwa, lebih damai ketimbang dengan yang lainnya.
Masih banyak Dewi-Dewi yang lainnya. Yang tidak mengetahui dengan benar. Antara kebaikan, keburukan dan kesamaran dengan keduanya. Masih banyak Dewi-Dewi yang lainnya. Yang mereka tidak mengetahui perbuatannya. Entah salah, entah benar. Yang penting adalah kesenangan. Karena lepas dari jeratan penjara yang mengekang mereka. Beruntunglah Dewi yang satu ini, karena dia berada pada naungan kebaikan. Tetapi apakah Dewi-Dewi yang lainnya, seberuntung Dewi yang ini? Entahlah, semoga para aktivis dakwah tidak dengan mudah mengklaim kebenaran pada diri mereka masing-masing. Atau bahkan mengklaim paling baik dan paling sholeh ketimbang Dewi. Atau mengira, Dewi memang dilahirkan untuk menjadi setan! Bagi para aktivis dakwah. Renungkanlah!
Aku menatap Dewi, dalam-dalam. Aku penuhi matanya dengan jiwa kasih sayang seorang saudara. Dengan nada pelan dan lembut, aku katakan. “Ukhti, sesungguhnya ana sangat menyayangi anti! Ana tidak akan setega itu.”
Binar matanya kembali terang. Kini mata binar itu kembali. Cerah sekali. Setetes bulir air mata kebahagiaan membasahi. Terang itu kembali datang, mengisi semua rongga kebahagiaan dirinya. Entah apa yang diucap dalam bibirnya, seraya dia menyebutnyebut nama Tuhannya. Seraya dia menyebut nama Sang Maha Suci Allah.
Mengucapkan rasa syukur yang teramat dalam. Mengucapkan kebesaran nama Tuhannya. Dan selalu melafalkan kalimat ketauhidan yang teramat dalam. Tak sebarapa lama, Dewi langsung memelukku. Pelukan seorang adik yang menyayangi kakaknya. Pelukan seorang saudara yang begitu mencintainya. Subhanallah.
“Terima kasih, Mbak Farah!” Itulah ucapan lirih yang terlantun dalam bibir merahnya.
Aku tetap memeluknya. Pelukan seorang wanita yang merindukan seorang adik. Pelukan seorang akhwat kepada saudaranya. Pelukan seorang wanita, yang ingin membahagiakan Ukhtinya. Aku, akan tetap menjagamu. Adikku!
***
“Mbak, gimana kuliahnya!” Tanya Dewi. Disela-sela pagi, sesudah sholat subuh.
“Alhamdulillah baik. Tinggal sidangnya aja, sekarang!”
“Kabar-kabarnya. LDK kampus Mbak sekarang, lagi ngerencanain setrategi dakwah baru yah Mbak!”
“Iya, nih. Aktivis Dakwah Kampus ana, sekarang lagi mulai bersosialisasi dengan para mahasiswa ammah! Biar nggak terkesan ekslusive, gitu!”
“Hem, benar Mbak. Ana aja, kadang malas melihat para Aktivis Dakwah Kampus.
Yang terkesan menjauhi para mahasiswa ammah! Padahal mereka kan objek dakwah juga!”
“Nah, makanya itu! Dakwah bukan berarti mengasingkan diri. Karena kita mempunyai objek dakwah yang pasti, yaitu orang dekat sekeliling kita. Maka, kita dilarang untuk menghindari mereka! Kalau kita menghindari mereka, sama saja kita menghindari objek dakwah!” Ujarku.
“Iya, Mbak! Oh iya, Mbak. Kapan nih, bersiap melangkah untuk menggenapkan Dien kita?” Ucap Dewi menggoda.
“Hem, Anti ini apa-apaan sich! Mana ada sih Ikhwan yang mau sama ana?”
“Yee... Mbak Farah gimana sih! Nggak ada, lagi. Maksudnya nggak ada yang akan menolak menjadikan istri Mbak Farah! Mana ada sih, seorang ikhwan yang menolak Akhwat sesempurna Mbak Farah!” Ucap Dewi, genit.
“Ih, anti genit banget!”
“Biarin, ana genitnya kan sama kakak sendiri!” Ujarnya sambil tersenyum centil plus manjanya.
Yaa Allah. Terima kasih, Engkau memberikan adik kepadaku. Adik yang selalu dapat menghiburku. Adik yang selama ini hanya menjadi khayalanku. Sungguh, Yaa Allah.
Aku sangat berterima kasih kepada-Mu. Aku akan benar-benar menjaganya. Menjaga seperti kakak yang tidak akan mau melihat adiknya terluka atau pun dilukai.
“Mbak.... Mbak Farah! Ih kok melamun sih!” Suara Dewi mengejutkanku.
“Nggak, ana hanya mengingat-ingat. Nanti ada kegiatan apa nggak!” Ujarku
“Ih, Mbak Farah. Ngeles aja! Oh, iya Mbak. Mas Khalid itu siapa yah!” Dewi melirikku dengan matanya yang genit. Kegenitan seorang adik.
DEG. Jantungku serasa berhenti. Nama itu disebut lagi. Entah kenapa, setiap kali ada yang menyebut nama itu. Jantungku berdebar-debar. Astaghfirllah.
“Anti, tahu darimana Akhi Khalid!” Ucapku terlihat kaget.
“Yee... berarti benar yah!”
“Bener, apanya? Anti jangan berfikiran yang bukan-bukan loh!”
“Berarti benar, Mas Khalid akan jadi Kakak laki-laki ana! Mas Khalid akan jadi suami Mbak Farah! Hihihihi...”
“Anti...” langsung saja, aku memukulkan bantal busa kearah Dewi.
Akhirnya, kami pun perang bantal. Seiring dengan tawa kebahagiaan bersama. Tawa yang tidak menjadikan rendah martabat seorang wanita. Tawa yang bukan memekikkan telinga. Apalagi, bukan tawa yang membuat orang ketakutan. Tawa yang dikira orang kerasukan.
JILID 5
Dewi sudah kembali pulang. Keceriaannya sudah kembali datang. Sinar redup matanya pun telah sirnah. Insya Allah, Dewi sudah bisa bekerja diperusahaan Abi. Minggu depan. Tetapi, Dewi tetaplah Dewi. Seorang akhwat, yang harus tetap menyelesaikan kuliahnya. Seorang akhwat, yang harus tetap beraktivitas dengan dakwahnya. Tidaklah aku akan senang. Jika pekerjaan yang aku berikan, malah menghambat aktivitasnya. Apalagi aktivitas dakwahnya.
“Tluutt...Tliiuut...” Suara Hpku. Saat aku lihat di LCD Hpku. Nomer Hpnya siap yah?
Kok nggak tertera di LCD!
Dengan cepat aku tekan tombol call. “Halo, Assalamualaikum!”
“Iya, Selamat pagi! Ini Mbak Farah Zahrani?” Ucap si penelepon.
Hem kok nggak jawab salamku sih! Pikirku dongkol. “Iya, ini Farah Zahrani! Ini
siapa yah?”
“Saya pernah membaca artikel Mbak Farah Zahrani, disalah satu buletin kampus! Saya tertarik untuk mendiskusikannya. Bisa Mbak?”
“Oh, iya bisa! Kapan?”
“Kalau nanti jam satu siang, gimana?”
“Insya Allah, bisa. Dimana?”
“Kita ketemu di Aneka Kafe!”
“Ok. Bisa! Aku nanti tak kesana. Oh, iya. Nama Mbak siapa?” Tanyaku penasaran.
“Aku, tunggu disana! Terima kasih. Namaku Nova!” Ucapnya, sembari langsu ng menutup telphonenn ya.
Nova! Sepertinya aku mengenal nama itu. Apakah benar, dia? Aku terkejut, saat tak lama Hpku berdering kembali.
“Tluut....tliuutt” Dewi!
“Hallo, Assalamualaikum. Ukh!” Ucapku setelah memencet tombol call.
“Wa..laikumsalam. Mbak....!” Ucapan Dewi terlihat gugup dan bingung.
“Ada apa, Ukh?”
“Mbak... rumah ana. Rumah ana dibobol orang... semua barang diobrak-abrik. Surti, pembantu ana. Diikat, dikamar mandi. Mbak... ana bingung!” Dewi terdengar sangat panik.
“Tenang.... Istighfar. Ukh! Sudah menelephon polisi?” Aku sangat khawatir.
“Be..lum, Mbak! Ana takut...”
“Nggak usah takut! Sekarang, anti telephon polisi!”
“Ta..pi Mbak! Pembobol rumah itu mengancam.”
“Nggak usah takut. Pokoknya, sekarang anti telephon polisi! Ana kesana sekarang.”
“i....ya Mbak! Ana akan telephone sekarang.”
“KLIK”
Ya Allah, kuatkan saudaraku. Kuatkan seorang mujahidahmu! Ya Allah. Aku tahu, bahwa pastilah ini cobaanmu kepadaku juga. Aku sadar, bahwa engkau memberikan cobaan kepadaku. Cobaan untuk lebih peduli lagi kepada saudara seiman.
Secepatnya aku berkemas. Dan langsung mengambil kunci mercedezku. Ini genting! Tak lama, aku sudah berada dikursi empuk mercerdez. Sesegera mungkin, aku lansung meluncur kerumah Dewi. Gundah sekali suasana hati. Bahkan mobil mewah yang aku kendarai, tetap tidak bisa menentramkan hati. Rasa asa yang berkecambuk dalam hati. Semakin membesar dalam diri. Pedal gas, seakan ingin melaju dalam kecepatan yang tak wajar. Melaju dalam kecepatan tinggi yang melanggar. Tapi, aku tetap harus bisa mengontrol diri. Tidaklah seorang muslim, terburu-buru dalam sebuah tindakan. Karena terburu-buru adalah tindakan syetan.
Tidaklah seorang muslim, berlebih-lebihan dari kecepatan yang telah ditentukan untuk kemaslahatan. Kecuali seorang yang selalu melanggar dalam kehidupan. Mobil ini memang bagus, memang cepat dan nyaman. Tetapi, tidaklah seharusnya membuatku lupa dengan kemaslahatan.
Kecepatan mobilku, harus tetap sedang. Sedang, sesuai dengan peraturan yang tertera dalam berlalu-lintas. Meskipun aku, dalam naungan nafsu untuk dapat mempercepat laju kendaraanku. Deru laju mobil, begitu sangat nyaman. Tidak seperti, angkot yang biasa aku tumpangi. Memang beda. Beda memang, saat menaiki angkot.
Aku merasa lebih leluasa sebagai seorang hamba Allah yang zuhud. Tetapi, saat marcedes ini aku kendarai. Kadang ujub dan takkabur sering muncul berbarengan.
Aku takut, menjadi teman mereka. Teman-teman ujub dan takkabur apalagi riya’. Tak lama, perumahan citra asri kencana sudah terlihat. Tinggal berbelok dan beberapa blok lagi, aku sudah sampai dirumah Dewi. Marcedes ini, melaju dengan nyaman diperumahan ini. Beberapa kali, seorang melihatku. Entahlah, kenapa. Orang-orang cina yang keluar dari rumahnya, menatapku dengan agak heran. Menatap, seorang berjilbab mengendarai mobil mewah. Mungkin.
Terlihat banyak sekali orang-orang disalah satu rumah. Ya, itu rumah Dewi. Beberapa mobil polisi, sudah terlihat disekitar rumah itu. Alhamdulillah, polisi lebih dahulu sampai. Tidak seperti difilm-film! Polisi, dikesankan selalu datang terlambat.
Tapi, ya memang terlambat sih!
***
“Mbak Farah....!” Dewi berlari memelukku. Saat aku baru turun dari mobil.
“Ukhti. Anti tidak apa-apa kan!” Tanyaku, khawatir.
Dewi menggelengkan kepalanya. Isakan tangisnya masih terasa.
“Istighfar, ya Ukh!”
Sejenak Dewi menghela nafas panjang. Mencoba untuk menenangkan dirinya. Bisikan lirih terdengar dimulutnya. “Astagfirllah.” Derai air matanya, tetap mengalir seiring isak tangis yang tiada henti.
“Ukhti, sabar! Allah sedang menguji anti.”
“Mbak! Coba, Mbak masuk kedalam. Lihat tulisan yang ada di diding.” Dewi langsung menarik tanganku, mengajak masuk kedalam. Memperlihatkan tulisan ancaman itu.
“BERIKAN DATA-DATA ITU, ATAU KALIAN SEKELUARGA MATI. JANGAN SEKALI-KALI MELAPOR KEPOLISI” Tulisan yang terpampang di dinding ruang tamu.
Aku langsung memeluk Dewi. “Ukhti, bersabar yah! Jangan takut dengan ancaman-ancaman
mereka. Insya Allah, polisi dapat menangani kasus ini!”
Tak lama, muncul seseorang polisi. AKBP Sumarta. Aku kenal beliau. Seorang polisi, yang pernah menangani kasus pembunuhan anak seorang karyawan perusahaannya Abi.
“Maaf, kami tidak menemukan sidik jari apapun disini! Motifnya, kemungkinan balas dendam! Kami masih dalam penyelidikan.” Seru AKBP Sumarta.
“Apakah memang, tidak ada bukti atau jejak yang terlihat Pak!” Tanyaku penasaran.
“Hem, kami hanya menemukan beberapa sapu tangan. Dan, ada setetes darah. Kelihatannya, darah ini milik para pelaku. Yang mungkin tidak sengaja, terkena pecahan kaca! Kami akan memeriksanya di LABFOR.”
Aku dan Dewi hanya mengangguk.
“Loh, kamu kan putrinya Pak Hanafi!” Ucap AKBP Sumarta.
Aku tersenyum dan menganggukkan kepala.
“Hem. Insya Allah, saya akan berusaha sebaik-baiknya menangani kasus ini!” Ucap AKBP Sumarta, mantap.
“Iya, Pak! Saya percaya dengan Pak Sumarta. Saya hanya memberitahukan. Bahwa sesungguhnya, Papanya Dewi. Sedang dituduh kasus korupsi oleh perusahannya. Padahal, Papa teman saya ini malah mengetahui beberapa orang yang tersangkut kasus korupsi diperusahaan itu! Tetapi, malahan. Yang dituduh korupsi adalah Papanya Dewi! Hingga akhirnya, Papanya Dewi masuk rumah sakit. Karena penyakit jantung.” Jelasku. Kepada AKBP Sumarta.
“Hem. Memang, kasus korupsi dimana-mana sangat rumit! Dan sangat sulit untuk diberantas. Mungkin karena kita memang membudayakan korupsi. Jadi korupsi akhirnya budaya kita! Dalam bahasa kerennya, membudayakan korupsi menjadi budaya” Ucap AKBP Sumarta, sambil tersenyum ramah. “Kami memang sedang menangani kasus korupsi, Bapak Rosyidin. Tetapi memang, ada kejanggalan dalam setiap data-data yang diberikan oleh perusahaan Bapak Rosyidin! Terlihat, data-data itu tidak singkron dengan data-data yang lainnya! Saya sebenarnya, bukan mencurigai Bapak Rosyidin. Tetapi malah mencurigai, orang-orang yang melaporkan kasus korupsi Bapak Rosyidin! Sangat begitu ganjil. Laporan-laporan data, yang diberikan Kepada kita untuk proses BAP. Begitu tidak realistis dengan jumlah nominal pengeluaran uangnya! Malah terkesan, berkas itu asal dibuat saja. Dan, ada kemungkinan berkas itu palsu! Tetapi, tidak disangka. Malah, rumah Bapak Rosyidin dibobol orang. Ini malah, menjadi sebuah pertanyaan besar bagi kami! Apakah benar, Bapak Rosyidin terlibat korupsi diperusahaannya? Insya Allah, tim dari kepolisian.
Akan serius menangani kasus ini! Dan kami, akan melindungi keluarga Bapak Rosyidin. Dengan cara, menempatkan beberapa personil disini. Insya Allah, akan aman!”
Alhamdulillah. Seandainya, semua polisi seperti AKBP Sumarta. Pasti, citra polisi akan sangat baik.
“Kami berdua, sangat berterima kasih kepada Bapak!” Kataku.
“Itu memang tugas kita. Dan setiap orang baik, harus mendapatkan kebaikan pula. Saya yakin, Insya Allah. Semuanya akan berakhir dengan jelas! Dan tentunya, semoga tidak ada korban.”
Aku dan Dewi hanya mengangguk. Memasrahkan diri kepada Allah.
“Akan saya perintahkan anak buah saya. Untuk menjaga rumah ini! Dan juga, menjaga kamar Bapak Rosyad yang di rumah sakit. Insya Allah, tidak akan terjadi apa-apa!”
“Iya pak, Insya Allah!” Ucap Dewi, sembari menahan isak tangisnya.
“Baik, kalau gitu saya permisi dulu! Beberapa anggota saya, masih akan tetap berada disini. Sambil memeriksa beberapa barang-barang yang bisa dijadikan bukti lain.”
“Silakan, Pak! Terima kasih” Ucap Dewi.
Sambil tersenyum, AKBP Sumarta mengucap salam “Assalamualaikum!” Setelah itu pergi meninggalkan kami berdua.
“Walaikumsalam” jawab kami bersamaan.
“Sekarang, anti gimana? Anti mau tinggal dirumah ana atau bagaimana?” Tanyaku Dewi masih terlihat bingung.
“Kayaknya, anti sebaiknya tinggal di rumah ana dahulu!” Pintaku.
“Hem, Mbak. Lebih baik ana tinggal di rumah nenek aja! Itung-itung biar nenek nggak sendirian.”
“Oh, iya! Ana antar, anti kesana!”
“Ana nggak ngerepotin Mbak kan?”
“Nggak, kok! Kapan berangkat?”
“Sekarang, gimana Mbak?” Pintanya.
“Ok. Ayo kita berangkat!” Ajakku.
“Tunggu sebentar Mbak!” Dewi mendatangi pembatunya. Entah apa yang dibicarakannya. Setelah itu, Dewi langsung menghampiriku. “Baik Mbak. Kita berangkat sekarang!”
“Loh, Surti nggak diajak?” Tanyaku bingung.
“Nggak Mbak, biar Surti dirumah! Sambil nunggu Ijah. Pembantuku yang satunya. Ijah lagi pulang kampung. Kasihan dia, kalau nanti pulang dirumah nggak ada orang! Ya, itung-itung juga buatin kopi dan teh para polisi yang bertugas menjaga rumah ini! Kasihan kan, kalau sudah bertugas tetapi nggak ada camilan buat makan!”
“Iya, bener. Asalkan jangan diwajibkan aja! Biar camilannya nggak berupa uang. Nanti bisa dikatakan Bid’ah itu!” Ujarku, sambil tersenyum. Dewi hanya tersenyum.
“Ok, kita berangkat sekarang!” Ajakku, dengan langsung menarik tangan Dewi.
***
Beberapa kali, Dewi terisak dalam tangisan yang tak kunjung mereda. Cobaan yang mungkin berat baginya. Ironis memang, seorang yang memperjuangkan kebenaran. Malah mendapatkan bertubi-tubi fitnah yang menerpa. Mungkin, ini memang sunnatullah. Dimana ada sebuah kebaikan, maka disitupun akan ada sebuah keburukan pula. Marcedesku tetap melaju dalam kecepatan yang stabil. Automatic diver, menjadi pilihanku disaat mengendarai mobil dengan suasana yang tidak begitu menyenangkan. Deru dalam haru, masih kami rasakan. Rasa takut, masih terlihat dari wajah cantik sang Dewi. Berjalan dalam setiap keramaian yang tidak begitu sibuk.
Jalan-jalan yang tidak dalam kemacetan. Menyenangkan sebenarnya, hanya saja. Kami datang dengan kondisi hati yang tidak menyenangkan. Melaju, dalam setiap deru haru yang menderu. Kami melaju terus dalam kebisingan lalu-lalang mobil dan motor yang tidak henti. Mereka melaju, bagaikan tidak akan pernah berhenti dalam satu titik yang pasti. Tapi, aku merasakan ada yang aneh dengan perjalanan kami. Aku merasa, ada sebuah mobil. Yang sedari tadi, terus mengikuti kami. Entah benar atau tidak. Dalam sebuah persimpangan jalan, aku membelokkan mobilku. Mencoba untuk lebih mengetahui, apakah benar memang mereka mengikuti kami. Dari kaca spion mobil, aku masih melihat mereka pun ikut berbelok arah. Mengikuti arah berbelokku. Aku mencoba untuk memelankan mobilku. Ternyata, mereka pun tidak mencoba untuk mendahului kami. Hem, siapa mereka! Gumamku.
“Mbak, ada apa?” Dewi terlihat bingung dengan sikapku.
“Ada mobil Jeep, yang sedari tadi mengikuti kita!”
Saat Dewi akan menoleh,“UKHTI! Jangan menoleh kebelakang.” Bentakku.
Dewi dengan cepat memalingkan wajahnya kedepan. Saat ia akan menengok kebelakang melihat mobil Jeep itu.
“Afwan, Ukh! Ana tidak bermaksud membentak anti. Hanya saja, biar mereka tidak mengetahui. Kalau kita sudah mengetahui, mereka mengikuti kita!”
“Iya Mbak. Afwan!” Ucap Dewi. Terlihat panik.
“Ukh, anti nggak usah panik! Ana akan mencoba untuk berhenti. Apakah mereka akan berhenti juga?” Dengan memperlambat kecepatan mobilku. Aku memberhentikan mobilku disalah satu pedagang kaki lima. Berpura-pura, akan membeli minuman ringan.
Sejenak, mereka terlihat akan berhenti. Tetapi akhirnya, mereka pun meneruskan perjalanannya. Mendahuluiku, yang sedang berhenti membeli minuman ringan. Aku tetap memperhatikan, saat-saat Jeep itu mendahuluiku. Tentunya, dengan hanya melirikkan mataku. Agar mereka tidak curiga, kalau kami berdua sudah mempergoki mereka. Saat mereka sedang membuntuti kami.
Sejenak aku dan Dewi bernafas lega. Karena Jeep itu sudah berlalu dari hadapan kami. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan kembali. Saat beberapa meter, kami melihat Jeep itu lagi. Mereka berhenti disalah satu pedagang kaki lima.
Saat kami mendahului mereka. Terlihat dari kaca spion. Mereka dengan cepat masuk kedalam Jeep itu. Aku percepat laju mobilku. Mencoba untuk menghindari mereka.
Sekilas, kami melihat di kaca spion. Mereka tidak terlihat lagi. Degup jantungku, berdetak cepat. Seiring dengan laju marcedes ini yang melesat cepat. Pedal gas tetap aku tekan lebih dalam. Untuk lebih mempercepat lajunya. Beberap kali, aku melihat di kaca spion. Mereka tetap tidak terlihat lagi. Dewi, masih terlihat panik. Terlihat dari mulutnya, terus menungucapkan lafadz-Nya. Mencoba untuk meminta pertolongan kepada-Nya. Sebenarnya, jantungku pun berdetak dengan cepat. Rasa takut yang teramat sangat sedang melanda dalam relung jiwa kami berdua. Tetapi, aku harus tetap bisa bersikap tegar. Agar Dewi, tidak lebih menjadi semakin takut. Karena melihatku, ketakutan.
“CIIIITT......!”
Tak aku duga. Jeep itu langsung memotongku dari tikungan yang sedang aku lewati. Secera cepat, Jeep itu langsung memotong jalan. Tepat berada di depanku.
Aku pun langsung spontan menginjak rem. Seketika itu, dua orang langsung meloncat dari mobil Jeep itu.
“KELUAR KALIAN. CEPAT!” Teriak mereka. Sambil menodongkan pistol kearah kami. Ya Allah! Tolong kami. Aku masih tertegun dengan kejadian ini.
“BRENGSEK. KELUAR KALIAN, CEPAT!” Teriaknya lagi.
Dengan tergagap, aku melihat Dewi. Dewi terlihat sangat shock. Tidak ada kata apapun yang keluar dimulutnya. Yang ada hanya, tatapan mata yang begitu sangat ketakutan.
Aku langsung memegang tangan Dewi. “Ukhti. Kita keluar! Kita layani apa mau mereka! Allah bersama kita”
Dewi melihatku dengan tatapan yang sangat takut.
Aku menatapnya. Tatapan kekuatan seorang saudara. Aku genggam erat tangannya.
“Percayalah Ukhti! Allah bersama kita.” Ucapku, lirih.
Aku buka pintu mobil. Dengan langkah pelan, aku mendekati mereka. Seorang yang berjaket Levis, tersenyum. Tak pelak pun, pistol mengarah tepat dikepalaku.
“HAI! Kami sudah bilang. Jangan bawa-bawa polisi segala. Kami hanya menginginkan data-data itu kalian serahkan!” Ucapnya.
Aku hanya bisa memandanginya. Hanya istighfar yang terucap dalam benakku. Tetapi, saat aku mamandang seorang pemuda yang berada di mobil Jeep itu. Aku merasa pernah bertemu denganya. Tatapanku, kini beralih kepada pemuda itu. Pemuda itu pun, terlihat mengenalku. Dia merasa heran, tatapannya pun seperti merasa serba salah. Aku yakin. Aku mengenalnya. Tapi, entah dimana.
“HAI! Sudah ayo cabut sekarang.” Ucap pemuda didalam mobil itu. Terlihat sangat salah tingkah sekali.
“INGAT! Serahkan data-data itu nanti pada kami. Atau kalian akan merasakan akibatnya!” Ucap seorang yang berjaket Levis itu. Sambil tetap menodongkan pistol kearah kepalaku. Setelah itu beranjak pergi.
Jeep itu sudah meninggalkan kami berdua. Dewi, hanya berdiri disamping mobil. Tatapannya nanar. Terlihat sangat shock sekali. Segera mungkin, aku mendatanginya. Dan langsung memeluknya. Beberapa orang yang melihat, hanya diam saja. Orang-orang itu tidak mau menolongku. Mereka takut dengan pistol para penjahat-penjahat itu.
“Ukhti, Istighfar!” ucapku. Masya Allah, sungguh kami merasakan cobaan yang sangat berat. Tapi aku yakin, Engkau memberikan cobaan ini. Karena engkau menyayangi kami!
Isak tangis yang semula mereda. Kini terbias dalam tatapan kosong yang terlihat. Bening kristal, yang semula tertahan. Kini pun, telah berjatuhan.
“Hiks.... Mmbak..! Afwan, ana tidak bisa sekuat Mbak Farah. Afwan Mbak. Ini masalah ana, tapi Mbak Farah juga kena dampaknya. Afwan Mbak! “
“Nggak, ini masalah ana juga! Anti adalah saudara ana. Maka sudah seharusnya sesama saudara menanggung kesulitan saudara yang lainnya. Tenang Ukh, kita pasrahkan kepada Allah!” Ucapku. Dengan memeluk tubuh Dewi, dan mengelus-elus punggungnya. “Sudah. Sekarang, kita masuk mobil.” Ajakku dengan lembut.
Astaghfirllah. Alhamdulillah, Allah masih memberikan perlindungannya! Ucapku dalam hati, sambil mengelus dada. Hanya ditodongkan pistol dikepala. Aku sudah sangat berkeringat dingin. Lalu, bagaimana dengan mujahidah-mujahidah di Palestina, di Afganistan, Kosovo, Irak! Masya Allah, Imanku ternyata sangat tipis.
Tipis sekali. Aku mengira, bahwa perjuanganku adalah bukti dari keimananku! Ternyata aku salah. Aku sudah merasa takut dengan penjahat-penjahat itu.
Bagaimana jika aku berhadapan dengan para serdadu syetan yang bernama Israel itu? Apakah aku akan lebih takut lagi? Ya Allah, kuatkan imanku. Sekuat para mujahidah-mujahidahmu. Sekuat para ummahat palestina yang berjuang digaris depan. Sekuat para martir-Mu. Sekuat para syuhada-syuhada yang sudah berada disurgamu. Ya Allah, kuatkan aku. Tak terasa, tetesan air mataku pun mengalir.
“Mbak... Mbak menangis?” Tanya Dewi. Merasa bersalah. “Afwan, Mbak. Ana telah melibatkan Mbak Farah dalam masalah ana!”
“Ukhti. Ana bukan menangis karena sudah terlibat dengan masalah anti! Ana menangis. Karena ternyata keimanan ana sangat tipis dan rapuh. Hanya ditodongkan pistol dikepala. Ana sudah sangat takut! Ana, hanya berfikir. Bagaimana saudara-saudara kita yang berada di Palestina. Ana rasa, bukan todongan yang mereka dapatkan. Tetapi, peluru adalah bagian dari makanan mereka sehari-hari. Bom adalah penyedap bagi bumbu-bumbu para martir Allah. Iman ana sangat lemah!”
“Mbak... Mbak Farah sangat berani! Disaat Ana ketakutan. Mbak Farah, malah datang dengan keberanian menghadapi mereka! Ana malu, ana malu dengan keberanian Mbak Farah! Mbak, ajarkan keberanian itu kepana ana.” Isak tangis Dewi pun kembali.
Mobil pun melaju dalam setiap aspal yang tertanam dijalanan. Tubuhku, masih merasakan gemetar yang tidak bisa ditahan. Tanganku serasa sangat lemas untuk digerak-gerakkan. Dan tubuhku pun terasa sangat lemah. Serasa, tenagaku terkuras habis. Mataku, menatap kedepan. Menatap, dengan tatapan yang kosong tapi terarah. Tatapan seorang yang penuh dengan fikir tiada henti.
***
“Ukh, mendingan kita makan dulu yah!” Usulku. Karena aku benar-benar lemas. Dewi hanya mengangguk. Terlihat mengerti.
Dengan cepat aku langsung memenggokkan marcedesku disebuah rumah makan. Rumah makan yang asri. Pohon mangga yang menjuntai rimbun. Membuat terlihat samakin nyaman. Dan tepat didepan, terdapat tulisan “SEDIA SATE KAMBING” Rumah makan ini tidak terlalu ramai, tapi juga tidak terlalu sepi.
Hem, ini yang akan memberikan staminaku kembali. Aku masih teringat, saat Ummi setiap kali jika aku sedang kecapean. Langsung saja, sate kambing sudah berada di meja makan. Kata Ummi, daging kambing lebih bagus dalam pemulihan tenaga. Mungkin karena Ummi keturunan Arab, jadi lebih senang makan daging kambing.
“Anti pesan apa, Ukh?” Tanyaku.
Dewi tersenyum. Wajah cantiknya, kini bisa tersenyum kembali. “Mbak, ana terserah anti!”
“Ok. Kita pesan sate kambing saja! Tidak pake nasi.” Tawarku.
“Tafadhol. Ana angka ikut aja deh!” Ucap Dewi sambil tersenyum.
Tak lama datang seorang wanita separuh baya. “Mau makan apa, Mbak?” Tanyanya ramah.
“Sate kambing, dua Bu! Tidak nggak pake nasi. Minumnya es jeruk aja Bu! Dua.” Ucapku.
Ibu itu mengangguk sambil tersenyum. Setelah itu, kebelakang. Tak lama, Ibu itu sudah membawa beberapa sate kambing. Dan menaruh, sate kambing dimeja kami berdua. Sambil mempersilahkan makan, dengan ramah.
Hem, ini yang aku tunggu. Sate kambing. Insya Allah, pasti enak. Gumamku dalam hati. “Ayo, Ukh! Sate ini, akan menambah energi kita lagi. Biar kuat, biar bisa hadapi para penjahat itu” ucapku dengan senyum.
“Mbak. Entah, apa jadinya jika Mbak Farah tidak ada disini. Pasti ana sangat shock sekali. Mbak, ana sangat beruntung. Mempunyai saudara seperti Mbak Farah!”
“Ah, anti jangan melebih-lebihkan! Biasanya, kalau Ali ra. Dipuji, maka beliau akan meleparkan terompanya!” Gurauku.
“Iya! Kalau Mbak Farah. Melemparkan satenya! Hihihi...”
“Yee... kalau ana sih. Melemparkan tusuk sate! Hehehe...”
“Mbak. Terima kasih, untuk semuanya yah!”
Aku hanya tersenyum. Setelah itu, kami memakan sate dengan sangat lahap. Bismillah.
***
Rumah yang ditanami beberapa pohon buah-buahan. Jambu, mangga, rambutan. Sangat rimbun, dan terlihat sangat sejuk. Ya, itu adalah rumah neneknya Dewi.
“Kita, sudah sampai!” Ucapku. Saat mobil memasuki depan rumah. Dewi memelukku. “Mbak, Syukron. Ana sudah sangat berhutang banyak kepada Mbak Farah!”
“Ukhti. Sesungguhnya, apa yang ana lakukan. Hanya semata-mata untuk ridha Allah!
Apalagi, anti adalah saudara ana. Jadi, tidak mungkin ana meninggalkan anti!”
“Syukron, Mbak Farah!”
“Afwan. Udah, anti turun. Kan udah sampai!” Ucapku, dengan senyum.
“Iya, Mbak. Mbak Farah, nggak ikut turun?”
“Kayaknya ana punya janji dengan seseorang, deh Ukh!”
“Kalau gitu, ana duluan Mbak! Assalamualaikum.” Ucap Dewi, sambil membuka pintu mobil.
“Walaikumsalam” Jawabku, sambil melambaikan tangan.
Dewi tersenyum sambil juga melambaikan tangannya.
Aku, punya janji dengan siapa yah? Kayaknya, aku memang punya janji dengan seseorang deh. Siapa, yah? Hem. Aku lupa. Aku benar-benar lupa. Yang teringat hanya kejadian yang ada dijalan, sangat mendebarkan jantung. Debar jantung masih sangat terasa. Hingga akhirnya mematikan sendi-sendi fikirku. Melupakan apapun yang telah aku rencanakan. Hanya mengalami peristiwa seperti itu. Aku sudah sangat kebingungan, hingga alam fikirku pun tidak dapat mengingat sesuatu yang sudah aku rencanakan. Lalu, apakah aku sanggup bertemu Rabb. Saat-saat sacratul maut, saat-saat para malaikat bertanya didalam alam kubur, saat-saat tiada lagi pengampunan.
Yang ada hanya, hari-hari pembalasan didunia. Yang baik, dibalas baik. Yang buruk dibalas buruk. Apakah aku akan ingat dengan semua yang akan aku rencanakan?
Mobil tetap berjalan dalam jalur aspal yang panjang. Hingga akhirnya Aku ingat, aku mempunyai janji untuk bertemu seseorang di Aneka Cafe!
JILID 6
Suasana cafe begitu ramai. Meja-meja sudah banyak yang terisi. Memang café ini paling ramai ketimbang cafe-cefe yang lain. Untung saja, meja yang kutempati sudah dipesan sebelumnya. Nova, si penelephone itu yang sudah memesan meja.
Sehingga, aku hanya tinggal menempati saja. Entah kenapa, aku merasa asing disini. Suasana hedon begitu terasa. Beberapa wanita duduk berduaan dengan laki-laki. Kebanyakan meja-meja terisi dengan kaum muda-mudi yang sedang dilandang asmara. Sayang sekali. Cinta akhirnya terpolarisasi dengan cinta yang semu dan palsu. Mereka terbuai dengan kekuatan cinta. Tetapi mereka tidak memahami cinta. Karena cinta mereka buat.
“Mbak, mau pesan apa?” ucap seorang pramusaji. Sambil menyodorkan daftar menu.
Aku tidak berniat makan. “Saya pesan jus alpukat dan kentang goreng aja Mbak!” Kataku sambil menutup daftar menu.
Setelah mencatat, pramusaji itu pergi. Tetap, aku masih merasa asing. Tetapi, bukan berarti dakwah akan terhambat disini. Dakwah harus tetap berjalan. Bahkan ditempat pengasingan sekalipun.
Beberapa pasang mata. Selalu melihatku. Entah, mungkin mereka merasa asing juga dengan kehadiranku. Atau mungkin, memang cafe ini tidak pernah didatangi wanita-wanita yang berjilbab sepertiku. Ya. Mana ada, akhwat yang mau ke cafe ini! Suasana hedonis yang terasa sekali, membuat para akhwat-akhwat tidak akan bentah berada disini! Tetapi, apakah kita harus membiarkan terus begini. Café ini bukan Pub atau pun diskotik. Masih bisa untuk dijadikan tempat mangkal para kader dakwah! Karena dakwah pun ada dimana-mana. Seperti halnya seorang Imam besar. Hasan Al Banna. Yang selalu berdakwah diwarung-warung kopi. Dan cafeadalah warung kopi modern! Jadi, cara berdakwah pun harus dimodernisasi. Tetapi tetap dalam koridor-koridor yang syar’i. Terlihat seorang wanita berjalan menuju kearahku. Yang akhirnya membangunkanku dari lamunan. Kayaknya, aku kenal dengan wanita itu. Gumamku dalam hati.
Wanita itu tersenyum. “Maria Nova!” Ucapnya, sambil menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan.
“Oh, jadi kamu Nova!” Ucapku tersenyum. Nova hanya mengangguk.
“Kayaknya, aku kenal kamu?” Ucapku penuh tanya.
“Iya, mungkin. Kamu memang kenal aku!” Jawabnya.
“Hem, aku ingat. Kamu ketua UK3 (Unit Kerohanian Kristen Katholik) kan!” Tebakku.
Nova tersenyum, lalu mengangguk pelan. “Farah, maaf yah. Kita ketemunya ditempat yang seperti ini. Pasti kamu merasa asing!”
Aku tersenyum. “Nggak apa-apa sih! Tapi, memang aku agak terasing disini.” Ucapku sambil tersenyum.
“Kalau gitu, kita keruangan khusus saja! Disana, tidak akan ada yang menganggu kita.” Ajak Nova.
“Ok.” Ucapku. Setelah itu, aku mengikuti Nova.
***
“Farah, aku tertarik dengan tulisan kamu! Ulasan dalam artikel kamu gamblang, jelas dan cukup meyakinkan. Hanya saja, aku perlu lebih intens berdiskusi dengan kamu. Tentang, tulisan-tulisan yang kamu buat!” Nova seraya mengeluarkan kertas koran. Menunjukkan kepadaku.
“Oh, itu yah!”
“Aku benar-benar penasaran, dengan tulisan kamu! ‘Poligami harkat martabat tertinggi para wanita.’ Aku sangat tak percaya, saat membaca tulisan ini. Si penulis adalah seorang wanita. Penulis laki-laki bicara tentang poligami, itu biasa! Tetapi jika seorang wanita, bicara tentang poligami dan setuju dengan poligami. Itu luar biasa!” Ucap Nova, terlihat antusias.
“Jangan terlalu melebih-lebihkan! Lalu, apa yang ingin kamu tanyakan?”
“Farah, untuk saat ini. Aku ingin bertanya tentang hakekat wanita muslim dengan jilbab dan poligaminya.”
Hem, pertanyaan seperti ini selalu diulang-ulang! Nggak orang muslim, munafik, atau bahkan kafir. Bosan sih untuk menjawab, tapi jika tidak dijawab akan malah menjadi benalu. Insya Allah, aku akan jawab. Bismillah.
“Baik. Sebelumnya aku akan menjawab masalah jilbab secara singkat. Jilbab dalam Islam, diperintahkan untuk dipakai oleh wanita. Hukumnya wajib. Seperti dalam Qur’an surat Al-Ahzab 33. yang berbunyi ‘Hai nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri orang-orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’ Dalam hal ini, jilbab adalah pakaian yang memang harus dikenakan oleh wanita muslim. Untuk lebih mudah dikenal sebagai seorang muslimah! Dan merupakan pakaian pembeda antara wanita kafir dan wanita muslim.
Jilbab adalah pakaian merdeka kaum wanita muslim, untuk lebih menjadikan wanita muslim terhormat. Dengan menggunakan jilbab, seorang wanita lebih terbebas dari pandangan-pandangan atau perilaku-perilaku pelecehan. Seperti dalam Qur’an surat An-Nur 30-31. yang berbunyi ‘Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada perempuan yang beriman hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa tampak darinya.
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung (Jilbab) ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka ata ayah suami mereka atau putra-putra mereka atau putra-putra suami mereka atau saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau perempuan-perempuan Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan terhadap perempuan atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.’
Sudah jelas, bahwa wanita muslim dan laki-laki muslim. Diperintahkan untuk menundukkan pandangannya. Upaya dalam penundukkan pandangan, tidak akan terlaksana. Manakalah, perempuan-perempuan muslim tidak memakai jilbab. Dengan adanya jilbab, perempuan muslim lebih mudah untuk menundukkan pandangannya.
Begitu pula sebaliknya, laki-laki muslim yang beriman akan mudah menundukkan pandangannya jika melihat wanita-wanita mulia. Maksudnya, wanita-wanita yang berjilbab. Laki-laki muslim, akan selalu memuja Tuhannya. Jika dia melihat seorang perempuan mulia. Tetapi, laki-laki akan selau meminta ampun kepada Allah, manakalah melihat wanita yang tidak berjilbab.
Jadi, sudah sangat jelas. Bahwa wanita muslim yang telah terbebas dari belenggu-belenggu apapun. Pasti akan berjilbab.” Jelasku, panjang lebar.
“Hem. Tetapi, apakah wanita muslim bukan malah sebaliknya? Dengan berjilbab mereka akhirnya terbelenggu dengan jilbabnya, dan geraknya pun, tidak bebas!” Sangkal Nova.
Aku tersenyum. “Kalaulah yang kita cari, hanya gerak batas untuk kegiatan. Maka jilbab bukan pakaian yang patut untuk ditentang! Karena, jilbab dapat dirancang dengan kondisional. Bisa dirancang sesuai mobilitas para wanita. Tetapi dalam hal ini, tetap dalam naunangan koridor yang syar’i! Aku rasa, malah dengan menggunakan Jilbab maka belenggu-belenggu yang membatasi wanita akan hilang dengan sendirinya! Seperti halnya, kita banyak mengetahui kasus-kasus pelecehan. Selalu yang menjadi korban adalah wanita. Iklan-iklan, yang selalu menayangkan aurat-aurat wanita. Dengan begitu, sudah jelas. Bahwa, memang wanita adalah objek yang pas untuk dijadikan bahan pelecahan. Tetapi sayang, banyak wanita yang belum sadar dengan pelecehan itu. Tetapi, malah mereka senang dan terbuai dengan pelecehan-pelecehan itu. Sepertinya, wanita-wanita itu memang membutuhkan untuk dilecehkan!
Tetapi, saat wanita berjilbab. Maka seorang laki-laki, akan enggan untuk melihat dengan tatapan penuh nafsu. Pernah ada, seorang laki-laki yang sedeng duduk-duduk mengatakan dengan jelas disampingku. Saat aku sedang berjalan kaki.
Laki-laki itu mengatakan kepada temannya, ‘cantik sih, tapi kayak ninja, jadi nggak nafsu! Coba dibuka jilbabnya, pasti banyak cowok-cowok yang ngantri naksir dia!”
Sebuah ucapan, yang sudah ada didalam Al Qur’an. Bahwa laki-laki melihat perempuan, lebih banyak didasarkan pada nafsu semata. Jadi, perempuan merupakan objek pelampiasan nafsu para lelaki. Tetapi saat seorang wanita berjilbab. Dengan otomatis, para lelaki itu mengatakan ‘tidak bernafsu!’ Jadi jelas, jika seorang yang berjilbab. Lebih terbebas dari belenggu-belenggu apapun. Dan secara nyata, bahwa wanita yang berjilbab. Adalah seorang wanita yang tidak pernah lepas dari kegiatan apapun. Mobilitas kegiatan wanita-wanita berjilbab. Tidak pernah kalah dengan wanita yang tidak berjilbab. Dan seandainya, ada seorang wanita yang berjilbab bekerja disebuah perusahaan. Maka, aku yakin. Bahwa sesungguhnya, perusahaan itu lebih menghargai seorang wanita dengan kepintarannya. Dari pada objek tubuh yang seksi, untuk selalu dilihat sang bos!
Dan wanita yang berjilbab pun, akan terlepas dari belenggu mode. Yang setiap tahun, harus berganti trend pakaiannya. Dan membuat wanita berjilbab itu, tidak repot-repot atau bahkan kebingungan saat tidak mengikuti trend. Karena, yang ada dalam pikiran wanita-wanita berjilbab itu adalah ‘bagaimana menciptakan mode-mode skill atau keahliannya masing-masing, bukan mode pakaian yang selalu mengumbar auratnya’ jadi lebih jelasnya lagi. Bahwa wanita yang berjilbab, lebih memikirkan kemajuan berfikirnya ketimbang wanita yang tidak berjilbab.”
Nova terlihat merenungi penjelasan yang aku utarakan. “Iya, aku mengerti! Untuk yang poligami?”
“Poligami. Sesungguhnya poligami tidak hanya dilakukan oleh kalangan muslim saja! Bahkan sejak Islam belum ada pun, poligami itu sudah dilakukan. Pada dasarnya poligami yang dipraktikkan, lebih banyak terjadi akibat pengaruh perbudakan yang sempat mewarnai epos perjalanan hidup manusia! Seorang laki-laki, yang mempunyai harta yang melimpah, dengan mudah membeli seorang wanita untuk dijadikan istriistrinya.
Karena memang sifat nafsu seksualnya yang sangat tinggi! Pada saat Nazi berkuasa di Jerman. Poligami pun, telah dilakukan disana! Bahkan dijaman kaisar Prancis Charlemagne, sejumlah pastur membolehkan untuk berpoligami kepada para raja. Padahal itu, sesudah Islam datang!
Memang, bentuk-bentuk poligami disetiap wilayah. Sangat berbeda-beda.
Tidak ada yang keberatan dengan keberadaan poligami, kecuali para orang-orang Eropa modern. Mereka menggantinya dengan pola yang lain. Seperti halnya pelacuran, perselingkuhan dll. Ini sangat kontras dengan memuliakan seorang wanita di Islam. Dan bahkan, pada abad ke-11 kaum gereja memberlakukan undang-undang yang isinya membolehkan suami meminjamkan istri dalam jangka waktu tertentu.
Sesuai dengan, kesepakatan pihak yang meminjam! Dan yang lebih seram lagi, adalah orang yang punya kedudukanmn terhormat. Baik seorang pemuka agama atau pun pejabat publik. Boleh menikmati perempuan yang dinikahi seorang petani selama 24 jam setelah akad nikah selesai diucapkan! Bahkan di Skotlandia, pada tahun 1567 mengeluarkan undang-undang yang menyatakan bahwa perempuan tidak mempunyai hak kepemilikan barang. Bahkan, yang lebih mengherankan lagi. Adalah undangundang yang dikeluarkan Parlemen Inggris di masa Raja Henri VII. Yang berisikan, pelarangan perempuan untuk membaca Kitab Injil!
Ini semua terjadi. Bukan didunia Islam. Tetapi terjadi pada orang-orang Nasrani sendiri! Jadi pada dasarnya, poligami adalah sunatullah. Atau bisa dikatakan, adalah sebuah hal yang memang pasti terjadi. Meskipun, kepastian itu tidak harus pasti!
Dalam Islam. Poligami sangat diatur. Dan sangat ketat sekali! Seseorang laki-laki muslim, tidak dengan mudah bisa berpoligami. Laki-laki itu harus bisa berlaku adil, dalam tataran keadilan hubungan manusia. Meskipun, keadilan hubungan hati tidak dapat dilakukan! Dalam Al Qur’an Surat An-Nisa’ 3 disebutkan ‘Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budan yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.’ Pada dasarnya, keadilan adalah kata abstrak. Tidak dapat diketahui bentuknya, tetapi bisa diketahui dengan perbuatannya.
Indah sekali jika poligami diterapkan, tentunya diterapkan dengan hokum-hukum Islam. Seorang wanita sangat dimuliakan sekali, jika dia dinikahi. Dinikahi dengan janji suci atas nama Ilahi! Hanya saja, stigma orang-orang yang berpoligami.
Tidaklah sebagus cara-cara yang sudah diajarkan oleh Rasulullah dengan sahabat-sahabatnya.
Stigma dengan keburukan poligami, lebih unggul. Ketimbang stigma poligami yang sudah diterapkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya!
Sungguh dalam Islam, aturan-aturan yang sudah diterapkan. Jika kita mengikutinya, maka kita akan mudah untuk menjalankan hidup ini! Kemuliaan seorang wanita sudah sangat terkondisikan dalam Islam. Mulai dari pergaulan, jilbab dan poligami! Hanya saja, kita sering tidak pernah mau atau bahkan tidak sempat untuk memahami apa yang ada dalam Al Qur’an! Tidaklah seorang umat Islam, yang sedang melakukan praktik poligami. Lalu dia,menjadikan istri-istrinya yang lain terlantar. Terlantar dalam setiap pembagian kunjungan, terlantar dalam setiap pembagian harta, terlantar dalam setiap kebutuhan bioligis. Coba bedakan dengan seorang sahabat Rasulullah yang mengatakan. Jika seorang menelantarkan jumlah ciuman, terhadap seorang istri-istrinya. Maka kesemuanya itu akan dituntut oleh Allah kelak dihari pembalasan!
Jadi, praktik poligami dalam Islam. Tidaklah mudah, tetapi juga tidaklah sulit. Karena kesulitan seorang yang mempraktikkan poligami, adalah jika dia tidak selalu mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah. Dalam segala hal. Namun, sebaliknya. Aturan-aturan itu bisa menjadi sangat mudah dijalankan oleh seorang Muslim. Manakalah seorang muslim itu, selalu mengerjakan aturan-aturan yang sudah diperintahkan oleh Allah! Tidaklah poligami itu sulit bagi seorang muslim yang sudah taat dalam mengerjakan amal ibadahnya! Hanya saja, kesempatan seorang muslim untuk berpoligami pun tidak harus seenaknya! Karena poligami adalah merupakan bagian solusi dari Islam. Untuk membebaskan para wanita-wanita muslim, dari jeratan dunia yang akan membelenggunya!
Adanya kasus-kasus seorang wanita menjadi janda. Kasus-kasus jumlah wanita terlalu banyak, kasus-kasus seorang istri tidak bisa mempunyai keturunan, kasus-kasus seorang Istri sedang sakit, kasus-kasus menjaga kesucian dalam beragama saat harus sering bepergian jauh. Dan kasus-kasus yang lain. Ini adalah solusi bagi seorang muslim terhadap kasus-kasus itu semua. Tidaklah Allah, memberikan sebuah masalah, tetapi tidak ada titik temunya! Karena pastilah, Allah membuat masalah dan Allah memberikan jalan keluarnya. Karena sesungguhnya dalam Qur’an Surat Al Baqarah 185 ‘Allah Swt. Menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu’ maka, poligami adalah merupakan cara solusi dalam Islam, yang tidak harus dipakai. Namun tidak diperbolehkan untuk ditentang! Karena solusi adalah, sebuah bagian dari pemecahan masalah. Namun jika tidak ada masalah, maka solusi itu harus ditangguhkan terlebih dahulu.” Aku ambil segelas jus alpukat. Dan aku minum untuk membasahi kerongkongan yang sedari tadi memberikan penjelasan yang panjang lebar. “Bagaimana?” Ucapku lanjut.
Nova tersenyum. “Terima kasih! Aku tidak salah untuk meminta penjelasan kepadamu, Farah. Penjelasan yang gamblang dan memang sangat jelas sekali! Mungkin diriku masih tidak setuju dengan penjelasan yang kamu utarakan! Tetapi, nuraniku tidak dapat menolak dengan penjelasanmu!” Ucapnya, terlihat sendu.
“Nova, Rasulullah Muhammad Saw. Pernah bersabda, yang pada intinya Insya Allah adalah ‘jika kamu bingung menentukan pilihan, mintalah fatwa kepada hatimu’ Jadi, hati adalah tempat sebuah kebanaran itu tertanam. Jika kita melakukan kesalahan, beribu-ribu alasan untuk membenarkannya. Tetap hati tidak akan pernah mau berbohong!”
“Iya memang benar apa yang kamu katakan!”
“Nah lalu, apalagi? Apa yang ingin kamu ketahui lagi!” Ucapku. Sambil tak lupa senyum simpatik.
“Hem, kamu tadi mengatakan tentang poligami. Sekarang aku ingin tahu, apakah kamu siap dipoligami?” Tanyanya dengan senyum yang terlihat mengejek. Tetapi, terlihat ada naluri yang kuat untuk mencari sebuah kebanaran.
“Ehm. Sebuah pertanyaan yang langsung to the point!” Aku tersenyum. “Sangatlah sulit menerima seorang suami berpoligami! Bahkan sekelas Ibunda Aisyah. Tetapi, hal-hal yang sulit. Bukan berarti tidak bisa atau tidak mau menerima! Dijaman sekarang, wanita sering merasa rendah dengan statusnya yang mempunyai suami berpoligami. Ini merupakan fenomena besar, dari masyarakat. Tetapi, pada dasarnya.
Hakikat dari poligami itu sendiri yang harus di telaah lagi. Apakah benar, seorang suami saat melakukan poligami tujuannya memang untuk berdakwah! Atau ada tujuan lain? Inilah yang harus kita lihat dulu.”
“Nah, berarti kamu juga nggak setuju kan!” Sela Nova.
“Hem. Sebentar, biar aku menjelaskan seluruhnya! Seorang suami saat berpoligami, memang dalam Islam. Tidak dianjurkan untuk memberitahukan maksud tujuan melakukan poligami. Dengan artian, seorang suami tetap sah hukumnya berpoligami. Meskipun tidak ada persetujuan dari istrinya! Tetapi, pada dasarnya laki-laki pun tidak boleh sembarangan berpoligami. Atau dengan seenaknya sendiri melakukan praktek poligami! Tetapi, sesungguhnya seorang suami yang berpoligami.
Lebih mulia, ketimbang suami yang melakukan perselingkuhan! Lebih baik, aku memilih seorang suami yang berpoligami dari pada dengan seorang suami yang melakukan perzinahan!
Tetapi, pada dasarnya. Seharusnya wanita muslim dapat mengubah karakter kemanusiaannya untuk mampu melesatkan diri mereka ke tingkat yang lebih tinggi dan mampu membeningkan jiwa mereka dari noda dan nista. Sesungguhnya, wanita-wanita mulia itu, saat mereka harus memilih antara dunia dan perhiasanya atau Allah beserta Rasul-Nya juga negeri akhirat. Maka mereka dengan tegas akan mengatakan, sudah pasti kami akan lebih meilih Allah dan Rasul-Nya juga kebahagiaan akhirat!
Karena, poligami adalah pilihan yang telah diberikan oleh Allah. Dan pernah dilakukan oleh Rasul-Nya, maka tiada alasan kami akan menolak.”
“Tetapi, apakah kamu dengan mudah menerima suami yang berpoligami?” Tanyanya sengit.
“Gini, Nov. Aku siap menerima, jika suatu saat nanti suamiku ingin melakukan poligami! Tetapi, ada beberapa yang harus dibicarakan dahulu. Sebab-sebab keinginan suamiku yang ingin melakukan poligami. Itulah yang harus aku tanyakan!
Apa yang melatar belakangi, suamiku ingin berpoligami. Apakah karena pelayananku kurang? Ataukah bosan denganku? Kalau itu jawabannya. Maka, aku akan dengan tegas mengatakan. Menolak suamiku berpoligami! Tetapi, jika alasan-alasan yang dikemukakan oleh suamiku bersifat syar’i. dalam hukum-hukum Islam. Maka, aku akan dengan mudah mengatakan ‘saya siap untuk menerima suamiku berpoligami!’
Layaknya sebuah contoh, saat suamiku menginginkan istri lagi. Yaitu, keberadaannya dari ujung tombak dakwah itu sendiri! Jika, dengan mempunyai istri lebih dari satu. Suamiku dengan mudah berdakwah, maka aku akan lebih menghargai itu! Karena, masih banyak seorang wanita muslim yang tidak sependapat dengan praktek poligami. Bahkan mereka menentang praktek poligami! Dengan suamiku berpoligami. Maka aku secara tidak langsung, telah membela agama Allah! Dan memberikan contoh yang terbaik bagi wanita-wanita muslim yang menolak sunnah Rasulullah yang satu ini.
Poligami bukan praktek yang merendahkan wanita. Tetapi, poligami adalah solusi untuk memuliakan wanita. Juga harus diingat, jika suamiku kelak ingin berpoligami. Maka dia harus berdialok dulu denganku! Karena, jika aku yakin suamiku seorang yang adil. Dengan mudah aku akan mengijinkan suamiku untuk berpoligami! Bahkan, jika dia belum meminta untuk berpoligami. Tetapi, aku sudah yakin akan kemampuan keadilannya. Dengan berbangga, aku akan meminta suamiku untuk berpoligami!” Ucapku.
Nova terlihat sangat terkejut. Dia sedikit memelototkan matanya. Ekspresi wajahnya seakan tidak percaya. “A…pa benar itu?” Ucapnya, terbata.
“Yup!” Ucapku, sambil tersenyum tegas.
“Kamu nggak merasa terhina, atau dihinakan oleh suamimu?” Ucapnya bingung.
“Justru, jika suamiku seorang yang adil. Maka aku akan sangat berbangga sekali memilikinya! Bukanlah seorang muslim yang berbahagia, dan dia tidak membagi kebahagiaannya! Dengan keadilan yang diberikan oleh suamiku, maka aku tidak akan merasa berat untuk membaginya dengan wanita lain. Karena, aku yakin. Hak atas diriku, pastilah tidak akan terkurangi sama sekali. Meskipun suamiku berpoligami!”
“Tapi. Apakah cinta bisa dibagi?” Tanyanya.
“Nova, aku sudah menjelaskan kepadamu bukan! Bahwa cinta atau masalah hati tidak bisa dibagi-bagi!”
“Nah, kan! Berarti seorang laki-laki itu tidak bisa berbuat adil!” Selanya sengit. Aku menghela nafas panjang. “Nova, aku akan memberitahukan kepadamu tentang masalah keadilan dalam Islam. Dalam Qur’an Surat An-Nisaa’ 129 Allah berfirman ‘Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterimu, walupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlahh kamu terlalu cenderung (kepada isteri yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung…’ dan ini adalah doa Rasulullah ‘Ya Allah, inilah pembagianku pada apa yang aku miliki. Maka janganlah Engkau mencelaku pada apa yang Engkau miliki, sedangkan aku tidak memiliki.’ Yang dimaksud dalam keadilan dalam Islam.
Adalah keadilan yang bersifat nyata, bukan keadilan bersifat abstrak. Yaitu keadilan dalam cinta. Karena, sesungguhnya. Manusia tidak akan pernah bisa berlaku adil dalam masalah cinta. Tetapi, manusia haruslah adil dalam masalah pembagian-pembagian yang memang sudah seharusnya menjadi sebuah hak seseorang! Jadi, syarat untuk berpoligami adalah keadilan bersifat nyata. Bukan keadilan yang terdapat dalam hati. Karena itu Allah berfirman ‘Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada isteri yang kamu cintai). Dan Allah tidak memerintahkan kepada kita, supaya tidak berpoligami. Karena, sesungguhnya apa yang terdapat dalam hati adalah kepunyaan Allah! Maka dari itu Allah Swt. Menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
“Lalu, apakah salah jika seorang lelaki muslim tidak berpoligami?” Tanya Nova.
“Oh tidak! Seorang lelaki jika menikahi satu wanita, tidak salah! Karena bagaimanapun, Allah pun menyarankan jika seorang laki-laki tidak bisa berlaku adil.
Maka cukup menikah dengan satu perempuan saja! Dan, seandainya suamiku tidak dapat berlaku adil. Aku pun tidak akan rela, membaginya dengan wanita lain. Karena, jika aku menyetujuinya. Sama saja, aku menyetujui perbuatan yang bathil. Dan kebathilan adalah neraka tempatnya!”
“Jadi, dalam Islam. Semuanya itu benar-benar diatur yah!” Ucap Nova. Wajahnya terlihat bercahaya saat mengatakan. Seperti ada sebuah kekaguman yang besar, atau sudah menemukan titik terang yang teramat sangat menyilaukan. Tetapi tidak menyakitkan. Malah cahaya silau itu menyejukkan.
“Iya, Insya Allah! Semua dalam kehidupan, sudah diatur dalam Islam!” Jawabku tegas.
“Satu pertanyaan lagi.” Ucap Nova, setelah itu dia menghela nafas. “Kenapa, seorang laki-laki dan seorang wanita dalam Islam. Terlihat sangat dibedakan sekali dalam pergaulan. Aku melihat, bahwa jarang sekali kalian berkumpul dengan teman-teman laki-laki yang ada diLDK. Apakah memang ada aturan di LDK seperti itu, atau bagaimana? Karena kalau melihat, kalian sepertinya tidak kompak. Berjalan sendiri-sendiri!”
“Hem. Itu pertanyaan terakhir?” Tanyaku balik. Dengan senyum.
“Iya. Mungkin?” Jawab Nova. Dengan senyum juga.
“Baik. Dalam LDK, kami tidak mempunyai peraturan yang seperti itu! Bahkan, kami mempunyai peraturan untuk saling bekerja sama dalam berdakwah! Tetapi, dalam agama Islam, sudah diatur tentang tatacara pergaulan. Antara laki-laki dengan perempuan! Tatacara pergaulan laki-laki dan perempuan, tidak seharusnya sebebasbebasnya.
Karena, kecenderungan seorang laki-laki dan perempuan. Jika mereka sudah bergaul, maka tidak lain adalah pergaulan yang diluar batas! Dalam Islam diatur masalah Ikhtilath. Atau bercampur baur. Dalam hal ini, bercampur baurnya bergaulan. Antara wanita dan pria.
Karena sesungguhnya Rasulullah pernah bersabda ‘Aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi dan setan belum mengamankan dari keduanya.’ Atau dalam riwayat lain ‘Keduanya belum aman dari fitnah.’ Sesungguhnya, tidaklah seorang muslim yang melakukan ikhtilath, kecuali setan yang akan mengganggunya.
Dalam Islam, kekompakan bukan berarti harus bercampur baur antara laki-laki dan perempuan. Tetapi, kekompakan adalah manakalah mereka memegang teguh dan melaksanakan ajaran-ajaran yang sudah ditetapkan oleh Allah Swt! Banyak kemudharatan, atau kerugian yang akan ditimbulkan saat seseorang wanita dan laki-laki bercampur baur.
Sebuah contoh, saat kita melakukan rapat. Yang pada saat itu , bercambur baur antara laki-laki dan perempuan. Yang akhirnya membuat seorang perempuan atau laki-laki sulit untuk menundukkan pandangannya. Padahal, menundukkan pandangan sangat diwajibkan dalam Islam. Baik untuk laki-laki dan perempuan!” Aku menarik nafas dalam-dalam. “Aku kira, eksistensi dari kerjasama itu sendiri. Meskipun tidak berkumpul secara nyata. Tetap, tidak menghilangkan kredibiltas dari kerjasama para teman-teman LDK! Bahkan, kami. Para perempuan, merasa sangat nyaman. Jika rapat, tidak terlihat atau dilihat oleh laki-laki. Dan itu membuat kita lebih bebas.
Bebas dalam menyatakan pendapat, baik bebas dalam menentukan sikap. Bukan berarti, saat kami tidak berkumpul dengan para leki-leki itu. Kami menjadi tidak kompak. Bahkan, dengan cara seperti itulah. Kami menjadi benar-benar termotivasi untuk memberikan kontribusi yang besar bagi dakwah kita masing-masing.
Adanya kegiatan-kegiatan yang tidak dilakukan bersama-sama. Itu merupakan agenda yang telah dimiliki oleh divisi masing-masing. Terutama divisi wanita, mempunyai agenda tersendiri. Jadi divisi wanita lebih cenderung berisikan kegiatan-kegiatan yang bersifat kewanitaan. Dalam hal ini, bersifat mengembangkan atau memberikan motifasi diri para setiap wanita. Untuk lebih memahami agama Islam ini.
Jadi, semua itu sudah tertata rapi. Bukan karena, kita memiliki kegiatan sendiri-sendiri. Lalu terlihat kami tidak mempunyai jiwa kekompakan dalam berorganisasi!
Malahan, dengan seperti itu. Para wanita tidak canggung lagi, untuk lebih mengekspresikan apa yang ingin dilakukannya!
Jadi, meskipun terlihat. Bahwa para perempuan dan laki-laki di teman-teman LDK. Saat mengadakan kegiatan tidak berbarengan. Bukan berarti, kekompakan itu tidak terjadi. Namun, karena memang kami menjaga diri dari hal-hal yang telah dilarang oleh Allah. Yaitu berikhtilath. Kamu bisa melihat, sekarang. Secara kasat mata maupun secara riil kinerja dari teman-teman LDK dan dari UKM-UKM lainnya. Termasuk UK3. Mana yang lebih baik. Dan predikat yang telah dijalankan teman-teman LDK, lebih bagus ketimbang UKM yang lain! Ini bukan masalah mudah, tetapi karena memang kekompakan yang telah terjalin. Bukan hanya kekompakan semu. Tetapi kekompakan yang memang benar-benar terjalin erat karena adanya persamaan ideology yang kuat, persamaan iman kuat, persamaan tujuan yang kuat, persamaan cara dakwah yang kuat. Sehingga ini yang akhirnya mempererat jalinan ukhuwah atau persaudaraan kami! Jadi kekuatan kompakan kami, terletak pada semua itu!”
“Iya. Aku memang mengakui, bahwa kegiatan dan kredibilitas teman-teman LDK. Lebih bagus! Hem. Terima kasih atas kesedian kamu menjawab semua pertanyaanku. Mungkin untuk saat ini, hanya itu pertanyaanku. Terima kasih atas waktu luangnya!” Nova mengakhiri pembicaraan.
“Iya. Insya Allah, jika pembicaraan kita bermanfaat. Pasti aku akan dengan senang hati mendatanginya! Dan semoga, Allah memberikan rahmat dan hidayah disetiap pembicaraan kita ini!” Ucapku dengan menjabat tangan Nova.
Nova tersenyum. Senyuman penuh rasa kepuasan dalam hatinya.
JILID 7
Sejenak aku merebahkan diri. Mengentaskan semua asa yang tertanam dalam diri. Tubuhku terasa nyaman, berada dalam naungan kasur busa. Sesekali aku menghela nafas panjang. Menerawang dalam tatapan yang penuh dengan keletihan.
Letih menjalani hari yang panjang. Hari yang melelahkan dalam satu hari penuh dengan perjuangan. Beberapa persoalan, datang silih berganti dalam hidup. Gejolak jiwa dalam aral yang membelenggu. Mengganggu tanpa permisi terlebih dahulu.
Semuanya datang. Semuanya terasa keras dalam balutan masalah yang tak akan tuntas. Tetapi aku yakin. Tidak ada masalah yang tidak bisa dituntaskan. Karena Allah, telah memberikan cobaan dengan beserta kemudahannya. Aku yakin, semuanya bisa terselesaikan. Selesai tanpa harus membekas dalam diri dengan setumpuk masalah yang sama bertubi-tubi.
“Tluut…Tliit….” Suara sms Hp mengagetkanku.
Febrianti. Tertulis dalam layar LCD. “Mbak, anti dmn? Nggak ngechat! Tmn2 lg nungguin. Pngen tausyiah dari Mbak Farah. Cepat ya Mbak!” Pesan SMSnya.
Masya Allah, aku lupa. Hari ini kan ada liqo’ di teman-teman chatting! Segera mungkin aku langsung menghidupkan komputer. Tak perlu beranjak dari tempat tidur.
Karena dengan hanya menekan remote. Maka komputer dengan sendirinya langsung merestart. Segera aku mengambil jilbabku, untuk aku kenakan. Sejenak windows xp mengeluarkan wajah cantikku. “Afwan, sudahkah anda membaca basmalah? Kalau sudah, tolong diisi password untuk menuju tampilan XPnya. Syukron. Wassalam!”
Bunyi tampilan otomatis dalam komputer.
Segera mungkin aku connect keinternet. Memasang camera dengan bagus. Dan langsung menuju ke chatcam. Tak lama aku sudah menuju keteman-teman cyber liqo’. Unik sebenarnya, saat kami bertemu dalam dunia cyber. Beberapa akhwat adalah adik kelasku, teman-temannya Dewi. Dan yang lainnya, adalah teman-teman cyber chatku. Karena kebanyakan mereka kuliah diluar negeri. Hingga akhirnya, kami memutuskan untuk selalu berhubungan dengan cara seperti ini. Beberapa teman-teman chattingku. Malahan dulu adalah seorang non muslim. Yang begitu tertarik dengan Islam. Hanya saja, mereka tidak dapat belajar tentang Islam lebih dalam.
Karena mereka diwilayah negeri orang-orang kafir. Sehingga alternatifnya adalah, dengan chatting. Ada dua versi chatting yang dikembangkan dalam liqo’anku. Yaitu, chatcam dan chatvoice. Dua-duanya langsung terhubung dalam satu channel chatting.
Sehingga dengan mudah, jika seorang yang tidak mempunyai camera. Tetap bisa mendengarkan suara para chatter.
“Assalamualaikum!” beruntun, suara-suara para chatter. Terlihat Febri, tetap dengan wajah imutnya dan jilbab besarnya. Lalu ada Ine dengan jilbab trendynya. Ada Ratna, Asih, Fenti, Maya, Desti, dan banyak lagi. Juga beberapa teman-teman chatvoice yang hanya menunjukkan inisial atau nama-namanya saja.
“Walaikumlalam.”
“Mbak Farah, kok telat ada apa?” Tanya Desti.
“Ana lagi kecapean! Satu hari yang melelahkan plus menegangkan serta menguras pikiran!” Ucapku senyum.
“Emang, lagi ada kegiatan yah Mbak?” Tanya Febri.
“Iyah, bisa dibilang begitu!” Ucapku. Kegiatan yang telah membuat jantung begitu keras dalam detakannya. Gumamku.
“Enak yah, Mbak! Kalau di Indonesia. Masih bisa melakukan dakwah sesukanya!” Ucap Febri dengan senyum simpulnya.
“Iya! Kalau kita disini nggak bisa seenaknya, melakukan kegiatan-kegiatan yang berbau religius ditempat umum! Bisa-bisa ditangkap karena mengganggu masyarakat!” Sahut Ratna.
“Apalagi disini! Bisa-bisa langsung dikira teroris.” Sela Asih, sengit.
“Memang, banyak negera-negara yang katanya menjunjung hak asasi. Tetapi seorang yang melakukan hak asasinya malah dilarang. Banyak para akhwat Perancis yang telah keluar dari universitas terkenal. Hanya karena mereka berjilbab! Padahal, untuk masuknya sangat sulit.” Ucap Fenti.
“Woi, kasih hak bicara dong! Jangan hanya yang punya webcam aja, yang bicara!” sela Anggi yang berada di chatvoice.
“Ih, siapa yang memotong hak bicara! Anti saja, yang tidak mau bicara.” Seru Ine. Yang membuat teman-teman akhirnya tertawa.
“Iya, kalau disini juga susah untuk kegiatan yang berbau religius! Di Ausy, malah ada salah satu akhwat yang diludahin saat mau berangkat kuliah.” Ucap Anggi semangat.
“Siapa yang nanya!” sela Ine.
“Yee….” Ucap Anggi, bersungut.
“Hehehe…. Sudah-sudah! Anti berdua ini kok kaya’ apaan.” Selaku. Mendamaikan.
“Biasa, Mbak! Anggi dan Ine itukan kucing dan tikus. Ngeong…… Citcit…..!” ledek Asih.
“Iya, ana kucingnya. Ukhti Ine tikusnya! Hehe…” ucap Anggi.
“Yee.. ana yang kucingnya. Anti tikusnya!” Seru Ine.
“Hehe… kok rebutan jadi binatang sih! Emang nggak enak yah jadi manusia?” ucapku bercanda.
“Iya, nih. Ukhti Asih ituloh yang mulai, Mbak!” Jawab Anggi.
“Iya, ini gara-gara Ukhti Asih!” Sahut Ine.
“Loh-loh… kok malah ana sih yang disalahin!” ucap Asih. Tidak terima.
Seluruh chatter pun tertawa. Sungguh keterikatan ukhuwah yang telah menjadikan kami bisa begitu dekat. Entah darimana asal mereka. Apa warna kulit mereka, bahasa apa yang mereka pakai. Selama dalam naungan Islam. Mereka adalah saudara. Hingga sampai-sampai, para room dichatting. Merasakan kenikmatan persaudaraan itu.
Perkara kecil bisa dibesar-besarkan, tetapi tidak menjadi besar. Perkara besar tidak dibesar-besarkan malah kalau bisa dipermudah dan diperkecil. Karena ikatan ukhuwah kita yang kuat. Sampai-sampai bagaikan seorang adik kakak. Pertikaian kecil, merupakan bumbu-bumbu yang akan mempererat persaudaraan.
“Hehe…. Ya sudah! Gimana kita mulai sekarang?” selaku.
Sejenak mereka pun sedikit demi sedikit bisa mengatur dirinya. Suara riuh canda tawa mulai sedikit demi sedikit mereda. Mereka memulai memfokuskan dalam bermuhasabah pada setiap dirinya.
“Tafadhol, Mbak!” Ucap Febri, mempersilahkan aku memberikan materi.
“Alhamdulillah. Insya Allah, untuk hari ini kita membahas materi akhlak dan ikhlas!”
sejenak aku mengela nafas. “Akhlak. Bisa dikatakan sebagai adab. Atau perilaku tentang budi pekerti. Dalam kamus bahasa. Beberapa orang mengatakan, bahwa akhlak adalah sebuah perilaku budi pekerti yang diambil dari sebuah kebudayaan.
Tetapi, Akhlak dalam Islam. Bukan dari kebudayaan orang Arab. Tetapi, lebih dicenderungkan dalam kebudayaan manusia. Budi pekerti manusia yang universal.
Dan akhlak dalam Islam, adalah karakter dominan Rasulullah! Yaitu, seorang yang ramah, adil, baik. Intinya, kesempurnaan manusia yang ada dunia. Hanyalah pada Rasulullah!” dalam layer monitor. Teman-temanku mendengar secara pasti taujih yang aku sampaikan. Rasa ketidaktahuan, atau rasa ingin memperkuat keimanan.
Terlihat dari setiap wajah-wajah dalam monitor. Tidak terkecuali, teman-teman yang hanya bisa mendengar melalui chatvoice.
Setiap hal, yang mendetail masalah akhlak dan ikhlas. Aku sampaikan dengan jelas. Aku ingin tidak ada yang tersisa lagi dalam setiap penyampaian materiku.
Hingga menimbulkan rasa penasaran yang tinggi. Atau ilmu yang hanya setengah-setengah saja. Dengan pasti, aku memberikan materi-materi itu. “Alhamdulillah. Baik, ada yang perlu ditanyakan” ucapku diakhir penjelasan.
Sejenak para chatter diam. Berfikir dan merasapi taujih yang aku sampaikan. Wajah mereka tertunduk, mengharap keikhlasan dengan perbuatan yang mereka lakukan. Perbuatan yang entah mereka lakukan. Aku tidak tahu.
“Mbak, ana mau tanya!” ucap Desti. Membuyarkan lamunan para chatter.
“Iya, tafadhol Ukh!” jawabku.
“Mbak, ana mau tanya tentang keIkhlasan. Apakah seorang yang melakukan sebuah pekerjaan. Tetapi dia melakukan itu dengan senang hati, tetapi karena menginginkan sesuatu selain Allah! Apakah itu juga dinamakan Ikhlas?”
“Seorang yang melakukan perbuatan, tetapi didasari untuk mendapatkan sesuatu. Sesuatu yang bukan berdasarkan pada Allah. Juga termasuk Ikhlas! Tetapi, keikhlasan itu hanya pada sesuatu yang diinginkannya saja. Dan dia tidak mendapatkan pahala ikhlas yang diberikan oleh Allah. Dalam sebuah hadits disebutkan, diriwayatkan oleh Ahmad. “Sebaik-baik usaha adalah usaha tangan seorang pekerja apabila ia mengerjakannya dengan tulus.” Jadi semua itu, mempunyai nilai keikhlasan sendiri-sendiri.
Jika seseorang meniatkan dirinya untuk Allah, maka Allah lah yang akan menjadi tujuannya. Dan pahala yang akan didapatkannya. Sedangkan, jika seorang meniatkan untuk hal-hal yang lain. Selain Allah. Maka, hanya hal itu saja yang akan didapatkannya!” jelasku.
“Lalu, cara untuk ikhlas atau menjaga ikhlas dalam dakwah bagaimana Mbak? Kadang, ana sangat ikhlas sekali untuk mengadakan kegiatan. Tetapi, saat kegiatan itu tidak sesuai dengan harapan. Keihlasan ana menjadi pupus!” tanya Maya.
“Iya, kadang kita benar-benar sangat bersemangat dalam beradakwah. Dan kadang kala kita menjadi luntur atau futur. Saat-saat apa yang kita harapkan tidak tercapai.
Atau kita bosan dengan kegiatan tersebut! Mungkin, kita perlu merefiu kembali jalan dakwah yang kita lakukan. Saat kita melakukan sebuah kegiatan. Dengan harapan, bahwa kegiatan itu akan mencapai target yang ingin kita capai. Tetapi sayang, beberapa teman-teman kita banyak yang tidak datang dalam kegiatan tersebut.
Biasanya membuat kita menjadi pesimis dengan berlangsungnya kegiatan dengan bagus! Atau panitia kegiatan banyak yang datang terlambat. Itu juga, salah satu yang membuat keikhlasan menjadi luntur!
Pernah ada seorang akhwat, melakukan kegiatan yang sudah sangat dirancang dengan matang. Lalu, pada saat pelaksanaan kegiatan. Banyak akhwat-akhwat panitia yang terlambat hadir atau bahkan tidak hadir. Akhwat ini bingung. Peserta sudah sangat membludak. Tetapi, panitia banyak yang tidak hadir. Akhirnya akhwat ini menelephon seorang akhwat yang belum hadir. Sebuah percakapan terjadi,
Akhwat A : Ukhti, anti dimana? Peserta sudah banyak. Anti tolong kemari dong!
Akhwat B : Afwan ana tidak bisa hadir. Ana ada keperluaan! Semoga anti dan teman-teman bisa mengatasi sendiri. (Ucapnya dengan enteng, tidak ada penyesalan sama sekali)
Akhwat A : Anti kok nggak bilang saat syuro’. Kalau seperti ini kan kasihan Al Ukh yang lain. (Ucapnya, sedikit agak emosi)
Akhwat B : Iya, Afwan. Ana hari ini ada teman yang lagi main kerumah. Jadi nggak bisa ninggal! Semoga anti tetap niat ikhlas anti tidak ternodai dengan nafsu amarah anti. (Ucapnya, tanpa ada perasaan yang bersalah)
Akhwat A : Masya Allah, Ukh! Anti kan bisa ajak teman anti disini! (Ucapnya agak tegas, dengan nada yang meninggi. Sedikit terlihat emosi)
Akhwat B : Afwan, nggak enak. Nanti ganggu anti dan teman-teman. Lebih baik, anti dan teman-teman tetap istiqomah dijalan dakwah. Dan tetap, semoga niat anti nggak ternodai dengan nafsu amarah anti. (Ucapnya, tanpa ada perasaan yang bersalah. Seperti ingin menasehati)
Akhwat A : TAHU APA ANTI TENTANG ISTIQOMAH DAN IKHLAS. (Ucapnya dengan keras. Setelah itu menutup telephon)
Baik. Sekarang siapa yang salah” ucapku. Sambil melihat satu persatu Al Ukh, Halaqoh Cyber Liqo’.
Mereka terlihat bingung. Sesekali ada yang mengatakan salah satu yang salah. Tetapi ada juga, yang menyalahkan kedua akhwat itu. Dengan alasan, akhwat satu yang menelphon tidak mempunyai kesabaran untuk menghadapi Akhwat yang ditelephon. Lalu akhwat yang ditelephon, tidak mempunyai rasa persaudaraan yang kuat kepada akhwat yang lainnya. Tetapi, lebih banyak yang diam. Tidak berkomentar, atau menungguku untuk lebih dalam menjelaskan persoalan ini.
“Iya! Dalam kasus tadi. Kita dapat mengambil sebuah ibroh atau hikmahnya. Memang, niat ikhlas itu sangat diharapkan untuk tidak keluar dari dalam niat kita. Tetapi, ada penyebab yang membuat niat ikhlas itu keluar. Yaitu, dengan cobaan seperti apa yang terjadi dalam kasus tadi! Seorang, yang sudah ikhlas dalam hatinya.
Akhirnya ternodai oleh saudaranya sendiri! Ikhlas, bukan berarti tidak butuh bantuan. Ikhlas, bukan berarti bertindak sendirian. Dan seharusnya, untuk menjaga keikhlasan sesama saudara. Maka saudara yang lainnya, pun harus ikut menjaga niat keikhlasan dalam perjuangan saudaranya. Bukan malah, membiarkan saudaranya berjuang sendiri. Lalu dengan seenaknya, saudara yang lainnya mengatakan tentang keikhlasan.
Keikhlasan tentang saudara yang lainnya. Ini berarti, menjadikan tumbal saudara kita sendiri!” Aku sedikit menarik nafas, lalu menghembuskannya pelan. “Maka, untuk menjaga niat ikhlas kita. Seharusnya, sikap kita adalah tidak mementingkan hasil dari apa yang kita kerjakan. Cukuplah usaha yang kita jalankan, sesuai dengan apa yang memang seharusnya. Tidak usah begitu mengharapkan hasil yang sempurna. Tetapi, tetap ada hasilnya! Dan cukuplah Allah, yang memberikan hasil dari kita. Cukuplah kita, berikhtiar dengan usaha yang kita lakukan.”
“Iya, ana juga setuju kalau seperti itu Mbak!” Ucap Desti.
“Ana jadi lebih mengerti sekarang!” Sahut Anggi.
“Sama, ana juga!” Ucap Febri.
“Syukron Mbak! Ana jadi lebih tenang, dengan penjelasan yang Mbak Farah sampaikan!” Ucap Ine.
“Sama, ana juga!” Ucap beberapa teman-teman yang lain.
“Alhamdulillah. Kalau seperti ini kan, ana jadi nggak lebih mudah menjelaskannya!” ucapku. Sambil bercanda.
“Mbak, ana mau tanya!” Ucap Anggi.
“Tafadhol!” Jawabku.
“Mbak, ana di sini sering bertemu dengan saudara kita yang lainnya. Di Australia, ada beberapa harokah-harokah Islam yang banyak. Termasuk ada juga, beberapa yang menyebutkan diri dari golongan pengikut ulama salaf. Anehnya, kadang kami saling berdebat. Untuk mempertahankan harakah kita masing-masing! Mengunggulunggulkan apa yang kita kerjakan. Dan tak jarang, kata hujatan pun meluncur untuk salah satu harakah. Suasana ini baru ana alami disini, Mbak! Saat di Indonesia, ana tidak begitu sering melihat harakah-harakah lain. Dan tidak pernah mendengar hujatan-hujatan yang menyakitkan! Tapi disini, semuanya bisa dilakukan.
Mengunggul-unggulkan golongan mereka, merupakan hal biasa disini. Pantas saja, banyak para jamaah yang terlihat tidak begitu menyatu. Membaur dalam kerangka ukhuwah yang erat! Mereka lebih memilih, bergabung dengan orang-orang yang sealiran dengan mereka!” Ungkap Anggi.
“Hem. Iya, memang. Inilah yang menjadi persoalan serius dalam umat Islam! Banyak para harakah, organisasi, aliran dalam Islam. Yang menyerukan tentang persatuan.
Hanya saja, persatuan yang mereka inginkan lebih bersifat penyatuan. Bukan persatuan yang menginginkan kesatuan. Di Indonesia pun, sering terjadi. Mereka lebih menonjolkan harakah atau organisasi mereka. Persatuan, sering digembargemborkan dalam setiap harakah atau organisasi. Tetapi sayangnya. Persatuan yang mereka inginkan, lebih bersifat menyatukan harakah atau organisasi lain kedalam harakah atau organisasinya sendiri. Ini yang membuat menjadikan persatuan tidak terjaga dengan baik. Beberapa cemoohan, hujatan dan celaan harakah atau organisasi satu dengan yang lainnya! Sepertinya, kita terhambat dengan pola perjuangan harakah dan organisasi yang mementingkan diri mereka sendiri.
Ana pernah berdialog dengan satu aktivis harakah selain kita. Mereka dengan mudah mengatakan sesuatu yang menyakitkan hati. Akhlak mereka menjadi bias, dengan ashabiyah yang mereka punyai! Beberapa kali, ana mengelus dada. Saat berbicara dengan mereka. Ana mencoba sabar dengan kata-kata yang begitu menyakitkan. Bahkan, ada sebuah harakah yang menghina seorang ulama besar.
Hasan Al Banna. Seorang ulama yang begitu masyhur dalam dakwahnya, harus dihina dan fitnah. Kasihan. Bahkan, isu yang digemborkan adalah. Hasan Al Banna merupakan seorang yang membela orang-orang Israel. Membela kaum-kaum Yahudi!
Padahal, semua tahu. Bahwa banyak kader-kader Hasan Al Banna yang diterjunkan untuk turut berperang saat Israel menyerang Palestina. Dan bahkan, hampir-hampir saja. Kader-kader Hasan Al Banna dapat mengalahkan pasukan Israel. Kalau pada saat itu, Anwar Saddat seorang presiden Mesir yang zhalim itu tidak menangkapi kader-kader Hasan Al Banna!
Ironis, seorang kader yang menunjukkan eksistensinya dalam dunia Islam.
Harus dipenjarakan dan dibunuh oleh orang-orang munafik. Tetapi hebatnya, kader-kader Hasan Al Banna tidak pernah mengeluh dalam setiap perjuangannya. Dan bahkan, mereka tidak melakukan sebuah kemakaran terhadap negaranya. Meskipun saat itu mereka sudah sangat di zhalimi! Sangat hebat. Bahkan, saat kader-kader Hasan Al Banna di penjara. Mereka berfikir, penjara itu adalah bagian dari rihlah mereka! Saat mereka berada diruang penjara bawah tanah, hingga mereka tidak bisa melihat tangannya sendiri karena gelap. Tapi, sungguh sangat mengesankan. Mereka dengan bergantian meramaikan penjara bawah tanah itu, dengan muraja’ah AlQur’an. Subhanallah! Dan Hasan Al Banna adalah seorang pembesar, yang mengakui.
Bahwa Indonesia, adalah negara yang berdaulat! Yang pada saat itu, tidak ada Negara yang berani mengakui kemerdekaan Indonesia.
Ana sangat salut dengan perjuangan yang dilakukan oleh Hasan Al Banna. Meskipun, ana pun tidak menafikkan ada ulama-ulama lain. Selain Hasan Al Banna. Tetapi, ana lebih menyukai dan mengagumi para ulama-ulama besar. Dengan penghormatan dan bukan penghinaan. Ulama manapun! Selama ulama itu dalam koridor syariat yang benar, maka ana akan mengagumi mereka. Karena, ana tidak ingin bertaklid dengan salah satu ulama. Karena ulama adalah manusia, mempunyai kesalahan dan dosa! Tetapi, kebenaran itulah yang seharusnya kita ambil dari setiap para ulama-ulama! Kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh para ulama. Seharusnya
kita pun memahami, bahwa ulama juga manusia. Bukan lantas menyalahkan seluruh ajarannya, hingga menafikkan ajaran keberanan-Nya!
Adapun saat kita dihina. Maka jangan sekali-kali, kita membalas hinaan mereka dengan balik menghina! Karena sesungguhnya, kehinaan itu akan kembali kepada seorang penghina. Dan sekarang, sudah bukan jamannya lagi untuk berdebat dengan sesama muslim! Selama muslim itu benar dalam pandangan syariat, melakukan perbuatan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah, melakukan perbuatan yang tidak dilarang oleh Rasulullah. Maka kita, tidak usah saling membenarkan atau menyalahkan! Kita ingat, musuh bersama kita sekarang bersatupadu memerangi kita.
Mereka sedang menyiapkan senjata-senjata mereka. Sejata materil, Pun senjata propaganda perpecahan umat. Maka kita jangan sampai tertipu daya dengan propaganda itu. Adakalanya, saat kita berdebat. Janganlah mencari pembenaran, tetapi carilah kebenaran untuk kemaslahatan. Bukan kebanaran abstrak yang kolot harus dilakukan. Karena, kita harus ingat. Bahwa jaman terus berubah, banyak aturan-aturan Rasulullah yang tidak mengatur dalam aturan jaman yang akan datang. Dalam konteksnya, ijtihad-ijtihad yang dilakukan ulama satu dengan ulama yang lainnya.
Tidaklah boleh saling membuat perpecahan diantara umat Islam!
Kita ingat bahwa sesungguhnya, sebuah persatuan dalam Islam akan terjadi.
Manakala semua umat Islam mengerti apa yang dilakukannya masing-masing. Usaha-usaha untuk saling mengingatkan antara sesama Islam. Harus dilakukan. Tetapi dengan cara bahasa yang santun, tidak menyakitkan hati seorang yang akan kita beri pengingatan kembali. Banyak cara agar persatuan Islam dapat kembali, salah satunya seperti yang ana sebutkan tadi. Karena jika kita terlena dengan perang kita sendiri, sedangkan ada musuh bersama yang sedang mengintai kita. Yang sekarang sedang melakukan persiapan untuk menghancurkan umat Islam. Sekarang, sudah saatnya kita harus bangun dari tidur kita dengan mimpi-mimpi buruk perpecahan umat Islam.
Akan menjadi sebuah kehancuran, saat-saat kita masih terbuai dengan mimpi-mimpi berdebat dengan sesama Islam. Jangan-jangan, saat kita terbangun dari tidur. Para musuh Islam, sudah menodongkan senjata dihadapan kita! Apalagi, saat kita terbangun. Ternyata kita sudah berada dipenjara-penjara musuh Islam. Atau, jangan-jangan. Malah saat kita terbangun, kita sudah berada diakhirat. Dibangunkan oleh malaikat dengan pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang kita lakukan untuk Dien kita ini! Dibangunkan oleh malaikat, saat kita diakhirat. Karena pada saat kita sedang tertidur, musuh-musuh Islam telah menjatuhkan bom-bom mereka. Sehingga, kita tidak sadar bahwa kita telah meninggal. Kita telah berad diakhirat, karena kebodohan kita memerangi umat Islam sendiri!
Apakah kita rela memerangi saudara kita sendiri? Apakah kita memang menginginkan kehancuran umat Islam? Ataukah, karena kita ingin menunjukkan kebenaran yang pada dasarnya hanya ingin memenangkan sebuah perdebatan? Masya Allah. Kita sekarang sedang dilanda dengan berbagai hinaan, cercaan dari umat yang lain. Apakah kita harus saling menghina umat Islam sendiri! Inilah yang memang seharusnya koreksi bagi kita. Meskipun, saudara-saudara kita menghina dengan perkataan yang menyakitkan hati. Cukuplah Allah, mengetahui apa yang kita inginkan. Hanyalah Allah, yang biar membuktikan niat dan cara kita tidak seperti yang mereka duga. Dan biarkanlah hujatan-hujatan itu, Allah yang menjawabnya!
Maka seharusnya kita, berlapang dada dalam menerima pengingatan yang menyakitkan. Berusaha berlapang dada dengan hinaan yang mereka ucapkan.
Berusaha untuk istiqomah dalam kekuatan yang kita bangun dan kita satukan. Kita tidak usaha memaksa mereka untuk mengikuti cara-cara kita. Kita tidak memaksa mereka mengikuti pola perjuangan yang sedang kita jalankan. Tidaklah sakit hati, jika saat kita dihina oleh mereka. Sehingga kita menjadi terhina. Semua itu harus kita pupuk dalam diri kita. Sehingga kita tidak merasa rendah dibanding mereka! Kita harus ingat. Bahwa saat dijaman Rasulullah. Perjuangan-perjuangan yang dilakukan bersifat mengikuti apa yang diperintahkan oleh Beliau (Rasulullah). Tetapi disaat jaman setelah Rasululllah. Kita menjadi ingat, bahwa banyak perbedaan pendapat yang terjadi pada beberapa sahabat Rasulullah.
Namun, perbedaan itu tidak menjadikan sebuah perpecahan umat. Malah menambah semangat untuk memperjuangkan Dien kita ini. Sehingga kita bisa melihat, bagamaina Abu Bakar dengan Umar saat berbeda pendapat. Kita ingat tentang Utsman dan Ali yang berbeda pendapat. Mereka tetap menyatukan diri dalam satu naungan. Meskipun mereka mempunyai perbedaan yang mencolok. Bahkan kita lihat Khalid bin Walid saat berbeda pendapat dengan Umar bin Khattab. Tidaklah menjadikan perbedaan itu meretakkan hubungan ukhuwah mereka. Mereka tetap dalam koridor-koridor perjuangan yang pasti. Dan tidak saling menyalahkan atas perbuatan yang dilakukan setiap sahabat. Dan tidaklah terdapat hujatan, hinaan, atau bahkan cemoohan dan celaan kepada mereka. Bahkan mereka dengan sangat berlapang dada, saling memuliakan saudaranya saat terjadi perbedaan pendapat. Ini merupakan sebuah contoh yang bagus. Ini merupakan sebuah kekuatan ukhuwah yang harus kita jalankan. Bukan malah menjadikan sebuah perbedaan sebagai hal yang menakutkan. Bahkan menjadikan rival saudara kita sendiri, saat mereka berbeda pendapat dengan kita.
Ini merupakan perkara yang besar yang harus kita hadapi. Yang harus kita pahami. Yang harus kita mengerti. Bukan hanya sekedar memaksakan diri untuk mengatakan kepada saudara kita. Bahwa kitalah yang paling besar dan berjasa dalam memperjuangkan agama kita ini. Bahkan mengatakan, kitalah yang paling benar dalam setiap cara perjuangan yang kita lakukan. Jangan! Cara-cara yang kita gunakan harus tetap sesuai dengan koridor-koridor yang sudah ditetapkan dan diajarkan oleh Rasulullah. Dan bila terjadi sebuah cara yang lain, selama cara itu tidak merugikan atau bahkan menyimpang dari ajaran. Maka seharusnya kita tidak ada sebuah celaan terhadap sesuatu cara baru tersebut. Atau dengan kata lain, kita mudah mengatakan sebuah kebid’ahan kepada saudara kita.
Pemahaman dan pengertian sesama saudara Islam. Sangat wajib dilakukan. Bukan celaan dan pembenaran yang menjadikan umat Islam berjaya. Tetapi lebih didasari dengan kerendahan hati, kelembutan bertutur kata, kemulian akhlak kepada setiap saudara umat Islam yang seharusrnya ditunjukkan. Insya Allah, seperti itu. Wallahu’alam.” Jelaku penjang lebar.
“Mbak, lalu cara-cara untuk tidak terprovokasi untuk saling menghujat bagaimana?” Tanya Febri.
“Insya Allah. Hujatan, celaan, cemoohan dan perbuatan yang lain. Yang menimbulkan rasa sakit hati seorang yang mendengarkan. Timbul karena adanya sebab-sebab yang ditumbulkan dari beberapa faktor, yaitu internal dan eksternal.
Faktor Internal lebih dipengaruhi oleh hati kita sendiri. Faktor eksternal, lebih dipengaruhi oleh sebuah stimulan atau pembangkit dari perkataan tersebut. Seperti halnya, berdebat dengan argumentasi atau hujjah yang menginginkan orang harus mengerti dengan apa kita maksud. Memaksakan kehendak seseorang saat kita berdiskusi untuk mengikuti cara yang kita lakukan. Tidak mau mengerti dengan hujjah atau argumentasi orang lain. Dengan contoh sebab-sebab seperti itulah yang akan membuat kita menjadi melakukan hujatan, celaan, cemoohan dan perbuatan lain yang tidak enak untuk didengar. Yang paling terpenting, kita tidak usah berdebat dengan orang-orang muslim. Karena pada dasarnya, perdebatan itu dilarang oleh Allah. Selain berdebat dengan cara yang baik dan dilakukan kepada orang-orang kafir. Allah tahu, bahwa perdebatan itu adalah bumbu perpecahan. Maka Allah melarang kita berdebat. Seperti dalam Qur’an Surat Al Ankabut 46. ‘Dan janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri.’ Sehingga Allah memberitahukan sebuah perdebatan hanya untuk para Ahli Kitab dan orang-orang zalim. Bukan untuk sesama orang-orang Islam!” jelasku.
“Lalu, bagaimana cara yang terbaik dalam berdakwah tanpa harus berdebat Mbak?” Tanya Ine.
“Ana belum tahu cara yang terbaik. Karena masing-masing mempunyai versi cara terbaik bagi dirinya sendiri!” Ucapku senyum. Setelah menghela nafas, aku lanjutkan penjelasanku “kalau menurut ana sih, cara yang terbaik dalam berdakwah agar terhindar dari perdebatan yang membuat hati kita menjadi panas dingin, keringat dingin mengalir, detak jantung yang tidak beraturan, nafas yang tersengal, dan membuat sorot mata kita tajam bagaikan akan menerkam sebuah mangsa didepan.
Adalah, dengan cara tidak melakukan sebuah perdebatan. Atau menghindari hal-hal yang berbau perdebatan. Karena, kita harus yakin. Masih banyak cara yang lain dari pada harus berdebat dengan egoisme setiap masing-masing pembicaranya! Dengan tidak menuruti hawa nafsu untuk berdebat, maka kita sudah menghindari perpecahan umat Islam. Dan dengan begitu dakwah kita, Insya Allah akan lebih mudah.
Seseorang diingatkan, tidak harus didebat dengan kebenaran yang benar. Tetapi cukuplah diri seseorang yang mengingatkan itu melakukan apa yang diucapkan. Sehingga itu yang menjadi contoh bagi orang yang akan diingatkan! Dan ada beberapa hal yang harus kita pahami. Bahwa dakwah, bukan berarti tugas seorang saja. Tetapi setiap umat muslim, berhak dan wajib untuk berdakwah. Dengan mendakwahkan ajaran-ajaran yang memang tidak diragukan lagi kebenarannya! Bagaimana?” Ucapku Mereka mengangguk setuju.
“Lalu, Mbak. Cara dakwah seperti apa yang menurut Mbak Farah bagus?” Tanya Ratna.
“Cara dakwah yang bagus? Hem, ana pernah dengar dari salah satu ikhwan. Akhi Khalid namanya, ikhwan ini mengatakan saat dia ditanya seperti itu. Dengan satu kalimat. Cara dakwah yang bagus adalah bersyi’ar seperti Jamaah Tagbliq, berakhidah seperti para Salafi, dan berakhlaq dan ikhlas seperti Ikhwanul Muslimin.
Tetapi, bukan berarti satu dengan yang lainnya bertentangan atau memiliki kekurangan. Tidak. Kita hanya mengambil cara-cara yang terbaik, yang pernah dilakukan oleh mereka. Dan tidak mengkotak-kotakan satu dengan yang lainnya. Jadi itulah cara dakwah yang menurut ana bagus!” sedikit, aku menghela nafas. Setelah itu mengatakan. “Baik, sudah malam nih! Bagaimana kalau liqo’ kali ini kita akhiri saja?” Tawarku.
“Hem, disini masih jam sepuluh pagi Mbak!” Ucap Ratna.
“Yee... anti di Amrik. Kalau disini mah, sudah jam 10 malam!” Sergahku sambil tersenyum.
Beberapa para chatter pun tersenyum. Entah termasuk para chatvoice juga. Aku tak tahu, karena aku tidak melihat mereka tersenyum.
“Iya, kalau Mbak Farah ingin off dulu silakan! Terima kasih banyak atas taujihnya. Insya Allah, kami mendapatkan ilmu yang belum kami dapat.” Ucap Febri.
“Ok, ana Off dulu yah. Ana udah capek banget nih! Sebelumnya, ana minta maaf jika taujih ana ada yang tidak berkenan dihati anti semua. Baik, ana off dulu.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
“Walaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.” Serempak jawaban para chatter tanpa dikomando. Setelah itu aku langsung menshoutdown komputer.
JILID 8
“Insya Allah, ana siap menikah dengan anti!”
Aku terbangun dari tidurku. Jantungku berdetak cepat tidak karuhan. Keringatku mengucur deras. Sejenak aku mengingat mimpi yang menghampiriku.Tidak mungkin! Gumamku lirih. Sejenak air mataku mengalir. Entah mimpi tadi adalah sebuah kebahagiaan, atau sebaliknya. Aku tidak tahu!
Suara adzan shubuh menggema dalam keheningan pagi. Masya Allah, malamku terlewat lagi. Tahajjudku, tertinggal kembali. Begini, kalau tidak ada suami yang membangunkan! Ucapku dalam hati. Seraya tersenyum. Segera aku bangun dari peraduan kasur busa yang empuk. Bergerak menuju kamar mandi. Setelah berwudhu, aku langsung mengambil jilbab dan mukenaku. Sesegara mungkin aku keluar dari kamar, mengajak ummi untuk langsung kemasjid. Ternyata Ummi sudah berada menungguku. Untuk berangkat bersama-sama kemasjid. Tentunya, tidak lupa mengajak bi Iyem untuk sholat berjamaah ke masjid. Memang dahulu ada ketentuan, seorang wanita dilarang untuk pergi kemasjid. Tapi bukan berarti tidak boleh. Hanya saja, mungkin saat dijaman itu jalan-jalan masih gelap. Dan ditakutkan terjadi sesuatu hal kepada para wanita. Karena itu, sekarang banyak ahli fikih yang menyatakan boleh seorang wanita sholat berjamaah dimasjid. Setiap berjalan dalam langkah menuju Baitullah. Aku teringat dengan Abi. Kangen. Sudah enam bulan, Abi berada di Mesir. Mengurusi perusahaan yang baru dibelinya disana. Hem. Rasanya aku ingin bercerita banyak kepada Abi. Tetang mimpiku tadi malam!
Seperti biasanya, setelah sholat shubuh. Amalan pertama, membaca al ma’tsurat yang kedua tilawah dan menghapal hadits serta Al Qur’an. Lalu berolah raga. Sedikit meregangkan otot-otot yang kaku. Gerakan-gerakan beladiri yang pernah aku pelajari. Aku ulang kembali, hitung-hitung menghapalnya lagi. Memang seharusnya para akhwat juga harus belajar beladiri. Kalau teringat peristiwa lalu.
Seharusnya aku sudah dapat membekuk para penjahat itu. Meskipun mereka membawa pistol, seharusnya aku lebih berani dengan merebut pistolnya. Jika seandainya aku sudah bisa dan terlatih dalam berbeladiri. Pastilah dengan mudah aku merebut pistol itu. Tapi sayang, rasa takut teramat dalam yang sudah melandaku. Ya Allah, azamkan pada diriku untuk lebih berani!
Aku teringat saat masih belajar beladiri. Para Al Ukh, sering aku ajak untuk ikut latihan. Tetapi sayang, banyak para Al Ukh yang menolak berlatih beladiri.
Dengan alasan yang bermacam-macam. Seperti halnya, bahwa Akhwat sudah tidak jamannya lagi berlatih beladirilah, sekarang jamannya sudah tidak memakai beladirilah, sekarang perangnya memakai otaklah. Entah seribu satu macam alasan yang digunakan oleh para Al Ukh, untuk tidak mengikuti latihan beladiri. Padahal, Rasulullah sudah mengingatkan kita, bahwa mukmin yang kuat lebih dicintai Allah ketimbang mukmin yang lemah. Kuat dalam artian, adalah kuat dalam segala hal. Kuat hartanya, kuat fisiknya, kuat akal fikirannya. Dan kuat dalam hal yang lainnya. Ini yang seharusnya menjadi pengingat kita. Bahwa Rasulullah senang dalam bergulat (beladiri) untuk melatih ketangkasan geraknya, Rasulullah menganjurkan kita untuk bisa berenang atau sering berenang, dalam artian. Bahwa Rasulullah menginginkan keseimbangan dalam kehidupan kita. Lalu Rasulullah menyerukan untuk berlatih memanah. Rasulullah menyerukan itu, agar kita lebih bisa memfokus dalam satu target yang tepat dalam berdakwah. Sambil mengukur dan mengetahui jarak sasaran yang tepat dalam berdakwah. Semua itu punya alasan. Bukan seperti kita yang selalu beralasan. Jika seorang akhwat bisa beladiri, maka akhwat itu Insya Allah akan lebih terjaga dalam geraknya. Bukan hanya pintar beladiri, tapi akhwat pun tidak harus gaptek. Semua hal seharusnya diimbangi. Bukan hanya salah satu saja.
***
Sejenak saat aku membaca surat Faathir 11. “Dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah.” Aku jadi teringat mimpiku. Yaa Allah, seandainya engkau memang benar-benar menjodohkannya kepadaku. Maka aku akan senang sekali, tetapi aku juga tahu. Bahwa keinginan dan kesenangan-Mu jauh lebih aku senangi!
Aku bingung. Bingung dalam rasa ketertarikan kepada seorang ikhwan. Aku tidak melihat wajahnya, yang aku lihat geliat dakwahnya. Sungguh sangat memukau.
Dia begitu bersemangat dalam berdakwah. Ketegasan dalam memimpinnya pun sudah aku rasakan. Seorang leadership yang begitu hebat. Sangat hebat menurutku. Entah aku melihat dengan nafsuku atau karena dia bisa memperlihatkan kemuliaan akhlaknya. Aku sangat bingung. Apakah aku harus mendahuluinya untuk memberitahukan maksudku ini? Tapi aku malu! Tidak, aku tidak boleh malu. Ini bukan sebuah rasa malu. Walaupun aku nanti ditolak, biarkan. Tapi, ini bukanlah rasa malu. Aku harus seperti shahabiah yang lainnya. Meskipun ditolak, tapi ini bukanlah hal yang memalukan. Yang memalukan adalah, seorang akhwat yang hanya memendam rasa cintanya dan hanya bisa berharap tanpa ada usaha yang pasti untuk menggapainya! Aku harus bisa menggapainya.
Aku langsung menyambar HP dan kunci mobilku. Dengan cepat aku bergegas langsung menuju mobil. Didalam mobil aku langsung menelephon bibiku. Ustadzah Heni.
“Hallo!” Ucap Bibiku.
“Hallo, Assalamualaikum. Bunda!” Salamku. Panggilan Bunda merupakan panggilan kesayangku kepada Bibiku. Karena sejak masih kecil aku sudah disuruh untuk memanggil Bunda. Tetapi, kalau ditempat kajian aku tidak mau memperlihatkan kedekatanku dengan Bibiku. Biar kesannya nanti, bukan hanya aku yang memiliki beliau.
“Walaikumsalam, Zah! Ada apa nih?” Tanyanya.
“Ana pengen ketemu, Bunda! Sekarang, Bunda ada dimana?” Tanyaku balik.
“Ana masih ngajar, setengah jam lagi ana sudah selesai! Anti datang disekolahan aja yah!” Jawabnya.
“Ok, Bunda. Ana sekarang meluncur kesana!” Ucapku sedikit manja.
“Iya, ana tunggu!”
“Assalamualaikum!” Ucapku.
“Walaikumsalam!”
Dengan segera aku langsung bergegas di SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) Insan Mulia.
***
“Wah, ini ada apa? kok kelihatannya ada masalah yang besar!” Ucap Bibiku.
“Nggak juga, sih Bunda! Ana mau silahturahmi ke Bunda aja.” Jawabku enteng. Tetapi menyiratkan sesuatu yang terpendam.
Bibiku tersenyum. “Hem, mana mungkin hanya silahturahmi. Pasti ada yang lainnya.” Goda bibiku.
“Hehe... Bunda tahu aja!”
“Anti sudah ana asuh sejak masih bayi! Jadi ana tahu sifat anak sendiri dong!” Ucapnya menghibur. Seraya membelai kepalaku.
“Ana mau tanya, Bunda! Tentang Ukhti Reni!”
“Ada apa, dengan Ukhti Reni?”
“Ana pernah ngobrol dengan Ukhti Reni, kalau dia ingin menembak duluan. Sudah belum Bunda?” Tanyaku.
“Oh, itu. Alhamdulillah, sudah! Tetapi, jangan memberitahu teman-teman anti dahulu. Ini masih dalam proses. Ana bersyukur, ada akhwat yang seberani itu!”
“Hem, lalu si Ikhwan menerima nggak Bunda?”
“Insya Allah, dari taarufnya. Si Ikhwan menerima! Memangnya kenapa?”
“Oh... nggak apa-apa kok Bunda!” Jawabku, sedikit tergagap.
“Nggak apa. Apa, nggak apa-apa?” Goda Bibiku.
“Hehe... nggap apa-apa kok Bunda! Ana hanya pengen meniru Ukhti Reni.” Jawabku. Sedikit tersenyum malu.
“HA..! Alhamdulillah, sekarang Farah Zaharani sudah besar! Sudah dapat menentukan pilihannya sendiri.” Ucap Bibiku. Terlihat kaget tetapi tersenyum senang.
“Boleh, nggak Bunda?”
“Ya, tentu boleh dong. Tetapi, tetap harus diseleksi dulu akhidahnya. Meskipun anti yang memilih. Ana nggak mau anti menikah dengan seorang ikhwan yang akhidahnya tidak lebih baik dari anti!”
“Insya Allah. Pilihan ana ini cocok kok buat keluarga kita!”
“Hem. Tetapi anti juga harus ingat. Jika dia tidak menerima anti, anti tidak boleh merasa sangat malu. Malu boleh tetapi harus tetap dikontrol. Agar tidak menjadikan rasa malu itu menjadi futur dalam berdakwah!”
“Iya, Bunda!” Jawabku singkat. Sambil masih memperlihatkan sedikit rasa malu.
“Lalu, Ikhwan mana yang terpilih untuk menjadi pendamping sang Bidadari?” Goda Bibiku lagi.
Aku masih senyum dengan memendam rasa malu yang teramat sangat. “Akhi Khalid.
Akhi Khalid Hendriansyah.” Jawabku singkat.
“Alhamdulillah. Anti memilih seorang Akhi yang memang tidak salah untuk dipilih! Tetapi anti sudah bilang ke Ummi belum?”
“Belum, Bunda. Insya Allah nanti, setelah ini!”
“Hem. Ya sudah, biar ana yang nanti bicara dengan Ummi! Anti persiapkan mental saja dulu.”
“Iya, Bunda!”
“Nanti, ana akan bilang ke ustad Fadlan. Ammi anti! Biar diurus semuanya.”
“Ana tunggu ya, Bunda. Bunda masih ada acara lagi nggak? Kalau nggak, ana antar Bunda pulang!”
“Hem, syukron. Ana nanti masih ada syuro’ dewan guru. Ana nggak enak ninggal. Masa kepala sekolahnya nggak hadir disyuro’!” Ucap Bibiku. Dengan tersenyum.
“Ya, kalau gitu ana pamit dulu. Bunda! Assalamualaikum” Ucapku sambil mencium tangan bibiku.
“Iya. Walaikumsalam. Hati-hati!”
***
Dalam perjalanan pulang. Degup jantungku tak beraturan. Seorang Ikhwan yang sejak dahulu mencuri hatiku. Harus aku raih dengan keberanianku. Keberanian untuk menembaknya duluan. Aku takut, kalau sebenarnya. Akhi Khalid juga berpikiran demikan. Berpikiran, bahwa dia tidak cocok untukku. Hingga dia tidak berani menembakku duluan. Dari pada harus menunggu dengan ketidakpastian. Aku harus lebih berani menerima sebuah kepastian. Meskipun nantinya, jika aku harus ditolak oleh Akhi Khalid. Pedih dalam hati, pasti. Tapi, aku akhinya bisa mengetahui kepastian itu.
***
“Tluuut.... tluuutt..” bunyi Hpku. “Vita!” Tampilan nama di LCD Hpku.
“Assalamualaikum!” Ucapku. Setelah menekan tombol Call.
“Walaikumsalam.” Jawabnya.
“Wah, apa kabar Mbak?” Tanyaku. Basa-basi.
“Baik! Kalau kamu, gimana Far?” Ucapnya. Balik bertanya.
“Alhamdulillah, baik juga! Ada apa Mbak?”
“Oh, nggak ada apa-apa! Hanya pengen nelphon aja. Kamu sekarang ada acara nggak,Far?”
“Nggak ada. Kenapa Mbak?”
“Aku pengen ngobrol. Bisa nggak?”
“Insya Allah, bisa! Pengen ngobrol dimana Mbak?”
“Kamu bisa ke Asia Resto nggak, sekarang?”
“Bisa. Ok, aku sekarang kesana ya Mbak!”
“Iya, aku tunggu!”
“Assalamualaikum!” Salamku.
“Walaikumsalam!”
Asia Resto. Hem, berkelas juga nih! Marcedesku melaju dalam aspal yang terpanggang dengan panas yang terlihat membara oleh fatamorgana.
***
Setelah aku parkir mobilku. Bergegas aku langsung masuk ke Restourant itu.
Asia Resto, salah satu pijakan para eksekutif dan pembisnis untuk melepas penat kesehariannya. Makanannya halal, tetapi mahal-mahal. Abi pernah mengadakan rapat direktur disini. Yang akhirnya, aku kritik habis-habisan. Karena kehidupan hedonis sudah masuk diperusahaan yang mereka nyatakan perusahaan Islami. Seketika itu pun, Abi sudah tidak pernah lagi menyewa restourant itu.
Vita terlihat duduk sendirian. Wajahnya seperti menyimpan gundah dalam hati yang mendalam. Dia terlihat melamun, sambil memain-mainkan sedotan soft drinknya. Aku langsung berjalan kearahnya.
“Assalamualaikum!” Ucapku.
“Wa..laikumsalam!” Jawabnya, tergagap.
“Kok melamun, Mbak?” Tanyaku sambil senyum.
“Ah, nggak kok! Silakan duduk. Eh, kamu kok cepat sekali datangnya?” Ucapnya. Sepertinya, mengalihkan pembicaraan.
“Iya. Sebenarnya sih, aku tadi dalam perjalanan yang sejalur dengan restourant ini. Jadi lebih cepat sampainya!” Jawabku. Tak lupa dengan senyum ramah.
“Mau pesan apa, Far?” Vita menyerahkan daftar menu, kepadaku. Aku buka daftar menu air minum. “Jus Alpukat aja deh!” Ucapku, saat melihat minuman kesukaanku.
“Kalau makannya?” Tanya Vita.
“Hem. Nggak deh, aku masih kenyang! Jus Alpukat aja, udah mengenyangkan kok” Jawabku sambil tersenyum.
Vita tersenyum. Setelah itu memanggil waiters dan memesankan pesananku.
“Farah, kamu nggak apa-apa kan. Aku undang kesini!” Tanyanya.
“Hem. Nggak kok Mbak. Hanya saja, aku kikuk aja ditempat seperti ini. Kesannya elit banget! Kalau aku, makan di Ayam Bakar Wong Solo aja sudah kemahalan.”
Ucapku. Sambil bercanda. Untuk ukuran eksekutif, seperti Vita. Memang style yang diutamakan. Walaupun, pulang pergi naik angkot! Tentunya, jika aku disuruh untuk memilih antara Asia Resto dan Ayam Bakar Wong Solo. Mending di ABWS aja deh!
Vita hanya tersenyum. Sejenak, wajah yang cerianya berubah kembali murung. Kesan raut wajah menyiratkan gundah yang mendalam.
“Mbak, kok kelihatannya sedih! Ada apa, cerita-cerita dong? Kali aja aku bisa bantu!”
“Ya, karena itulah aku memanggil kamu! Entah kenapa, aku ingin sekali curhat dengan kamu! Entahlah.” Vita sedikit menundukkan wajahnya. Sejenak menahan rasa deru. Matanya berkaca-kaca. “Farah. Aku memang sukses dalam karier! Tetapi, kehidupan rumah tanggaku sangat berantakan.”
Aku hanya mengangguk. Ikut mencoba merasakan kesedihannya. Walaupun, aku tahu. Itu hanya cerita klasik seorang wanita karier.
Tetesan air matanya berjatuhan. Sedikit Vita mulai mengatur nafasnya, mencoba mengatur lagi kondisi tubuhnya.
Vita menceritakan, kehidupan rumah tangganya tidak seindah kariernya yang terus melonjak. Suaminya menjadi tidak betah dirumah. Hingga akhirnya Vita menjadi sering bertengkar dengan suaminya, hanya karena masalah sepeleh saja.
Mengatur rumah, memasak, mengurusi anak, dan lain sebagainya. Tidak dapat dia kerjakan. Karena kesibukan pekerjaannya. Sampai pada suatu malam, saat Vita pulang dari kantor. Dia melihat suaminya sangat khawatir dengan kondisi anaknya.
Badannya demam tinggi. Beberapa kali, anaknya meracau tidak karuan. Segera langsung Vita dan suaminya pergi kerumah sakit. Hingga akhirnya anaknya diopname. Saat dirumah sakit, suaminya terlihat sangat sabar. Tidak seperti biasanya.
Tidak seperti hari-hari yang dialami dengan pertengkarannya. Suaminya kembali menunjukkan sifat kesabarannya, yang pernah diadapatkan saat masih berpacaran dan hari-hari setelah menikah serta hari-hari saat baru mempunyai anak. Saat Vita belum bekerja.
Dengan arah pembicaraan yang terlihat sangat gundah dan gelisah. Tetapi tetap menunjukkan kesabarannya. Suami Vita, memberikan pilihan kepada Vita. Dia berhenti bekerja dikantor, atau silakan melanjutkan pekerjaannya tetapi dia harus bercerai. Sebuah pilihan yang sangat berat baginya. Karena dia bekerja itupun, untuk mencukupi kekurangan gaji suaminya. Apalagi disaat-saat kariernya hamper mencapai puncak. Vita menjadi sangat bingung. Hingga akhirnya dia, mengundangku kerestourant yang mahal. Hanya untuk mendengarkan keluhannya. Dan kalau bisa, memberikan wejangan untuknya. Karena, menurutnya. Orang-orang yang mempunyai
kekuatan iman. Adalah orang-orang yang bisa memberikan solusi yang bagus untuk setiap orang. Bagus memang, hanya saja aku menjadi tersanjung dengan ungkapan itu. Yaa Allah, lindungi aku dari sifat riya, ujub dan takabur.
“Mbak, Vita! Sebenarnya, nggak usah repot-repot ditempat seperti ini kalau mau curhat. Kemahalan, lagi Mbak! Dicafe-cafe yang murah aja aku siap kok. Atau rumah, dirumah Mbak Vita atau bisa juga dirumahku!” Ucapku.
“Aku, sangat menghargai orang yang mau membantuku. Bahkan hanya untuk mendengarkan curhatku saja. Aku sangat harus menghargainya!” Ucap Vita. Terlihat berharap dia mendapatkan solusi.
“Mbak. Kalau aku sih, jika Mbak mengundang dirumah Mbak Vita. Itu lebih terlihat menghargaiku, daripada harus bermahal-mahalan dirumah orang” Ucapku. Sambil dengan senyum.
“Hem. Kalau gitu, Insya Allah kamu aku undang kapan-kapan dirumahku! Kalau menurut kamu, masalahku ini bagaimana?” Ucapnya, sambil terlihat bingung.
“Mbak, sebenarnya persoalan Mbak Vita ini klasik! Sering terjadi pada para wanita karier. Yang berkarier dalam pekerjaan diluar rumah! Kesibukan dia menjadi sangat menyita waktu para wanita karier ini!” Sedikit aku menghela nafas panjang. “Mbak, kalau kita telaah lagi. Antara wanita dan pria yang melakukan sebuah pekerjaan. Saat para lelaki melakukan pekerjaannya, atau bekerja. Mereka mempunyai tujuan.
Pertama, yang biasanya belum menikah. Maka tujuannya adalah untuk menikah.
Yang kedua, jika lelaki ini sudah menikah. Maka tujuannya adalah, memberikan nafkah kepada keluarga. Seburuk-buruk suami, tetap suami itu ingin memberikan nafkahnya kepada keluarganya! Tetapi, jika wanita bekerja. Biasanya yang terjadi.
Pertama, untuk wanita yang belum menikah, tujuannya adalah dua. Menabung untuk pernikahan, atau menabung untuk urusannya sendiri. Kedua, tujuan wanita bekerja yang mempunyai suami. Biasanya untuk membantu pemasukan keungan keluarga.
Tetapi, itupun tidak mutlak biasanya juga untuk kebutuhannya sendiri!
Tetapi, jika seorang wanita yang bekerja dengan tujuan mulia. Yaitu untuk membantu pemasukan keuangan keluarga. Maka tujuannya jelas, bahwa keuangan keluarga yang menjadi prioritasnya. Sehingga, keluargalah yang menjadi prioritas pertama! Dan niat itupun tidak boleh berubah, meskipun seiring dengan apa yang telah Mbak Vita dapatkan. Seperti halnya, karier yang terus melonjak. Tujuan awal yang Mbak Vita inginkan, adalah sebuah kemuliaan. Seorang istri, tidak boleh berdiam diri manakalah dia melihat keluarganya kekurangan dengan sesuatu halnya.
Seorang istri, diwajibkan untuk peka dalam urusan-urusan keluarga. Termasuk dengan kondisi materi keluarga! Dan tujuan seorang istri dalam pekerjaannya, harus diniatkan untuk keberhasilan dalam berkeluarga. Hingga, seharusnya. Seorang wanita itu konsisten, atau dalam bahasa agamanya adalah Istiqomah. Terhadap niatnya.
Tidak boleh seorang istri yang bekerja dengan niat untuk keberhasilan dalam berkeluarga. Harus menyimpang, karena keberhasilan dalam berkariernya dikantor!
Manakala keluarga lebih membutuhkan Mbak Vita. Maka tidaklah Mbak Vita harus bingung dalam memilih. Karena tujuan Mbak Vita dalam bekerja, adalah untuk keluarga Mbak Vita sendiri. Tidaklah lucu, saat Mbak Vita bekerja untuk keluarga.
Tetapi, keluarga yang Mbak Vita perjuangkan. Ternyata akan roboh karena tidak adanya andil yang besar dari Mbak Vita. Nah sebuah pertanyaan, bagi Mbak Vita kalau ingin tetap mempertahankan pekerjaan atau karier Mbak Vita. Sebenarnya, untuk siapa Mbak Vita bekerja? Dan apa yang Mbak Vita harapkan dari hasil pekerjaan Mbak Vita? Apakah rasa puas karena bisa mendapatkan jabatan atau kedudukan diperusahan yang tinggi? Lalu, setelah Mbak Vita mendapatkan kedudukan yang tinggi. Untuk apa, jika Mbak Vita sudah tidak mempunyai keluarga lagi! Karena semua itu akan sia-sia belaka.
Dalam Islam, wanita dibolehkan bekerja. Dan tidak dikekang. Makna gender dalam Islam pun tidak bias. Tidak seperti apa yang diperjuang oleh para feminimisme. Karena, setiap perjuangan atau pekerjaan yang dilakukan oleh wanita-wanita muslim. Sudah sangat jelas. Ada tujuannya. Tujuannya tetap untuk keberhasilan keluarga.
Tetapi, jika perjuangan para feminimisme yang bias gender itu. Tidak mempunyai tujuan yang jelas, kecuali hanya egoisme dengan hawa nafsunya sendiri!
Dalam Islam, sudah jelas. Bahwa tujuan yang diharapkan oleh para wanita muslim. Adalah untuk keluarga. Jadi keluargalah yang nomer satu. Sebuah puncak karier yang tinggi, bagi seorang wanita. Adalah, saat mereka bisa mendidik anak-anak mereka dengan kemuliaan akhlak bagus, akhidah yang kuat, dan kepintaran yang membuat mereka dapat bertahan dalam kehidupannya. Sehingga tercipta keluarga yang sangat harmonis dalam kehidupannya. Dengan kata lain, wanita itu telah mendapatkan kesakinahan keluarga yang selalu diharap-harapkannya. Islam, tidak
memandang wanita kaya raya, tetapi keluarganya hancur berantakan. Tetapi, Islam akan memandang seorang istri yang bisa menciptakan suasana yang hangat dalam keluarganya. Mendidik anak-anaknya dengan perbuatan kebaikan seorang ibunya.
Itulah puncak karier yang paling tinggi. Karena sangat sulit untuk membentuk keluarga seperti itu! Harus dengan intensif, seorang ibu menjaga anak-anaknya untuk mencapai keluarga yang seperti kita harapkan!” Aku sedikit menarik nafas panjang.
“Bagaimana, Mbak?” Kataku.
“Farah. Aku sangat terkesan dengan penjelasan yang kamu utarakan! Sepertinya, kamu lebih memahami sebuah arti keluarga daripada yang sudah berkeluarga.” Ucapnya. Sambil tersenyum.
“Hehee... Mbak Vita ada-ada saja. Yah, tidak harus berkeluarga dulu untuk mengerti arti keluarga! Dengan mempelajari sebuah hal yang berarti dalam keluarga kita. Maka kita akan dengan mudah memberikan pengertian tentang arti keluarga. Karena keluarga kitalah yang menjadi sebuah contoh bagi kita!” Jelasku lagi.
“Iya, Insya Allah. Aku lebih tenang. Dan aku tahu, harus memilih yang mana! Tetapi Farah. Lalu bagaimana aku dapat membantu suamiku dalam memberikan pemasukan keuangan dikeluarga?” Ucap Vita. Terlihat bingung.
“Mbak Vita, bisa berdagang dirumah! Dengan berdagang apa saja. Bisa membuat toko, wartel, apa saja yang bisa menghasilkan. Dananya, bisa diambil dari pesangon yang Mbak Vita dapatkan setelah keluar dari perusahaan. Dengan seperti itu, Mbak Vita akan lebih fokus dalam mengasuh anak Mbak Vita! Dan, Mbak Vita bisa menyambut suami saat pulang dari pekerjaannya. Dengan senyum yang ramah, penuh cinta! Itu yang akan membuat suami akan terus betah dirumah.”
“Hem. Yups, ide briliant! Sebentar yah Farah.” Ucap Vita, sambil mengambil handphonenya. Setelah itu menekan beberapa nomor. “Mas, saya akan berhenti bekerja. Sekarang juga, saya akan membuat pengunduran diri! Iya. Ya sudah. Da..
Mas!” Ucapnya mengakhiri pembicarannya.
Aduh, jangan bermanja-manjaan didepanku dong. Buat iri aja nich! Gumamku.
Sejenak aku tersenyum. Bahagia atas kebahagian yang aku rasakan dari seorang wanita yang berbahagia. “Gimana Mbak?” Tanyaku.
“Alhamdulillah. Aku udah menetapkan pilihan, semoga ini yang terbaik! Suamiku terlihat senang sekali, saat aku mengabarkan pilihanku ini!” Ucapnya riang.
“Alhamdulillah. Langkah awal yang Mbak Vita kerjakan, sekarang apa?” Tanyaku.
“Untuk sekarang, aku akan mengajukan pengunduran diri! Setelah itu, aku akan buka rumah makan. Atau entah apalah namanya, dari hasil pesangonku itu. Aku yakin pesangonku juga cukup untuk membuat rumah makan dan memperkerjakan beberapa orang dalam beberapa bulan!” Ucapnya antusias.
“Alhamdulillah. Wah enak nih, aku pasti akan datang kesana terus menurus!” Godaku.
“Silakan. Kalau kamu yang datang kesana pasti gratis deh! Untuk seorang sahabat, aku tidak akan menarik bayaran.” Ucapnya, dengan senangnya.
“Bukan sahabat, Mbak! Tapi saudara. Kita umat Islam, adalah bersaudara. Karena sesungguhnya semua umat Islam itu adalah bersaudara!” Ucapku.
“Terima kasih, Farah!” sebuah butiran intan berkilau, berjatuhan dari derai air matanya. Dia langsung memelukku. Erat, bagaikan saudara yang telah lama tidak berjumpa.
“Mbak, sudah sore nih! Mbak mau pulang apa mau kekantor dulu?” Tanyaku.
“Kayaknya, aku harus kekantor dulu. Aku ingin mengajukan pengunduran diri secepatnya!”
“Ok. Kalau gitu, kita bareng aja yah! Kan, jalannya searah!” Tawarku
“Ok. Tapi, sebentar yah!” Vita menuju kasir. Membayar pesanan apa yang sudah kami pesan.
Setelah itu kami pun bergegas untuk meninggalkan restourant mahal itu. Aku mengatakan kepada Vita untuk menunggu didepan restourant. Setelah itu aku menuju area parkir untuk mengambil mobil. Secepatnya, aku pun langsung menuju kedepan area restourant tempat Vita menunggu. Saat aku berada didepannya. Vita hanya diam saja, dia tidak terlihat memperdulikan aku. Setelah aku membuka kaca mobil. Vita tergaget sekali. Seorang wanita berjilbab, yang berada didalamnya. Aku. Sedang mengendarai mobil marecedes.
“Far, tidak salah?” Ucap Vita, heran.
Aku hanya tersenyum, sambil menggelengkan kepala.
“Kamu Farahkan? Yang naik angkot, waktu dulu itu kan?” Ucapnya, masih tidak percaya.
“Iya, Mbak! Ayo masuk.” Ajakku.
Setelah itu Vita masuk kedalam mobil. Masih terlihat rasa ketidakpercayaannya.
“Farah, aku tidak menyangka. Kalau kamu orang kaya!” Ucapnya.
“Bukan, Mbak! Yang kaya orang tuaku. Dan itu hanya harta titipan Allah! Bisa habis kapan saja.” Jawabku.
“Farah, aku sangat takjub melihatmu! Kamu memang benar-benar wanita yang sempurna!” Ucap Vita.
JILID 9
Aku sudah mengambil sebuah keputusan yang sangat penting bagi diriku. Sebuah keputusan yang akan membuat perubahan dalam hidupku. Semoga saja, apa yang aku lakukan mendapatkan sebuah keberhasilan. Keberhasilan karena keridhoan Allah kepada diriku. Insya Allah, aku akan siap dengan apapun hasilnya. Karena niatku hanya untuk-Nya. Maka setiap yang aku lakukan bukan berdasarkan pada nafsuku. Insya Allah.
Dalam kamar. Aku terus membayangkan apa yang telah aku lakukan. Sebuah langkah besar dalam diriku. Langkah yang belum dan tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Seorang ikhwan, yang dengan dakwahnya dia hidup. Dia lebih terlihat seperti mentari yang ingin menyinari setiap detik kehidupan. Dia lebih seperti langit, yang ingin menaungi orang yang membutuhkan. Aku sangat salut dengannya.
Tidaklah sebuah kesalahan besar, jika aku menginginkannya. Aku hanya berusaha untuk mendapatkannya. Berusaha dalam ikhtiar yang pasti dalam ketentuan syar’i.
Sejenak, aku mengambil buku harianku. Buku yang setiap kali selalu menemaniku dalam keriangan serta kedukaan. Sebuah sahabat yang selalu rela menjadi tempat curahan hati. Tiada hal yang dia keluhkan. Meskipun tinta yang aku torehkan kedalam tubuhnya, mungkin menyakitkannya. Tetapi dia diam. Dia tetap tenang. Dia tidak pernah berkeluh dalam setiap tinta yang terlekat erat dalam tubuhnya. Benar-benar sahabat yang setia. Tetapi, dia hanya sebagai pelipur lara, bukan sebagai penyembuh jiwa yang sedang dalam kegundahan. Sejenak penaku mengalir dalam kekaguman yang tersarang dalam otakku. Menuliskan apa yang telah aku lakukan hari ini.
12 Mei Hari ini, aku mengambil sebuah langkah besar dalam hidupku. Mungkin inilah sebuah langkah awal yang besar dari sebuah pengambilan keputusan. Tetapi aku tidak yakin. Seorang ikhwan yang tangguh dalam dakwahnya, harus rela menemaniku menggapai kehidupan yang aku impikan. Jantungku sempat berdetak keras, saat-saat mengutarakan maksudku kepada bibiku. Bibiku hanya tersenyum, senang kelihatannya. Entahlah, kenapa beliau seperti itu. Apakah karena aku sudah besar dan bisa mengambil keputusan sendiri? Atau karena aku memilih seorang ikhwan yang memang tepat menjadi pilihan! Entahlah. Tetapi aku sangat ingin sekali mendapatkannya. Mendapatkan seorang ikhwan yang begitu senang dalam setiap dakwahnya.
Sampai sekarang jantungku masih berdesir tak menentu. Aku masih tidak percaya dengan apa yang aku lakukan. Hampir-hampir rasa malu mengalahkan semua yang telah aku rencanakan. Padahal aku sudah diharuskan mengetahui penempatan rasa malu itu sendiri. Hem, mungkin manajemen maluku masih sangat kurang. Atau mungkin, aku tidak bisa memanajemen rasa maluku. Hem, entahlah!
Pokoknya semua ini sudah terjadi. Malu! Kata itulah yang masih tertanam dibenakku. Tertanam dalam ketidak pastian tempat rasa malu. Malu, adalah sebagian dari keimanan. Tetapi apakah yang dimaksud rasa malu itu? Apakah rasa malu itu bisa dikategorikan kepada seorang yang ingin berinfaq atau beramal. Sedang dia malu untuk dilihat orang, hingga dia mengurungkan menginfaqkan hartanya? Atau rasa malu adalah, saat seorang wanita yang enggan berjilbab karena dia malu dikatakan sok alim? Apakah rasa malu juga bisa diibaratkan seorang yang akan menolong orang lain yang sedang tersesat. Tetapi dia tidak menjelaskan tempat yang sebenarnya? Karena rasa malu itu sendiri! Hem, entahlah. Mana yang disebut rasa malu!
Padahal, aku yakin. Rasa malu merupakan sebuah penempatan dari sebuah kebenaran itu sendiri. Bukan rasa yang tertanam dalam hati untuk mengatakan, malunya sendiri. Malu seharusnya dapat diterapkan dalam sebuah hal yang bersifat kesalahan. Bukannya malah, malu ditempatkan dalam hakekat kebenaran itu sendiri!
Hem, nikmatnya rasa malu. Saat malu sudah ditempatkan dalam tataran tempat rasa malu itu sendiri.
“Zah.. sudah tidur apa belum?”
Suara Ummi mengaggetkanku. Aku menutup lembaran buku harian yang selalu menemaniku.
“Belum, Mi! Ummi, masuk aja.” Ucapku.
Setelah membuka pintu kamarku. Ummmi tersenyum saat melihatku. Setelah itu menghampiriku.
Aku pun tersenyum. “Ada apa, Mi?”
“Nggak. Ummi hanya pengen ngobrol sama Zah! Ada waktu kan?” Ucap Ummi dengan senyumnya yang lembut serta membelai lembut rambutku dengan tangan beliau.
Aku hanya mengangguk.
“Zah, nggak sibukkan?” Tanya Ummi lagi.
“Insya Allah, Nggak kok Mi! Emangnya ada apa sih Mi?” Tanyaku penasaran.
“Nggak sih. Ummi hanya pengen memberitahukan sebuah kabar. Entahlah, apakah ini merupakan kabar gembira bagi Zah!”
“Emangnya, kabar gembiranya apa Mi? Apa Abi akan pulang diwaktu dekat? Atau apa Mi?” Tanyaku. Penasaran.
Ummi menggelengkan kepala. “Bukan. Bukan itu kabarnya!”
“Lalu, apa Mi!” Tanyaku, antusias.
“Zah, pasti kaget! Tadi siang, ada seorang ikhwan datang kerumah ini.” Ucap Ummi.
Seraya tersenyum senang.
Ha! Ikhwan? Apakah benar, dia secepat itu? Benar-benar ini sebuah kabar gembira. Gumamku dalam hati. Senang. “Memangnya, yang datang siang tadi siapa Mi?”
Tanyaku penasaran. Bercampur dengan kegembiraan.
“Akhi Lutfi. Teman Zah saat masih SMP dahulu! Sekarangkan, dia sudah lulus dari Al-Azhar Kairo, Mesir! Anti ingat? Dia datang kesini untuk berta’aruf sama Zah lebih dalam lagi!” Ucap Ummi. Terlihat senang.
Seketika itupun, tubuhku sangat lemas. Sendi-sendi dalam tulang yang ada dalam tubuhku serasa lumpuh. Semuanya ngilu. Bercampur dengan deru jantung yang memburu tanpa asa yang tak menentu. Entah bagaimana aku harus menjelaskan kepada Ummiku. Menjelaskan tentang seorang Ikhwan. Seorang jundi Allah, dalam dakwah yang memberikan keindahan.
Aku hanya diam. Mematung. Dengan masih dibelai oleh tangan lembut Ummi.
“Bagaimana, Zah menerima?” Tanya Ummi.
Sontak, mengagetkan lamunanku.
“Entahlah, Mi! Ana butuh waktu untuk berfikir.” Ucapku dengan lidah yang keluh.
“Hem. Ummi mengerti! Sekarang Ummi tinggal dulu yah.” Ucap Ummi. Terlihat mengerti tentang kondisiku.
Aku hanya mengangguk.
Perasaanku pun berkecambuk. Entahlah, rasa apa yang sedang aku alami sekarang. Semuanya begitu cepat. Perasaan dalam hati begitu menyayat. Kepalaku terasa benar-benar pening sekali.
“Tluuut.... Tluuuut...” Bunyi Hpku. Sekilas aku melihat layar LCD. Nomor yang tidak aku kenal.
Dengan malas aku mengangkatnya. “Halloo...”
“Halo, Assalamualaikum!”
“Walaikumsalam, ini siapa yah?” Tanyaku. Dengan rasa malas yang teramat sangat.
“Ini Farah, yah?” Ucapnya. Balik nanya.
“Iya, ini Farah! Ini siapa yah?”
“Ukhti, apa kabarnya? Ini ana, Lutfi!”
Ha! Sekilas aku terkaget. “Oh, iya! Gimana kabarnya Akhi? Katanya sudah lulus yah!” Tanyaku. Basa basi.
“Alhamdulillah! Baru lulus.”
“Wah, pasti sudah Hafidz nih!”
“Ah, anti jangan melebih-lebihkan! Afwan ana mau tanya. Boleh?” Ucapnya dengan sopan.
“Iya, silakan!” Ucapku.
“Anti sudah diberitahu oleh Ummi, tentang rencana kedatangan ana tadi siang?” Tanyanya to the point.
“Iya, sudah!” Jawabku singkat. Sedikit malas.
“Lalu, bagaimana?”
“Hem. Sebentar ana masih harus mikir-mikir dulu!”
“Apa yang harus dipikirkan, Ukhti! Apa anti sudah punya calon lain?” Ucapnya penasaran.
“Hem. Sebenarnya sih iya! Hanya saja ana belum bicara dengan Ummi tentang Ikhwan ini.” Jawabku polos.
“Hem. Ukhti, pilihlah dengan ikhwan yang memang disenangi Ummi anti!”
Hem, ikhwan ini gimana sih! Ya pasti, antum yang dipilih Ummi. Ummi aja belum kenal dengan Akhi Khalid! Gumamku dalam hati. “Ya, tidak bisa seperti itu dong Akh! Ana hanya perlu berpikir saja.”
“Apa dia hafidz? Dia lulusan mana?” Ucapnya penasaran, terlihat mendiskriditkan.
“Dia belum hafidz. Dan belum lulus kuliah!”
“Hem. Anti seharusnya sudah bisa memilih langsung! Tidak ada yang perlu dipikirkan!” Ucapnya.
“Ana perlu berfikir dulu Akh. Afwan yah! Insya Allah secepatnya, ana akan kasih jawaban.” Ucapku.
“Ya, baiklah!”
“Udah dulu yah, Akh! Udah malam, ana mau tidur.” Selaku, mencoba untuk mengakhiri pembicaraan.
“Oh iya, baiklah! Syukron. Assalamualaikum”
“Walaikumsalam” Ucapku. Sambil menekan tuts Hp off.
Aku benar-benar bingung saat ini. Semua kebingungan yang aku rasakan menjadi bercampur aduk dalam rongga fikir yang tak menentu. Kepalaku jadi benar-benar pusing untuk bisa memikirkan semua ini. Aku rebahkan tubuhku, dalam kasur yang selalu menaungi tubuhku untuk beristirahat. Sejenak aku pejamkan mata ini.
***
“Tluuut....Tluuut” dering Hp mengagetkanku saat melakukan tilawah harian.
“Assalamualaikum, Bunda!” Ucapku.
“Walaikumsalam. Anti lagi ngapain sekarang?” Tanya bibiku
“Ana lagi tilawah sekarang! Ada apa Bunda?”
“Nanti pagi, anti bisa kerumah kan?”
“Jam berapa?” Tanyaku.
“Jam 8 pagi! Bisa nggak?”
“Iya, Insya Allah ana bisa! Emang ada apa Bun?” Tanyaku panasaran.
“Anti bisa berta’aruf lebih dalam lagi dengan Akhi Khalid, nanti pagi!” Ucap Bibiku.
“Baik, Bunda!” Ucapku. Sedikit agak bingung.
“Baik, kelau gitu anti ana tunggu dirumah jam delapan pagi! Ya sudah, terusin tilawahnya.” Ucap Bibiku. Menyemangati.
“Assalamualaikum.” Salam Bibiku.
“Walaikumsalam.”
Sejenak aku tutup Al Qur’an yang berada didepanku. Asa yang menghampiriku, membuat semangat bertilawah pun luntur. Pudar dari semangat yang begitu menggebu. Pilihan yang sangat berat yang harus aku lakukan. Lutfi, seorang hafidz qur’an dengan Khalid, seorang aktifis dakwah. Pilihan yang membuat aku tercengang dengan dua kelebihannya masing-masing. Yaa Allah, pilihkan yang terbaik untukku.
Pilihkan yang membuat hatiku tentram karenanya. Pilihkan satu dari kedua dengan akhidah dan akhlak yang menyatu. Yang menjadikanku akan selalu senang dalam berjuang dalam Dien-Mu. Pilihkan Yaa Allah. pilihkan diantaranya. Aku sangat bingung wahai Rabb. Sang pembuat keputusan. Lindungi aku dari pilihan nafsuku!
***
Aku ambil kunci mobilku. Setelah itu bergegas menuju garasi. Saat akan memasuki pintu garasi. Sejenak, aku memberhentikan langkahku. Setelah itu aku mengambil Hpku. Tak lama setelah itu aku menekan tombol Hp.
“Hallo” Ucapnya seorang yang menjawab telphone diujung sana.
“Hallo… Asssalamualaikum!” Salamku.
“Walaikumsalam!” Jawabnya.
“Akhi Khalidnya ada?” Tanyaku.
“Iya saya sendiri, ini siapa yach?” Jawabnya.
Jantungku sedikit berdesir. Seorang ikhwan pujaan yang sedang aku ajak bicara.
“Ini Farah, Akh!” Jawabku.
“Iya, ada apa Ukh?” Tanya Khalid.
“Gini Akh, ana butuh bantuan antum! Ana kan lagi ada acara ditempat kajian. Nah ana butuh seorang ikhwan untuk mengisi kajian ditempat ikhwannya. Antum bisa nggak Akh? Ana benar-benar meminta tolong sama antum akh? Soalnya ana nggak begitu kenal banyak para ikhwan, selain antum!”
“Kapan, Ukh?” Tanya Khalid. Terdengar semangat.
“Nanti, jam delapan!” Kataku.
“Afwan, Ukh. Ana tidak bisa membantu rencana anti! Ana ada janji Ukh” Jawabnya singkat. Terlihat melemah.
“Oh.. kalau gitu afwan yach Akh! Syukron atas waktunya. Assalamualaikum!” Ucapku, bernada seperti sangat kecewa.
“Walaikumsalam” Jawabnya. Terdengar sangat sedih.
Hem, hebat juga nih Ikhwan! Dia benar-benar menepati janjinya. Entah apakah aku harus mengecewakannya! Terlihat begitu besar tanggung jawabnya.
Sebenarnya aku hanya ingin mengetest Khalid. Apakah dia benar-benar akan mendatangi rencana ta’aruf yang memang semula direncanakan. Ini merupakan salah satu pembuktian keseriusan seorang ikhwan untuk mau menjadi seorang suami yang bertanggung jawab. Serta menjadikan sebuah contoh yang baik bagi keluarga. Semoga saja!
Dalam perjalanan. Rongga-rongga fikirku, masih sangat gamang dalam asa yang hilir mudik tak menentu. Entahlah, aku menjadi sangat tidak bersemangat sekali dalam setiap perjalanan yang seharusnya bisa aku nikmati. Kemacetan yang aku hadapi, tidak membuatku sadar akan kebiasan yang harus aku lakukan. Arus yang begitu padat, menyesakkan mata dalam setiap pandangan. Mobil masih terus berjalan, dalam arus yang tak menentu disetiap kemacetan yang terjadi.
Tidak seberapa jauh lagi jaraknya. Rumah paman dan bibiku akan terlihat.
Mobilku kini melaju dalam jalan perumahan yang lengang. Dan akan cepat sampai dalam hitungan menit. Kini tepat, marcedesku sudah sampai didepan rumah. Aku langkahkan kaki ini. Menuju pintu pagar rumah. Semilir angin menerpa pepohonan pekarangan rumah. Sejuk sekali. Suasana yang rindang hadir dalam suasa panas yang menyengat.
“Tok.... tok” Ketukanku dipintu rumah.
Pintu pun terbuka. Bibiku menyambut dengan senyumnya. Pelukan erat seorang saudara muslim pun tidak lupa kami lakukan.
“Kaifa, Ukhti?” Tanya Bibiku.
“Khoir, Alhamdulillah!” Jawabku, singkat.
“Baik, mari kita menuju ruang liqo’! Ustad Fadlan masih sedang berada diruang sebelah. Masih ada pertemuan pengurus masjid perumahan!”
Aku hanya mengekori, bibiku.
“Anti duduk. Disitu dulu yah! Ana mau buat minuman untuk pertemuan pengurus masjid dulu!”
“Iya Bunda. Tafadhol!”
Dalam ruang yang terbelah oleh kain panjang. Yang biasanya disebut sebagai hijab atau tabir. Aku termenung dalam kesendirian. Termenung dalam pilihan yang akan menentukan kehidupanku. Menikah. Sebuah pilihan yang memang harus aku lakukan. Tetapi memilih dua ikhwan yang memiliki karakter berbeda. Bukanlah angan-anganku. Entahlah, apakah aku harus mengingkari perkataan yang aku ucapkan. Atau aku harus menepatinya. Lutfi, merupakan ikhwan yang sangat sempurna dibanding Khalid. Lutfi merupakan seorang ikhwan yang sudah memiliki kemampuan yang sangat berlebih. Disamping dia hafidz dan lulusan Al Azhar Kairo,
Mesir. Dia juga sudah mengelola perusahaan milik orangtuanya. Sedangkan Khalid. Mahasiswa yang kalau keman-mana jalan kaki. Dia pun tidak hafidz Al Qur’an.
Belum bekerja, bahkan bisa dikatakan mahasiswa kontrakan yang selalu berbagi dengan yang lainnya. Dia terlihat selalu serba kekurangan. Hem. Sangat sulit dalam memilih!
Tak lama aku mendengar ada seorang Ikhwan yang datang. Mengobrol dengan Ammiku. Ustad Fadlan. Setelah itu Ustad Fadlan mempersilahkan untuk duduk dulu di ruang yang lain. Yaitu dibalik tabir yang lain.
“Alhamdulillah, ternyata pikiranku salah! Aku benar-benar mengira kalau itu keluarga si Akhwat. Hem.. pasti aku akan benar-benar kikuk kalau bertemu dengan si Akhwat Sekarang” Ucapnya lirih. Terdengar seperti berbicara sendiri.
Aku msih berdiam diri. Aku tidak berani untuk bersuara apapun. Bahkan untuk menggerakkan badan yang akan menimbulkan suara pun. Aku minimalisir.
Agar Khalid tidak tahu kalau aku juga sudah berada didalam ruangan ini. Tidak seberapa lama, aku melihat Bibiku membuka tirai hijab atau tabir.
“Gimana, ustad? Apa sudah selesai!” Ucapnya. Terdengar seperti membuka percakapan.
“Alhamdulillah. Semuanya lancar!” Jawab ustad Fadlan dengan senyum.
“Untuk ta’arufnya, jadi nggak ustad?” Tanya Khalid. Sepertinya tidak sabar.
Aku hanya tersenyum. Saat Bibiku melihatku dengan senyuman.
“Ya pasti jadi, Akh! Nah akhwatnya kan sudah dari tadi diruang tabir kedua” Jawab Ustad Fadlan.
Entahlah. Spontan rasanya Khalid langsung terdiam. Aku juga diam saja, aku malu.
Aku malu karena sejak dari tadi aku sudah berada disini. Dan mendengar ucapan Khalid.
“Assalamualaikum” Salam Bibiku.
“Walaikumsalam” Serempak terdengar jawaban.
“Gimana Bi, apa sudah bisa dimulai proses ta’arufnya” Tanya tanya Bibi, pada ustad Fadlan.
“Iya, bisa langsung dimulai!” ucap ustad Fadlan. “Silakan Akh Khalid, untuk menanyakan sesuatu hal yang ingin antum tanyakan” Ucap lanjut ustad Fadlan, mempersilahkan.
Khalid menanyaiku dengan beberapa . Mulai dari Nama, kuliah, aktivitas dan lain sebagainya. Alhamdulillah, pertanyaan-pertanyaan yang masih bisa aku jawab dengan mudah.
Sebuah pertanyaan yang membuat mentalku sedikit drop dikatakan Khalid.
“Ana cuma mau mengingatkan anti. Kalau ana, belum kerja! Masih berstatus mahasiswa. Dan keluarga ana tidak begitu kaya. Bisa digolongkan, dari golongan menengah kebawah” Katanya, seperti menaku-nakuti.
Iya, aku tahu. Apakah aku benar-benar harus menerimanya! Entahlah. Aku yang memulai, berarti aku harus teguh dalam berprinsip. Tetap istiqomah! Pikirku. “Akhi, ana pengen menikah dengan antum bukan karena harta antum. Atau bahkan jaminan antum! Kalaulah antum belum bekerja. Asal antum mau, pasti ada pekerjaan buat antum! Ana cuma mengingatkan antum saja. Bahwa antum, tidak akan bisa memberikan ana jaminan kepastian untuk bisa menghidupi ana! Kalaulah ana menikah dengan antum, antum bukanlah penjamin hidup ana. Atau bahkan bisa memberikan nafkah kepada ana! Allahlah yang menjamin rezeki tiap-tiap umatnya. Lalu kenapa kita harus takut untuk melangkah dalam pernikahan, karena alasan soal rezeki atau nafkah. Semua serahkan ke Allah. Kalau ana jadi istri antum, ana siap hidup menderita karena harta. Tetapi berlimpah-limpah keimanan! Dan ingat akh, menikah juga termasuk salah satu pintu rezeki!” Ucapku dengan pasti. Alhamdulillah, aku bisa! Sebuah permintaan yang membuatku agak menjadi begitu kikuk. Dikatakan oleh Khalid. Padahal aku ingin sekali tidak memperlihatkan wajahku. Karena aku ingin tidak terlalu mengharapkan ikhwan ini. Tetapi apalah daya, nasi sudah menjadi bubur. Kalau aku sudah memulai, berarti aku harus konsisten dengan apa yang aku ucapkan. Bunda hanya melihat. Sepertinya bingung, harus berbuat apa.
Aku mendekat pada Bibiku. “Bunda, boleh!” Bisikku. Agak lama memang. Sehingga terasa suasa agak begitu hening.
Bibiku membuka tabirku, dan memanggil Ustad Fadlan. Tidak seberapa lama, Ustad Fadlan memanggil Khalid. Setelah itu mempersilahkan Khalid untuk melihatku.
Melihat calon istrinya. Sejenak saat Khalid melihatku. Aku tertunduk. Malu. Entah seperti apa ekspresi wajahku. Yang ada hanya rasa serba salah saat dipandanginya.
Aku sebenarnya juga ingin memandang wajah Khalid. Tetapi entah, kepala ini terasa sangat berat dan mata juga terasa sangat kasat. Hanya tertunduklah aku untuk beberapa saat.
Begitu cepat. Semuanya terasa sudah direncanakan dengan matang. Aku sendiri hanya bisa merasakan kemudahan yang diberikan oleh-Nya. Sesaat setelah itu aku langsung mengucap syukur. Ketenangan jiwa yang aku rasakan begitu nikmat.
Tetapi, dilema dua pilihan masih tetap melandaku. Aku tetap harus memilih satu dari dua ikhwan. Mereka mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tetapi salah satu dari mereka pun bukan seorang yang memang aku kenal dalam kiprah dakwahnya. Tetap, aku harus memilih. Entahlah, rasa bingungku kian memuncak.
Setelah taaruf. Aku langsung mengarahkan mobilku kedaerah kumuh. Mobilku bergerak dalam lalu lintas yang tidak begitu padat. Tetapi panas yang begitu menyengat dalam terik matahari yang garang dalam sinarnya. Terlihat begitu membara. Pasti neraka ribuan kali panasnya daripada ini! Gumamku. Mobilku terus melaju dalam kenyamanan berada didalamnya. Memang, dalam beberapa hari ini.
Aku sering menggunakan mobil. Mobilitas dalam kegiatanku akhir-akhir ini sangat tinggi. Jadi terasa efektif bila memang aku memakai kendaraan. Bukan bermaksud hanya untuk kesenangan pribadi.
Sosok seorang berjalan dalam terik panas matahari. Langkah tegap dalam lajunya. Terasa begitu bersemangat. Khalid. Sosok itu masih bersamangat sekali, saat dia harus menghadapi bara panas matahari. Sungguh memang tidaklah sebuah kesalahan jika aku memilihnya. Tetapi sayang, hafalan Al Qu’an dan haditsnya sedikit. Saat aku berdialog dengannya, waktu di LDK dulu. Dia mengatakan “hafal AlQur’an dan hadits itu memang harus. Tetapi hafal Al Qur’an dan hadits itu lebih wajib untuk diamalkannya! Makanya jika kita sudah hafal salah ayat atau hadits, maka wajib kita untuk melaksanakannya.” Itulah kata-katanya dahulu.
Memang harus disadari. Beberapa aktivis dakwah memang sangat banyak mobilitas kegiatannya. Hingga sangat sedikit waktu yang didapatkannya dalam menghafal Al Qur’an dan Hadits. Ini merupakan sebuah tantangan besar bagi Aktivis dakwah yang berada dimedan dakwah. Sesuatu yang memang seharusnya dilakukan dalam berdakwah adalah mempunyai kemampuan hafalan yang sangat banyak. Tetapi mengingat keterbatasan waktu yang didapatkan. Maka harus ada salah satu waktu yang dikorbankan. Tidaklah adil, jika seseorang menyatakan tentang para aktivis dakwah. Bahwa mereka tidak mempunyai hafalan yang tinggi. Tetapi, mereka tidak melihat mobilitas kegiatan yang tinggi dari para aktivis dakwah. Para aktivis dakwah lebih mengutamakan ilmu dan amal yang seimbang. Dari pada ilmu yang tinggi tetapi jarang diamalkannya, atau amal yang tinggi tetapi tidak ada ilmunya. Sungguh diantara kedua-duanya, diwajibkan untuk mempunyai keseimbangan.
Mobilku sudah melaju didaerah perkampungan kumuh. Saat aku akan memarkir mobilku. Tak disangka, seorang melihatku dengan sangat tajam. Aku pun melihatnya dengan seksama. Memastikan bahwa apa benar aku mengenalnya. Tak disangka akupun akhirnya mengenalinya, dia adalah para penjahat yang waktu lalu hampir menembakku. Segera mungkin aku langsung menstarter mobilku lagi. Dan langsung melesat jauh, lari dari mereka. Suasana hati yang semula tenang. Kini menjadi sangat risau. Detak jantungku pun kembali tidak beraturan. Disertai istighfar yang entah berapa kali terucap dalam bibirku. Secepat mungkin aku pacu mobilku, meninggalkan daerah itu.
JILID 10
Setelah memarkirkan mobil digarasi. Aku langsung memasuki kamarku. Detak jantungku masih tetap tidak beraturan. Bertautan antara keringat dingin yang keluar. Aku benar-benar takut sekali. Sejenak, aku mengambil air minum yang akan membasahi kerongkongan. Seteguk air putih, sedikit menetralkan jantungku. Didalam kamar aku pun terpaku. Takut dalam asa yang tak menentu. Bingung dan takut menyatu, membaur dalam diri yang merasa sangat lemah sekali. Penat yang menggapai diri sudah sangat tinggi. Entah kenapa. Aku langsung memencet tombol ON pada Tape.
Tegapkan langkah-langkahmu
Lantangkan gema suaramu
Dunia Islam memanggilmu
Sambutlah dengan semangatmu
Jangan pernah berkeluh kesah
Meski bersimbah peluh dan darah
Kuatkan kesabaranmu
Jangan pernah kau menyerah
Makar-makar musuh makin bergemuruh
Seruan suci telah memanggilmu
Galang persatuan dengan kekuatan iman
Harta dan jiwa kita serahkan
Meraih surgah yang dijanjikan
Lebih baik dari dunia seisinya.
IZIS Mengumandang dalam kamarku. Jiwa-jiwa pencari syahid pun timbul kembali. Keberanian yang semula luntur. Bangkit dalam keberanian mencari sebuah kemuliaan. Rindu dengan keberanian para mujahidah yang selalu berkorban. Kini aku harus kembali. Menguatkan ruh jihad nan suci. Meskipun aku seorang akhwat. Tapi bukan berarti aku seorang yang lemah. Aku bisa menjadi seorang Ummu kultsum. Yang kuat dalam mempertahankan agama dan teretorialnya. Aku bisa menjadi Fatimah, yang kuat dalam kehidupan kezuhudannya. Aku pun harus bisa menjadi seorang Aisyah, yang bisa memimpin pasukan-pasukannya. Aku harus bisa menjadi seorang mujahidah. Harus.
“Tluuut...Tluut..” Sejenak bunyi Hpku, mengagetkanku. Terlihat nomor yang tidak dikenal. Hem. Pasti Lutfi!
“Hallo, Assalamualaikum!” Ucapku.
“Walaikumsalam. Ini Mbak Farah yah?” Jawab si penelepon. Seorang laki-laki.
“Iya, Ini siapa yah?” Tanyaku penasaran.
“Mbak, masih ingat dengan saya nggak? Saya Rendra, anak Ibu Inah!” Ucap orang itu.
Rendra, anak Ibu Inah! Pemuda yang sopan itu? HA! Aku teringat. Wajah Rendra persis dengan seorang penjahat yang berada di mobil Jeep itu. Iya, pasti dia!
“Ada apa! Kamu yang waktu itu akan membunuhku kan?” Ucapku ketus.
“Tenang Mbak, tenang! Saya tidak bermaksud membunuh Mbak. Kami saat itu hanya menakut-nakuti Mbak saja. Dan sasaran kami sebenarnya teman Mbak Farah!” Jelasnya.
“Lalu, apa maumu sekarang?” Ucapku keras.
“Mbak tenang. Saya tidak mau apa-apa dari Mbak dan teman Mbak! Saya hanya ingin mengatakan. Bahwa Mbak dan teman Mbak, harus berhati-hati! Si penyewa kami, menyewa seorang preman yang lainnya. Untuk membunuh Mbak Farah dan teman Mbak. Mbak harus berhati-hati!” Ucapnya serius.
“Aku tidak percaya dengan kamu!”
“Mbak harus percaya, dengan apa saya katakan!” Ucapnya, mencoba meyakinkanku.
“Apa jaminanku, untuk mempercayaimu?”
“Mbak. Jaminan Mbak Farah mempercayai apa yang saya katakan. Adalah, karena
Mbak Farah merupakan guru ngaji Ibu saya! Dan saya tidak akan menyakiti seorang yang berhubungan dengan Ibu saya. Mbak bisa pegang kata-kata saya! Dan saya termasuk orang-orang pengajiannya Bang Jamal. Yang seorang Ustadnya, adalah dari teman kuliah Mbak Farah juga. Khalid nama Ustadnya. Dan saya adalah seorang Muslim” Jelasnya, serius.
“Apa benar?”
“Mbak, saya tidak akan mengatakan ini jika Mbak Farah tidak ada hubungan apa-apa dengan Ibu saya!”
“Baik, Insya Allah aku percaya! Tetapi aku ingin tahu banyak tetang masalah ini. Bisa?”
“Iya, silakan!”
“Siapa yang menyuruh kamu untuk menakut-nakuti kami? Dan apa yang kalian cari sebenarnya?” Tanyaku serius.
“Sebenarnya ini etika pekerjaan Mbak! Kita tidak boleh mengatakan klien yang menyewa kita. Tetapi saya akan mengatakan. Kalau sebenarnya yang menyuruh kami adalah orang-orang dari perusahaan Bapak teman Mbak Farah sendiri. Mereka ingin mencari data-data perusahaan yang membahayakan posisi mereka diperusahaan. Jadi Mbak Farah dan teman Mbak Farah, harus sangat berhati-hati. Karena mereka menyewa, orang-orang yang lebih kejam daripada kami! Mereka tidak segan-segan membunuh dengan sadis. Saya sarankan, Mbak Farah menyewa bodyguard yang profesional untuk menjaga diri!” Rendra terdengar sangat serius.
“Hem. Insya Allah, sudah ada bodyguard yang akan menjagaku.” Ucapku enteng.
“Bagus Mbak. Bodyguard itu darimana Mbak?”
“Bodyguardku adalah seorang pencipta bodyguard. Yang sangat lebih profesional dari ciptaannya! Bodyguardku adalah Allah. Sang pemilik dan pencipta semua yang ada! Aku tidak butuh bodyguard manusia, karena sebenarnya tentara Allah lebih tersebar disetiap tempat!” Kataku tegas.
‘Mbak, saya yakin. Mbak Farah bisa menghadapi mereka! Insya Allah, jika saya melihat mereka menyakiti Mbak Farah. Maka saya akan membantu Mbak Farah!”
“Hem. Terima kasih!”
“Baik. Hanya itu yang ingin saya bicarakan. Maaf telah menganggu waktu Mbak Farah!”
“Oh, tidak apa-apa. Terima kasih atas informasinya. Ini merupakan sebuah informasi yang sangat berharga!” Ucapku.
“Baik. Kalau gitu, Assalamualaikum” Ucap Rendra, mengakhiri pembicaraan.
“Iya, Walaikumsalam.”
Pertempuran akan dimulai. Mereka sedang mencariku. Mereka mencari Dewi dan mencariku. Mereka telah menantang jundi-jundi Allah yang selalu bersiap siaga. Aku harus menelephon Abi sekarang. Secepatnya, aku langsung menekan nomor Hp Abiku.
“Assalamualaikum!” Salamku.
“Walaikumsalam. Putriku!” Jawab Abi lembut.
“Bi. Kabarnya gimana? Zah kangen!”
“Alhamdulillah, Abi baik-baik aja. Insya Allah dalam beberapa hari, urusan Abi sudah selesai!”
“Bi. Cepat pulang!” Ucapku. Manja.
“Iya. Insya Allah Abi akan pulang cepat! Ada apa Zah? Ummi baik-baik saja kan?”
Tanya Abi. Terlihat cemas.
“Alhamdulillah Ummi baik-baik aja! Zah ada masalah Bi!”
“Masalah! Apa masalahnya?”
“Bi. Ceritanya panjang. Pokoknya, ada yang ngincer Zah dan teman Zah. Mereka ingin membunuh kami berdua!”
“HA! SIAPA MEREKA?” Abi terlihat sangat kaget.
“Mereka orang-orang suruhan. Mereka ingin mengambil sebuah bukti berupa data.
Tentang kasus korupsi disebuah perusahaan! Bi, Zah harus gimana?”
“Zah, tidak boleh takut! Zah, adalah mujahidah yang tidak boleh takut dengan ancaman siapa pun!” Ucap Abi, tegas.
“Tapi, Bi. Apakah Zah sanggup menghadapi mereka?” Ucapku. Sangsi.
“Zah, pasti bisa! Insya Allah, Abi akan telphone para mujahid-mujahid. Insya Allah, mereka yang akan melindungi Zah dan teman Zah! Zah, nggak boleh takut. Mujahidah tidak boleh takut menghadapi kezhaliman. Ini jihad! Katakanlah kebenaran, meskipun Zah harus melawan mereka sendirian. Pokoknya Zah tidak boleh takut!” Jelas Abi tegas.
“Iya, Bi!”
“Ummi, sudah tahu masalah Zah?”
“Belum, Bi!” Ucapku.
“Jangan, memberitahu Ummi! Nanti Ummi jadi khawatir!”
“Iya, Bi! Makanya Zah, bilang ke Abi aja” Ucapku. Manja.
“Iya, bagus! Kalau meereka mencoba menantang tentara-tentara Allah! Dengan mengincar para mujahidah-mujahidah. Kita umat Islam, tidak boleh sekalipun takut dengan ancaman mereka. Kebathilan harus kita lawan, sampai syahid yang akan kita dapatkan! Zah, Abi, akan sangat bangga sekali jika Zah dapat mengungkap semua ini.”
“Insya Allah, Bi! Zah akan berusaha”
“Alhamdulillah. Itu baru putri Abi!” Kata Abi. Terdengar bangga.
“Abi, bisa aja!” Ujarku.
“Eh. Zah! Gimana, sudah ada calon pengganti Abi belum?” Goda Abi.
“Abi!” Ucapku manja.
“Hem. Soalnya, ada yang beritahu Abi! Putri Abi lagi taaruf dengan ikhwan! Berani juga Zah. Mendahului taaruf! Abi dukung aja, kalau memang Ikhwan itu benar-benar baik. Dan bisa menggantikan Abi kelak!” Ucap Abi. Terlihat menyemangati.
“Ya. Ana minta doanya aja Bi! Bisa memilih yang terbaik.”
“Insya Allah, pasti Abi doa’in!” Ucap Abi bijak.
“Ya. Sudah Bi! Nanti kalau ada apa-apa, Zah akan telphon Abi!”
“Iya. Nanti kalau ada apa-apa, Zah telphone Abi aja! Jangan sampai masalah ini diketahui Ummi.”
“Ya, Udah Bi! Assalamualaikum” Ucapku, mengakhiri pembicaraan.
“Walaikumsalam.”
Jiwa yang semula luluh. Kini bangkit kembali. Sorak sorai kesyahidan mengalun indah dalam angan-angan. Nikmat. Jalan juang kembali tertanam. Satu dalam tujuan kini telah kembali. Rasa takut pun kian lama kian lari. Bergantikan dengan semangat perjuangan yang sangat tinggi. IZIS pun mengalunkan semangatnya.
Sabarlah wahai saudaraku tuk menggapai cita
Jalan yang engkau tempuh sangat panjang
Tak sekedar bongkah batu karang
Yakinlah wahai saudaraku
Kemenangan kan menjelang
Walau tak kita hadapi masanya
Tetaplah Al Haq pasti menang
Tanam dihati benih iman sejati
Berpadu dengan jiwa Rabbani
Tempatnya satu jadi pahlawan sejati
Tuk tegakkan kalimat ilahi
Pancang tekadmu jangan mudah mengeluh
Pastikan asamu semakin meninggi
Kejayaan Islam bukanlah sekedar mimpi
Namun janji Allah yang akan pasti
***
“Tluut...Tluut..” Dering Hpku membangunkanku dari tidur.
“Hallo!” Ucapku setelah mengangkat Hp.
“Hallo, Assalamualaikum Ukhti!”
“Ini, siapa yah?” Tanyaku.
“Ukhti. Anti tidak menyimpan no Hp ana yah! Ini Lutfi.”
“Oh. Iya, Afwan. Ada apa Akh?”
“Bagaimana, keputusannya?”
“Ha? Keputusan apa?” Tanyaku bingung.
“Hem. Anti kok lupa. Itu loh, keputusan untuk menerima ana!” Ucapnya. Terdengar sebal.
“Oh. Iya Afwan! Ana belum memikirkannya Akh! Afwan. Insya Allah, nanti malam antum telphon lagi. Semoga keputusannya sudah ana dapatkan nanti malam!”
“Kenapa anti tidak memutuskannya sekarang saja Ukh!” Ucap Lutfi. Terdengar seperti protes.
“Insya Allah nanti malam, Akh!” Tegasku.
“Ya sudah, nanti malam ana telphon anti!”
“Iya. Afwan ya Akh! Assalamualaikum”
“Walaikumsalam.” Jawabnya. Terdengar seperti memendam rasa sebal.
Keputusan yang harus aku ambil kini benar-benar sangat sulit. Aku kini harus benar-benar mengambil sebuah keputusan. Aku tidak ingin Ummi tersakiti dengan keputusannku. Tetapi aku juga tidak ingin dipaksa dalam menentukan sebuah pilihan.
Rasa penat menghampiriku. Bingung berkecambuk dalam diri. Tak menentu dalam sebuah pilihan yang sama-sama memiliki kelebihan. Sejenak aku bangkit dari kasur.
Aku harus membicarakan dengan Ummi! Gumamku dalam hati.
Aku langkahkan kakiku. Menuju kamar Ummi. Dengan degup jantung yang tak beraturan. Aku benar-benar takut mengecewakan Ummi. Pintu kamar sudah berada dihadapan. Sedikit aku mengatur nafas untuk menetralkan degup jantung terus berdegup tak beraturan.
“Ummi...” Panggilku. Sambil mengetuk pintu kamar.
“Iya, Zah. Masuk aja!” Jawab Ummi didalam kamar.
Aku buka pintu kamar. Ummi terlihat asyik menyulam diteras kamar.
“Ada, apa putriku?” Tanya Ummi. Sambil melihatku, sembari tetap merajutkan benang-benang dan kain sulaman itu.
“Mi. Zah ingin bicara! Bisa?”
“Tafadhol. Tapi afwan, Ummi sambil menyulam yah!” Kata Ummi, dengan senyum lembutnya.
“Iya. Nggak apa-apa Mi! Mi. Ini masalah Lutfi.”
“Kenapa?” Tanya Ummi heran.
“Mi. Zah sudah punya calon!” Ucapku pelan.
Ummi menghentikan sulamannya. Setelah itu melihatku. Entah apa yang tercermin dalam tatapan Ummiku. Sepertinya terlihat kekecewaan yang sangat dalam.
“Zah. Sudah bertaaruf dengan salah satu Ikhwan lebih dahulu!” Ucapku hati-hati.
Ummi sedikit mendesah. Setelah itu kembali memfokuskan menyulam. Terlihat raut muka yang sangat kecewa. “Zah. Kok nggak bilang Ummi dulu sih!” Ucap Ummi.
Terlihat protes.
“Afwan Mi.” Sesalku.
“Zah. Ummi menyerahkan semua keputusan kepada Zah! Yang menjalani kehidupan adalah Zah sendiri. Tetapi Ummi ingatkan, bahwa apa yang Zah pilih harus mantap dalam hati Zah. Ummi sebenarnya sudah tahu, saat Zah bertaaruf dengan ikhwan!
Tapi, tolong. Beritahu Ummi dulu lain kali! Minimal Ummi lebih dulu tahu.” Kata Ummi. Sambil melihatku dan tersenyum. Tangan lembut Ummi membelai pipiku.
“Sudah. Sekarang Zah pikiran siapa yang harus Zah pilih. Kalau belum bisa, sholat istikharah saja!” Ucap lanjut Ummi.
Hatiku yang semula jatuh. Takut Ummi tidak setuju dengan pilihanku. Atau bahkan sakit hati karena aku memilih seorang ikhwan yang bukan dari pilihan Ummi. Kini sudah sirna. Sungguh nikmat mempunyai keluarga yang benar-benar menerapkan aturan-aturan Islam. Bukan ego yang dipakai. Tetapi syariat yang diterapkan, menjadikan kesahajaan dalam semua urusan rumah. Termasuk dalam urusan memilih pasangan hidup.
“Iya. Mi! Terima kasih” Ucapku. Sambil mencium tangan Ummi. Dan langsung memeluk Ummi. Entah apa, kata terima kasih yang pantas untuk diucapkan kepada Ummi. Seorang wanita yang benar-benar mengerti tentang apa yang memang diinginkan oleh putrinya.
“Iya. Sudah, sekarang Zah renungi. Pilih yang menurut Zah paling terbaik menjadi pasangan Zah!”
“Baik. Mi!” Ucapku.
Setelah itu aku langsung masuk kedalam kamarku. Dan duduk dalam kursi malasku. Biasanya aku selalu melakukan itu jika sedang pusing memikirkan sesuatu.
Sejenak aku merenung dengan pikiran yang tak kunjung dapat menemukan titik jawaban yang benar. Sejenak aku mengambil mushaf kecil yang berada disamping meja dekat kursi. Aku membuka dan membacanya. Untuk lebih menentramkan diri, dan menjadikan obat dalam penentuan sebuah keputusan. Tak lama. Pikiranku pun kembali mengingat sesuatu. Aku hentikan, tilawahku. Sejenak aku menerawang tentang sebuah keputusan.
Akh Lutfi, merupakan temanku sejak kecil. Keluarganya kaya. Dan dia sudah mendapatkan pekerjaan yang layak dan sangat bagus. Pasti aku tidak akan kekurangan dalam materi jika aku menikahinya kelak. Bacaan Al Qur’annya pun bagus. Dan dia merupakan hafidz. Sungguh hebat wanita yang akan menikahinya!
Kalau Akh Khalid. Merupakan seorang ikhwan yang baru aku kenal dari bangku kuliah. Sepak terjang dakwahnya tidak diragukan lagi. Gaya kepemimpinannya sangat elegan. Kharismatik, meskipun dalam harta dia sangat terlihat kekurangan.
Hapalan Al Qur’annya memang tidak banyak. Tetapi, terlihat dia lebih mengamalkan Al Qur’an yang dia sudah tahu dan hafal. Kalau untuk membaca dengan tartil, Akh Khalid lumayan bagus. Meskipun tidak bagus-bagus amat sih! PUSING!
Sejenak penat kembali melanda relung jiwaku yang bingung. Entah sepertinya memang aku harus shalat istikharah. Tapi, tunggu dulu! Sebuah ingatan melintas dalam pikirku. Affan. Satu nama mengingatkanku. Iya Affan benar. Affan. Saudaraku.
Dia pernah mengalami hal seperti ini. Oh iya, dan dia pernah cerita kepadaku. Sebuah ilmu telah aku dapatkan. Saudaraku Affan. Pernah mengalami hal kejadian seperti ini. Tetapi dia lebih seperti Akhi Khalid. Aku ingat. Bahwa Affan pernah mengenal seorang Akhwat. Dan mereka pernah saling mengikat tali khitbah. Tetapi sayang, orang tua si Akhwat tidak merestui Affan menjadi menantunya. Tetapi, Affan dan si Akhwat istiqomah dalam meyakinkn orang tua si Akhwat. Hanya sayang, seorang ikhwan lain datang di kehidupan si Akhawat. Si Akhwat melihat ikhwan yang lebih baik dari Affan. Sangat jauh lebih baik.
Si Akhwat akhirnya ragu berhubungan dengan Affan. Si Ikhwan yang terbaik ini sudah mendapatkan restu dari orang tua Si Akhwat. Dengan cara-cara yang seharusnya tidak dipakai oleh seorang muslim. Si Ikhwan akhirnya dapat meluluhkan hati orang tua Si Akhwat. Dan Si Akhwat jadi pindah kelain hati. Berpindah kepada yang lebih baik lagi. Tapi sayang, itu adalah sebuah cara yang hina. Aku mengatakan kepada Affan. Bahwa cara yang dilakukan oleh Si Ikhwan adalah Hina, dan jika Si Akhwat menerima Si Ikhwan itu. Maka keduanya merupakan seorang yang hina.
“Bagaimana anti bisa mengatakan itu!” protes Affan, Saat itu.
Aku menjawabnya dengan mengibaratkan sebuah air minum yang sudah dihadapan Affan. Tetapi sayang, Affan dilarang meminum air itu. Meskipun, Affan terlihat sangat kehausan sekali. Lalu tiba-tiba datang seorang Ikhwan, yang dengan berbagai cara. Merayu si pemilik air minum itu, untuk mau diminum oleh Si Ikhwan.
Padahal didepan Si Ikhwan ada seorang Ikhwan lain yang sangat lama membutuhkan air minum itu. Dan air minum itu pun sudah dihadapan Affan. Akhirnya dengan serta merta air minum itu pun diperbolehkan untuk diminum oleh Si Ikhwan. Berarti dalam kata lain, bahwa air minum itu telah dirampas oleh Si Ikhwan. Dihadapan saudaranya yang memang membutuhkan air minum itu. Dan air minum itu pun dengan suka cita mau diminum oleh Si Ikhwan. Bagaimana bukan Hina, seorang yang merampas air minum yang sudah dihadapan orang yang sangat membutuhkan. Dan bagaimana bukan air minum yang hina, saat air minum itu bersuka cita diminum oleh orang yang hina. Hingga seorang yang kehausan itu harus akhirnya menanggung sakit yang teramat dalam.
“Apakah itu, bukan sebuah kehinaan yang sangat hina!” Jelasku kepada Affan waktu itu. Seburuk-buruk seorang Ikhwan, tidak akan menyengsarakan saudara Ikhwan yang lainnya. Atau bahkan merampas sesuatu yang sudah diidam-idamkan seorang ikhwan. Tidaklah seorang Ikhwan yang terbaik, kalau dihatinya tertanam benih-benih cara yang hina. Meskipun seorang ikhwan itu bagus akhidahnya, bagus hafalan Al Qur’annya. Tetapi jika dia melakukan cara yang kotor dan hina. Maka akhlaqnya tidak lebih rendah dari binatang yang saling berebut dalam mencari makanan. Tetapi aku salut dengan Affan. Aku benar-benar mengagumi salah satu saudaraku itu. Dengan santai, meskipun terlihat pedih dimatanya dan terlihat sakit yang mendalam dihatinya. Dia hanya mengatakan “Sungguh, ana relakan seorang wanita yang ana inginkan. Untuk dijadikan istri oleh seorang ikhwan yang memang membutuhkan. Mungkin saja, Ikhwan itu tidak mempunyai kemampuan, untuk mencari seorang wanita lain! Insya Allah ana akan mendapatkan yang lebih baik lagi. Itu janji Allah!” Aku saat itu benar-benar kagum dengan ucapan Affan. “Benar.
Antum, tidak akan diberikan oleh Allah air yang hina untuk antum minum!” Kataku keras waktu itu. Karena, aku sangat jengkel dengan seorang akhwat yang telah menjadi pengkhianat cinta. Kalaulah cinta Si Akhwat karena Allah. Maka tiada yang hadir selain keistiqomaan dan berjuang untuk meyakinkan orang tuanya. Dan tidaklah menjadikan seorang Akhwat malah berlenggang mencari yang terbaik bagi dirinya.
Saat yang terbaik itu adalah sebuah ketidakpastian. Seharusnya Si Akhwat sudah dari dulu memutuskan hubungan dengan Affan. Kalaulah dia ingin mencari Ikhwan yang terbaik. Bukan malah mengikat Affan terus menerus dalam hubungan yang tidak pasti. Hingga Affan benar-benar memperjuangkannya. Tetapi sayang, perjuangan Affan tidak menuai hasil yang baik. “Bukan hasil yang kita cari. Tetapi keridhoan yang kita harapkan dari Allah!” itulah ucapan Affan waktu lalu. Akhwat mana yang rela dan tega meninggalkan seorang Ikhwan yang benar-benar memperjuangankannya. Kecuali seorang akhwat yang memang dirinya mencari kehinaan. Kalaulah memang Si Akhwat bukan seorang yang Hina. Seharusnya Si Akhwat sudah memutuskan Affan sejak ketidaksetujuan orang tua Si Akhwat. Bukan malah menjadikan Affan sebagai pemain pengganti jika tidak ada yang lebih baik dari Affan. Dan kalau ada, Affan dilepaskan begitu saja. Karena sebenarnya ini bisa dikatakan sebuah kekejaman. Dan sangat zhalim.
Tapi Subhanallah. Aku saat itu baru melihat sifat itsar yang selalu didengung-dengungkan dalam sejarah umat Islam. Benar-benar hebat. Memang, kenapa Itsar dikatakan sebagai tingkatan iman yang paling tinggi. Karena memang, melakukan itsar itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sangat berat memberikan sesuatu yang kita inginkan kepada orang lain. Kalau bukan seorang yang beriman.
Mana mungkin?
Perasaan yang semula kalut kini menjadi lebih tenang. Setelah mengingat seorang ikhwan yang bernama Affan. Memang, tidak ada dalam kepastian dalam sebuah kehidupan. Karena sesungguhnya kepastian itu hanya milik Allah. Maka, jika kita melakukan sebuah hubungan. Kepastian itu adalah rasa kepercayaan seseorang.
Sejenak aku memikirkan dampak jika aku menikah dengan salah satu dari ikhwan itu. Lutfi dan Khalid. Hem, jika aku akan menikah dengan Akhi Lutfi. Insya Allah aku mendapatkan materi yang berkecukupan. Mungkin jika aku menikahi Akhi Lutfi, hafalanku juga akan bertambah. Sejenak aku berfikir lagi. Lalu, jika aku menikahi Akhi Khalid, apakah kami berdua tidak bisa berusaha mendapatkan materi? Lalu apakah jika aku menikah dengan Akhi Khalid hafalanku tidak bisa bertambah juga? Tapi, siapa yang bisa menjamin? Bukankah Allah mudah untuk melenyapkan segala sesuatu! Benar-benar pikiranku kembali penat. Dari relungrelung pikirku yang semula hampir jernih. AKHLAQ! Satu kata yang terlintas dibenakku. Iya benar, akhlaq. Sekarang aku sudah tidak pusing lagi untuk mengambil sebuah keputusan. Karena semuanya sudah jelas. Siapa yang harus aku pilih.
Sejenak ucap syukurku kepada Allah. Aku bukanlah akhwat yang mencari kehinaan dalam keridhoan Allah. Apalagi aku bukan akhwat yang tega, meninggalkan seorang Ikhwan yang memang sudah serius untuk menjalin tali pernikahan kepadaku.
Apalagi aku bukan seorang akhwat yang hanya mencari seorang ikhwan yang dikatakan terbaik. Aku bukan mencari ikhwan terbaik dalam wujudnya saja. Tetapi aku mencari ikhwan yang terbaik dalam segala hal. Dalam akhidah, dakwah dan yang tidak kalah pentingnya adalah Akhlaq. Akhidah bisa dibangun dengan pelajaran pengetahuan tentang Rabb. Dakwah bisa dibangun dengan pondasi-pondasi akhidah.
Tetapi akhlaq, akhlaq tidaklah semudah mempelajari akhidah dan dakwah. Karena akhlaq adalah mencerminkan jiwa yang suci dan bersih. Yang selalu mencerminkan keindahan dakwah Rasulullah. Akhlaq adalah harga yang paling tinggi untuk dimiliki.
Karena untuk menjalankan kata yang dinamakan akhlaq. Harus benar-benar mencerminkan kepribadian Rasulullah. Yaitu ikhlas. Dan itu sangat sulit.
Seorang yang mempelajari Akhidah. Dia hanya mempelajari pondasi-pondasi dakwah. Tetapi jika seorang yang mempunyai akhlaq Islam yang tinggi. Maka dia adalah seorang muslim yang sempurna. Karena pasti, perilaku-perilakunya adalah menurut apa yang dikatakan dalam Al Qur’an dan Sunnah. Bukan hanya keyakinan semata. Dan ciri seorang yang berakhlaq adalah, tidak melakukan sesuatu hal yang bisa menyakitkan orang lain. Tidak melakukan sesuatu perbuatan yang hina. Tidak merampas apa yang dipunyai atau yang diharapkan oleh orang lain. Selalu bersifat lemah lembut. Dan keras jika menantang kezhaliman. Ikhwan seperti inilah yang aku cari.
JILID 11
“Tluutt.... Tluutt...” Dering Hpku.
Aku letakkan mushaf yang sedari tadi aku lafalkan. Setelah itu, aku ambil Hp yang tidak jauh berada disampingku. “Akhi Lutfi” tulisan yang tertera di LCD Hpku.
“Assalamualaikum” Ucapku.
“Walaikumsalam!” Jawabnya.
“Iya, Akhi!”
“Gimana kabarnya, Ukhti hari ini!” Tanya Lutfi. Terdengar basa-basi.
“Alhamdulillah, baik-baik saja! Kalau antum?” Jawabku.
“Alhamdulillah. Sama, ana juga baik-baik saja!”
Sejenak aku diam. Membiarkan, agar Lutfi yang memulai pembicaraan dahulu. Dan memang berhasil.
“Ukhti. Gimana keputusannya?” Tanya Lutfi penasaran.
“Insya Allah, ana sekarang sudah mengambil keputusan! Dan semoga ini baik untuk ana dan untuk antum!”
“Insya Allah, pasti baik!” Sela Lutfi.
Sejenak aku menarik nafas dalam-dalam. Dan menghembuskannya pelan. “Akhi, dari apa yang ana pertimbangkan. Ana akan menerima..!”
“Syukron anti, ana tahu jawabannya! Anti pasti penerima ana! Tidak mungkin seorang yang hafidz tidak diterima pinangannya!” Sela Lutfi lagi.
“Hem. Afwan Akh. Sesungguhnya, Rasulullah itu pantang memotong pembicaraan orang!” Ucapku tegas.
“Oh, iya maaf Ukhti!”
“Sebenarnya, ana sudah bertaaruf dengan ikhwan lain! Ikhwan itu tidak lebih kaya daripada antum, tidak lebih bagus hafalan dan tilawahnya daripada antum. Tetapi, Ikhwan itu mempunyai rasa jihad dalam medan dakwah yang sangat tinggi. Ana sudah pernah merasakan gaya kepemimpinannya. Sudah pernah mengetahui corak dakwahnya, dan sudah mengetahui kegigihannya dalam dakwahnya! Ikhwan itu begitu tegar dengan kemiskinannya. Sifat zuhud yang dia terapkan pada dirinya, tidaklah membuat dia lebih rendah dari ikhwan manapun. Ikhwan itu penuh dengan kasih sayang yang melimpah pada setiap saudara seimannya. Apalagi sifat akhlaq dan ikhlasnya. Subhanallah! Dia tidak ingin memperlihatkan keberhasilan dakwahnya kepada setiap saudaranya. Karena takut akan sifat riya’, ujub dan takabur yang akan melanda pada dirinya. Dia tidak ingin memperlihatkan sebuah keberhasilan karena jasanya. Tetapi dia lebih memilih, mengatakan keberhasilan itu karena Allah dan hamba-hambanya yang selalu berjuang dimedan dakwah! Ana mengetahui semuanya itu, karena dia adalah ketua ana. Dan benar-benar mengetahui sepak terjang dakwahnya. Meskipun, dia tidak pernah memberitahukannya!”
“Tapi, apakah benar dia bisa sehebat itu dari ana? Apakah dia mempunyai hafalan AlQur’an yang lebih banyak dari ana, apakah dia mempunyai hafalan hadits yang lebih banyak dari ana? Apakah dia mempunyai pekerjaan yang lebih baik dari ana? Apakah dia mempunyai itu semua!” Protes Lutfi.
“Tidak. Sungguh, hafalan Al Qur’an dan Hadistnya. Lebih banyak dari Akhi.”
“Tapi, kenapa anti menerimanya. Sedang anti tidak menerima ana. Toh sudah jelas, ana memiliki kemampuan yang lebih baik darinya!” Lutfi terdengar sangat tidak menerima keputusanku.
“Akhi. Sesungguhnya ana menerimanya, karena ana sudah lebih dulu melakukan konsistensi kepada Ikhwan itu! Ana tidak bisa, dengan mudah memutuskan seorang ikhwan yang sudah ana istqomahi. Tidak begitu saja ana bisa menerima seorang yang lebih baik darinya! Karena ini menyangkut akhlaq ana.” Jawabku serius.
“Iya. Tapi ana kan lebih dahulu mengenal anti! Sejak anti masih kecil, kita sudah saling kenal. Dan anti tahu, seberapa besar tingkat keilmuan ana!” Ucapnya sengit.
“Akhi. Ana tahu kelebihan yang ada pada antum. Tetapi, karena kelebihan antum itulah menjadi sebuah alasan bagi ana untuk memilih ikhwan itu. Dia tidak mempunyai kelebihan seperti antum. Dia lebih berhak untuk ana kasihi, dari pada antum yang bergelimang kasih! Antum seharusnya mengerti.” Ucapku tak kalah sengitnya.
“Tidak bisa. Ana tidak akan bisa mengerti! Anti seharusnya tahu, bagaimana cinta ana terhadap anti”
“Iya, ana mengerti. Ana sangat mengerti! Cinta antum terhadap ana, adalah karena Allah. Dan pasti antum akan menerima apa yang Allah berikan kepada antum. Bahkan penolakan ana pun, antum pasti menerimanya. Karena cinta antum karena Allah!”Selaku dengan sengit.
“Tidak. Anti tidak mengerti cinta ana terhadap anti! Anti egois.”
“Akhi. Antum harus ingat. Antum adalah hafidz, seorang yang hafal Al Qur’an.
Antum juga sangat banyak hafal hadits. Antum seharusnya menerapkan itu pada diri antum. Bukan hanya mempelajarinya saja!”
“Ukhti. Ana tetap tidak akan menerima penolakan anti. Ini merupakan sebuah penghinaan bagi ana! Ana tidak akan pernah mau menerima penghinaan ini.”
“Akhi. Ini bukan sebuah penghinaan. Tetapi ini keputusan ana! Antum harus mengerti tentang keputusan ana. Ana harap antum harus menerima keputusan ana.” Ucapku pelan.
“Afwan Ukh. Ana tidak akan pernah menerima keputusan anti. Ini penghinaan, besar buat ana. Ana sudah anti hina! Lihat saja nanti.” Setelah mengucapkan itu. Lutfi langsung mematikan Hpnya.
Masya Allah. Jadi, keputusanku memang benar! Gumamku. Hafidz dan Hafal hadits, tidak menjamin seseorang mencerminkan apa yang dihafalkannya. Sudah banyak terbukti. Beberapa kasus korupsi pun, ada juga yang dilakukan oleh seorang yang hafidz. Dan dalam kasusku, sudah sangat nyata. Lutfi sangat tidak mencerminkan seorang yang benar-benar mengetahui Al Qur’an dan Hadits. Aku jadi teringat hadits innamal a’malu binniat wa innamal likuri’immanawwa famankhanats hijratahu Ilallah wa Rasullihi fahijratuhu Ilallah wa Rasullihi famankhanats hijratuhi liddunia yusibukha awimra ataini yankhiquha fahijratuhu ilaih maa hajarah ilaih. Hadits inilah yang seharusnya membuat tujuan hidup hanya untuk Allah dan Rasulnya. Bukan karena harta dan wanita yang ingin dinikahinya. Alhamdulillah ucapku syukur dalam hati. Aku tidak salah memilih. Aku telah memilih mujahid dalam keistiqomahan perjuangannya. Bukan memilih seorang yang cengeng dengan kata-kata cintanya. Meskipun Lutfi seorang yang melebihi Khalid dalam masalah wujudnya. Melebihi masalah hapalan Al Qur’an dan Haditsnya, melebihi kekayaan dan pekerjaannya. Tetapi Khalid, adalah Khalid. Seorang aktivis dakwah yang istiqomah dalam perjuangannya. Seorang yang istimewa dalam kezuhudannya. Seorang yang mudah bergaul dengan siapa saja. Seorang yang mampu mengaktualisasikan ajaran-ajaran agama yang diterimanya. Dan Khalid, mampu menerapkan itu semua. Maka tidak salah pilih, aku memilihnya.
Aku bukanlah seorang akhwat yang memilih hanya dengan melihat kepintaran seorang ikhwan. Aku bukanlah akhwat yang suka melihat wujud dari ikhwan. Apalagi aku bukan akhwat yang suka dengan kekayaan seorang ikhwan. Tapi aku adalah seorang akhwat yang istiqomah dengan apa yang aku pilih. Aku adalah akhwat yang lebih suka dengan seorang ikhwan yang memilih jalan dakwahnya dengan ikhlas. Dan aku adalah seorang akhwat, yang memilih ikhwan karena akhlaqnya. Bukan seorang ikhwan yang mudah merampas apa yang dicintai oleh saudaranya sendiri. Apalagi bukan seorang ikhwan, yang menghalalkan cara hanya untuk mendapatkan seorang wanita. Aku bukanlah akhwat seperti itu.
Bersyukurlah diriku. Karena semuanya sudah ditampakkan oleh Allah.
Tidaklah semua seorang yang pintar atau hafal Al Qur’an dan hadits. Mampu memahami isi-isi yang terkandung didalamnya. Tidaklah semua seorang yang hafal Al Qur’an dan hadits. Mampu mengamalkan apa yang ada didalamnya. Karena semuanya berujung pada sifat keikhlasann kita. Akhlaq yang baik adalah ciri khas seseorang yang ikhlas dalam berjuang. Sungguh mulia seseorang. Manakalah dirinya mendapatkan rasa itu. Sungguh mulia seseorang yang selalu dalam kezuhudannya.
Sungguh mulia seseorang yang tidak menginginkan dunia dan isinya. Tetapi dia lebih memilih Allah dan Rasul-Nya. Sungguh, alangkah mulianya orang itu. Tidak akan lagi ada rasa takabur, riya’ atau bahkan ujub. Karena sesungguhnya apa yang dia harapkan bukan pada penghargaan manusia. Tetapi lebih memilih dihargai oleh Allah, hingga Allah memberikan seberkas kasih sayang yang indah didalam diri seseorang itu. Tidak lagi seesorang itu menginginkan apa yang memang tidak diridhoi oleh Allah. Tidaklah seseorang itu melakukan sesuatu apa yang memang tidak diridhoi oleh Allah. Apalagi melakukan cara-cara yang dihinakan oleh Allah. Maka seseorang itu akan menjadi orang-orang dambaan Rasulullah. Dan itulah kenikmatan sejati.
Kenikmatan yang telah diberikan oleh Allah dalam diri manusia yang ikhlas dan barakhlaq mulia.
“Tok..Tok...Tok... Zah! Zah sudah tidur?” Ketukan dan panggilan Ummi. Mengagetkanku.
“Belum, Mi. Silahkan masuk Mi!” Jawabku.
Setelah membuka pintu kamar. Dengan senyum lembutnya, Ummi mendatangiku.
“Gimana, Zah? Sudah diambil keputusannya?” Tanya Ummi.
“Sudah, Mi!” Jawabku. Sambil menganggukkan kepala.
“Lalu, Zah milih siapa!” Tanya Ummi lagi. Terlihat penasaran.
Dengan sedikit mendesah pelan. Aku mengatakan “Mi. Zah tidak memilih Lutfi! Zah lebih memilih Ikhwan yang lebih dulu Zah istiqomahi!” Ucapku, sedikit berhati-hati agar Ummi tidak tersinggung.
Ummi tersenyum. Lalu tangan lembutnya membelai rambutku. “Zah. Ummi tidak akan ikut campur urusan Zah dalam memilih calon teman sejati Zah! Apa yang Zah pilih, Ummi akan ikut mendukung dengan pilihan Zah! Lutfi memang kita kenal baik dikeluarga kita. Tetapi bukan berarti Lutfi harus menjadi suami Zah bukan! Ummi hanya suka melihat kelakuan dia kepada Ummi dan kepintaran dia! Hanya itu saja.
Meskipun begitu, Ummi tidak akan memaksa Zah untuk menikah dengan Lutfi! Zah pilih sendiri, Ikhwan mana yang membuat Zah terjatuh dalam lembah cinta. Dan membuat Zah bergelimang akan cintanya. Dan selalu akan bersama-sama, dalam menggapai cinta-Nya! Itulah yang terpenting Zah.”
“Mi. Tetapi Zah, telah memilih seorang ikhwan. Yang dia tidak memiliki kepintaran dan kekayaan seperti Akhi Lutfi! Ikhwan ini, tidak lebih banyak hafalannya disbanding Zah. Ikhwan ini tidak mempunyai kekayaan yang sebanyak Akhi Lutfi. Dan Ikhwan ini tidak begitu besar penghasilan pekerjaanya dibanding Akhi Lutfi. Tetapi dia, adalah seorang Ikhwan yang istiqomah dalam medan dakwahnya!” Ucapku.
“Zah. Kepintaran dan kekayaan itu ada pada setiap orang. Mungkin Ikhwan itu tidak sepintar Akhi Lutfi, karena dia tidak melakukan apa yang dilakukan Akhi Lutfi.
Tetapi pasti Ikhwan itu, mempunyai kepintaran tersendiri yang Akhi Lutfi tidak mempunyai kepintaran itu! Dan kekayaan, adalah materi yang bisa dicari. Tetapi Zah harus ingat, bahwa seorang yang kaya akan dihisab lebih banyak diakhirat nanti.
Ketimbang orang yang tidak mempunyai kelebihan materi! Maka, jika Zah sudah mantap dengan pilihan Zah sendiri. Ummi berpesan, Janganlah ragu-ragu untuk menapaki hari depan dengan kepastian. Karena sesungguhnya kepastian didunia itu adalah ketidakpastian itu sendiri. Maka jadilah orang-orang yang sudah pasti, karena sesungguhnya Sang Maha Pasti sudah memberikan kepastian kepada kita!”
“Insya Allah, Mi! Ana sudah sangat yakin dengan pilihan Zah.”
“Baik, kapan dia akan mengkhitbah anti?” Tanya Ummi bersemangat.
“Ana nggak tahu Mi!” Jawabku Bingung.
“Zah, nggak usah bingung. Pokoknya, jika Abi sudah pulang. Langsung beritahu Ikhwan itu. Bahwa waktu itulah yang paling tepat untuk mengkhitbah Zah. Insya Allah! Dan mungkin bisa saja, Zah langsung dinikahkan oleh Abi!” Ucap Ummi. Sambil sedikit menggoda.
“Ummi..!” Ucapku manja. Sambil memeluk tubuh Ummi.
“Ya. Sudah Ummi mau tidur dulu!” Ucap Ummi sambil melepaskan pelukanku.
“Iya Mi!”
Setelah itu, Ummi pun melangkah keluar dari kamarku.
Aku kini sendiri dalam ruang kamarku. Rasa senang yang aku dapatkan, serasa melambungkan hatiku. Aku benar-benar bersyukur, karena telah diberikan seorang Ibu yang begitu perhatian terhadapku. Seorang Ibu yang bijaksana dalam mengambil sebuah keputusan. Tidak berdasarkan egoisme keibuan. Aku jadi ingat dengan salah satu Akhwat. Yang dia tidak bisa mengambil sebuah keputusan, lantaran ibunya terlalu mengekang dengan keputusannya. Tetapi, semua itu berdasar pada keputusan akhwat itu sendiri. Jika akhwat itu memang seorang akhwat yang bisa mengkondisikan ruhiyahnya. Maka dia pasti bisa mengkondisikan keluarganya.
Tetapi jika ruhiyahnya masih gamang dengan keyakinan dalam dien-Nya. Atau karena ketidakpahaman yang kuat dalam agamanya. Maka, dipastikan akhwat itu tidak bisa mengkondisikan keluarganya. Dan tidak mungkin, dia mengambil sebuah keputusan pada keluarganya. Jika dia tidak memiliki pemahaman agama yang kuat.
***
Pagi hari yang indah. Mentari bersinar dengan kehangatan pagi yang menyenangkan. Setelah selesai berolahraga di sekeliling rumah. Aku nikmati sinar mentari dan dinginnya pagi. Nikmatnya hidup dalam rasa syukur yang teramat dalam.
Nikmatnya hidup jika semua karena Allah yang mengatur hidup. Ingatanku pun kembali. Sejenak, aku memikirkan kata-kata yang diucapkan oleh Lutfi. “Afwan Ukh. Ana tidak akan pernah menerima keputusan anti. Ini penghinaan, besar buat ana. Ana sudah anti hina! Lihat saja nanti.” Entahlah, kenapa kata-kata itu harus muncul pada sosok seorang Lutfi. Seorang yang tidak pantas mengucapkan kata-kata itu, karena dia merupakan seorang yang sudah mengatahui seluk beluk dari Dien ini. Kenapa harus ucapan yang begitu tidak ikhlas dengan sebuah keputusan yang telah diambil oleh seseorang orang. Memang, sakit jika kita apa yang kita menginginkan sesuatu. Tetapi kita tidak mendapatkan sesuatu itu. Tetapi bukankah keinginan itu tidak harus terpenuhi seterusnya! Adakalanya keinginin kita, tidak harus terpenuhi. Jika apa yangkita inginkan itu karena Allah. Maka apapun yang kita dapatkan pun, pasti karena Allah. Tetapi jika kita menginginkan sesuatu karena sifat egoisme diri kita. Maka, jika keinginan itu tidak terpenuhi. Kita akan benar-benar merasakan rasa sakit yang sangat dalam. Dan serasa tidak ada obat penyembuh bagi diri kita.
Entahlah, apakah Lutfi sudah tertarbiyah dengan bagus. Ataukah dia sudah mendapatkan materi tarbiyah. Seharusnya, kalau memang dia sudah mendapatkan tarbiyah yang benar-benar baik. Maka Lutfi tidak akan seperti itu. Pasti Lutfi akan ikhlas menerima keputusan yang sudah aku pikirkan. Ataukah, dia bukan dari orang-orang yang tertarbiyah. Lalu kalau seandainya, jika Lutfi bukan dari orang-orang yang menerima pelajaran tarbiyah. Apakah aku bisa hidup berdampingan dengan seorang yang berbeda pola pandang dan pola pikir. Pastilah sifat jalan dakwah kami akan benar-benar saling terhambat. Disalah satu pihak ingin jalan kearah A dan di satu pihak ingin jalan kearah B. Pasti akan menjadi sebuah penghambat bagi langkah dakwah dengan satu sama lainnya. Dan menjadikan tidak terfokus dalam salah satu jalan yang akan ditempuhnya. Ya. Inilah yang harus menjadi sebuah pemikiran ulang bagi kita semua.
“Tluutt... Tluutt..” Lagi-lagi bunyi Hpku berdering. Hingga mengagetkanku.
“Halo.” Ucapku.
“Halo. Ini Farah?” Tanya si penelphon.
“Iya benar. Ini siapa yah?” Tanyaku penasaran.
“Far, ini aku. Nova!”
“Oh. Hai, apakabar?”
“Aku baik-baik saja sekarang. Tapi entah nanti!” Jawabnya sedikit cemas.
“Oh. Ada apa sebenarnya Nov?” Tanyaku bingung
“Far. Apakah kamu bisa menolong aku!” Ucap Nova. Terlihat sangat bingung.
“Insya Allah. Jika memang aku sanggup!”
“Tapi. Apakah benar kamu sanggup?” Tanya Nova.
“Insya Allah. Makanya beritahu masalahnya!” Ucapku sedikit penasaran.
“Far. Bisa nggak kamu menolongku lari dari rumah!”
“HA!” Aku bingung.
“Aku ingin lari dari rumahku Far! Apakah kamu bisa menolong?” Tanyanya sekali lagi.
“Sebentar-sebantar. Permasalahannya apa, hingga kamu harus lari dari rumah segala?”
“Ceritanya panjang, Far! Sekarang aku harus lari dari rumah. Nanti setelah kita pergi, aku akan ceritakan semuanya kepadamu!” Jawabnya.
“Apakah memang harus lari dari rumah?” Tanyaku heran.
“Iya. Pokoknya harus!” Ucapnya tegas.
“Baik-baik! Aku akan membantumu. Tetapi, kamu harus menceritakan masalahmu kepadaku nanti!”
“Iya. Pasti aku akan menceritakannya!”
“Baik. Kita bertemu dimana?”
“Kamu jemput aku digerbang Village of Country. Jam 10 pagi, bisa?”
“Ok. Insya Allah, aku akan jemput kamu!”
“Baik. Terima kasih! Aku akan menunggumu disana. Udah yah!” Seketika itu pun, Nova langsung memutuskan pembicaraan.
Entah ada apa lagi ini. Apakah ini juga merupakan cobaan bagiku. Aku tak tahu. Biarlah aku menjalani hidup ini dengan apa yang telah diatur oleh Allah. Jika memang Allah mengatur hidupku harus seperti ini. Maka aku harus bisa menjalani kehidupanku. Aku tidak boleh mengeluh atas apa yang diberikan oleh Allah kepadaku. Mungkin ini adalah sebuah ujian bagiku. Entahlah, tapi aku harap ini ujian bukan azab. Tetapi. Apakah ini bukan jebakan! Selintas pikirku. Iya benar, apakah ini bukan jebakan orang-orang kafir yang akan menculikku! Beberapa hari aku mendapatkan banyak rintangan dalam kehidupan. Aku pun tidak harus langsung mempercayai apa yang Nova katakan, seharusnya. Aku seharusnya menyelidiki dulu tentang Nova. Bukan langsung percaya. Kalau memang ini benar-benar jebakan penculikan. Sudahlah, aku pasrahkan sebuah kepada Allah. Khasbiallah! Ucapku lirih dalam hati.
Aku tidak dapat menolak permintaan seorang yang meminta perlindungan kepadaku. Tidaklah seorang muslim, mengacuhkan permintaan perlindungan orang lain. Bahkan kafir sekalipun, aku harus melindunginya jika dia meminta perlindungan kepadaku. Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu
disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. QS. At Taubah 6. Jika seandainya ada rencana jahat kepadaku, aku pun tidak usah khawatir. Allah sudah pasti melindungi hamba-hambanya yang bertakwa. Tidaklah aku harus khawatir, jika harus terjadi apa-apa kepadaku. Karena Allah pasti melindungi setiap hamba-hambanya yang memperjuangkan agama-Nya. Allah pasti melindungi, setiap hamba-hambanya yang memang memilih bermujahadah dalam perjuangan-Nya. Tidak ada sebuah alasan untuk takut terhadap musuh-musuh Allah.
“Tok...Tok...!” Sebuah ketukan pintu kamar terdengar.
“Siapa? Ummi? Bi Iyem?” tanyaku. Tiada jawaban dari si pengetuk kamar.
Dengan malas aku pun menghampiri pintu kamar. Aku buka pintu kamar dengan perlahan-lahan. Saat pintu kamar sudah terbuka. Terlihat sosok pria yang tersenyum kepadaku.
“ABI....!” ucapku sambil mencium tangan Abi. Aku senang dengan kedatangan Abi. Serasa semua beban beratku pun sirnah. Ummi yang berada disamping Abi, melihat dengan senyuman.
“Assalamualaikum!” Ucap Abi.
“Walaikumsalam!” Jawabku. Masih dengan mencium tangan Abi.
“Bi. Waktu ditelphon, Abi bilang masih agak lama pulangnya!” tanyaku dengan manja.
“Sebenarnya sih, masih ada beberapa urusan yang masih belum diselesaikan. Tetapi, Abi sudah kangen masakan Ummi nih!” Ucap Abi. Sambil melirik Ummi.
“Kangan apa Kangen....!” Kataku.
“Ih. Zah. Genit!” Ucap Ummi.
Yang Akhirnya diselingi tawa oleh Abi dan Ummi.
“Abi, udah datang! Tinggal proses pengkhitbahannya aja nih. Yang dilanjutkan” Ucap Ummi. Dengan menggodaku.
“Ummi! Zah kan, malu”
“Ih. Emang Zah punya malu!” Ucap Abi.
“Abi.” Kataku manja.
“Tidak ada yang perlu kita merasa malu. Selama perbuatan kita masih dalam koridor-koridor syariat!” Ucap Abi. Sambil tersenyum dengan kewibawaan.
“Tentunya, dengan mantap bahwa apa yang kita lakukan adalah memang hal yang benar. Benar menurut hati nurani kita dan benar menurut syariat tentunya!” Sahut Ummi.
“Nah. Zah sudah mengikuti itu semua. Tinggal aplikasi syariatnya yang harus dilakukan!” Ucapku.
“Siipp! Putri kita memang sudah layak untuk menikah.” Ucap Abi.
“Iya. Ummi sudah pengen gendong cucu nih!” Sahut Ummi.
“Iya. Zah juga bosen tidur sendirian!” Ucapku sambil nyengir.
“Yeee..... Genit!” Ucap Ummi.
Tawa pun kembali merekah dalam kebahagian yang hadir. Abi kini kembali pulang. Waktu yang cukup lama buatku, untuk menghadapi sebuah masalah dengan keputusanku sendiri. Bisanya aku selalu meminta pertimbangan Abi untuk memutuskan suatu masalah yang berat. Tetapi, kepergian Abi. Adalah pelajaran baru buatku. Pelajaran yang diberikan oleh Allah kepadaku. Untuk bisa lebih mandiri dalam hidup. Tidak menggantungkan sesuatu hal kepada mahluk. Meskipun itu adalah Abiku sendiri. Karena sesungguhnya, apa-apa yang kita gantungkan kepada mahluk. Pasti tidak akan kekal. Karena sesungguhnya apapun yang ingin kita gantungkan. Adalah hanya kepada Sang Maha Pemilik Kekuasaan. Yang memberikan naungan kepada seluruh alam. Dan yang memberikan kebaikan pada setiap apa-apa yang diciptakan.
Seiring dengan keriangan dari larutnya kebahagiaan. Aku masih saja mengingat tentang masalah-masalah yang sedang melanda para saudaraku. Terutama Dewi. Semoga Dewi baik-baik saja. Sesungguhnya, apa-apa yang akan kita lakukan.
Jika berujung pada hanya penghambaan. Penghambaan kepada Sang pemilik kehidupan. Maka tidak ada yang perlu ditakutkan. Karena sesungguhnya, ketakutan kita adalah manakalah Sang Pemilik Kehidupan. Mengacuhkan kita dari masalah-masalah yang diberikan-Nya. Karena sesungguhnya setiap permasalahan, ujian ataupun cobaan. Adalah rasa kasih sayang yang ditunjukkan oleh Rabb kita kepada setiap hambanya. Jika kita sabar. Insya Allah, akan ada berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
JILID 12
Aku melihat Nova sedang duduk disebuah taman didaerah Village of Country. Raut mukanya terlihat murung dan tampak gelisah. Wajah putihnya pun bagaikan lukisan Monalisa. Tetapi Monalisa, tak secantik Nova. Aku mencari tempat parkir. Untuk memarkir mobilku. Setelah mendapatkan tempat parkir. Aku langsung turun dari mobil. Sekali-sekali, aku mengamati daerah perumahan elit ini. Tetap bersikap waspada. Bergegas aku langsung menuju taman Village of Country. Nova masih duduk sendirian, dengan sikap kewaspadaan. Nova terlihat sudah melihatku. Dia mengangkatkan tangannya, seraya memanggilku. Langsung saja aku mendatangi dia. Tetapi, Nova langsung berlari kearahku. Terlihat sangat tergesa-gesa.
“Farah. Kita harus cepat keluar dari sini!” Ucap Nova. Saat sudah berada didepanku.
“Kenapa harus terburu-buru?” Tanyaku bingung.
“Sudah, tidak ada waktu untuk menjelaskannya disini!” Ucap Nova. Dengan memegang tanganku.
“Ini sebenarnya, ada apa sih Nov?”
“Sudahlah. Ayo kita pergi! Tidak ada waktu, untuk aku jelaskan disini.” Nova menarik tanganku.
Dan kita pun bergegas pergi meninggalkan taman itu.
Segera aku tancap gas dengan sedikit cepat. Meninggalkan rona-rona keindahan taman yang ditata rapi oleh para pengembang perumahan. Tetapi, tidak seindah apa yang telah diciptakan Ilahi. Taman-taman surga yang akan membuat kita terlena dan lupa dengan siksa dunia. Taman-taman surga yang akan membuat kita akan lupa dengan beratnya cobaan yang diberikan oleh-Nya. Taman-taman surga, yang memberikan kenikmatan bagi setiap penghuninya. Sungguh keindahan yang tidak akan pernah tercipta oleh manusia. Bahkan untuk memikirkannya sekalipun.
Tidak akan mampu untuk menembusnya. Menembus taman-taman surga yang nikmat nian untuk dihuninya. Nikmat yang tidak akan pernah bisa terpikirkan oleh manusia. Nikmat yang tidak akan mampu untuk digapai didunia. Nikmat yang tidak akan mampu dipikirkan dalam otak manusia. Sungguh kenikmatan yang tiadatara. Kenikmatan yang telah dijanjikan oleh-Nya. Jannah-jannah Ilahi. Jannah-jannah untuk para mujahid dan mujahidah. Jannah-jannah untuk para pembela agama-Nya. Jannah-jannah para pemegang syariat-Nya. Pengusung kebenaran yang tak akan luput dari surga Ilahi.
“Kita mau kemana sekarang?” Tanyaku. Sambil menyetir.
“Terserah kamu, Far. Pokoknya, ketempat yang menurut kamu aman!” Ucap Nova.
“Hem. Nggak ada Nov, nggak akan ada tempat yang aman!” Ucapku lirih.
“Apa?” Nova sedikit kaget mendengar ucapanku.
“Kenapa?” Tanyaku balik.
“Apa benar, nggak ada tempat yang aman?”
“Tidak ada!” Jawabku.
“Jika kamu, memang benar-benar tidak mempunyai tempat yang aman. Sudah tamatlah riwayatku!” Nova berucap sambil terlihat putus asa.
“Iya, Nov. Tidak akan ada tempat yang aman. Sesungguhnya, Allah tetap mengawasi kita! Kita tidak akan pernah bisa menemukan tempat yang aman. Bahkan kelubang semut pun. Kita tidak akan pernah bisa aman! Karena Allah mengawasi kita. Tetapi, kalau tempat yang aman. Yang tidak diketahui oleh manusia. Insya Allah, aku ada!”
“Oh. Aku kira kamu nggak punya tempat yang aman!” Ucap Nova. Sudah terlihat sedikit lebih tenang.
Aku hanya tersenyum.
Aku mengemudi dengan kecepatan sedang. Jalan-jalan yang lapang, menjadi sangat menguntungkan. Menguntungkan, karena aku bisa memacu mobilku dengan santai. Tanpa harus terkena macet yang melelahkan. Tetapi sayang, jalan beraspal ini begitu terjal. Terjal, karena banyak lubang-lubang jalan yang tak terurusi. Entah kemana pajak yang setiap hari dibayar oleh para pemakai jalan. Hingga akhirnya, jalan-jalan yang seharusnya mulus dari lubang-lubang aspal yang rusak. Sudah tidak harus dilihat lagi. Hingga akhirnya, para pengendara pun tidak khawatir pada setiap perjalanan mereka. Tidak khawatir dengan rasa was-was, saat mengemudi. Dan terjerembab kedalam lubang aspal, yang akhirnya menyebabkan kecelakaan.
Mobilku tetap melaju dengan kecepatan sedang. Seperti biasanya. Aku tidak mau memacu kendaraanku dengan kecepatan yang tak wajar. Meskipun, mobilku dengan mudah aku pacu sesuai dengan apa yang aku inginkan. Bahkan cepat sekalipun. Mobilku bisa menuruti permintaanku. Tetapi, aku bukanlah pengendara yang tidak mengerti tentang aturan berlalu-lintas yang baik dan benar. Aku adalah orang Islam yang taat menjalankan perintah-perintah-Nya. Perintah-perintah yang termasuk dengan kemaslahatan bersama. Perintah yang memang dapat menambah pengetahuanku tentang keteraturan dalam kehidupan. Meskipun, perintah lalu-lintas bukan ajaran dari syariatku. Tetapi, bukan berarti peraturan lalu-lintas bukan dari syariatku. Karena sesungguhnya, esensi dari syariat Islam. Juga tertuang dari perintah untuk dapat memberikan kemaslahatan bersama. Karena pada dasarnya.
Kemaslahatan bersama dalam mewujudkan sebuah keindahan dalam keteraturan kehidupan. Adalah merupakan, syariat-syariat Islam.
Maka, aku memang harus benar-benar bisa menyadari tentang ini semua.
Sadar akan aturan-aturan tentang kemaslahatan yang dimaksud dalam syariat. Hingga akhirnya aku sadar akan kemaslahatan yang memang seharusnya aku lakukan. Karena sesungguhnya, bukanlah sebuah hal yang besar. Jika kita menuruti aturan-aturan yang memang memberikan kemaslahatan bagi setiap orang. Tanpa harus mengorbankan aturan-aturan yang sudah ada dan sudah diterapkan dalam Islam. Hingga, aku harus bisa melakukan dan melaksanakan aplikasi peraturan yang sudah ditentukan. Karena peraturan itu adalah untuk kepentingan kemaslahatan bersama.
“Tluuut...Tliit....” Dering Hpku.
Aku langsung menekan tombol handsfree. “Ukhti Dewi” tertulis di LCD Hpku.
“Assalamualaikum Ukh!” Ucapku.
“Walaikumsalam”
“Gimana Ukh! Anti baik-baik saja?” Tanyaku langsung.
“Mbak. Ana bisa ketemu Mbak nggak, sekarang!” Ucapnya. Seperti memendam sesuatu dihatinya.
“Anti sekarang dimana?”
“Ana sekarang di kampus!”
“Ana jemput sekarang, gimana?” Tanyaku.
“Iya Mbak! Jemput didepan aja.”
“Iya. Ana langsung kesana! Assalamualaikum”
“Walaikumsalam!”
Setelah itu aku langsung saja aku menuju kampus Dewi. Sejenak, Nova terdiam. Terlihat dia bertanya-tanya.
“Ada apa, Nov?” Tanyaku. Disela-sela menyetir.
“Kita mau kemana, Far?” Nova terlihat agak bingung.
“Aku mau jemput adikku dulu! Dia sekarang lagi dikampusnya.” Ucapku dengan senyum.
“Hem. Kok kelihatannya ada masalah Far?”
“Insya Allah, semoga masalah itu bisa terselesaikan!”
“Benar. Berarti memang ada masalah!” Desak Nova.
“Masalahnya, sangat kompleks Nov!” Jawabku sekenanya.
“Far, apakah setiap muslim itu harus membantu saudaranya?” Tanya Nova. Seketika itu.
Aku mengangguk.
“Apakah, wajib?”
Aku hanya mengangguk. Sambil tersenyum, aku jelaskan. “Nov. Sesungguhnya, wajib bagi seorang muslim membantu saudaranya! Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda. ‘Laa yu’ minu akhadukum khatta yukhibba ilakiihi maa yukhibbu linafsih’ yang artinya. ‘Tidaklah sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.’ Jadi, jika ada seorang muslim yang memerlukan bantuan. Maka kewajiban muslim lainnya, adalah membantu!”
“Far. Aku salut. Aku benar-benar salut dengan semua aturan yang ditetapkan dalam Islam. Apalagi, sepertinya sangat mudah sekali seorang umat Islam menghafal AlQur’an. Bahkan perkataan seorang Nabinya pun. Terlihat sangat mudah dihafal!” Ucap Nova. Dengan mata yang berbinar-binar.
“Nov. Dalam Q.S. Al Hijr. Ayat 9. Allah berfirman. ‘Inna nakhnu najjalnaddzikra wa innalahu lakhafiduun’ Yang artinya. ‘Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan AlQuran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya’ Jadi Al Qur’an itu, benar-benar dijaga oleh Allah keaslihannya. Karena jaminannya penjagaannya dari Allah. Bagaimana Allah menjaganya? Pastilah dengan memudahkan penghafalan AlQur’an dan hadits-hadits, dan memudahkan lafal-lafalnya agar terlihat indah dan bermakna! Dengan salah satu cara seperti itulah, Allah memberikan penjagaan kepada Al Qur’an!”
“Sungguh, sangat mengesankan! Apakah kamu, bisa mengajari aku Far?” Tanya Nova. Terlihat berharap.
“Insya Allah!” Jawabku. Sambil tersenyum.
Kampus Dewi sudah terlihat. Aku tinggal memutar untuk bisa memasuki area depan kampus. Seseorang akhwat terlihat sedang duduk-duduk disalah satu halte bus. Sesegera mungkin aku langsung menghampirinya. Dengan tepat berhenti didepannya. Akhwat itu tersenyum. Dia adalah Dewi. Yang dengan wajah bingungnya setia menungguku.
“Assalamualaikum.” Ucapnya, sembari langsung membuka belakang mobil. Setelah tahu kalau kursi depan ada sudah berpenghuni.
“Walaikumsalam.” Jawabku, menyambut.
“Afwan Mbak, ana merepotkan Mbak lagi!” Ucapnya langsung.
“Ukhti. Ana nggak mau anti ngomong seperti itu! Ingat.” Ucapku menekankan.
“Iya, Mbak. Afwan.”
Setelah itu aku langsung menancap gas. Pergi meninggalkan halte bus.
“Gimana, Ukh? Apakah sudah ada titik terang?” Ucapku.
“Hem. Mbak, ana rasa masih sulit! Masih sangat sulit Mbak.” Dewi terlihat bingung.
“Yah! Memang sulit, Ukh! Tapi, anti tetap harus bersabar dan tetap memohon kepada Allah. Anti ingatkan...”
Dengan seketika itu pun. “BERSABAR DAN SHOLAT!” Ucapku dan Dewi. Bersamaan, dan lalu tersenyum.
“Insya Allah, Mbak! Pasti.” Ucap Dewi.
“Eh, iya. Ini kenalin, temanku Nova!” Ucapku.
Setelah Nova dan Dewi berkenalan. Tiba-tiba, Nova mengatakan.
“Mungkin, alangkah lebih baiknya jika aku duduk di belakang aja deh. Biar Dewi duduk didepan!”
“Nggak usah! Mbak. Biar Mbak Nova aja yang duduk didepan!” Ucap Dewi.
“Ah. Nggak enak! Kayaknya, yang pantas duduk didepan adalan Dewi.” Ucap Nova, sedikit berharap.
“Jangan, gitu Nov! Kamu tetap duduk didepan aja. Jangan ada perasaan seperti itu!” Ucapku.
“Tapi kelihatannya nggak enak banget, gitu loh!” Ucap Nova, dengan tersenyum.
“Bukan nggak enak Nov. Hanya kamu risih aja! Dikelilingi oleh para jilbabers kaya kita!” Ucapku. bercanda. “Kalau kamu duduk dibelakang. Malahan, kesannya kayak kamu itu aku culik!” Ucapku lanjut. Yang akhirnya membuat kami tertawa.
“Mbak Farah!” Panggil Dewi.
“Iya, Ukh!”
“Mbak, ana kemarin ditelephon sama penjahat-penjahat itu!” Ucap Dewi. Terlihat seperti gelisah.
“Iya? Lalu mereka bilang apa?” Tanyaku penasaran.
“Mereka tetap mengancam, Mbak! Ana takut. Tadi ana bilang sama nenek, kalau ana mau nginep dirumah teman. Ana, takut kalau para penjahat itu tahu rumah nenek. Ana nggak mau ada apa-apa dengan nenek, jika ana tetap tinggal dirumah nenek!”
“Kalau begitu, anti ikut ana! Kita sembunyi, ditempat yang Insya Allah tidak akan diketahui oleh mereka!”
“Baik!”
“Nanti anti, tinggal sama Nova! Biaya hidup, semua ana yang tanggung.” Ucapku tegas.
“Mbak, ana terlalu merepotkan!” Ucap Dewi.
“Iya. Far. Aku kayaknya sudah terlalu merepotkan kamu!” Sahut Nova.
“Kalian jangan ngomong begitu! Semua ini hanya karena Allah!” Ucapku.
Sejenak, suasana menjadi hening didalam mobil. Terhenyak. Kata-kata Rabb muncul dengan sendirinya. Dengan mudahnya, dan dengan kekuatan hati yang tulur untuk menyebutnya. Hingga, setiap yang mendengar pun. Harus tertunduk mengagumi-Nya.
“Tapi. Tetap ada syaratnya!” Ucapku, memecahkan keheningan.
“Apa, Far?” Tanya Nova.
“Iya, apa Mbak?” Sahut Dewi juga.
“Harus sering-sering, bersihin genteng and nguras sumur yah!” Ucapku, bercanda.
“Yee.....” serentak, jawaban yang tidak dikomando meluncur dari Nova dan Dewi.
Suasana pun kembali ceriah. Meskipun, terdapat aral-aral yang melintang didalam setiap diri Nova dan Dewi. Nova sendiri, sampai sekarang aku masih belum tahu. Masalah apa yang sedang menggelayuti hatinya. Hingga-hingga, dia harus lari dari rumahnya dengan kegalauan yang terpendam. Dan Dewi, entah bagaiaman perasaan hatinya sekarang. Masalah-masalah yang sangat berat, masih bercokol dalam hatinya. Mobilku pun terus melaju. Menuju tempat yang harus dituju. Tempat yang nyaman untuk dihuni. Yang dapat memberikan perasaan tenang para penghuninya. Yang dapat memberikan ketentraman, pada jiwa-jiwa yang berada didalamnya.
Tempat yang akan membuat setiap manusia rindu untuk memilikinya. Tetapi, rumah itu bukan tempat tinggal. Hanya rumah yang akan membina menjadi tempat tinggal idaman yang lainnya. Rumah yang akan memberikan keindahan kepada rumah-rumah berikutnya. Membuahkan rumah yang berisi kedamaian dan ketentraman dalam sebuah kehidupan. Karena rumah itu adalah, rumah yang memang diperuntukkan untuk berkhalwat dengan Yang Maha Memberi ketenangan. Allah SWT.
Saat-saat mobilku melaju dengan nyaman. Di jalan tol yang sedikit bergelombang. Menuju area puncak pegunungan. Indah, karena didepan adalah sebuah gunung berdiri dengan gagahnya. Tetapi tetap terasa panas. Tak disangka, aku melihat sebuah mobil sedan dari arah belakang. Melaju dengan sangat kencang.
Sering kali mobil itu membunyikan klakson. Seraya mengingatkanku untuk untuk minggir, memberi jalan untuk dia lewat. Aku pun, meminggirkan sedikit mobilku. Mempersilahkan mobil yang terburu-buru itu untuk melewatiku. Dengan cepat, mobil itu sudah sampai disamping mobilku. Kita pun melaju dengan kecepatan yang sama. Aku sedikit bingung dengan ulah pemudi itu. Kaca cendela pintu mobil pun terbuka. Terlihat seseorang berkacamata hitam, mengacungkan sebuah benda. Dan berteriak-teriak “CEPAT MINGGIR KAMU!”
Dengan sangat tercengang, aku melihat benda yang diacung-acungkan kepadaku. HA! PISTOL. Teriakku dalam hati “MBAK, DIA BAWA PISTOL!” Teriak Dewi keras.
Dengan cepat, aku pun menancap pedal gas lebih dalam lagi. Seketika itu pun, aku melesat cepat. Mobilku pun dengan cepatnya mendahului mereka. Terlihat dikaca spion belakang. Mereka pun, menancap gasnya. Berusaha mengejarku. Kejar-kejaran antara dua mobil pun berlangsung. Dewi terlihat sangat panik. Nova juga terlihat panik, tetapi masih terlihat bisa mengontrol diri.
“Bagaimana, ini? Apa yang harus kita lakukan?” Ucap Dewi. Bingung.
“Ukh. Telephon polisi! Barangkali, polisi nanti bisa menghadang mereka dipos tol selanjutnya!” Ucapku. Sedikit lebih memerintah.
“Jangan! Jangan lapor polisi. Aku nanti bisa celaka.” Ucap Nova.
“Lalu, sekarang apa yang harus kita lakukan?” Ucapku bingung. Sambil berkonsentrasi menyetir.
“Far, aku mohon. Jangan telephon polisi! Kamu harus bisa, lolos dari mereka. Kalau kita lapor polisi, maka aku akan kembali kerumah. Dan imanku taruhannya!” Ucapnya serius.
Aku sontak kaget dengan ucapan Nova. “Apa maksudmu, Nov?” Tanyaku.
“Far, pokoknya kamu harus bisa lolos dari mereka! Tekadku sudah bulat, aku mau menjadi seorang muslim. Mungkin mereka anak buah papaku, yang ingin membawaku kembali!” Ucap Nova.
Aku bagaikan mendengar sebuah guntur yang menggelegar. Perasaanku sangat tidak karuan. Rasa senang bercampur dengan kekalutan, kebingungan dan bahkan ketakutan. Tetapi, semua itu telah dikalahkan oleh rasa senangku yang mendalam. Aku harus bisa lolos dari mereka! Kataku dalam hati. Seketika itu pun aku langsung menancap gas lebih dalam lagi. Mobilku pun melaju cepat. Penjahat-penjahat itu pun, mengikutiku dengan kecepatan yang sama cepatnya denganku. Tak ayal, kejar-kejaran dalam kecepatan tinggi pun berlangsung. Beberapa kali, aku berkelit dari mobil para penjahat itu. Mereka, terlihat sangat terlatih dalam menjalankan rencana mereka. Sesekali, mereka hampir bisa memaksaku untuk keluar dari jalur tol. Tetapi, aku pun dengan sekuat tenaga. Dan dengan bantuan Allah, bisa menghindar dari sergapan mereka.
“DUA.....AAAAR” sebuah suara letusan pistol pun terdengar.
Aku panik. “APA ADA YANG TERKENA TEMBAKAN?” Teriakku. Kepada Nova dan Dewi.
“Aku nggak apa-apa Far!” Ucap Nova.
“Tenang, Mbak. Pelurunya hanya mengenai jok belakang. Ana nggak apa-apa!” Ucap
Dewi.
Hem. Kalian ingin mencoba merasakan kekuatan para mujahidah Allah yah! Gumamku dalam hati. Seraya mencengkramkan tanganku distir mobil. Dan dengan lebih dalam lagi, aku injak pedal gas mobil. Mobilku pun melaju dengan kecepatan yang tinggi. Para penjahat itu hanya bisa mengikutiku dari belakang. Dengan mendahului mobil-mobil yang ada didepanku. Aku pun, melesat cepat. Klakson pun, tidak lupa untuk aku kumandangkan. Memberitahukan tentang, kuatnya mujahidah Allah. Mobilku terus melesat cepat. Tetapi, saat aku sedang berada dijalur kanan. Sebuah truk menghalangi jalanku. Aku tidak bisa berbelok kekiri, karena ada sebuah bis. Kini aku diantara kedua kendaraan yang besar-besar itu. Aku terpojok. Dari kaca spion belakang. Aku pun melihat para penjahat itu dengan cepat menuju kearahku. Klakson pun aku bunyikan terus-terusan. Entahlah, mungkin supir bus jengkel. Hingga, dia pun mengklakson balik. Suara klakson yang memekakan telinga. Tetapi, dengan cepat pun. Bus itu melaju mendahului truk. Hingga akhirnya aku bisa langsung berbelok kearah kiri. Suasana begitu sangat menegangkan. Dari arah belakang, terlihat seorang penjahat yang berada dimobil sedan itu. Memempersiapkan tembakan berikutnya.
Aku tidak bisa langsung melaju cepat. Karena, aku kini terhalang oleh sebuah mobil jeep yang berada didepan. Ingin aku langsung membelokkan kearah kanan. Tetapi, sedan para penjahat itu pun. Melesat cepat. Langsung berada disamping kanan mobilku. Tepat disampingku, seorang penjahat menodongkan pistolnya kearahku. Kini aku tepat berada disamping pistol, yang diarahkan kepadaku. Dzikir pun selalu terucap dalam hati dan mulutku. Jantungku berdetak hebat. Tiada yang dapat aku lakukan lagi. Kini tinggal menunggu waktu yang tak pasti. Kematian yang akan aku hadapi. Hingga semoga, kesyahidan yang akan aku raih. Bukan, ini bukan syahid! Syahid bukanlah putus asa. Aku tidak boleh berputus asa, masih banyak jalan untuk bisa selamat dari cobaan ini! Aku harus bisa. Selama aku masih bisa melawan, maka aku harus melawan. Syahid bukan berarti berdiam diri menunggu ajal. TIDAK, AKU HARUS MELAWAN Teriakku dihati. Dan seketika itu pun, “CEPAT, PASANG SABUK PANGAMAN!” Teriakku. Pada Nova dan Dewi.
Entah, sepersekian detik. Aku langsung menginjak pedal rem dan mengaktifkan rem tangan dengan sangat keras. Mobilku pun berhenti seketika. Dan seketika itu pun, kami hampir terpelanting kedepan. Beruntung, Allah masih menyelamatkan kami, dan kami memakai sabuk pengaman. Alhamdulillah! Untung juga, tidak ada mobil yang persis berada dibelakangku. Para mobil penjahat itu pun, nyelonong mendahului mobilku. Sekilas, mereka menembakkan pistolnya. Dan Alhamdulillah, peluru itu tidak mengenai kami. Melesat entah kemana.
Dengan jantung yang masih berdegup keras. Aku langsung mengemudikan mobilku dengan kecepatan normal. Dan melaju dilajur kiri. Tetapi, tak disangka. Sedan penjahat itu melaju dengan cepat. Dari yang sebaliknya. Mereka menantang arus jalan. Mereka tepat dibagian kiri jalan. Tepat berada didepan kami. Aku sangat gugup. Mereka terlihat akan menabrakkan mobilnya. AKU HARUS BISA! Teriakku keras dalam hati. Dengan cepat pula, aku tancap pedal gas. Dan kami pun melesat cepat. Searah dengan para penjahat itu, mobilku pun terlihat siap untuk menantang mereka. Jarak kami pun sudah semakin dekat. Kami hampir akan bertabrakan. Jika para penjahat itu tidak membelokkan kesamping kiri jalan. Hem. Segitu saja nyali kalian! Kalian takut akan kematian. Sedangkan kami, memang mencari kematian itu! Kematian yang kami cari, adalah kematian berlandaskan perjuangan. Bukan bunuh diri, atau kekonyolan dalam kematian.
Terlihat dari kaca spion. Para penjahat itu membelokkan mobil mereka. Dan mereka pun langsung melesat menyusul kami. Pedal gas pun aku tancap. Dengan dzikir dan keberanian. Aku pun tidak takut akan maut yang akan menjemput. Jika memang waktunya menjemput. Tetapi, aku tidak akan pernah menyerah. Kejar-kejaran pun terjadi lagi. Dengan cepat, kami melesat. Diantara mobil-mobil yang lainnya. Begitu pula para penjahat. Mereka terlihat sangat berambisi untuk menghabisi kami. Entah, mereka sudah dibayar berapa. Sepertinya, bayaran mereka sama artinya dengan menebus nyawa mereka. Mereka tidak berfikir tentang neraka yang akan menghanguskan mereka. Mereka hanya memikirkan dunia, yang padahal hanya menipu mereka.
Suara mesin mobil sedan para penjahat begitu keras. Tidak seperti suara mesin mobilku yang tidak begitu terdengar. Meskipun kecepatan yang aku gunakan sangat cepat. Beberapa kali, para penjahat-penjahat itu hampir berada disampingku. Tetapi, jika aku menambah kecepatan. Mereka pasti tertinggal. Banyaknya mobil-mobil sering menguntungkan kami. Tetapi juga, tidak sedikit yang merugikan kami. Karena hampir-hampir, para penjahat itu mendapatkan kami.
Sebuah mobil, berada didepanku. Dan disamping kiri pun ada sebuah mobil yang menghalangi jalanku. Kini aku terpojok lagi. Klakson, aku bunyikan berulang-ulang.
Tetapi, mereka masih saja tidak bergeming. Mobil-mobil itu tidak menghiraukan klakson yang aku bunyikan. Dan seketika itu pun, sedan para penjahat itu sudah berada disamping kiriku. Setelah membuka cedela pintu mobil. Mereka tersenyum. Ada rasa kemenangan yang mereka rasakan. Kemenangan yang mereka kira akan membuat mereka menjadi seorang yang menang. Dari arah cendela pintu mobil yang ada dibelakang. Terlihat, seseorang menodongkan senjata laras panjang.
HA, itu adalah M16. Senjata yang telah membunuh para mujahid dan mujahidah.
Senjata yang dipakai oleh orang-orang yang bengis. Dan haus akan dara!. Senjata yang telah memberondongkan pelurusnya, hanya untuk kesenangan belaka. Untuk menujukkan kekuatan mereka. Padahal, mereka tak ubahnya senjata murahan yang akan tetap kami lawan. AKU BISA MENGHADAPI KALIAN!
Para penjahat itu, tertawa. Terlihat rasa kemenangan didiri-diri mereka. Mereka tak tahu akan kepastian kemenangan para tentara Allah. Hingga wajah-wajah mereka pun terlihat bengis dalam tatapan yang sangat haus akan kematian. Aku tanamkan dalam hati, AKU TIDAK TAKUT! ALLAH HU’AKBAR. Mereka sudah mengarahkan senjata laknat itu kepada kami. Hingga jika diberondongkan peluru-peluru itu. Paling tidak, ada satu peluru yang bisa mengenai kami. Aku ingin menghentikam mobilku. Tetapi, dibelakang pun ada sebuah mobil. Jika aku menghentikan mobilku, pasti aku akan tertabrak dari belakang dengan keras. Kini aku hanya berharap kepada Allah. Tanpa usaha apapun. Karena semua usaha yang aku lakukan pun, sudah sangat maksimal. Tinggal menunggu pertolongan, atau kesyahidan.
Saat mereka sudah siap akan menembakkan senjata itu. Dari arah tengah, muncul sebuah mobil Jeep yang besar. Langsung saja mobil itu, menghalangi bidikan mereka kepada kami. Ucapku syukur atas pertolongan-Nya. Tetapi yang aku herankan. Jeep itu dengan cepat dan keras. Membelokkan kemudinya kearah kiri. Kearah para penjahat itu.
“BRUUUAAAAKKK...” Langsung saja, mobil sedan para penjahat itu terpelanting kekiri.
Sedan para penjahat itu pun berhenti seketika dijalur kiri. Mereka terlihat tidak dapat meneruskan pengejaran untuk menangkapku. Jeep itu akhirnya berjalan pelan.
Terlihat seperti melindungiku. Ucapku syukur berkali-kali. Tiada kata yang pantas diucapkan selain pujian dan rasa syukur yang teramat dalam kepada Sang Maha Pelindung. Yang melindungi kami dari segala marabahaya. Yang dapat membinasakan kita karena kecongkakan dan kesombongan. Tetapi, sungguh Allah telah membuktikan janjinya. Janji untuk menolong para mujahid dan mujahidah. Para pejuang yang menegakkan ajaran agamanya. Menegakkan dan mengagungkan syari’at-Nya. Janji memberikan pertolongan, yang tak akan pernah kita duga.
Sungguh pertolongan yang tak terduga.
Aku pun dengan cepat meninggalkan arena pertempuranku. Arena yang membuat degup jantungku tak beraturan. Arena yang telah membuatku mengingat Allah dengan kepastian janjinya. Yang akan selalu aku rindukan kembali. Medan pertempuran dalam jihad abadi.
JILID 13
Jantungku masih berdegup kencang. Meskipun aroma pegunungan yang sejuk dan rindang terpancar dalam suasana. Masih belum bisa membuatku merasa tenang. Nova dan Dewi, sudah tertidur dalam kamar mereka masing-masing. Entah, mereka benar-benar tertidur karena kelelahan. Atau mereka masih menyimpan rasa ketakutan dalam mimpi-mimpi mereka. Wallahu’alam. Benar-benar sebuah situasi yang sangat mendebarkan. Tetapi, siapakah pengendara Jeep itu. Yang bersedia untuk mengorbankan diri untuk melindungiku. Apakah mereka, para jundi Allah? Atau hanya orang yang berempati saja melihat kami saat dalam kesusahan. Ah, entahlah! Pikirku. Bingung.
“Tluutt....Tluut” Dering Hpku. Abi
“Assalamualaikum, Bi!” Ucapku, setelah menekan tombol Call.
“Walaikumsalam! Zah sekarang ada dimana?” Tanya Abiku langsung. Terdengar seperti nada kegelisahan.
“Zah sekarang ada di Villa, Bi!”
“Besok, Zah pulang yah! Ada pertemuan keluarga. Ini tentang pernikahan Zah!”
“Hem. Baik Bi! Insya Allah, Zah pagi-pagi akan langsung pulang Bi!”
“Zah, disana sama siapa?” Tanya Abi penasaran.
“Sama Dewi, dan Nova! Zah, tadi siang hampir dibunuh oleh para penjahat itu Bi!” Ucapku. Dengan nada agak takut.
“Iya. Abi sudah tahu! Insya Allah, akan selalu ada pertolongan dari para jundi-jundi Allah. Zah tidak boleh takut! Ingat, Allah lah yang akan memberikan pertolongan kepada Zah. Maka tetap berserah kepada Allah! Beranikan diri untuk menghadapi peperangan dengan para musuh-musuh kebenaran.” Ucap Abi tegas.
“Abi, tahu dari mana?” Tanyaku penasaran.
“Zah, tidak perlu tahu. Siapa yang telah memberi tahu Abi! Pokoknya, Zah harus tetap tsabat dalam perjuangan.”
“Iya Bi. Insya Allah, Zah akan tetap teguh dalam perjuangan melawan para musuh-musuh kebenaran!” Ucapku.
“Ya sudah, Zah sekarang istirahat. Besok Zah pulang!” Ucap Abi.
“Iya, Bi. Insya Allah, ana besok pulang!”
“Ya. Hati-hati ya Zah! Assalamualaikum” Ucap Abi.
“Iya, Bi. Walaikumsalam.”
Nova, terlihat membuka pintu kamarnya. Dan langsung datang kearahku. Wajah kusutnya sudah mulai ceria. Semoga dia sudah melupakan kejadian tadi siang! Gumamku dalam hati. Dewi pun, terlihat membuka kamarnya. Dan langsung berjalan menuju kearahku. Mereka berdua langsung duduk, disampingku. Yang saat itu, aku sedang melihat siaran tv.
“Bagaimana, keadaan kamu Nov?” Tanyaku.
“Untunglah, sekarang agak mendingan! Udah nggak setakut waktu siang tadi.” Ujarnya.
“Kalau, anti gimana Ukh?” Tanyaku kepada Dewi.
“Alhamdulillah, ana juga baik-baik aja Mbak!” Jawabnya.
“Kita baru, mengalami kejadian yang mungkin baru pertama kali dalam masa hidup kita. Kejadian yang harus berkejar-kejeran dengan mobil yang saling menggunakan kecepatan tinggi. Kayak difilm-film. Tapi, hidup kita bukan sebuah film yang akan mengetahui menang dan kalahnya sebuah kebenaran. Kita masih hidup dalam kenyataan hidup kita.”
Sejenak suasana menjadi hening.
“Ehm. Gitu aje dipikirin! Pikirin noh, kite-kite ini mau mati masuk surge ape nerake? Nah, lu bedua tinggal pilih. Pan, sude ade pilihannye!” Candaku. Dengan dialek betawi.
Keceriaan kembali memuncar dalam diri kami masing-masing.
“Eh. Nov, kamu belum menceritakan tentang masalah kamu!” Ucapku. Meminta penjelasan.
“Hem. Iyah! Entahlah, sebenarnya ini masalah pribadiku sih. Tetapi, kalau kamu mengetahui. Aku akan menepati janjiku untuk menceritakannya.”
Nova menceritakan tentang permasalahan-permasalahannya. Decap kagumku, pun tertuju pada Nova. Ternyata, Nova sudah mempelajari Islam sejak lama. Hanya saja dia masih belum yakin dengan persoalan-persoalan dalam Islam yang beberapa membuat dia bingung. Hingga akhirnya dia melihat artikelku, yang ternyata sama dengan pertanyaannya selama ini. Sebuah jawaban yang tanpa harus ditanyakan. Setelah itu dia yakin dengan kebenaran Islam. Dan Nova pun, mengucapkan dua kalimat syahadat dengan disaksikan langsung oleh Allah SWT. Yang akhirnya, dia belajar sholat tanpa harus ada yang membimbing. Dia belajar mengaji, tanpa guru yang mengajarinya. Nova masih takut untuk memberitahukan identitas keislamannya.
Karena dia termasuk anak dari pembesar seorang pendeta didaerahnya. Hingga akhirnya, Nova terpergok saat sedang melakukan sholat maghrib. Oleh keluarganya. Dan, langsung dia dikurung dalam kamarnya. Hukuman-hukuman pun sering diberikan kepadanya. Bahkan Nova, pernah dipukuli habis-habisan oleh Papanya. Tetapi, dengan kekuatan keimanannya. Nova tetap, melakukan sholat meskipun didalam hati. Karena setiap waktu dia selalu dijaga oleh seorang bodyguard wanita, yang diberikan wewenang untuk menghajar Nova. Jika Nova diketahui melakukan sholat. Hingga Nova pun tidak bisa leluasa dalam melakukan sholatnya. Bahkan tidak bisa melakukan gerakan sholat. Sampai akhirnya, Nova memutuskan untuk lari dari rumah. Berbekal pertolongan dari Hendra. Seorang teman aktivis UK3nya. Meskipun Hendra tahu, kalau Nova sudah keluar dari agamanya. Tetapi, Hendra tetap mau memberikan bantuannya. Karena, bagi Hendra. Agama bukanlah sebuah keyakinan yang harus dipaksakan. Tetapi agama, adalah unsur yang membimbing manusia dari kehidupannya.
Hingga akhirnya, Nova pun bisa kabur dari tempat terlaknat itu. Setelah itu, dia memberanikan diri untuk menelephonku. Meminta bantuan seorang muslim yang lainnya. Meskipun saat itu dia ragu, apakah aku mau menolongnya apa tidak. Tetapi, saat aku bersedia menolongnya. Keyakinan dia pun semakin bertambah. Bahwa, seorang muslim memang mempunyai keterikatan yang erat dengan saudara muslim yang lainnya. Meskipun saat itu, dia belum mengatakan keimanannya kepada siapapun tentang kekuatan kepercayaannya terhadap Islam. Dia meyakini pertolongan Allah yang pasti akan datangnya. Sampai akhirnya, saat aku akan menjemput Dewi.
Dia menanyakan hal yang menurut Nova, adalah rasa persaudaraan yang sangat tinggi. Yang belum pernah dia temukan dan dapatkan dari agamnya yang terdahulu. Nova juga pernah menceritakan tentang cara-cara dia dahulu. Untuk memurtadkan orang Islam. Bahkan, Nova pernah menyamar sebagai seorang akhwat. Yang sedang membantu pengajian semu, didesa binaanku. Disebut pengajian semu, karena kyai yang diundang juga bukan kyai Islam. Tetapi, seorang pendeta yang mempelajari Islam. Dan akhirnya, menyamar sebagai seorang kyai. Dia pun menyamar sebagai seorang akhwat. Yang pada saat itu, hampir terpergoki oleh dua ikhwan aktivis LDK. Hingga akhirnya, dia merasa malu. Malu dengan cara-cara kotor yang dilakukannya. Hingga akhirnya, dia terketuk untuk mempelajari Islam lebih dalam. Dan memahami makna dan isinya. Untuk mengetahui sebuah pertanyaan yang dahulu pernah tertancap didalam hatinya. “Kenapa, kita sangat memusuhi umat Islam.
Hingga akhirnya kita pun seperti ingin menghanguskan ajaran mereka! Ada apa sebenarnya dengan ajaran mereka?”Dan akhirnya pun. Nova banyak sekali membeli buku-buku Islam. Dia mempelajari sendiri, dan mencari kesalahan dalam kebenaran-kebenaran agama Islam. Yang setelah sekian lama dia pelajari. Akhirnya, dia menumukan sebuah kesalahan terbesar bagi umat Islam. Yaitu, umat Islam sangat rapuh dalam kepercayaannya terhadap Tuhannya. Karena mereka tidak mengetahui kebenaran-kebenaran yang telah tersurat dan tersirat dalam ajaran Islam. Hingga akhirnya, umat Islam tidak mengetahui jati diri mereka yang sebenar-benarnya. Jati diri seorang muslim yang bisa dikatakan kebenaran dari seorang Muslim. Nova, terketuk hatinya.
Dengan kebenaran-kebenaran Islam. Yang pernah dia pertanyakan kebenarannya. Sampai akhirnya, Nova mengakui adanya kebenaran dalam Islam. Dan siap mengikuti apa-apa yang telah diataur dalam Islam. Hanya karena dia masih tinggal dengan orang tuanya. Dia takut menunjukkan jati dirinya sebenarnya. Yaitu, seorang mualaf.
Puncaknya, Nova kabur dari rumah. karena dia diancam dibunuh. Jika tidak mau kembali kepada ajaran agamanya yang lama. Dan Nova, yakin. Bahwa Papanya tidak akan tinggal diam jika Nova kabur dari rumah. Pasti, Papanya akan mencarinya kemana pun dia pergi. Dan Nova pun curiga, orang-orang yang hampir membunuh kami. Adalah suruhan dari Papanya.
“Sebenarnya sih! Aku tidak hanya bertanya kepadamu saja tentang Islam, Far! Tetapi aku juga pernah bertanya dengan seorang mantan ketua LDK. Khalid namanya! Pasti kamu kenal” Ucap Nova, seraya mengakhiri ceritanya.
Ah, ikhwan itu lagi! Sungguh benar-benar kuat dakwahnya! Ucapku dalam hati.
“Ehm. Mas Khalid yah?” Goda Dewi. Sambil melirikku.
Aku hanya melotot kearah Dewi, sambil mencubit pinggangnya.
“ADUH. Sakit Mbak!” Jerit Dewi.
“Ha! Ada apa nih?” Tanya Nova. Sedikit terlihat menyelidik.
“Nggak, ada apa-apa kok Nov!” Ucapku.
“Pasti, Khalid pacar kamu yah Far?” Selidik Nova.
“Astaghfirllah. Nov, dalam Islam kita dilarang untuk berpacaran! Karena itu akan membuat kemudharatan bagi diri kita sendiri!” Ucapku, tegas.
“Ih, gitu aja loh kok ngambek!” Ucap Nova. Terlihat mengejek.
“Iya. Dalam Islam nggak ada pacaran, yang ada langsung menikah kan Mbak!” Ujar Dewi, sambil melihatku. Terlihat menggoda.
“Ah. Kalian berdua ini, ngomongin apaan sih!”
Seketika itupun, kami tertawa.
Terlihat ada yang aneh dalam tatapan Nova. Tatapan mata yang terlihat cemburu.
Tetapi, terlihat sangat pasrah dengan apa yang nanti dia dapatkannya. Setelah itu. Ganti Dewi yang menceritakan permasalahannya. Menceritakan semua yang pernah kami hadapi. Termasuk saat-saat aku ditodong pistol tepat dikepalaku. Nova terlihat begitu kagum dengan keberanianku. Berkali-kali dia memujiku. Padahal keimananku tidak sebanding dengan apa yang diperkirakan Nova. Aku tidak begitu berani saat itu. Seberani aku melawan para penjahat-penjahat itu tadi siang. Dewi pun, berkali-kali sering memuji-mujiku. Aku menjadi sangat menderita dengan pujian-pujian yang diberikan oleh dua wanita ini. Pujian yang bisa menjatuhkanku kepada lembah kenistaan. Kenistaan rasa ujub, riya’ dan takabur yang kan menyebabkan masuknya aku kedalam jahanam. Tidaklah sebuah pujian yang berlebihan, membuat terlena seorang insan. Hingga dia harus masuk kedalam tungku panas yang membara, membakar tubuh dengan mudahnya. karena rasa ujub, riya’ dan takaburnya. Yaa Allah, lindungi aku dari itu semua!
Nova aku janjikan untuk dapat bersyahadat kembali. Dengan persaksian seorang ulama. Nova terlihat sangat gembira dengan apa yang aku janjikan. Serta tak lupa, aku akan mengajarinya tentang tatacara seorang muslimah dalam bergaul, berpakaian dan berakhidah serta tak lupa. Menjadikan Nova, menjadi seorang muslimah yang berakhlaq mulia. Insya Allah!
***
Aku langsung masuk kedalam rumah. Setelah seharian menyetir dari puncak sampai rumah. Jantungku berdegup, seiring langkah kakiku melangkah dalam setiap jengkal rumah ini. Perasaan yang tak menentu berada dihatiku. Senang, malu, takut semuanya membaur menjadi satu. Membaur dalam rasa hati yang begitu terpatri.
Entah bagaimana nanti, pertemuanku dengan seorang ikhwan. Dalam ikatan khitbah yang akan dilangsungkan. Senang, tetapi hatiku benar-benar berdegup kencang. Takut, tetapi begitu senang. Serasa aku merasakan kesanangan yang tiadatara. Kejadian-kejadian yang membuat pusing diriku. Kini menjadi tidak ada artinya. Semua bagaikan aku lupakan. Semua bagaikan cerita masa lalu yang sudah berakhir. Kini lembaran baru yang akan aku dapatkan. Lembaran pernikahan dengan seorang ikhwan. Seorang pejuang dan pujangga dakwah. Yang selalu teguh dalam jalan dakwahnya. Selalu bersamangat dalam jalan kebenaran-Nya. Meskipun tingkat hafalan Qur’an dan Sunnahnya tak seberapa. Tetapi, pemahaman dalam agamanya pun. Patut dipertimbangkan.
Seorang ikhwan yang bisa membuat hatiku luluh. Luluh karena sengatan energi dakwahnya. Sungguh, selama aku bergelut dalam aktivitas dakwah. Aku baru melihat seorang ikhwan yang mempunyai khans sendiri dalam gaya dakwahnya. Sifat seorang ikhwan yang tidak semaunya sendiri. Mempunyai kerendahan hati yang tinggi. Mampu memposisikan dirinya sebagai seorang yang berpengetahuan.
Adakalanya bersuara dalam kritikan. Tetapi adakalanya diam tanpa perlu berbicara apa-apa. Hanya untuk bisa menghormati orang lain. Semangat dakwah yang tinggi, yang selalu ingin memperbaiki diri. Mempunyai rasa persaudaraan yang tinggi. Tutur katanya pun sangat diatur agar tidak menyinggung atau bahkan menyakiti saudaranya yang lain. Ucapan kehormatan pun sering terlantun dalam mulutnya kepada senior-seniornya.
Tidak pernah dia menyebut nama seorang yang lebih tua darinya dengan hanya menyebutkan namanya saja. Bahkan menyebut nama seorang juniornya pun, dengan sangat ramah. Dia berusaha agar tidak menyakiti perasaan juniornya, saat dipanggilnya.
Sungguh beruntung jika memiliki ikhwan seperti Khalid. Tak semudah mendapatkan seorang ikhwan sepertinya. Banyak para ikhwan yang hanya mempelajari cara berdakwah dan berjuang dalam dakwah. Tetapi, sangatlah sedikit seorang ikhwan yang mengamalkan karakteristik dakwah dalam akhlaq yang dimiliki oleh Rasulullah. Akhlaq yang begitu mulia. Menjaga agar sesama saudaranya tidak tersinggung dengan apa-apa yang akan dilakukannya. Sungguh sangat jarang sekali.
Seharusnya itulah yang menjadi rujukan para pendakwah kita. Para mujahid dan mujahidah yang giat dalam dakwahnya. Tidak hanya asal dalam berdakwah. Yang dalam aktivitasnya hanya terlihat seremonial saja. Seperti halnya berjenggot, berjilbab besar dan lain sebagainya. Padahal akhlaq mereka belum terbina dengan benar. Belum tertarbiyah dengan bagus. Hingga akhirnya menjadikan mereka terlihat lebih eksklusif. Padahal dakwah mempunyai pembeda dalam kegiatannya. Mempunyai keluwesan dalam geraknya. Mempunyai ketepatan dalam keputusannya. Dan mempunyai keramahan dalam perbuatannya. Inilah yang seharusnya dimiliki oleh setiap para aktivis dakwah.
“Assalamualaikum.” Ucapku. Saat melihat Abi, Ummi dan Bunda sedang berkumpul diruang keluarga.
“Walaikumsalam!” Serentak jawaban salam tanpa dikomando. Abi langsung mendatangiku. “Zah, nggak apa-apa kan!” Bisik Abi.
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Abi terlihat khawatir, tetapi tidak ingin Ummi sampai mengetahui kekhawatirannya.
“Udah sekarang Zah nunggu sama Ummi dan Bunda. Menunggu sang mujahid, tiba!” Kata Abi. Menggoda.
Aku hanya sedikit manyun, sambil memperlihatkan kemanjaanku. Abi tersenyum.
Setelah itu aku langsung mencium tangan Ummi dan Bunda.
“Anti, dari mana saja?” Tanya Ummi.
“Zah, dari villa Mi. Nganterin Dewi, katanya pengen refreshing!”
“Hem. Sekarang, Dewi masih disana?” Tanya Ummi lagi.
“Iya. Dewi masih disana!”
“Anti, sudah siap kan?” Tanya Bunda. Sambil memegang pundakku.
“Insya Allah, Bunda!”
“Ingat. Kalau sudah berumah tangga, sifat kekanak-kanakannya harus dihilangkan. Manja sama suami, boleh. Tetapi, tidak boleh kekanak-kanakan!” Nasehat Ummi.
“Iya. Biasanya, suami itu paling seneng kalau para istri itu bermanja-manjaan dengan suami. Apalagi kalau suami yang dimanjain, pasti lebih seneng! Tetapi, suami juga biasa paling nggak seneng. Kalau istri terlalu kekanak-kanakan!” Bunda pun ikut menimpali nasehat.
Aku hanya bisa mengangguk. Sambil menundukkan pandangan. Jantungku semakin berdetak tak beraturan.
“Zah. Keluarga sudah sepakat, kalau nanti acara khitbahnya. Juga langsung akadnya!” Ucap Bunda.
HA! Aku langsung menatap Bunda. Bunda hanya tersenyum. Dan saat aku tatap Ummi. Ummi juga tersenyum, seraya menganggukkan kepala menyetujui apa yang diucapkan Ummi. Secepat inikah? Entah perasaan apa yang berada dibenakku. Rasa senang, takut, malu bercampur baur lebih dalam. Aku merasakan ada rasa kesenangan yang sangat tinggi, tetapi rasa takut itu pun tak kalah tingginya. Ummi menggengam tanganku. Lalu mengatakan “Zah, melangsungkan pernikahan dengan cepat itu lebih baik, daripada mengulur-ngulur waktu pernikahan! Ummi sudah sangat setuju, saat Bunda memberitahukan ikhwan yang bernama Khalid itu! Meskipun, Khalid bukanlah orang kaya. Tetapi keluarga kita memandang Khalid sebagai pejuang dakwah. Karena itu lebih mulia ketimbang kekayaan yang berlimpah.”
Setetes bening kristal berjatuhan dari mataku. Derai kristal yang mencair dimataku pun bertautan menyembur keluar. Aku langsung memeluk Ummi. Tiada kata yang dapat aku ucapkan. Selain ucapan terima kasih yang besar terhadap kedua orang tuaku. Entah kenapa haru itu begitu menggebu ingin menunjukkan eksistensinya pada tangisku. Aku benar-benar bersyukur, mempunyai keluarga yang begitu mengerti tentang kebutuhan anaknya. Tidak ada paksaan, tidak ada ancaman. Yang ada hanya pilihan untuk mengerjakan kebaikan. Kekayaan yang aku miliki, tidak sebanding dengan kenikmatan mempunyai keluarga yang begitu mengerti.
Aku sangat kaget. Rencananya hanya melangsungkan acara khitbah. Malahan, menjadi akad nikah. Sungguh berita yang menggembirakan buatku. Tiada rintangan terjal dalam keluargaku untuk menggapai sang pejuang dan pujangga dakwah. Kini seorang mujahid itu akan menjadi milikku. Aku akan mempunyai seorang pelindung yang akan selalu menyertaiku dalam setiap dakwahku. Seorang mujahid yang dihadiahkan Allah, hanya untukku. Yang akan selalu bersama-sama dalam menjalani medan dakwah. Yang akan selalu memperbaiki diri dalam setiap jalan-Nya. Yang akan selalu saling memberikan motivasi untuk perjuangan dakwah. Perjuangan yang
tidak akan mudah untuk dihadapi. Meskipun, sulit. Tetapi jika dijalani bersama, maka kenikmatan dalam berdakwah pun akan begitu terasa. Tidak persoalan yang tidak terselesaikan. Berat atau pun ringan sebuah persoalan, jika dipikirkan berdua dengan suami. Maka semua persoalan itu akan mudah untuk diselesaikan. Insya Allah!
“Assalamualaikum!”
Terdengar suara salam. Ammi! Pikirku. Pasti, Ammi membawa Akhi Khalid. Detak jantungku pun, semakin tak karuan. Rasa senang datang, tetapi masih ada rasa malu dan ketakutan. Lututku serasa lemas, sulit untuk digerakkan. Aku ingin berkata, tetapi mulut ini keluh untuk mengucapkan sepatah kata.
Ummi melihatku dengan tatapan sayang. Dipegang tanganku dengan remasan jari jemarinya. Menyiratkan tentang kekuatan. Aku hanya tersenyum. Tetapi entahlah, senyumanku sepertinya keluh.
Terdengar lamat-lamat. Pembicaraan Abi dengan Ammi, Ustad Fadlan. Sekali terdengar tawa. Badanku semakin lemas, seiring dengan detak jantung yang tak beraturan. Aku akan menikah sekarang! Hari ini juga, aku akan menikah dengan seorang ikhwan yang memang aku impikan. Apakah ini bukan mimpi? Jika ini benar-benar mimpi, jangan bangunkan aku!
“Farah, Anakku.” Panggil Abi.
Suara Abi yang memanggil kami, mengagetkanku.
“Iya, Abi!” Jawabku.
“Bagaimana? Sudah siap!” Tanya Abi.
“Sudah, Abi! Ana sudah siap.” Jawabku.
“Assalamualaikum! Maaf saya terlambat!” Ucap seseorang yang terdengar baru masuk ruangan.
“Walaikumsalam! Anda datang pada waktu yang tepat.” Ucap Abi. “Khalid, ini adalah petugas dari KUA. Yang akan mengurus pernikahan kalian sekarang juga termasuk sekaligus dari penghulu kalian!” Jelas Abi.
“Baik. Kalau semua sudah siap!” ucap penghulu itu. “saya harap untuk pengantin wanita dan prianya duduk didepan saya. Untuk saksi dari laki-laki, silakan duduk disebelah kiri saya. Dan untuk wali dari perempuan, silakan duduk disebelah kanan saya.”
HA! Aku harus duduk disamping Akh Khalid. Aku sedikit tergagap. Lututku terasa sedikit lemas untuk bisa melangkahkan kaki ini. Jantungku berdegup sangat kencang.
Aku tidak pernah membayangkan sampai sejauh ini. Apalagi membayangkan duduk bersanding dengan Khalid. Jantungku terus berdegup tak beraturan. Dengan berdzikir, aku terus menundukkan pandangan. Hingga penghulu itu mengatakan. “Baik, tirukan kata-kata saya!” ucap penghulu itu.
“Dengan ini, saya Khalid Hendriansyah, menikahi Farah Zahrani binti Hanafi Iqbal dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan buku skripsi.”
Sambil bersalaman dengan Abi. Khalid melafalkan ucapan sakral itu. “Dengan ini, saya Khalid Hendriansyah, menikahi Farah Zahrani binti Hanafi Iqbal….”
Khalid terlihat sangat gugup. Hingga dia tidak bisa mengatakan kalimat sakral itu.
“Baik kita ulangi sekali lagi.” Ucap Penghulu itu. “Dengan ini, saya Khalid Hendriansyah, menikahi Farah Zahrani binti Hanafi Iqbal dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan buku skripsi.”
“Dengan ini, saya Khalid Hendriansyah, menikahi Farah Zahrani binti Hanafi Iqbahl dengan mas kawin….” Khalid benar-benar gugup. Dia tidak dapat melafalkannya dengan lancar.
Seketika itu. Suasana menjadi hening.
“Hem…! Alhamdulillah” sela ustad Fadlan. Mengagetkan. “Alhamdulillah, dengan begini kita tahu. Bahwa Khalid memang belum pernah menikah!”
Tawa pun meledak dari ruangan ini. Tetapi aku sendiri tertunduk malu. Aku malu untuk menertawakan calon suamiku. Meskipun aku juga ingin tertawa, tetapi aku malu jika aku tertawa. Maka aku menertawakan diriku sendiri.
“Khalid, tenanglah. Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu!” Ucap Abi. Dengan kebijaksanaannya.
“Bagaimana? Mau diulang?” Ucap Penghulu itu.
Ya pasti mau dong. Masa nggak diulang sih! Kalau nggak diulang kan nggak sah. Nah kalau nggak sah batal nikahnya. Hem, enaknya! Hihi... Gumamku.
Terlihat dan terdengar lirih, Khalid mengucapkan “Bismillah”
“Baik, kita ulang.” Ucap Penghulu itu lagi. “Dengan ini, saya Khalid Hendriansyah, menikahi Farah Zahrani binti Hanafi Iqbal dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan buku skripsi.”
“Dengan ini, saya Khalid Hendriansyah, menikahi Farah Zahrani binti Hanafi Iqbal dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan buku skripsi.” Ucap Khalid lancar.
Alhamdulillah. Terasa plong dihati. Bagaikan terlepas dari belenggu yang merantaiku selama puluhan tahun. Tetapi, jantungku masih berdegup tak karuan. Selanjutnya Penghulu itu mempersilahkan Abi untuk mengikuti kata-katanya. “Untuk wali pengantin wanita, tolong tirukan saya. Saya terima nikahnya anak saya yang bernama Farah Zahrani dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan buku skripsi.”
Seketika itu pandangan ustad Hanafi kepadaku terlihat sangat serius. Abi Hanafi memegang tangan Khalid erat. Seraya mengatakan Aku serahkan anakku, untuk berjuang bersamamu. Jagalah ia, jangan kau sakiti dia.
“Saya resmikan pernikahan pasangan pengantin ini.” Ucap Penghulu.
Alhamdulillah. Semua sudah berakhir. Masa sendiriku kini telah berubah. Dakwahku kian bertambah. Semangatku kian memuncar, dengan adanya suami disisiku.
Alhamdulillah Yaa Allah. Kuatkanlah hati kami untuk selalu berpegang tegu kepada tali ajaran-Mu.
Terlihat tetesan air mata mengalir dari sendu dari suamiku. Khalid. Entah apa yang membuatnya meneteskan air matanya. Kebahagiaankah?
“Anakku, sekarang engkau resmi menjadi suami dari anakku. Apakah yang engkau risaukan sekarang!” Tanya Abi, kepada Suamiku.
“Ustad, sungguh ana sangat berbahagia sekali menikahi seorang bidadari. Tidak pernah terlintas sedikitpun rasa kecewa. Tetapi Ustad, sayangnya kebahagiaan ana tidak dapat dirasakan oleh kedua orang tua ana yang berada didesa.” Ucapnya.
Selintas derai air mataku pun mengalir. Rasa haruku menyaksikan seorang anak yang begitu menyayangi kedua orang tuanya. Aku tidak tega untuk melihat suamiku menangis. Spontan aku memalingkan muka dengan tertunduk. Suamiku, sungguh engkau benar-benar seorang ikhwan dambaanku!
“Anakku, janganlah kamu memanggilku dengan sebutan Ustad! Aku lebih senang jika engkau memanggil Abi! Anakku, kebahagian anak adalah kebahagian orang tua. Abi yakin, orang tua antum disana sangat berbahagia. Meskipun tidak menyaksikan kebahagiaanmu, tapi Abi yakin. Mereka sekarang juga merasakan kebahagiaan itu.” Jelas Abi bijaksana.
Derai air mataku semakin menjadi. Mendengar ungkapan Abi. Sungguh aku tidak bisa membayangkan, jika aku menikah tanpa disaksikan oleh orang tuaku. Pastilah amat menyakitkan.
Jilid 14
“Akhi!” Panggilku dengan lembut. Entah aku bingung harus memanggil apa. Serasa aku malu untuk mengucapkannya.
“Iya Istriku!” Jawab Suamiku.
“Apa boleh, ana memanggil antum Kanda!” Ucapku. Dengan keberanian dari rasa malu yang tinggi untuk mengucapkannya.
“Tafadhol! Anti mau panggil ana apa aja. Ana senang kok. Selama yang memanggil adalah anti!” rayu Suamiku.
Subhanallah. Suamiku sudah bisa merayuku. Dahulu dia begitu dingin terhadapku.
Bahkan untuk menatapku dia sangat malu. Sekarang, dia merayuku! Oh, sungguh benar-benar indah tali pernikahan itu.
“Dinda! Apakah anti senang menikah dengan ana?” Tanya Suamiku.
Kanda, jika seandainya antum tahu betapa besar rasa cinta ana kepada antum! Pasti antum tidak akan pernah menanyakan pertanyaan itu! Gumamku dalam hati. Aku hanya tersenyum. Lalu memegang tangan Suamiku. Aku mencium tangan kanannya, lalu aku sentuhkan tangannya dipipiku seraya membelai lembut dipipiku. Sungguh indah.
“Dinda. Ana mau tanya!” Katanya. Terlihat hanya ingin membuka percakapan.
“Apa itu, Kanda?”
“Dinda. Ana bingung dengan pernikahan kita? Sangat cepat. Ana kaget!” Ucapnya yang memang terlihat bingung.
Aku tersenyum. “Kanda, mungkin antum ingat bahwa menyegerakan pernikahan itu adalah hal yang terbaik. Tetapi memang bukan terburu-buru. Apakah antum ingat. Bahwa dalam hadist. Rasulullah bersabda. ‘Jika datang kepada kalian orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika kalian tidak melakukannya, maka akan menjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.’ Ana dan Ustad Fadlan, meyakinkan Abi. Bahwa antum adalah seorang yang benar-benar dapat dipercaya. Dan sesungguhnya ana sudah lama mencintai antum. Tapi ana ingin menutupi semuanya. Ana malu terhadap Allah. Karena ana mencintai ikhwan yang seharusnya tidak berada di hati ana. Tetapi kini kanda sudah menjadi suami ana” jelasku sedikit manja, sambil menyandarkan kepala didada suamiku.
“Dinda ana juga sangat mencintai antum. Alhamdulillah, Allah benar-benar mengabulkan doa ana untuk memiliki salah satu bidadari-Nya.” Katanya dengan membelai kepalaku yang masih terbalut jilbabnya.
“Kanda, ana sangat mencintai antum” ucapku dengan manja.
“Ana juga mencinta anti, sayang!”
Seketika itu pun, Suamiku langsung memelukku. Aku malu. Langsung saja aku mematikan lampu kamar.
***
Aku belai mesra wajah suamiku. Sungguh aku sangat beruntung mendapatkannya. Disaat-saat tidur pun, wajahnya sangat indah. Yaa Allah terima kasih, engkau memberikan mujahidmu kepadaku!
“Kanda. Bangun!” Ucapku lembut dan lirih.
Sedikit demi sedikit mata Suamiku terbuka. Terlihat dia sangat menikmati belaian kemesraanku. Sedikit kecupan mesra dikeningnya, aku hadiahkan kepada suamiku.
“Kanda, sayang. Bangun. Sudah Shubuh! Kanda mandi dulu ya!” Ucapku lembut.
“Mandi, ya sayang! Kalau mandi berdua, gimana?” Godanya.
“Ih, sudah berani nakal ya sekarang!” Ucapku. Sambil mencubit hidungnya. Lalu menariknya dari kasur. Selesai sholat shubuh kami berjalan-jalan di taman kompleks. Sangat menyenangkan. Karena aku bisa berjalan mesra dengan Suamiku. Tak lupa disertai cubitan-cubitan mesra diantara kami berdua. Mungkin itu yang membuat iri beberapa burung pipit yang melihat kami berdua. Beriak dan berarak kicau meraka. Sangat menambah kemesran kami berdua. Sepertinya burung-burung itu, mengelu-elukan kami berdua.Tetapi aku tetap harus bisa menjaga image dihadapan kedua orang tauku. Sebenarnya sich, biar nggak malu. Belum pernah aku sebahagia ini.
***
“Dinda. Kanda balik dulu kekontrakan yach! Ana mau mengambil beberapa barangbarang ana yang ada disana!” Ucap Suamiku mesra.
“Dinda, Ikut!” Ucapku manja.
“Dinda, sayang. Jangan dulu! Setelah walimatul. Baru anti bisa ana ajak kemanamana. Biar nggak terjadi fitnah maksud ana!”
“Tapi, Dinda pengen disamping Kanda terus!” Rayuku manja. Sambil memegang lengan kanan Suamiku.
“Sayang. Kanda nggak lama kok! Nanti juga balik lagi.” Katanya sembari membelai mesra pipiku yang lembut.
“Iya udah. Tapi Kanda, ana yang ngantar Kanda ya! Ana nggak mau, Kanda berjalan kaki!” Ucapku Manja.
“Hem… sayang. Berjalan kaki itu kan kebiasaan Kanda! Ana nggak, ujug-ujug setelah menikah dengan anti langsung lupa dengan kebiasaan” Ucapnya dengan senyum.
“Tapi, Kanda. Ana nggak mau, melihat Kanda capek!” Ucapku dengan manja.
“Insya Allah, Kanda nggak akan capek-capek banget kok! Paling-paling kalau capek, kan ada Dinda yang mijitin!”
Aku tersenyum simpul sambil memeluknya. “Ya, udah! Kanda kan nggak punya HP. Ana beliin nih buat Kanda!” Sambil aku tunjukkan Siemens yang terbaru. “Kanda nggak boleh menolak. Karena ini adalah pemberian istri, Kanda!” Ucapku sedikit memaksa.
Suamiku hanya tersenyum. Sambil menganggukkan kepalanya. Lalu mencubit mesra daguku. Indah.
***
“Tluutt....Tluutt...!” Dering Hpku. Ukhti Dewi tertulis dilayar LCD Hp.
“Assalamualaikum, Ukh!”
“Walaikumsalam, Mbak!”
“Ada apa, Ukh?” Tanyaku khawatir.
“Mbak, ana mau tanya. Kami boleh memasak nggak Mbak disini!”
“Hihi... Anti kayak bukan rumah sendiri aja! Ya tentu boleh dong.”
“Ok. Syukron Mbak!”
“Kalau anti kehabisan uang, telphon ana yah!” Ucapku.
“Insya Allah, Mbak! Ana sudah terlalu merepotkan Mbak Fara.”
“Nggak kok. Justru kalau Anti nggak merepotkan ana, malah ana yang bingung. Hehe..!” Candaku.
“Mbak Farah, bisa aja!”
“Nova bagaimana, baik-baik aja kan!”
“Alhamdulillah, Mbak Nova baik-baik aja! Sekarang lagi belajar membaca AlQur’an.”
“Alhamdulillah. Kita harus melindunginya Ukh!”
“Iya, Mbak. Pasti! Ya sudah Mbak, segitu dulu. Ana mau memasak dulu!”
“Ok. Yang enak yah!”
“Siip... Dah Mbak Farah. Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam.”
Memasak! Hem, sebuah tugas yang penting dilakukan seorang Istri. Aku memasak dulu ah, buat suami tercinta! Gumamku dalam hati. Sambil tersenyum senang. Tapi, seketika itu pun, entah kenapa. Kerinduanku kepada Suamiku begitu besar. Padahal, baru saja ditinggal. Entahlah, rasa sayangku begitu besar kepadanya. Aku benar-benar mencintainya. Aku ambil Hpku. Aku tuliskan Sms, untuk Suamiku. Kanda, ana kangen. Kanda kangen nggak sama Dinda?. Langsung saja aku kirim.
“SMS, dikirim”
Setelah itu aku langsung memasuki dapur. Ruang yang hanya aku gunakan kalau sedang ingin memasuki saja. Tetapi kini aku harus selalu memasukinya. Harus selalu memasak demi Suami tercinta. Selintas setelah masuk kedapur. Aku bingung, mau masak apa. Dan bahan-bahan apa aja perlu aku persiapkan untuk memasak. Hem ini kesalahanku, kenapa aku tidak pernah meminta Ummi atau Bi Iyem mengajari aku memasak! Huh, sulit juga jadi Ibu rumah tangga. Kalau aku beli masakan diluar, kayaknya nggak etis deh! Masa suamiku makan masakannya orang lain sih! Benar-benar sebuah kesalahan yang besar. Harusnya memang aku bisa memasak, toh memasak juga termasuk berdakwah. Berdakwah menjadi ibu rumah tangga yang baik, dan menjadi seorang istri yang sangat dicintai oleh suaminya. Entah, sekarang aku sangat bingung!
Ummi datang menghampiriku. Seraya tahu akan kegundahanku.
“Zah, ingin memasak yah!” Ucap Ummi dengan lembut.
“Iya..!” Ucapku sendu.
“Apa kata Ummi, dulu. Anti akan bingung jika nggak bisa memasak! Malah anti bilang, pengen beli makanan diluar saja!”
“Iya, Mi. Itukan dulu. Sekarang kan berbeda!” Ucapku, masih dengan kemanjaan.
“Hem. Ya sama aja!”
“Ummi...!”
“Ya, udah. Ayo kita memasak sekarang!” Ajak Ummi bijaksana.
Entah apa yang terlihat diwajahku. Pokoknya, aku benar-benar senang sekali. Kesenangan seorang istri yang mendapatkan kemudahan dalam belajar memasak. Beberapa bahan-bahan memasak, yang aku tidak kenali. Sedikit demi sedikit sudah aku kenali dengan baik. Memasak ternyata menyenangkan. Hanya karena aku malas belajar saja, sehingga dulu aku anggap memasak itu membosankan. Padahal, memasak bagaikan ilmu yang pasti dapat kita ketahui. Dan hasilnya pun, dapat kita ketahui kenikmatannya. Enak apa nggak enak. Itulah yang menjadi hasil seorang yang memasak. Jika enak, berarti dia suda berhasil mempelajari cara memasak dengan baik. Tetapi, jika nggak enak berarti harus belajar lebih giat lagi dalam mempelajari cara memasak.
Semua masakan sudah matang. Tinggal menyediakannya saja. Aku langsung menghidangkannya dimeja makan. Hari pertama memasak, spesial untuk sang suami. Menyenangkan. Kini tinggal menunggu datangnya Suami tercinta.
“Assalamualaikum.” Terdengar ucapan salam.
Suamiku datang! Dengan bergegas aku langsung menyambutnya. “Walaikumsalam. Kanda… lama banget sich!” sergahku. Sambil berlari memeluknya.
“Kanda kan nggak lama-lama banget, sayang.” Jawab suamiku. Sambil senyum, tak lupa untuk mencubit sayang hidungku.
“Wah… yang pengantin baru. Mesra banget!” Goda Ummi. Mengagetkan kami berdua.
“Ummi… jangan gitu dong! Kan Farah jadi malu.” Ujarku, sambil ganti memeluk Ummi.
Ummi tersenyum. “Khalid, antum udah makan siang?”
Terlihat ada rasa malu pada diri Suamiku. Untuk menjawab pertanyaan Ummi. Hanya anggukan kepalanya saja yang dia berikan.
“Kanda, gimana sich! Ana kan nunggu Kanda. Kok malah makan diluar! Kanda kan udah punya rumah. Kalau mau makan ya dirumah. Nggak boleh diluar. Kalau makan diluar itu, ajak-ajak Dinda. Huh!” Kataku sedikit kesal.
“hehe… ana baru tahu kalau dinda cerewet!” ucapnya sambil senyum. Tak lupa membelai pipiku.
“Khalid, antum belum tahu! Kalau Farah anaknya cerewet banget?” Kata Ummi sambil tersenyum.
“Ummi… buka rahasia aja!” Kataku. Sambil memeluk Ummi dari belakang. “Kalau gitu Kanda tetap harus makan dirumah! Dinda udah siapin semuanya dimeja makan!”
“Hem… disiapin apa disuapin.” Kata Suamiku sambil tersenyum.
“Maunya…?” Godaku.
Setelah itu aku langsung menggandeng tangan suamiku. Mengajaknya keruang makan.Saat kami sedang makan. Aku menatap Suamiku. Entah kenapa, aku begitu haru saat menatapnya.
Tak seberapa lama. “Kanda. Apakah Kanda mencintai Dinda?” Ucapku.
Suamiku hanya diam. Menatapku dalam tatapan yang terlihat penuh dengan rasa cintanya. Tapi aku belum puas jika hanya tatapan itu yang diberikannya.
“Kanda… jawab dong!” Kataku kesal. Karena melihat Suamiku diam saja. Suamiku tersenyum. Entahlah, saat dia tersenyum rasanya begitu dalam menusuk hatiku. “Dinda. Kenapa anti menanyakan itu! Padahal, nyata-nyata Allah telah memberikan bidadari tercantik didunia ini kepada ana. Ana tidak akan pernah, tidak mencintai anti! Sungguh Allah telah memberikan rasa cinta yang teramat dalam kepada ana, untuk mencintai anti!”
“Tapi, Kanda. Kenapa Kanda, masih malu-malu terhadap ana. Dan juga, kenapa Kanda tidak menjadikan rumah ini adalah rumah Kanda juga? Ana tadi melihat raut muka Kanda. Kanda malu untuk mengatakan, sesuatu. Kanda malu untuk makan bersama dirumah ini!” Ucapku serius.
“Afwan Dinda. Ana memang malu tadi! Ana belum memberikan nafkah sama sekali kepada anti!” Suamiku tertunduk lesu. Dengan masih memegang sendok dan garpunya.
“Ana ikhlas. Antum memang belum dapat memberikan nafkah kepada ana saat ini!
Tetapi ana merasa antum telah memberikan nafkah batin ana dengan sangat berlebih.” Aku sedikit menarik nafas dalam-dalam. “Kanda. Ana sayang sekali sama Kanda! Ana sudah tidak butuh lagi materi. Insya Allah, ana sudah sangat berlebih untuk materi. Meskipun Kanda, hanya memberikan ana uang seribu rupiah saja. Ana rasa, Kanda telah memberikan nafkah materi yang sudah berlebih kepada ana.”
Suamiku hanya menggangguk. “Hem… kalau limar ratus rupiah gimana?” Godanya.
“Yee… nawar!” Ucapku. Aku menghela nafas sambil menundukkan kepala. “Kanda. Ana nggak mau antum seperti tadi! Kanda harus ingat, semua yang ada disini adalah keluarga Kanda! Kita bukan orang lain!”
“Insya Allah. Iya Dinda! Ana juga merasa bahwa ana berada dirumah sendiri. Ana merasakan kehangatan keluarga, dirumah Dinda.” Suamiku tersenyum. “Ini Dinda yang masak yach?” Selanya.
“Yee… kok mengalihkan perhatian sich!” Ucapku sewot. “Iya ini ana yang masak! Khusus special buat antum!” Jawabku kalem. Sambil senyum simpul.
“Hem, pantes!”
“Pantes? kenapa? Ada yang salah? Nggak enak yach!” Aku kaget dan agak bingung. Aku takut kalau masakanku tidak enak.
“Hem… enak sich! Lebih enak lagi, kalau Dinda belajar memasak lagi! Hehe…” Jawabnya.
Aku memeluk suami, lalu berkata. “Afwan ya Kanda, kalau masakan ana nggak enak. Ana memang baru belajar memasak!”
“Nah. kalau begini masakan anti lebih enak lagi.” Ucapnya.
“Yee… maunya!” Ucapku sambil melepaskan pelukan. Lalu berganti dengan mencubitan.
Selesai makan kami pun membahas masalah konsep-konsep walimatul pernikahan kami. Termasuk dalam masalah musik. Kami memang harus benar-benar sangat selektif dalam memilih musik-musik yang akan ditampilkan. Yah, nasyid memang pilihan terbaik kami. Tetapi, lucu juga. Suamiku mempunyai usul yang agak konyol. Mintanya diputar nasyid yang bertema harroki.
”Nanti bukan dikira nikahan. Malah dikira mau demonstrasi! Atau yang lebih parah. Dikira ngomporin orang untuk berjihad.” Ucapku Kenikmatan tersendiri, mempunyai seorang Suami. Yang bisa mengerti dan menyayangi dengan kelembutan perilakunya. Jalan dakwah menjadi lebih ringan saat-saat kita mempunyai seorang yang dapat memberikan pengayoman dalam kelembutan.
***
Pesta pernikahan yang kami selenggarakan, mungkin terlihat tidak meriah. Tetapi, mempunyai kesan tersendiri bagi kami berdua. Bukan kemeriahann pesta yang kami harapkan. Tetapi keridhoan Allah lah yang kita cari. Dan alangkah lebih baik lagi, jika dana alokasi pernikahan bisa dibuat untuk memberikan santunan kepada para orang-orang yang belum beruntung. Daripada harus menciptakan pesta pernikahan dengan besar, tetapi kita mengacuhkan orang-orang yang tidak beruntung disekitar kita.
Beberapa teman-temanku hadir. Mereka pun ikut membantu dalam pelaksanaan pesta pernikahanku. Senang rasanya! Tetapi, mata ini melihat seorang ikhwan yang menatapku dengan tajam. Dia berjalan kearahku, padahal sudah ada hijab untuk wanita dan laki-laki. Tetapi, dia tetap berjalan kearahku. Dengan cepat pun, aku langsung memanggil Suamiku. Dengan hanya memberikan isyarat agar Suamiku mendekat. Dengan cepat suamiku langsung mendekat kearahku. Lutfi, seorang ikhwan yang menatap tajam kearahku. Masih berjalan kearahku. Ada gundah dan aral yang mengganjal hatinya. Atau bahkan amarah yang memuncak berada dikepalanya. Dia semakin mendekat. Suamiku terlihat mengetahui gelagat kerisauanku. “Sabarlah, Adinda. Tak akan lama!” Bisiknya lembut.
Aku hanya mengangguk.
Lutfi datang menyalami suamiku dengan tatapan amarahnya. “Kau beruntung, mendapatkan seorang wanita seperti Farah! Tapi, ingat. Tidaklah aku akan berhenti begitu saja membiarkan kebahagian kalian.” Ucapnya penuh benci.
Suamiku tersenyum. “Sungguh ujian terberat, adalah menikah dengan seorang bidadari! Sungguh cobaan yang kuat manakalah hati tidak bertautan dengan keimanan. Lisan berucap benar, hati mengikari kebenaran. Sungguh besar adzab Allah yang akan diberikan! Kita harus menerima sebuah keputusan, seperti menerima sebuah kemenangan. Berat rasanya jika menerima keputusan jika tidak berkenan dihati kita. Tetapi lebih berat menerima kemenangan, yang disitu terselip kesombongan!” Ucap Suamiku dengan masih menjabat tangan Lutfi.
Seketika itupun, Lutfi tertunduk. Ada haru diwajahnya. “Ukhti, sungguh anti memilih seorang ikhwan yang tepat!” Ucapnya. Dan berlalu meninggalkan kami tanpa berpamitan. Terselip sebuah penyesalan dalam dirinya. Penyesalan telah lalai dari aturan Tuhannya.
Suamiku tersenyum kepadaku, senyumnya lembut. Ada sebuah keikhlasan dihatinya. Sebuah rasa yang jarang dimiliki oleh manusia.
“Kanda. Apakah Kanda cemburu?” Tanyaku.
“Sebenarnya ana cemburu, tetapi bukan itu yang seharusnya ada dihati ana! Ana menyesal menikahi seorang wanita yang telah dicintai oleh Ikhwan yang lain.
Sungguh pasti besar rasa sakitnya, pasti sangat sakit! Alangkah lebih baiknya jika anti dulu memberitahukan Akhi itu kepada ana!” Ucapnya penuh penyesalan.
Subhanallah! Aku memang tidak salah pilih! Bisikku dalam hati. “Kanda, sesungguhnya ana memilih Kanda, adalah karena rasa keikhlasan yang teramat besar didiri Kanda. Terselip sebuah keimanan yang kuat dalam hati Kanda! Jika ana memberitahukan Ikhwan itu kepada Kanda. Pasti Kanda akan lebih memilih Itsar daripada menikahi ana. Ana tidak mau itu!”
“Tetapi, alangkah lebih baiknya jika itsar yang itu diutamakan!” Bantahnya, dengan sedikit berbisik.
“Tidak. Sesungguhnya ini adalah takdir! Ana memilih Kanda, dengan pertimbangan akhidah dan akhlak Kanda. Bahkan, rasa itsar yang Kanda miliki itulah. Yang menjadikan rasa cinta ana kepada Kanda begitu besar! Sulit menemukan manusia seperti Kanda. Jika sudah didapat, ana tidak akan melepaskannya. Kecuali Allah yang akan mengambilnya dari ana!” Kataku serius.
Suamiku menggenggam erat jemariku. “Dinda, sesungguhnya. Ana sangat mencintai Dinda! Rasa kecintaan ana begitu besar, hingga ana berusaha untuk melupakan Dinda dari pandangan Ana. Sungguh saat itu, ana berpikir. Tidak layaklah seorang ikhwan seperti ana, bersanding dalam mahligai perjuangan dakwah. Dalam satu ikatan kokoh memegang erat tali-tali agama Allah. Hingga bahkan kita gigit dengan graham kita! Tetapi sungguh, ana tidak pernah berfikir akan bisa menikahi anti. Akan bisa memiliki anti, memiliki anti sepenuhnya. Menjadikan anti, halal buat ana dan Ana halal buat anti!”
Kata-kata suamiku membuatku merinding. Ucapannya begitu sangat meninggikanku. Membuat aku semakin mencintainya. Yaa Allah, kenapa engkau memberikanku rasa cinta ini yang amat kuat kepada suamiku. Yaa Allah, kenapa engkau memberikannya kepadaku! Yaa Allah, sadarkan aku jika rasa cinta ini sudah sangat berlebih. Hingga menjauhkan diriku kepada-Mu. Sadarkan aku yaa Allah!
“Kanda. Sesungguhnya ana pun berpikir seperti apa yang Kanda pikir dahulu! Berpikir tentang sempurnanya seorang ikhwan. Keteguhan seorang ikhwan dalam berdakwah. Yang tidak pernah luntur dalam ghirohnya! Ana mencintai Kanda. Tetapi dalam hati ana mengatakan, tidak layaklah seorang ikhwan yang sempurna itu menjadi pendamping hidupku. Tetapi, ana mengazamkan dalam diri. Meng-ikhtiarkan dalam usaha untuk bisa menjadikan Kanda sebagai seorang pendamping hidup dan dakwah!”
“Dan akhirnya?” Sela candanya.
“Dan Akhirnya, Kanda pun jadi milik ana sepenuhnya! Karena Ikhtiar kita memang hanya untuk Allah. Semua usaha kita memang karena Allah. Bukan karena yang lain!”
“Eh. Kok kalian marah ngobrol sendiri. Banyak tamu, ayo ditemuin dulu! Nanti aja mesra-mesraannya!” Tegur Abi.
Kami berdua tersenyum malu. Dan langsung menemui para tamu undangan.
Saat suamiku bertemu dengan teman-temannya. Dia terlihat sangat senang sekali. Ada kebahagian yang terlihat tak akan bisa terlukiskan. Kegembiraan seorang ikhwan yang menyambut ikhwan yang lainnya. Sesekali terdengar celetukan dari para ikhwan yang lucu-lucu. Sungguh hari yang menggembiarakan. Kami begitu senang dengan walimahan yang tidak begitu meriah dalam pestanya. Tetapi mempunyai kesan yang medalam dari lubuk hati ini.
Tak lupa aku pun mendatangi teman-teman akhwatku. Reni, Resti, Wira teman-teman liqo’ku. Juga ada Erni and the gank jilbabersnya.
“Anti, mendahului ana!” Ucap Reni.
“Hehe.... menyegerakan pernikahan itu kan sunnah Ukh!” Jawabku canda.
“Menyegerakan apa emang kebelet!” Sela Erni.
“Hihi... ya beda tipis lah! Tapi kan nggak apa-apa. Kenapa harus malu, kalau kita mengerjakan sunnah!” ucapku.
“Iya deh. Ana juga pengen niru anti. Pengen niru yang cepet-cepet ituloh!” Canda Erni.
“Eh. Anti jangan salahh, bukan cepet-cepet! Tapi menyegerakan. Ingatloh, kalau menyegerakan dan cepet-cepet itu beda! Kesannya kalau cepat itukan keburu-buru, dan itu tidak boleh. Karena terburuh-buruh itu temannya syaitan.” Ucap Resti.
“Seeppp!” Jawabku.
“Makanya, harus disegerakan!” Sela Wira.
“Ok. Kita langsung menyegarakan sekarang ya Ukh!” Ucap Resti.
“Menyegerakan apanya?” Tanya Erni.
“Menyegerakan makan kue-kue hidangan. Kasihan, kue ini kita acuhkan. Padahal kuenya sudah pengen disegerakan!” Gurau Resti.
Serentak kami pun tertawa.
Tawa riang seorang Al Ukh. Yang selalu terbahagiakan dalam kesedihan maupun kedukaan. Sayang, Dewi dan Nova tidak bisa hadir. Mereka hanya bisa mengucapkan selamat lewat telphon saja. Dan beberapa teman-teman cyber liqo’ pun. Pada kirim SMS. Memang ikatan ukhuwah sangatlah kuat manakalah Dien sebagai landasannya. Semua terasa menjadi saudara kita. Karena, sesungguhnya semua muslim itu bersaudara.
JILID 15
Malam yang berhiaskan bulan. Bertaburan bintang yang mengelilingi keindahan malam. Suasana malam dijalan ini begitu sepi. Hanya beberapa mobil dan motor yang silih berganti lewat dalam jalan ini. Bersama malam, dan keremangannya.
Aku berjalan dengan Suamiku. Berjalan dengan beriringan. Bagaikan seorang permaisuri yang diiringi oleh rajanya. Berjalan bergandengan diselingi oleh beberapa bintang yang bertaburan. Bulan pun menyinari dengan tidak segarang matahari.
Cahayanya yang redup menyinari kami dengan keindahannya. Riang rasa kemesraan pada setiap jalan kita. Layaknya seorang muda-mudi yang kasmaran. Tetapi memang, kami adalah muda-mudi yang kasmaran. Tetapi telah terbalut dalam kasih sayang yang sakral, suci dalam pandangan Ilahi. Bukan muda-mudi yang bergelimang dengan kemaksiatan dalam setiap kasih sayang yang haram bagi mereka berdua.
Delapan bulan sudah, aku mengarungi kemesran dalam bahtera rumah tangga berbalut dakwah. Indah. Tiada aral yang begitu menyakitkan, saat onak-onak duri itu menghadang. Tetapi kami menganggapnya itu adalah sebuah bumbu penyedap dalam rasa kasih sayang. Pertengkaran kecil yang berujung dengan kasih sayang pun, sering terjadi. Setiap kami melakukan pertengaran itu, kami langsung bermuhasabah bersama. Mencari jalan yang terang dala setiap jalan yang diberikan-Nya. Cemburu kadang menyelip dalam balutan rasa kasih sayangku. Tetapi, Suamiku dengan mesranya menghiburku dengan rayuannya. Sungguh, aku tidak butuh dengan rayuannya. Tetapi aku tidak akan menolak jika Suamiku merayuku, meninggikanku sebagai seorang wanita yang memang layak untuk dirayu dan ditinggikan. Karena aku Istrinya. Aku sering membaca, banyak para ikhwan yang menikah. Sulit untuk merayu dalam balutan hiburan untuk istrinya. Tetapi, untuk ikhwan yang satu ini.
Sangatlah berbeda. Suamiku tidak pernah malu dengan rayuannya, meskipun memang Suamiku tidak merayu dengan rayuan murahan. Tetapi, rayuan-rayuan yang ditujukan kepadaku dengan kata-kata dakwah yang mesra. Malah membuatkan semakin sangat mencintainya.
Rasulullah sangat senang merayu para istrinya. Terbukti, Suamiku pun menerapkannya kepadaku. Dan memang, aku begitu senang dengan rayuannya.
Dengan hiburan yang begitu menentramkan hati dan jiwaku. Tidaklah seorang Suami yang membiarkan istrinya tanpa sedikit rayuan kemanjaan kepada istrinya. Kecuali suami itu beku dalam hatinya dan hilang rasa kasih sayangnya. Dan Suami seperti itu sangat dibenci oleh Rasulullah dan para sahabat. Karena wanita itu adalah mahluk yang mulia, maka muliakanlah dengan kemuliaannya. Dan arahkan wanita itu dengan kemuliaan akhlaknya. Ingatkanlah dia jika lupa akan jalan-Nya. Jangan engkau hukum wanita itu dengan balasan hukuman yang tidak setara dengan tindakan kesalahannya. Maka itulah sebenar-benar suami yang mulia. Dan yang memuliakan istrinya. Hingga istrinya pun memuliakan suaminya. Dan suami dan istri itu pun, memuliakan keluarganya. Hingga keluarga itu adalah keluarga mulia dihadapan-Nya.
Maka saling memuliakanlah!
Saat kami sedang berjalan. Menikmati indahnya malam penuh bintang dan sinar rembulan. Suamiku menghentikan langkahnya. Suamiku menetapku penuh arti.
Tatapan yang tajam tapi penuh kasih sayang. Aku jadi heran dengan apa yang dilakukan suamiku.
“Ada apa, sayang?!” Tanyaku. Dengan membelai lembut pipinya.
Suamiku tetap diam, sambil menatapku penuh rasa sayang. Aku semakin mesra membelaikan lembut tanganku kepipinya.
“Ayo dong, sayang! Ada apa sich? Kenapa Kanda menatap Dinda seperti itu?” Seruku memohon jawaban.
“Nggak ada apa-apa, kok! Ana hanya beruntung mempunyai istri, dinda?” Jawabnya.
“Nggak! Bukan Antum yang beruntung, Kanda! Tetapi ana. Ana sudah sangat lama sekali memandam rasa simpati yang membuahkan cinta. Yang sangat lama. Ana sangat mencintai Kanda!” Ucapk, sambil memeluknya dengan erat. Butiran air mengalir dimataku.
Suamiku mengusap pipiku dengan lembut. “Dinda, sayang. Ana juga sangat mencintai anti dari dulu!” Ucapnya tersenyum. “Sayang, sudah yach! Nggak enak kalau dilihat orang!” lanjutnya.
Seketika itu pun aku langsung melepaskan pelukanku. Sambil menoleh kekiri dan kekanan. Aku malu. Tetapi untung, insya Allah tidak ada yang melihat kami.
Karena malam memang ini benar-benar sepi. Kami hanya berteman dengan bulan dan bintang yang bersinar. Dan suara-sauara binatang malam yang menyanyi riang.
Kutatap wajah Suamiku. Teduh, dalam balutan kesahajaan seorang ikhwan. Indah sekali. Senyumnya pun merekah indah. Senyuman seorang ikhwan yang sangat mencintai Istrinya. Lembut.
Malam ini begitu menyenangkan. Bersama seorang suami yang sangat menyayangi. Balutan-balutan kasihnya, terus tersedu dalam balutan kelembutan. Wajahnya begitu syahdu memukau diriku. Hingga-hingga rasa hati selalu bertautan dalam balutan kasihnya. Entahlah, apakah ini yang dinamakan cinta? Atau mungkin sebuah peresaan yang memang dan seharusnya dimiliki oleh seorang istri. Perasaan seorang istri yang selalu akan mencintai suaminya. Yang tak segan untuk membicarakan kebaikan suaminya, dan menutup rapat aib suaminya. Hingga pedang menyentuh leher, dan kematian jadi awal kebangkitan. Aib suami tak akan pernah terlepas dari mulut yang membisu, terjaga meskipun dengan taruhan nyawa.
“Hem…. Ternyata kita bertemu disini. Khalid!” Ucap seseorang. Yang berada dikeremangan malam.
Aku terperanjat. Kaget. Mataku memandangi pemilik suara itu. Dendam terdengar dari mulutnya. Siapa dia?
Dari keremangan malam. Muncul enam orang dengan perawakan yang besar-besar.
Binar cahaya lampu malam tak seberapa menyinari mereka. Hingga mereka hanya terlihat seperti bayangan hitam. Tetapi saat mereka melangkahkan kakinya. Tepat berada diatas lampu jalan. Sosok-sosok itu terlihat dengan jelas. Terlihat ada rasa benci yang mencokol dihati mereka. Benci yang begitu dahsyat, hingga wajah mereka pun terlihat sangat beringas untuk segera menerjang suamiku. Ada apa ini?
“Aku sudah lama mencarimu. Khalid!” Ucap sosok tak dikenal itu.
Suamiku terlihat bersiap siaga. Sosok yang lembut, kini menjadi singa yang lapar. Wajahnya tersirat kebencian saat melihat sosok enam tubuh yang tidak aku kenal. Tangan suamiku mengepal keras. Matanya menatap tajam kearah sosok-sosok yang tidak aku kenal. Ada kebencian yang mendalam, dihati suamiku. Kebencian yang terlihat mencuat bagaikan Khalid bin Walid yang siap untuk berperang. Menantang sikap-sikap bengis yang congkak dengan kesombongan.
Enam orang itu mendakati kami berdua. Dengan senyuman yang menjijikkan. Mereka bagaikan iblis-iblis yang lapar untuk memakan orang. Iblis-iblis laknat yang berambisi untuk memaksa orang masuk kedalam neraka jahanam. Jelas sekali, dendam mereka membara dalam balutan kekuatan iblis yang mencengram tubuh mereka. Wajah-wajah bengis itu semakin lama semakin mendekat.
Dengan sigap, Suamiku menggandeng tanganku erat. Terlihat mengisyaratkan agar aku dibelakangnya. “Dinda. Nanti Dinda harus lari! Ana akan hadapi mereka.” Bisiknya lirih.
Aku menggelengkan kepala. “Kanda. Ana nggak akan meninggalkan Kanda sekarang!” bisikku lirih.
“Harus. Anti harus meninggalkan ana nanti! Ini permintaan ana.” Bisiknya lirih sambil mencengkeram tanganku. Ada kekhawatiran yang mendalam saat dia menatapku. Matanya terlihat mengharapkan aku untuk lari.
Aku tetap menggelengkan kepala, menatapnya khawatir. Biarkan, aku disisimu Kanda! Bisikku lirih dalam hati.
“HAI! Khalid. Kamu sembunyikan dimana gadis itu?” Bentak orang itu.
Wajah suamiku terlihat bingung dengan pertanyaan sosok yang tidak aku kenal itu.
“Apa maksudmu, Efendi!” Ucapnya.
“Hah…! Berlagak, nggak tahu lagi.” Bentak sosok yang tidak aku kenal itu. “Kepung, mereka! Jangan lupa, ambil gadisnya! Hahaa…” Perintahnya dengan bengis.
Jantungku pun berdegup kencang. Pertarungan pun tak terelakkan. Suamiku bersiaga penuh, dengan sikapnya tak kalah gagahnya dengan sosok Khalid bin Walid yang sesungguhnya. Wajahnya garang bagaikan akan melumat para sosok yang tidak dikenal itu. Tangannya mengepal, dengan kesigapannya. Spontan. Seorang yang berada dibelakangku, menyerangku. Aku bingung, tak tahu harus berbuat apa. Tetapi, Suamiku langsung menerjangnya dengan tendangannya.
“BUUKKK....”
Seketika itu pun, orang itu terjungkal kebelakang. Seorang yang lainnya, menyerang Suamiku dengan pukulan. Tetapi, dengan mudahnya Suamiku langsung mematahkan serangannya. Dibalasnya dengan pukulan yang membuat hidung orang itu patah.
Selintas darah para penjahat itu memuncar dari hidungnya. Dia, berteriak kesakitan. Dengan sigap, kembali suamiku langsung menyerang seseorang yang berada disampingku. Tendangan dan pukulan Suamiku, membuata para penjahat itu terjungkal.
“Sayang…! Lari….. cepat!” Teriak Suamiku. Keras.
Aku pun spontan langsung berlari. Tetapi, seorang penjahat terlihat akan memegang lenganku. Aku takut. “BUKK....” Tendangan Suamiku, menerjang penjahat yang akan memegangku.
“Jangan pernah menyentuh wanita suci ini dengan tangan kafirmu!” Ucap Suamiku.
Dengan tatapan tajam, penuh kemurkaan.
Aku pun dengan mudah berlari meloloskan diri. Langkahku sedikit terhenti, melihat Suami berjuang sendiri. Aku ingin kembali, tetapi aku malah takut nanti malah tambah menyusahkannya. Tetapi tekadku sudah bulat, langkahku pun kembali menuju arena pertempuran.
“SAYANG LARI, INI PERINTAH!” Teriak keras Suamiku.
Aku takut. Aku takut terjadi apa-apa terhadap Suamiku. Tetapi aku juga tidak boleh melanggar perintah Suamiku. Lariku sudah menjauh dari arena pertempuran. Aku hanya bisa melihat, dari jauh perjuangan dalam pertarungan yang dilakukan oleh Suamiku. Sungguh benar-benar hebat. Suamiku dengan mudahnya menghajar para penjahat-penjahat itu. Para penjahat-penjahat itu terlihat sangat kewalahan dalam menghadapi tentara Allah yang satu ini. Suamiku. Aku benar-benar tidak salah pilih.
Seorang mujahid yang telah lama aku nanti. Memang benar-benar mujahid sejati. Gerakan-gerakan beladiri Suamiku. Menerjang dan bagaikan menerkam para penjahat-penjahat itu. Tetapi, aku teringat dengan Dewi dan Nova. Ha! iya, bagaimana keadaan mereka? Tanyaku dalam hati.
Aku pun langsung berlari. Selintas aku tidak ingin meninggalkan Suamiku.
Allah pasti melindungi para mujahidnya yang satu ini! Ucapku dalam hati. Dan langsung, aku pun berlari. Memanggil taksi yang melintas. Dan langsung pergi meninggalkan arena pertempuran. Ada seseorang yang lebih patut aku lindungi saat ini. Yaitu Dewi dan Nova. Taksi pun langsung melaju kencang. Malam tidak menghambatku dalam jalanku yang akan terus melaju. Perasaan khawatir pun sedikit hinggap pada diriku. Mengkhawatirkan mujahidku yang sedang bertempur saat ini.
Rasa takut terus hinggap dalam batin yang meronta akan terjadi sesuatu yang buruk jika menimpa Suamiku. Segera, aku langsung menelephon polisi. Memberitahukan keberadaan Suamiku yang sedang dikeroyok oleh penjahat-penjahat bengis yang berwajah congkak dengan kesombongan.
***
“Far, itu mungkin Efendi. Seseorang yang ditugasi Papaku untuk mencariku! Karena hanya Efendi yang mengenal Khalid. Dan tahu kalau Khalid juga mengenalku.” Ucap Nova. Serius.
“Jadi, bagaimana sekarang?” Ucap Dewi.
“Hem. Kalau begitu, kita disini saja sekarang. Sambil melihat-lihat kondisi dahulu! Jika keadaan sudah aman, baru kita bisa keluar dari Villa ini!”
“Iya. Tetapi, bagaimana kondisi Mas Khalid gimana Mbak?” Tanya Dewi. Terlihat khawatir.
“Iya. Ana juga nggak tahu! Ana takut terjadi apa-apa dengannya!” Aku bingung.
“Kalau gitu. Gimana jika Farah telephon rumah saja?” Usul Nova.
“Nggak. Kalau bisa, kita disini benar-benar harus merahasiakannya dari siapapun! Selama persoalan belum tuntas benar!” Jawabku. Sedikit aku menghela nafas. “Oh iya. Aku beritahu Abi aja! Beliau kan sudah tahu masalah ini!” Bergegas aku langsung mengambil Telephon. Dan menelephon, Abi. Memberitahukan kondisiku saat ini baik-baik saja. Aku pun, tak lupa untuk menanyakan kondisi Suamiku.
“Assalamualaikum!” Salamku.
“Walaikumsalam. Zah?” Ucap Abi. Terlihat gembira, dan khawatir.
“Iya Bi. Ini Zah!” jawabku.
“Zah. sekarang dimana? Keadaan Zah, bagaimana?”
“Bi. Zah ada di Villa kita. Keadaan Zah baik-baik saja. Keadaan Mas Khalid gimana Bi?” Balikku bertanya.
“Zah. Khalid tertusuk dibagian punggungnya!”
“HA!” Aku kaget.
“Zah. Tenang! Sekarang sudah baik-baik saja. Hanya belum sadarkan diri!”
Badanku terasa lemas. Lututku terasa lunglai, berat sekali untuk menahan beban tubuhku. Setelah mendengar Suamiku tertusuk. Semua ini salahku! Kenapa aku meninggalkannya! Kenapa aku meninggalkan Suamiku dimedan pertempuran itu!
Semua itu salahku. Memang salahku!
“Zah. Dengar Abi. Khalid sudah tidak apa-apa! Hanya belum sadarkan diri saja. Anti harus kuat! Ingat, anti harus kuat!” Ucap Abi. Mengulangi ucapannya. Seraya memberikan semangat kepadaku.
“Bi. Zah takut!”
“Zah. Abi tidak ingin, Zah larut dalam ketakutan itu! Ingat, Zah adalah mujahidah. Seorang mujahidah tidak boleh takut atau bahkan menyerah dengan ujian yang diberikan oleh Allah! Zah, harus ingat itu! Sekarang, rencana Zah apa?” Ucap Abi dengan bijaksana.
“Sebenarnya, Zah ingin disini dulu. Sambil melihat-lihat kondisi! Tetapi, kayaknya Zah harus menemani Mas Khalid dirumah sakit!” Kataku, khawatir.
“Zah. Tetap pada rencana anti! Khalid sudah tidak apa-apa. Biar Abi dan Ummi yang menjaganya. Lanjutkan rencana anti! Insya Allah. Jundi-jundi Allah telah siap untuk selalu melindungi anti!” ucap Abi. Tegas.
“Baik. Bi! Bi, Zah ingin beli mobil disini! Untuk kendaraan Zah dan teman-teman” Ucapku pasrah.
“Zah, silakan beli mobil! Tapi ingat yah, sekarang. Zah, harus lebih berhati-hati dengan orang. Ingat!”
“Iya, Bi! Sudah ya Bi! Zah mau istirahat dahulu.”
“Hem. Iya, ingat jaga kondisi. Jangan sampai Zah sakit! Udah, ya. Assalamualaikum!” Ucap Abi.
“Walaikumsalam!” Ucapku.
***
Taruna ini memang cocok untuk kendaraan pengintai. Tidak percuma aku membelinya. Bodynya pun, pas untuk melakukan pengintaian diwilayah-wilayah yang rawan. 1 milyar bukan uang yang sedikit untuk mobil Taruna ini. Dilengkapi dengan kaca Hitam anti peluru serta bercat hitam dan bodynya pun, bagaikan tank tempur yang tak akan hancur meskipun dibom sekalipun. Dilengkapi senjata listrik yang bisa mematikan mesin mobil. Dan komputer yang secara otomatis dapat mengetahui jumlah orang yang berada dimobil ataupun dirumah, dengan sensor inframerahnya yang bisa menembus tembok dan baja sekalipun. Sungguh kendaraan safety yang lumayan mahal. Aku memesan kendaraan ini, hanya untuk perlindungan diri. Dan tidak dijual bebas dinegeri ini. Biasanya, kendaraan seperti ini dipakai oleh karyawan Bank yang akan menyetor atau mengambil uang. Atau pun para bos-bos besar yang banyak duit.
Terasa lucu juga. Aku mengintai seseorang, yang malah bukan musuhku.
Tetapi, mengintai suamiku yang sedang dilanda gundah yang mendalam. Aku ingin melihat seberapa besar rasa gundah itu. Seberapa besar rasa cintanya kepadaku. Apakah rasa kasih sayang dan gundahnya kepadaku, lebih besar daripada cintanya kepada Sang pemilik kehidupan. Jikalau itu yang terjadi, maka aku akan bersedia melepaskan Suamiku. Lebih baik, aku meninggalkannya. Daripada aku menjadi beban ujian yang berat baginya. Tetapi, jika sebaliknya. Aku tidak akan pernah mau meninggalkannya. Karena sesungguhnya, rasa cinta yang terpatri kepada Sang Maha Pecinta. Tidak akan pernah habis dimakan usia. Tetapi, jika seorang mencintai bukan karena Sang Maha Pecinta. Lambat laun, cintanya akan habis termakan oleh usia yang mengerutkan kulit-kulit ini.
Memang suamiku terlihat begitu sangat gundah. Tetapi aku sangat bersyukur. Rasa cintanya masih lebih besar dalam cintanya kepada-Nya. Hingga aku benar-bena sangat mencintainya. Uhibbuka fillah yaa Akhi! Bisikku lirih dalam hati. Saat melihat Suamiku berjalan kearahku. Tetapi, dia tidak akan mengira kalau aku berada didepannya. Aku terus mengintainya. Intaian dalam rasa kasih sayang yang mendalam. Intaian yang menginginkan ketidak ada rasa kekhawatiran. Itulah intinya.
Saat-saat berat bagi suamiku. Menjadikanku lebih belajar tentang rasa cinta. Menjadikanku lebih dewasa dalam urusannya. Dan menjadikanku lebih paham dengan permasalah-permasalahan yang akan menjadikan aku lebih paham dan dewasa. Dalam mengambil segala keputusan. Bukan bermaksud aku menginginkan kekhawatiran suamiku saat aku meninggalkannya sekarang. Apalagi bermaksud menentang perintahnya. Tidak, sama sekali tidak ada pikiran itu dalam hatiku. Aku akan setia melakukan perintah-perintah Suamiku. Bahkan jika aku harus mati untuk melaksanakan perintah Suamiku. Aku bersedia. Tetapi, untuk saat ini. Biarlah aku yang menyelesaikan masalahku yang sudah ada sebelum Suamiku berada di sisiku.
Aku tidak mau merepotkannya. Aku tidak mau membuat dia semakin banyak permasalahan, karena permasalahan yang sangat rumit ini. Afwan ya Akhi! Maafkan aku Kanda!”
Setelah melihat-lihat kondisi Suamiku. Aku langsung kembali ketempat persembunyian. Tempat yang tenang dalam pengasingan. Tempat yang indah dalam hiasan lukisan Sang Maha Pembuat kehidupan. Yang mengada-adakan keindahan sebelum ada. Dan yang akan membuatku selalu berucap dan berdecak kagum tentang keindahan panorama alam yang telah dibuat-Nya.
***
“Hem. Boring juga nih disini terus! Ukh, kita ke Taman Dayu yuk?” Ajakku. Kepada Nova dan Dewi. Selama enam bulan, Nova sudah tertempa dalam balutan bingkai Islam. Kini, Nova kembali menjadi seorang wanita yang suci. Dengan balutan jilbab yang menutup rapat tubuhnya. Menutup segala apa-apa yang memang harus ditutupinya. Hingga terlihat bagai sebuah mutiara yang terbungkus kuat dan rapat dari karang penutupnya. Hingga nanti, mutiara itu hanya untuk seorang yang berhak menerimanya. Suaminya.
“Kayaknya, ide bagus tuh Mbak! Ana juga agak bosen disini terus” Jawab Dewi.
“Tapi, Ukh! Apakah aman, saat kita berada diluar rumah?” Tanya Nova, terlihat khawatir.
“Yah, memang nggak aman Ukh! Tapi, bosen juga disini terus!” Ucapku.
“Mbak. Mana ada sih tempat yang aman didunia ini?” Ujar Dewi.
“Iya. Biarkan Allah yang melindungi kita! Dan kita tetap waspada, meskipun dengan kebahagian saat kita berada diluar!” Ucapku.
“Iya. Terserah kalian lah!” Jawab Nova. Terlihat ada yang mengganjal dihatinya.
“Ukhti, anti kenapa?” Tanyaku. Dengan memegang tangan Nova.
“Nggak tahu, hari ini ana kayaknya khawatir banget! Sepertinya akan ada kejadian yang akan menimpa kita” Jawab Nova, dengan tertunduk lesu.
“Santai aja, Ukh! Serahkan semuanya kepada Allah. Insya Allah, pasti akan terselesaikan dengan baik. Ok!” Ucapku. Menghiburnya. Nova haya mengangguk, dan tersenyum. Tetapi, masih terlihat tersimpan aral yang menggajal dihatinya.
Kami pun bertiga berangkat ke Taman Dayu. Tempat pariwisata yang berada didekat Villa. Suasana pegunungan yang sejuk, dan ditambah rindangnya pepohonan. Membuat suasana menjadi begitu nyaman. Sejenak, keberkahan dalam keindahan suasana Taman. Menjadikan kami lupa dengan peristiwa-peristiwa yang membuat luka. Kami benar-benar menikmati kesejukan dan kenikmatan dalam suasana yang diberikan Allah kepada wilayah ini. Tadabbur kami, seraya membuat kami memang sangat kecil dihadapan-Nya. Luka-luka yang tergores dalam ujian yang kami hadapi. bagaikan musnah ditelan keindahan alam ini. Sungguh besar keagungan yang telah diciptakan-Nya. Maha Agung yang begitu dahsyat dalam membuat alam ciptaan-Nya. Tiada yang patut untuk dinafikkan dalam seluruh keindahan alam ini. Kecuali, manusia yang tidak mempunyai jiwa-jiwa tautan antara Rabbani dan hatinya.
Udara yang segar, dingin dan bersih. Dambaan bagi setiap manusia yang ingin menghirupnya. Aku, Dewi dan Nova. Berjalan-jalan, menyusuri beberapa bukit yang menjulang. Kami terus berjalan bersama hawa dingin yang menyejukkan. Sering kali aku merapatkan jaketku, karena hawa dingin yang menyengat tubuh. Banyak para orang tua yang membawa anak-anaknya berlibur ditaman ini. Anak-anak itu riang dalam permainan mereka. Mereka mempunyai dunia mereka sendiri. Mempunyai rasa keindahan pada sisi-sisi pikir mereka. Sungguh suci jiwa-jiwa mereka. Yang masih belum tahu sisi kekotoran dunia. Mereka masih menegakkan kebenaran dalam bingkai keluguan. Anak-anak itu mempunyai kemampuan dalam menikmati kebenaran.
Menikmati indahnya dunia dengan tidak adanya kebohongan. Jiwa-jiwa yang menjadikan mereka masih tetap berpegang dalam bingkai hati kebenaran dalam keadilan. Nikmat benar, mahluk yang disebut anak-anak itu.
Beberapa kali terlihat pedagang asongan yang menjualkan barang dagangannya. Makanan, mainan, cinderamata menjadi barang dagangan yang dipasarkan oleh pedagang asongan ditaman wisata ini. Ada yang memakai gerobak dorong, ada yang dipanggul atau dipikul. Perjuangan yang sangat berat untuk menghidupi diri mereka sendiri dan keluarganya. Tetapi, para pedagang itu tetap terlihat begitu bersemangat. Ditolaknya dagangan mereka, bukan berarti mereka harus menyerah begitu saja. Tetapi, mereka dengan cepat menawarkan barang-barang kepada calon pembeli yang lainnya. Ada semangat yang luar biasa didiri mereka.
Semangat untuk hidup dalam perjuangannya, dapat kita ambil contoh. Mereka pun terlihat tidak berputus asa dengan dagangannya. Yang terlihat malahan semangat yang menggebu-gebu. Seraya motto Pantang menyerah dalam susah yang berkepanjangan. Menjadi pola hidup para pedagan asongan itu. Merupakan semangat yang sangat luar biasa. Patut kita contoh dalam kehidupan sehari-hari.
Tapi, saat-saat kami sedang berjalan-jalan. Menikmati keindahan alam. Nova, memegang tanganku dengan erat.
“Ukh. Itukan Efendi!” Ucapnya, seraya menunjukkan seseorang yang sedang berjalan kearah kami.
“HA! Benar dia, Efendi. Lari Ukh!” Ucapku, saat melihatnya.
Seketika itu pun kami bertiga berlari kearah mobil. Saat-saat kami berlari, ternyata banyak orang yang ingin mengejar kami. Ada beberapa orang yang berjas hitam dan berdasi bercorak cerah berwarna putih pun, mengejar kami. Pakaian mereka sangat rapi sekali. Mereka seperti orang-orang yang mengejar kami saat di tol. Kami pun akhirnya berlari sekuat tenaga kami. Jarak antara mobil dan kami ternyata masih jauh. Dari arah depan pun, ada seseorang yang sudah menghadang.
“UKH, BELOK KIRI!” Teriakku. Yang disitu terlihat ada jalan setapak kecil, kearah hutan.
Dengan cepat kami bertiga berlari kedalam hutan.
“KITA BERPENCAR!” Teriakku. Karena dengan berpencar mereka akan bingung untuk menangkap kami. Pikirku.
Akhirnya kami pun berpencar saat berlari kedalam hutan. Entahlah, aku tidak tahu ini daerah mana. Pokoknya aku harus lari dan selamat dari kejaran para penjahat itu. Aku pun terus masuk kedalam lebatnya hutan. Semakin kedalam, hingga aku sendiri tidak tahu arah yang benar. Beberapa orang masih terus mengejarku. Dan tak pelak, mereka pun berani menembakkan pistolnya saat didalam hutan. Untung saja, peluru-peluru itu hanya mengenai pohon-pohon jati yang menjulang tinggi. Kakiku sudah semakin berat untuk melangkah, jalan yang menanjak serasa membuatku berat untuk terus berlari. Sebuah pohon besar pun menjadi pilihan tempat persembunyian. Dengan terus berdzikir, aku mencoba untuk bersembunyi dibalik pohon besar. Terdengar suara seseorang yang berlari. Segera saja aku langsung menyembunyikan diri. Para penjahat itu, sejenak mereka berhenti. Dengan jantung yang berdegup tak beraturan. Aku beranikan diri untuk mengintip dari celah-celah pohon jati. Para penjahat itu terlihat mencariku. Tak lama mereka pun pergi, setelah mereka tidak mengetahui keberadaanku. Alhamdulillah!
Saat aku akan keluar dari pohon Jati.
“Mau kemana, kamu?” Ucap seseorang yang sudah berada didepanku. Dengan memegang pistolnya.
“Apa mau kalian?” Ucapku.
“Aku hanya menginginkan data-data itu! CEPAT SERAHKAN.” Bentaknya.
Aku bingung. Hem, ini kesempatanku. Aku akan bohongi dia! Pikirku dalam hati. Aku harus bisa keluar dari hutan dan sergapan para penjahat itu dulu. “Baik. Tetapi aku harus mengambilnya dimobil dulu!” Jawabku.
“Baik. Ayo cepat!” Perintahnya.
Aku dan penjahat itu berjalan menuju mobil. Ternyata lariku memang sangat jauh dari wilayah tempat wisata. Saat aku berjalan, terasa sangat jauh dari tempat wisata.
***
Dewi dan Nova pun, ternyata sudah tertangkap oleh penjahat-penjahat itu. Setelah kami menghampiri mereka. Tetapi tidak lama, Efendi datang dengan beberapa anak buahnya.
“HAI! SERAHKAN MEREKA KEPADA KAMI” Teriak Efendi. Garang.
“SIAPA KAMU?” Teriak penjahat itupun. Tidak kalah kerasnya.
“Tidak perlu kau tahu siapa aku. Pokoknya serahkan mereka kepada kami!” Jawab Efendi.
“Kalian mau cari perkara dengan kami?” Sergah para penjahat itu. Dengan mengarahkan pistolnya kearah Efendi.
“Hem. Kalian kira kami takut kepada kalian!” Ucap Efendi dengan congkaknya.
Dengan mengeluarkan pistol dan mengarahkanya kepada para penjahat itu. Segerombolan penjahat-penajahat dan gerombolan Efendi. Saling menodongkan pistonya. Mereka ternyata tidak saling mengenal. Sekilas mereka diam. Mereka saling melotot satu sama lainnya.
”Baik! Kalau itu mau kalian. Kami akan melepaskan wanita-wanita ini!” Ucap. Salah satu penjahat.
Efendi tersenyum atas kemenangannya. “Begitu, memang lebih baik!” Ucap Efendi.
Akhirnya penjahat itu pun meninggalkan kami. Dan sekarang, Efendi yang memegang kekuasannya.
“Dasar, wanita-wanita binal! Berani-berani kalian melawan kami.” Ucap Efendi dengan sombongnya.
Kami bertiga masih terdiam. Terpaku dalam dzikir kami masing-masing. Bermunajat dan memohon pertolongan kepada Allah.
“Sudah Bos, kita bunuh mereka disini!” Ucap anak buah Efendi.
“Enak saja, dibunuh! Setelah kita susah mendapatkannya, lalu kita langsung membunuhnya? Sebaiknya, kita nikmati tubuh wanita ini satu persatu. Baru kita bunuh!” Ucap anak buah Efendi yang lainnya.
“Iya, benar!” Ucap Efendi. Dengan senyuman yang menjijikkan.
Masya Allah! Yaa Allah tolong kami. Dengan erat, kami bertiga berpegangan tangan. Walau pun nyawa melayang, ruh kembali kepada Ilahi. Asal kita hidup dalam keadaan suci, lebih baik kita mati pula dengan keadaan suci! Tekadku dalam hati. Para anak buah Efendi memegangi kami. Mereka ingin mendapatkan sesuatu yang kami miliki. Tetapi, aku tidak akan pernah tinggal diam untuk menjaganya. Selamanya. Karena itu adalah milik Allah. Maka harus diberikan kepada mahluk yang diridhoi oleh Allah. Kami bertiga pun berontak, tetapi. Apalah daya, tubuh seorang
wanita. Dipegangi oleh tangan-tangan kuat dalam kebengisan dan kehinaan. Tangan-tangan kotor yang menjijikkan. YAA ALLAH, TOLONG KAMI!
“DOR.... DOOR...DOOORR!” Terdengar rentetan tembakan.
Anak buah Efendi pun, limbung dan berjatuhan. Mereka terkena peluru-peluru yang telah dimuntahkan. Efendi terlihat ketakutan. Semua anak buahnya berjatuhan. Kini tinggal Efendi yang terpaku sendiri. Dia tidak berani lari. Karena, ternyata para penjahat itu tidak dengan mudahnya melepaskan kami dari tangan Efendi.
“Hei. Bagaimana? Masih mau melawan kami!” Ucap Seorang penjahat itu. Dengan
menenteng senapan M16 ditangannya. Lalu menodongkan, tepat dikepala Efendi. Efendi sangat ketakutan. Pistol yang berada ditangannya pun, dijatuhkan. Seraya dia menyerah dan menundukkan kepalanya. “Iya. Ampun-ampun! Saya menyerah. Jangan bunuh saya!”
“Hahaha.... dasar pengecut! Kami kira, kalian adalah para profesional. Ternyata, kalian hanya amatiran!” Ucap Penjahat itu. Sambil tetap menodongkan senjatanya kearah kepala Efendi.
Efendi hanya bisa meminta ampun. “Saya menyerah! Ampuni saya!” Ucap Efendi.
Mengemis dalam keinginannya untuk diampuni.
“Kami akan melepaskanmu!” Ucap penjahat itu.
“Iya, terima kasih. Saya akan menyerahkan ketiga wanita binal itu kepada kalian!”
Ucap Efendi, dengan mulut bisanya.
Penjahat itu tersenyum. “Terima kasih! Saya akan melepaskanmu sekarang.” Ucap Penjahat itu.
Efendi tersenyum.
“DOOORR....”
Efendi pun jatuh. Badannya sudah tak bernyawa. Wajahnya mati dalam ekspresi yang menakutkan. Efendi ditembak tepat dikepalanya.
“Aku sudah melepaskanmu! Hahahaa....” Ujar penjahat itu. “Sekarang. Serahkan data-data itu!” Penjahat itu kini menodongkan senjatanya kearah kami.
“Kami tidak mempunyai data-data itu!” Ucap Dewi ketakutan.
“Hem. Jadi kalian membohongi kami yah!” Sergah penjahat yang lainnya.
“Sudah. Kita bunuh saja mereka sekarang!” Ucap penjahat yang menodongkan senjatanya kepada kami.
Lebih baik kematian, yang memberikan kesyahidan. Daripada harus terenggut kesucian kami sebagai seorang wanita yang dimuliakan-Nya.
“Sreett..... Srupp..” Sebuah pisau. Menancap tepat berada di jantung penjahat yang menodongkan senjatanya kepadaku.
“AH!..... Awas ada yang menyerang kita.” Ucap penjahat itu. Yang langsung limbung, dan terjatuh.
Seketika itu pun. Para penjahat-penjahat itu menghujamkan rentetan tembakan yang membabi buta. Mereka tidak mengetahui seseorang yang menyerang mereka. Satu lagi, seorang penjahat jatuh terkena lemparan pisau. Tepat dijantungnya. Seakan-akan, seorang pelempar itu sangat ahli sekali melemparkan pisau.
“Sudah bunuh saja wanita itu. Cepat!” Perintah seorang penjahat yang berkacamata hitam.
Dengan cepat salah satu penjahat mengarahkan M16nya kepada kami.
Tetapi, sebuah belati tertancap tepat berada di tangan penjahat yang akan menembak kami. Tepat berada diurat jari-jemari penjahat itu. Sehingga penjahat itu pun tidak bisa menembakkan senjatanya kepada kami.
Lalu, munculullah lima orang. Dari belakang para penjahat-penjahat itu.
Dengan cepat lima orang yang tidak dikenal itu menyerang para penjahat dengan cepat. Para penjahat itupun terkaget, hingga mereka tidak menyadari kalau senjata mereka sudah tidak berpeluru lagi. Para orang-orang tidak dikenal itu pun, menyerang dengan sangat cepat. Gerakan mereka bagaikan sekumpulan orang-orang yang sudah terlatih. Para penjahat itu dengan mudah diterjang oleh hujaman serangan para orang-orang yang tidak kami kenal. Serangan itu sangat cepat sekali. Para orang-orang tidak dikenal itu bagaikan sekumpulan tentara-tentara yang bertempur dimedan laga. Jiwa kesatria mereka muncul dengan dahsyatnya serangan mereka.
Akhirnya para penjahat dan orang yang tidak dikenal itu pun bertarung dengan sengit. Hingga-hingga dengan cepat orang-orang yang tidak dikenal itu dapat mematahkan serangan para penjahat itu. Sergapan orang-orang yang tidak dikenal itupun bisa melupuhkan para penjahat dengan serangannya. Para orang-orang tidak dikenal itu sangat ganas dalam penyerangannya. Wajah-wajah mereka bagaikan menantang maut yang akan menimpanya. Tetapi mereka tidak takut sama sekali.
Setelah orang-orang tidak dikenal itu dapat melumpuhkan para penjahat. Salah satu orang tidak dikenal, datang kepada kami.
“Ukhti. Jangan takut. Allah beserta kita! Allah beserta orang-orang yang berjuangbdalam agamnya! Kami adalah Jundi-jundi Allah.” Ucapnya. Seraya teduh dalam pandangannya.
Benar-benar hebat. Mereka garang menghadapi kezhaliman. Tetapi, mereka akan sangat berkasih sayang dengan saudara seimannya. Itulah, para jundi-jundi Allah.
“Syukron!” Ucapku.
Akhirnya kami pun diantar untuk langsung menuju mobil. Dengan pengawalan seorang jundi-jundi Allah. Sungguh benar-benar pertolongan yang diberikan oleh Allah benar-benar nyata. Benar-benar membuat kita akan teringat akan janji-janji Allah. Sungguh, Allah tidak akan pernah lupa dengan janji-janjinya. Janji untuk menolong para mujahid dan mujahidah Allah yang berjuang dalam menegakkan agamannya.
JILID 16
Setelah kejadian itu. Semua pun terungkap. Para penjahat itu mengakui kalau mereka adalah suruhan orang-orang dari perusahan tempat kerja Papanya Dewi. Untuk mencuri data-data perusahaan yang sebenarnya. Rencana kejahatan mereka akhirnya terungkap. Beberapa direksi yang tersangkut dengan kasus korupsi diperusahaan tempat kerja Papanya Dewi. Ditahan dengan beberapa bukti yang sudah ditemukan oleh para polisi. Dewi pun, akhirnya bisa kembali kekeluarganya.
Semua masalah sudah terselesaikan. Tinggal kini Nova. Seorang Akhwat yang telah belajar banyak tentang keindahan Islam. Harus hidup sendirian jika aku meninggalkannya. Jikalau Dewi mempunyai keluarga dan masalah. Tetapi, Nova mempunyai masalah tanpa keluarga yang akan melindunginya.
“Sekarang, anti bagaimana?” Tanyaku kepada Nova.
“Entahlah Ukh! Ana sudah tidak mempunyai siapa-siapa sekarang!” Ucapnya. Sekilas wajahnya terlihat haru, air matanya berlinang dalam beberapa tetes yang berjatuhan.
Aku pegang erat tangannya. “Ukh. Apakah anti menyesal mengikuti Islam?” Tanyaku.
Nova menatapku. Matanya terlihat tajam, dalam linangan air mata yang berjatuhan.
“Ana tidak akan pernah menyesal. Bahkan, ana sangat bersyukur mengikuti Islam! Tetapi, keluarga ana masih bergelimang dengan kekafiran. Ana takut mereka akan memasuki neraka jahanam!” Ucapnya. Dengan nafas yang sesenggukkan karena tangisnya.
“Ukh. Anti tidak usah khawatir. Karena ini sesungguhnya takdir Allah! Berdoalah Ukh, agar keluarga anti diberi hidayah oleh Allah! Ukhti, sesungguhnya rasa kebersaudaraan Islam sangatlah erat. Ana adalah keluarga anti!” Ucapku, sambil memegang tangannya.
“Terima kasih ya Ukh. Atas semuanya!” Ucap Nova. Sambil memelukku.
Kami pun akhirnya berderai dengan tangisan. Dalam pelukan saudara yang mengagungkan. Agung kerana kami menganggunkan keagungan-Nya.
“Ukh. Anti ikut ana yah, nanti!” Pintaku kepada Nova. Mengajak menjadi bagian dari keluargaku.
“Apa ana, tidak merepotkan anti?”
“Ana tidak akan pernah merasa direpotkan. Justru ana beruntung, beruntung dengan mempunyai seorang saudara mujahidah yang lainnya!”
“Tapi, Suami anti. Bagaimana?”
“Insya Allah, Suami ana akan senang menerima anti!”
Nova terlihat berfikir. Memikirkan tawaran yang aku ajukan.
“Ukhti. Sudahlah, anti tidak usah berfikir lagi! Pokoknya Anti ikut dengan ana.” Pintaku sedikit memerintah.
Nova hanya mengangguk. Dan senyum dalam derai tangisnya pun mengembang.
“Syukron, yaa Ukhti!”” Ucapnya, lirih.
Aku tersenyum dengan ucapan tulusnya.
Akhirnya Nova bersedia untuk ikut denganku. Ikut dengan keluarga barunya. Keluarga yang menjadikan dia sebagai seorang manusia. Seorang hamba Allah yang akan istiqomah dalam jalan-Nya. Menjalani semua yang digariskan dalam aturan- Nya. Menjadikan kenikmatan dalam ibadah yang tiada henti. Menjadikan ibadah adalah kebutuhan. Kebutuhan yang menjadikan terus-menerus rindu dalam balutan kasih sayang-Nya. Indah dan nikmat dalam tindakan yang akan selalu diridhoi-Nya. Besok aku akan membawa Nova. Nova akan menjadi keluarga baru bagiku. Seorang yang harus aku lindungi dalam kesukarannya. Dan seorang yang harus aku gembirakan dalam kesusahannya. Dan seorang yang harus aku sayangi saat kebahagiaannya. Semua itu harus aku lakukan, karena Nova kini menjadi saudaraku.
Bahkan jika aku harus membagi cintaku kepadanya. Membagi kasih sayang Suamiku bersamanya. Aku siap melakukan itu. Iya benar! Kenapa tidak aku jadikan saja Nova menjadi adikku. Menjadi seorang istri dari suamiku! Itu malah lebih baik. Pasti Nova aku lebih terlindungi. Selama ini aku merasakan kasih sayang teramat dalam yang diberikan oleh Suamiku. Kini aku harus rela membaginya. Membagi dengan saudaraku sendiri. Selintas pikirku.
Tapi? Apakah aku mampu membagi kasih sayang Suamiku dengan wanita lain!
Apakah aku bisa bertahan dengan seorang yang membagi cintanya? Apakah aku mampu? Selintas onak pikirku pun mengembang datang dengan tak diundang. Tetapi, aku harus mampu. Aku harus mau dan bersedia membagi cinta Suamiku. Demi saudaraku! Demi seorang akhwat yang memang membutuhkan rasa kasih sayang dan perlindungan. Demi membagi kebahagian dengan saudara dalam naungan kesatuan Islam! Aku harus merelakan cinta Suamiku, untuk dibagi. Aku harus mau, toh Suamiku pun telah membagi cintanya. Dan aku tidak pernah cemburu. Malah aku semakin bertambah mencitainya. Aku kan, tidak mencintai Suamiku dalam wujudnya!
Aku mencintai Suamiku karena-Nya! Lalu, kenapa aku mesti berat untuk membagi cintanya lagi. Jikalau cinta Suamiku karena Sang Maha Pecinta. Maka aku tidak perlu khawatir jika Suamiku tidak mencitaiku. Karena sudah jelas-jelas, pasti Suamiku akan terus mencitaiku. Karena sesungguhnya cinta Suamiku, adalah karena-Nya! Dan aku mencitai Suamiku pun, karena-Nya! Jika Suamiku mencitai aku karena Allah, aku pun demikian. Aku mencintai Suamiku pun, karena Allah. Dan aku mencintai Nova pun karena Allah. Lalu kenapa aku harus berberat diri untuk
membagi cinta Suamiku. Cinta kami kan karena Allah, dan cinta Nova pun. Pasti karena Allah! Lalu kenapa aku harus tidak rela jika Suamiku bisa membagikan rasa cintanya. Membagikan kasih sayangnya. Yang untuk dibagikan kepada akhwat yang membutuhkan! Aku harus mau! Pikirku kerasa dalam diri.
Dilema dalam hatiku, menyeruak keluar. Rasa segan untuk melepaskan cinta Suamiku begitu kuat. Tetapi, rasa ikhlas pun. Sama kuatnya. Aku bingung dalam penentuan egoisme dan syariat. Penentuan dalam halal dan keegoisan. Semua terpatri dalam pikir yang tak menentu. Semua terajut dalam pikir yang membalutkan kegundahan. Keragu-raguan datang menerpa dalam keyakinan yang begitu dalam.
Aku menjadi sangat ragu dalam keputusanku sendiri. Padahal, aku adalah seorang akhwat yang biasa bergelut dengan aturan-aturan Islam. Tetapi, dilema dalam hati berbalut kegoisan diri. Datang mempengaruhi dengan serangan bertubi-tubi untuk menafikkan aturan-aturan Ilahi. Semua begitu cepat.
Pikirku terpatri dalam dua keputusan yang satu sisi membangkitkan gundah dihati. Tapi apakah ada, seorang wanita yang mau dimadu! Ucapku, egois dalam hati. Nova adalah seorang teman, juga saudara yang sudah aku kenal. Tetapi, rasa memilikinya sebagai seorang saudara. Ternyata masih sangat tipis. Ucapan saudara yang selalu aku dengung-dengungkan kepadanya dan umat muslim yang lainnya.
Harus tersibak dengan keegoisan diri. Egois karena tidak mau membagi cinta sang Suami. Padahal mungkin, ini adalah ujian dari Allah. Untuk membuktikan rasa keterikatan saudara satu dengan saudara yang lainnya. Ujian untukku, tentang rasa saling berbagi dengan saudara yang lainnya. Perasaan membagi dalam bentuk kasih sayang membagi cinta Suami. Tetapi, bukankah seorang istri yang merelakan suaminya untuk menikah lagi. Tidak lain adalah balasan surga yang akan dijanjikan-Nya! Selama ini, aku melihat perilaku Suamiku sangat adil dalam urusan apapun.
Apakah tidak mungkin, jika aku membagi cintanya. Akan memberikan rasa keadilan yang memang benar-benar tercipta. Karena selama ini, yang aku rasakan tentang keadilan Suamiku. Hanya bisa aku rasakan seorang diri, tanpa memberikan takaran yang sesuai dengan rasa adil itu sendiri. Seandainya aku memberikan takaran yang sesuai, dengan mengikhlaskan Suamiku untuk menikahi Nova. Pastilah aku tahu,tentang arti makna keadilan! Aku harus bisa menerima Nova sebagai istri kedua Suamiku. Aku mencintai Suamiku, aku pun mencintai Nova. Aku mencintai keduanya, karena aku mencintai-Nya!
Aku langsung teringat dengan bahwa keputusan ini adalah keputusan yang tidak ringan. Langsung saja aku menelephone Abi.
“Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam.” Jawab Abi.
“Bi, Zah pengen ngobrol!” Kataku.
“Ada masalah yang penting ya Zah!” Abi terdengar gusar.
“Bi. Zah ingin Mas Khalid menikahi Nova! Boleh nggak Bi?”
“HA! Anti serius?” Abi terlihat kaget.
“Iya. Ana sangat serius, ana kasihan dengan kondisi Nova. Ana harus menolongnya!”
Sejenak Abi terdiam. “Hem. Kalau itu memang itu menurut anti terbaik. Abi menyetujui saja.
“Kalau Ummi, gimana Bi?”
“Alhamdulillah Zah memang sudah sangat dewasa sekarang, Ummi meridhoi apa yang memang menjadi keputusan anti. Ummi yakin, anti sudah memikirkannya sangat dalam!” Kata Ummi. Yang ternyata ikut mendengarkan telphoneku.
“Terima kasih, Abi dan Ummi sangat baik dalam mendidik dan membentuk kepribadian Zah! Assalamualaikum” Setalah itu aku langsung menutup telphon.
***
Dalam perjalanan pulang. Aku mencoba mengobrol dengan Nova. Membicarakan tentang niatku. Niat tentang membagi cinta sang Suami. Membagi kasih sayang yang dimiliki Suami. Membagi keadilan yang dimiliki sang Suami. Dan ujian bagi Suamiku, untuk dapat berlaku adil dalam kehidupannya.
“Ukh!” Panggilku ke Nova.
“Iya, ada apa Ukh?”
“Boleh ana meminta sesuatu, dari anti?” Kataku, hati-hati.
Nova melihatku. Mata sayu, terasa ada sebuah rasa heran didirinya. “Ukh. Seandainya saja, anti meminta nyawa ana sekarang. Ana akan berikan kepada anti, sekarang juga!” Ucapnya.
“Benarkah, Ukh!”
“Wahai saudaraku, apa yang akan engkau minta dari saudaramu yang dho’if ini?”
“Apakah anti benar-benar bersedia menuruti permintaan ana?” Tanyaku, meyakinkan.
“Ukhti. Insya Allah, ana siap menuruti apapun yang anti minta!” Tegasnya.
“Benarkah!” Ucapku, mencoba meyakinkan kembali.
“Iya, Ukhti! Sebenarnya apa sih yang anti minta dari ana?” Ucap Nova, terlihat tidak sabar.
“Ehm. Ukhti, ana minta anti mau menjadi Istri dari Suami ana!”
“HA! Anti jangan bercanda?” Nova terlihat sangat kaget.
“Sungguh, ana benar-benar meminta anti!”
Nova membisu. Tiada yang terucap dari bibir indahnya. Matanya menerawang kedepan. Tatapannya kosong.
“Ukhti. Apakah anti tidak mau menuruti permintaan saudara anti sendiri! Atau memang Suami ana tidak pantas untuk anti?” Ucapku sedikit menyesal.
“Bukan-bukan, ana tidak mengatakan itu! Ukhti, apakah anti benar-benar sudah mempertimbangkan hal ini!”
“Ana sudah sangat mempertimbangkan ini! Sungguh sebuah kehormatan yang sangat besar bagi ana. Jika anti mau menerima permintaan ana!”
Nova kembali terdiam. Terselip kebimbangan pada dirinya.
“Ukhti. Sesungguhnya tidak ada maksud apapun dari ana. Ana hanya menginginkan anti untuk menjadi seorang Istri bagi Suami ana, hanya karena ana sangat menyayangi anti! Ana sayang sekali terhadap Suami ana, tetapi ana juga tidak boleh menafikkan bahwa ada seorang akhwat yang perlu perlindungan seorang laki-laki. Seorang Suami yang akan memberikan perlindungan kepada Istrinya! Ana hanya mengenal seorang Ikhwan, yang menurut ana sangat terbaik. Yaitu, Suami ana! Ana rela untuk membagi kasih sayang Suami ana kepada anti. Meskipun ada cemburu dalam diri ana, tetapi ana tidak boleh menjadikan rasa cemburu itu sebagai penghalang ana untuk mencari surga yang akan diberikan oleh Allah! Ana mencinta anti karena Allah. Begitu juga, ana mencintai Suami ana karena Allah! Maka dengan itu, ana ridho untuk membagi kasih sayang Suami ana. Karena cinta kita, adalah karena Allah semata!” Jelasku, pasti. Meskipun sedikit berat dalam hati. Aku sedikit menghela nafas “Apakah anti bersedia, menjadi Istri Suami ana?” Pintaku, lanjut.
“Apakah, ana harus menerima permintaan anti?” Nova terlihat sangat bingung untuk menjawabnya.
“Tidak. Sesungguhnya, anti mempunyai pilihan sendiri. Ana hanya menawarkan sebuah permintaan. Dan mungkin sulit buat untuk menerima hal ini!”
“Ukhti. Seperti apa kata anti! Ana mempunyai pilihan sendiri. Dan jika memang anti tidak keberatan dengan pilihan ana. Ana sangat berterima kasih sekali!” Sejenak, Nova menghela nafas panjang. “Ana memilih, menerima permintaan anti! Sebuah kehormatan besar, yang anti berikan kepada ana. Ana tidak bisa menolaknya.
Meskipun nanti, jika suatu saat ada ketidakadilan yang diberikan kepada ana oleh Akhi Khalid! Ana akan menerima dengan keluasan diri ana. Ana siap menerima itu!
Tetapi jika ada sebuah ketidakadilan yang diberikan oleh Akhi Khalid kepada Anti, maka ana yang akan langsung menuntut ketidakadilan itu!”
“Insya Allah, Ukh! Ana juga akan menuntut jika ada ketidakadilan yang dilakukan oleh Suami ana kepada anti. Syukron, Ukh!” Kataku, sambil melihat wajah Nova.
Ada kesanangan dalam hatiku, tetapi ada sesuatu yang meronta juga dalam batin ini.
Nova hanya mengangguk. Wajahnya seperti menahan rasa haru dan kebahagiaan yang mendalam.
Mobilku terus melaju. Menyibak rona-rona belenggu yang menghampar dari hati. Kalbuku merasa senang dengan keputusan Nova untuk menerima permintaanku.
Tetapi, ada rasa lain yang mengganjal dalam hati. Untuk tidak mau menerima. Ganjalan itu sebenarnya sangat kuat, menjadikan diri begitu egois dalam pandangan syari’at. Tetapi, aku langsung menepisnya. Rasa kebahagiaanku untuk menerima Nova, ternyata lebih aku pilih. Meskipun sangat berat dihati, tetapi kalbu ini menerima dengan keluasan Ilahi. Yaa Allah, aku tunggu Jannah-Mu!
***
Kini aku sudah berada didepan rumahku. Rumah yang menyimpan kenangan indah. Kenangan yang sampai kapanpun tak akan terlupa. Kenangan yang akan melekat dalam jiwa dan kalbu ini. Tetapi, kenangan itu akan membawa kenangankenangan yang lainnya. Kenangan itu akan kembali membuat kenangan indah yang lainnya. Menjadikan kenangan yang lebih indah lagi.
Aku langsung memasuki halaman pekarangan depan. Tanpa harus memencet bel terlebih dahulu. Aku ingin memberikan kejutan kepada Suamiku. Aku ingin memasak-masakan yang sudah banyak aku pelajari. Aku tahu, saat ini Suamiku sedang tidak dirumah. Suamiku sedang mengisi kajian di kampus. Ini saatnya aku benar-benar memberikan kejutan kepadanya. Saat dia pulang dengan letih dan capek yang menghampirinya. Maka, dia akan memakan masakan yang sudah aku sediakan.
Dan aku akan membelainya mesra, dalam balutan kasih sayang yang teramat dalam. Kehangatan dan kelembutan yang sudah lama tak dia dapatkan. Harus aku bayar saat ini. Aku tidak akan lagi menyembunyikan masalah-masalah yang sedang aku hadapi.
Aku akan selalu berbicara kepadanya tentang masalah-masalah yang sedang aku hadapi. Tidak akan lagi ada masalah-masalah yang akan aku hadapi sendiri. Karena sesungguhnya, semua masalah dan kebahagiaan. Harus aku berikan kepada seorang yang telah aku pilih dalam mendampingiku. Mendampingi dalam menyelesaikan cobaan dan mendampingi dalam kebahagiaan.
Saat pintu rumah aku bukan. Bi Iyem, terperanjat kaget dengan kemunculanku.
“Masya Allah! Mbak Zah. Mbak kemana saja? Mbak sehat-sehat aja kan? Mas Khalid sangat sedih loh, saat Mbak nggak ada dirumah?.....”
“Bi. Udah-udah!” Selaku. Sambil memeluknya.
Selintas, sebuah tangisan luluh dalam pundakku. Derai dalam haru seorang pembantu. Sedikit aku melepaskan pelukanku. Bi Iyem serasa tidak mau melepaskan pelukanku. Ada rasa kangen mendalam pada diri Bi Iyem.
“Bi. Sudah, Zah sudah disini!” Bisikku halus.
Sedikit demi sedikit, Bi Iyem melepaskan pelukannya. Wajahnya terselip kebahagiaan. Matanya berbinar terang.
“Mbak, Bibi kangen Mbak Zah. Rumah jadi sepi, saat Mbak Zah tidak ada! Ummi pergi ke Mesir sama Abi. Mas Khalid, selalu duduk sendirian didepan teras lantai atas! Pokoknya sepi sekali. Tetapi, bacaan Al Qur’an tetap ada dirumah ini. Mas Khalid yang membaca dengan lantunan suara yang sangat sedih! Bibi jadi sering nangis kalau mendengar Mas Khalid baca Al Qur’an!” Ucap Bi Iyem dengan sesenggukan karena tangisnya.
“Insya Allah, Zah tidak akan kemana-mana lagi!” Ucapku dengan melihat Bi Iyem.
Sambil tersenyum. “Oh ya, Bi. Ini teman Zah, namanya Nova! Nova nanti akan tinggal disini.” Ucapku lanjut.
Bi Iyem tersenyum. Sambil mengangguk hormat.
“Bi. Zah ingin masak. Pengen buat kejutan untuk Mas Khalid!” Kataku. Agak tersipu, malu.
“Iya. Semua sudah komplit, Mbak Zah mau masak apa saja silakan!”
“Bi. Tolong semua barang-barang Zah, diangkati dikamar Zah yah! Maaf Bi Zah langsung kedapur, jadi nggak bisa bantu Bibi!” Ucapku, sembari menunjuk dimobil.
“Iya, Mbak. Tidak apa-apa, Biar Bibi aja yang bawa!” Bi Iyem langsung menuju mobil, untuk mengambil barang-barang yang ada dimobil.
Aku langsung menuju dapur. Tidak sabar untuk langsung segera memasak-masakan untuk Suami tercinta.
***
Disela-sela memasak. Aku dan Nova berbincang-bincang ringan.
“Ukh, anti kalau dirumah dipanggail Zah?” Tanya Nova tampak heran.
“Iya. Zah, itu kepanjangan dari Farah! Biar lebih gampang, disingkat Zah aja.”
“Hem. Ana panggil Ukhti Zah boleh nggak? Biar kesannya kayak adek dan kakak!”
“Anti nggak usah panggil ana Ukhti Zah. Anti panggil ana Mbak aja yah. Soalnya, anti kan nanti jadi adik ana!” Kataku menggoda, sambil mencubit pinggang Nova.
“Ih. Anti!” Ucapnya, malu-malu.
Aku hanya tersenyum melihat saudaraku yang satu ini.
“Ukh. Anti sama pembantu, kok akrab banget! Apa Anti nggak takut, nantinya tidak dihormati?” Tanya Nova, disela-sela menggoreng ayam.
“Ukh. Dalam Islam, kita harus bersikap baik kepada siapa pun. Bahkan sama pembantu sekali pun. Dalam Islam sangat melarang perbudakan. Makanya, dalam setiap hadits sering dikatakan, bahwa Allah paling suka melihat hambanya yang membebaskan budaknya! Dan, pembantu kita saat ini. Mereka bukanlah seorang budak yang dapat kita atur dengan semau kita sendiri! Pembantu mempunyai kebebasan sendiri, seperti layaknya kita! Tetapi, tetap. Rasa hormat dan menghormati harus saling tertanam pada setiap diri kita. Jadi kita menghormati pembantu, dan begitu pula sebaliknya. Pembantu dengan sendirinya akan menghormati kita. Jika pembantu tidak hormat kepada kita. Mungkin karena kita memang tidak menghormatinya! Tetapi, sunnatullah. Bahwa seorang yang menabur benih kebaikan.
Maka dia akan mendapatkan kebaikan itu pula!” Jelasku.
Acara memasak kami sudah selesai. Semua masakan kini tinggal dihidangkan dimeja makan. Bergegas kami pun dengan cepat menghidangkanya. Agar nanti semua makanannya sudah siap untuk disantap, saat Suamiku datang. Berbagai macam masakan sudah tersedia semuanya. Masakan yang terlihat sangat lezat-lezat untuk dinikmati. Hari ini, aku benar-benar ingin memberikan masakan yang sangat special bagi Suamiku. Masakan yang akan membuat Suamiku kembali meraih kebahagiaannya. Meraih kebahagiaan ditemani oleh istri yang setia dalam setiap jalan dakwahnya. Dan juga untuk mensyukuri atas kenikmatan dan perlindungan yang kami dapatkan, atas perlindungan-Nya. Dan menjadikan kebahagiaan yang besar buatku, karena telah kembali kerumah yang penuh dengan kebahagiaan. Rumah yang selalu dihaisi oleh keindahan kebahagian yang nyata. Kebahagian yang bukan pada kebahagian semu belaka. Tetapi kebahagiaan yang pada hakikatnya adalah kebahagiaan Ilahi Rabbi. Kebahagiaan atas apa yang selalu kami lakukan hanya karena perintah-Nya. Perintah yang harus selalu diikuti karena memang kebutuhan, dan larangan yang akan selalu kita patuhi karena ketakutan kemudharatan. Sungguh, akan menjadi keluarga yang sangat bahagia jika apa yang telah diatur dan ditetapkan-
Nya. Menjadi sebuah jalan hidup dan pedoman hidup bagi kita semua. Bagi manusia seluruh alam semesta ini.
Saat aku sedang akan mengambil air minum. Terdengar seseorang yang masuk kedalam ruang makan. Jangan-jangan, Suamiku sudah datang! Pikirku. Aku langsung mengintip seseorang yang baru datang itu. Ternyata benar, Suamiku sudah datang.
Langkahnya gontai, terlihat malas sekali. Wajahnya terlihat sangat letih, seperti sangat tidak bersemangat sekali. Kasihan mujahidku!
Sejenak langkahnya terhenti. Saat melihat makanan yang berada dimeja makan. Dia melihat semua makanan itu, lada senyum diwajahnya. Senyumnya yang indah itu kembali.
“Seandainya Istriku berada disini, dan memakan makananan ini bersamaku. Pasti sangat membahagiakanku!” Ucapnya. Terdengar lirih.
Suamiku, aku disini! Bisikku lirih dalam hati. Sejenak aku masih mengintipnya dari ruang dapur. Suamiku menarik kursi meja makan. Setelah berdoa, dia langsung menyantap makanan-makanan yang aku sediakan. Rasa senang, gembira dan bahagia bercampur aduk didalama diriku. Suamiku begitu lahap memakan makanan yang telah aku masakkan untuknya. Berdesir hatiku, Pasti engkau begitu tersiksa Suamiku!
Aku sudah tidak tahan lagi untuk menahan rasa haru dan kangen yang begitu bertubi-tubi.
“Enak nggak, Kanda!” Ucapku, dengan memeluknya dari belakang.
Suamiku terpana saat dia menatapku. Matanya begitu tajam, seakan tidak percaya dengan kedatanganku. Mulutnya keluh, terlihat sulit untuk mengucap.
“Jawab dong, Kanda! Enak nggak, masakan Dinda!” Ucapku, dengan penuh kemanjaan.
Lagi-lagi dia hanya terdiam. Rasa ketidakpercayaan masih hinggap didalam dirinya. Rasa kebahagian yang terpendam pun, terlihat muncul dari balik tatapan matanya. Aku merasakan kegembiraannya yang dalam. Tetapi, dia masih terdiam. Dia masih terpana dengan kedatanganku.
Butiran intan jernih pun mengalir disela-sela sudut mataku. Ada haru dalam hatiku, rasa bahagia yang tak akan terlukis dengan kata, bahkan dengan kanvas dan pelukis yang terkenal sekali pun. Tak akan pernah bisa. Aku merindukanmu, Suamiku!
“Kanda, kok diem aja sich? Dinda kangen!” Ucapku, masih dengan penuh manja.
“A..pa benar…. A..pa benar. Apakah ana tidak bermimpi!” Ucapnya, terbata-bata.
“Kanda, afwan. Ana meninggalkan Kanda! Ana sangat mencintai Kanda! Ana benar-benar telah membuat kanda tersiksa! Maaf kan Dinda, Kanda!” Tangis kebahagiaan pun mengalir dipelupuk mataku.
“Dinda, ana kangen sekali! Ana benar-benar sangat lemah, saat Dinda tidak berada disisi”
“Iya, afwan Kanda! Ana, sangat menyesal”
Suamiku menatapku dengan penuh kemesraan. Rasa kebahagian dari balik hatinya, mencuat hingga meluapkan kegembiraan yang sangat dalam.
“Dinda! Apakah dinda tidak apa-apa?” Tanya Suamiku, penasaran.
“Alhamdulillah ana baik-baik saja!” Ucapku sambil menggelengkan kepala.
“Anti selama ini dimana? Apakah anti benar-benar telah diculik oleh Efendi?”
Aku tersenyum, lalu menggelengkan kepala lagi. “tidak kanda! Ceritanya panjang. Nanti saja ceritanya. Ana mau memperkenalkan seseorang!”
“Siapa, dinda?” tanyanya, terlihat penasaran.
“Ukhti, mari masuk saja!” panggilku kepada Nova.
Tak lama Nova pun datang. Wajahnya tertunduk, terasa ada rasa malu yang tersingkap dihatinya. Ada pula rasa kegembiraan yang terpancar dari dirinya. Entahlah, kenapa kegembiraan itu terlihat begitu jelas pada mata batinku.
“Kanda, kenalkan. Ukhti Nova!” Kataku, memperkenalkan.
Saat Suamiku mendengar nama Nova. Dia langsung menatap Nova tajam. Ada yang aneh dalam tatapannya. Dengan begitu seksama, Suamiku melihat Nova. Ada sesuatu tanya yang terlihat dari dirinya.
“Assalamualaikum…!” Salam Nova.
“W..alaikumsalam!” Jawab Suamiku, terdengar gagap saat menjawab salam Nova.
“Kenapa, Suamiku!” Tanyaku manja. Berlagak seperti cemburu.
“Ah, tidak. Ana hanya teringat seorang teman saja!” Jawabnya sekenanya.
Iya, pasti antum ingat Kanda! Gumamku dalam hati. “Teman, apa teman!” Godaku.
Sambil mencubit pinggangnya.
“Iya, teman!” Ucapnya sambil tersenyum. Terlihat sakit.
Nova tersenyum, terlihat rasa malu didirinya. Tetapi juga ada sebuah rasa cemburu yang selintas aku lihat pada dirinya. Cemburu untuk ingin cepat-cepat sepertiku. Mungkin.
***
Saat malam menjelang. Menapaki keindahan yang pernah berlalu dalam kehidupan. Kini malam itu tiba dengan kebahagiaan. Malam telah menjadikan keindahannya kembali datang. Malam membuat kita menjadi lebih mendewasakan apa yang disebut dengan hubungan pernikahan. Nikah merupakan hubungan sacral yang berisi tentang rasa cinta dan keindahan. Tetapi, cinta dan keindahan itu diselingi dengan riak onak duri yang akan menusuk jika kita tidak berhati-hati. Pernikahan adalah kebahagian yang akan membuat seseorang lebih hidup dalam mengarungi
bahtera kehidupan. Hidup dalam kekuatan cinta yang berisi tentang keindahan-Nya. Gambaran keindahan surga, walaupun gambaran itu terlihat sangat buram. Tetapi masih tetap menyenangkan dan membahagiakan. Karena keindahan surga tak layak untuk dapat kita gambarkan dengan kekuatan otak kita. Apalagi kekuatan akal kita yang sering kali tertipu dengan penglihatan mata kita. Malam ini benar-benar kegembiraan yang terlantun dalam keindahan. Melodi-melodi cinta yang menyenandungkan keindahan. Melodi-melodi memori yang tertanam dalam otak pada keindahan cinta. Benar-benar nikmat, kasih sayang yang diberikan oleh-Nya kepadaku. Hingga dihadiahkannya Mujahid sejati untukku. Aku belai Suamiku dengan kelembutan. Setelah sekian lama dia tidak mendapatkan belaian kasih sayangku. Sekian lama dia bersabar dalam ujian dan cobaan. Dan kini aku harus memberikan hadiah yang tidak akan pernah ada habisnya hadiah itu. Aku harus memberikan kepadanya. Memberikan kepada Suamiku tercinta, sebuah hadiah yang sangat istimewa.
“Kanda. Kanda kangen nggak sama dinda?” Ucapku dengan manja.
“Dinda, ana begitu benar-benar tersiksa saat anti menghilang! Ana benar-benar tidak bersemangat sekali dalam menjalani semua aktivitas. Bahkan menjalani hidup!”
“Iya, Dinda tahu!”
“Ha! Dinda tahu?” Ucapnya penasaran.
“Selama ini, Dinda hanya pergi sebentar. Saat Kanda menghadapi Efendi dan kawankawannya. Ana benar-benar takut. Saat itu ana mencemaskan kanda. Tapi setelah ana lari. Ana malah teringat dengan ukhti Nova. Sebenarnya ana sudah lama membina ukhti Nova. Hanya saja, ana masih merahasiakannya. Ukhti Nova lari dari rumah itu pun atas usul ana. Sekarang ukhti Nova tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Ana takut jika nanti ukhti Nova pulang. Malah tambah parah keadaannya.”
“hem jadi akhirnya, anti rela mengorbankan ana!” Ucapnya dengan sambil memalingkan muka. Terlihat marah.
“Kanda. Bukan begitu maksud ana!” Kataku dengan membelai pipinya. “Ana rasa, kalau Kanda lebih mampu menghadapi musibah daripada ukhti Nova! Jadi ana berani meninggalkan Kanda sebentar saja.”
“Hem, lalu selama ini anti ada dimana?”
“Ana berada dirumah kita yang kedua! Selama ini ana terus memantau kanda. Kanda kemana, dimana, sama siapa. Ana mengetahui segalanya. Apalagi saat kanda berada dirumah sakit. Ana tetap memantau kanda.”
“Wah Dinda, berbakat juga jadi spionase yach!” Ujarnya bercanda.
Aku tertawa kecil. “Ana hanya menjaga Suami aja kok, Kanda! Oh, ya. Ana baru tahu, kalau Kanda benar-benar pintar beladiri! Kanda, kok tidak pernah cerita kalau Kanda bisa beladiri?”
“Siapa dulu, Kanda!” Ucapnya, sambil menepuk dada.
“Iya, siapa dulu. Suami Dinda!” Sahutku, dengan berasandar didadanya. “Kanda, sayang. Dinda ingin meminta tolong! Bisa nggak?” Kataku lanjut.
“Apa, sayang!”
“Boleh nggak ukhti Nova tinggal disini!” Tanyaku dengan sangat menjaga ucapan.
“Loh, itu kan terserah anti. Ini kan rumah anti!”
“Kanda sayang! Ini rumah kita, bukan hanya rumah ana” Ucapku agak kesal.
“Afwan sayang, iya-iya. Ini rumah kita!” Jawabnya, sambil membelai mesra rambutku.
Senyumnya kembali merekah. Sambil kembali bersandar didadaku. “Kanda, apa boleh ukhti Nova tinggal disini?” Tanyaku lagi.
“Iya boleh dong, Dinda!”
“Maksud ana, boleh nggak ukhti Nova tinggal di rumah ini!” Kataku sekali lagi. Aku bingung untuk mengatakan dengan sejelasnya.
“Iya sayang, boleh!” Jawabnya, mempertegas.
“Bukan itu, maksud ana!” Kataku, kesal karena ketidaktahuannya tentang maksudku. Setelah sedikit mendesah, aku mengatakan “maksuda ana, Kanda mau nggak menjadi suami ukhti Nova!”
“Ha…!” seketika itu pun Suamiku terperanga. Serasa tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan.
“Kanda! Mau nggak?” Ucapku, seraya menggoyang-goyangkan badannya.. Dengan tetap bersifat manjanya.
“Apa, maksud anti?” Katanya heran.
“Tidak ada maksud apapun! Ana hanya ingin Kanda menikahi ukhti Nova. Itu aja!” Jawabku.
“Sayang-sayang, anti nggak apa-apa kan?” Ucapnya penasaran. Dengan memperhatikan wajahku, sambil memegangi kepalaku.
“KANDA! Ana nggak kenapa-napa.” Kataku dengan nada sedikit keras.
Sesaat Suamiku terdiam. Dia memandangku dengan tajam. Terlihat tanya dalam lubuk hatinya.
Aku menarik nafas panjang. Terasa sesak menyumpal dada. “Kanda, ana hanya ingin menjadi muslimah yang baik! Muslimah yang menyayangi saudara sendiri! Ana nggak ingin menjadi akhwat yang egois. Ana ingin membagi kebahagiaan yang ana miliki bersama Kanda. Dengan membaginya kepada akhwat lain! Kanda, sungguh ana tidak kenapa-napa. Ana tidak punya penyakit yang kronis apalagi bosan terhadap kanda. Sehingga dengan mudah ana mau melepaskan Kanda. Kanda, ana memang sangat menyayangi Kanda. Ana sangat bahagia bersama Kanda. Tetapi, saat-saat kebahagian yang kita pupuk bersama. Ada segolongan akhwat, yang tidak merasakan kebahagiaan kita. Mungkin ini berat bagi ana. Dan memang itu sangat berat bagi ana.
Untuk mengikhlaskan Kanda membagi rasa kasih sayang, yang Kanda punyai. Kanda, sesungguhnya semua ini ana lakukan, karena ana sayang terhadap saudara ana yang lain. Ana ingin akhwat lain, juga merasakan kebahagiaan kita. Kanda, sesungguhnya poligami itu juga termasuk rahmat dari Allah, dan merupakan sebuah langkah dakwah. Dan apakah Kanda lupa, bahwa surga adalah jaminan bagi wanita yang mengikhlaskan suaminya untuk menikah lagi!” Aku sedikit tertunduk. Tak terasa butiran-butiran intan yang berada mata berjatuhan. Berat rasanya, tetapi aku harus bisa mengatakannya.
Ada sedikit gundah tercurat dimata Suamiku. Dia tertunduk lesu, dalam balutan kebingungan yang mendalam. “Sayang, ana takut. Ana takut, jika ana tidak bisa berlaku adil!”
Aku memeluknya erat. “Kanda, ana yakin antum bisa berlaku adil. Sesungguhnya, penilaian adil dan tidaknya. Hanya ana yang bisa merasakannya. Saat bersama Kanda,ana semakin yakin. Bahwa Kanda bisa berlaku adil. Ya, meskipun Kanda tidak dapat berlaku adil masalah hati. Tetapi yang penting adil dalam pandangan syari’at sudah Kanda jalani. Ana sangat ikhlas membagi kasih sayang yang Kanda punyai!”
“Sayang, ini sangat berat!”
“Kanda, ana akan membantu mengingatkan Kanda. Jika suatu saat Kanda akan berbelok arah jalan. Ana siap menjadi jaminan!”
“Hem..!” Ucapnya dengan desahan yang teramat berat.
“Mau, ya! Jika memang Kanda menyayangi Dinda. Ana mohon, Kanda bersedia!”
Paksaku. Jemari-jemariku memegang erat jemarinya. Untuk memberikan kekuatan sebuah permintaan yang sangat sulit untuk bisa diterimanya. Mungkin.
Suamiku memandangku, dia tersenyum. Tetapi terlihat senyuman yang sangat berat sekali. Tak lama Suamiku menganggukkan kepala, menandakan persetujuannya.
Tetapi, lagi-lagi terlihat sangat berat sekali. Serasa ini adalah permintaan yang sangat berat baginya. Gundah yang disiratkan dalam wajahnya, masih terlihat sangat jelas.
“Terima kasih Kanda, sayangku!” Ucapku lirih. Meskipun sesak didada ini menerpa bertubi-tubi. Mana ada wanita yang merelakan Suaminya untuk menikah lagi! Tapi aku harus bisa, ini jalan kesurga. Gumamku lirih dalam hati.
“Lalu, apa kata Abi dan Ummi nanti? Apa Beliu berdua akan menyetujui permintaan Anti?” Tanya Suamiku, terlihat sangat bingung.
“Abi sudah mengatakan, ‘Terserah jalan yang Anti pilih, jika itu baik menurut antimaka lakukanlah.’ Dan Ummi mengakatan ‘Alhamdulillah, anakku sudah dewasa.
Dan sekarang menjadi wanita yang hebat!’ Itulah ucapan beliau berdua” Ucapku dengan senyum.
“Ha… Anti sudah mengatakannya! Berarti selama ini Abi dan Ummi tahu keberadaan, Dinda?” Tanyanya, semakin terlihat bingung.
“Iya! Abi dan Ummi sudah tahu lama keberadaan ana. Saat hari kelima, Kanda dirawat dirumah sakit. Ana langsung menghubungi Abi dan Ummi untuk tidak khawatir tentang keberadaan ana. Dan tetap, keberadaan ana tidak boleh diberitahukan kepada siapapun. Termasuk Kanda!” Jelasku. Suamiku hanya terbengong.
***
Pernikahan pun telah dilaksanakan. Saat akad dinyatakan oleh Suamiku. Berdesir hati ini ingin berontak. Berontak karena ada rasa cemburu yang mendalam dalam hati. Inginku berteriak, menyuarakan rasa cemburu ini. Rasa sesak yang bertubi dalam lubuk hati. Sesak yang terus menyerang dalam diri hingga bagaikan menghambatku untuk bernafas. Tetapi, sungguh Allah telah memberikan kekuatan yang Maha Dahsyat kepadaku. Kekuatan yang diberikan kepada seorang istri yang ikhlas, melepas saparuh kasih sayang suaminya untuk dibagi dengan wanita lain. Saat sekilas suamiku melihatku, ada tatapan yang sangat teduh. Dalam, menyentuh lubuk hatiku. Serasa tatapannya mengingatkan tentang cintanya kepadaku. Tatapan yang membuatku teduh dan teguh dalam pendirianku. Tatapan yang membuatku semakin mencintainya. Tatapan itu begitu indah, merasuk dalam jiwa. Hingga tubuhku bergetar. KANDA... AKU SANGAT MENYAYANGIMU! TAK AKAN KULEPAS CINTAKU KEPADAMU MESKIPUN CINTAMU TAK SEUTUH YANG DULU! Teriakku dalam hati.
NB: Teruntuk wanita, yang telah menjadikan aku sebagai suami yang setia dalam mengarungi bahtera pernikahan yang dilingkupi kebahagiaan dan diselingi dengan penderitaan. Akhirat tujuan kekal kita, wahai yang telah mendampingiku dengan setia.
Komentar
Posting Komentar