KETIKA CINTA HARUS BERSABAR ( Novel )
Penulis : Nurlaila Zahra
Satu
Ya Rabbi, entah siapa yang tadi aku lihat. Malaikatkah? atau mungkin seorang alim yang menjelma seperti Malaikat? Entahlah. Tapi yang pasti, hatiku langsung berdetak kencang tatkala kedua mataku menatap tak sengaja wajah putih bersih nan berwibawa itu yang sempat melintasi penglihatanku. Sampai sekarang, sosok ‘malaikat’ itu masih melekat dalam benakku.
Sore tadi, Mama mengajakku kerumah salah seorang sahabatnya yang tengah sakit. Awalnya aku menolak karena memang editan tulisanku belum selesai aku revisi kembali. Besok lusa harus segera aku serahkan ke pihak penerbit untuk dipelajari dan untuk selanjutnya di terbitkan menjadi sebuah buku novel yang siap untuk dibaca.
Aku seorang penulis novel yang memang belum terlalu termasyhur seperti Habiburrahman El Shirazy, Azimah Rahayu, Helvy Tiana Rossa, dan masih banyak nama-nama penulis lainnya yang menjadi penulis idolaku sekaligus menjadi inspirasiku dalam menulis. Dua novelku sudah beredar di pasaran. Yang pertama berjudul Kerlingan Hati dan yang kedua berjudul Episode Jingga. Alhamdulillah kedua novelku itu laris manis di pasaran. Dan sekarang, aku sedang menggarap novelku yang ketiga yang judulnya masih aku rahasiakan. Tapi lagi-lagi karena mamaku tersayang mengajakku pergi menjenguk temannya yang sedang sakit, jadilah aku merubah semua jadwalku duduk didepan komputer untuk merevisi ulang novelku, untuk ikut mama pergi menjenguk temannya. Mau bilang apa lagi? toh kalau mama sudah beralasan,”Dinda, nanti kalau sampai penyakit mama kumat di jalan, bagaimana?”. Hfh…tak tega rasanya kalau sampai penyakit asma mama kumat ditengah jalan. Semoga saja tidak.
Ya Rabbi, entah siapa yang tadi aku lihat. Malaikatkah? atau mungkin seorang alim yang menjelma seperti Malaikat? Entahlah. Tapi yang pasti, hatiku langsung berdetak kencang tatkala kedua mataku menatap tak sengaja wajah putih bersih nan berwibawa itu yang sempat melintasi penglihatanku. Sampai sekarang, sosok ‘malaikat’ itu masih melekat dalam benakku.
Sore tadi, Mama mengajakku kerumah salah seorang sahabatnya yang tengah sakit. Awalnya aku menolak karena memang editan tulisanku belum selesai aku revisi kembali. Besok lusa harus segera aku serahkan ke pihak penerbit untuk dipelajari dan untuk selanjutnya di terbitkan menjadi sebuah buku novel yang siap untuk dibaca.
Aku seorang penulis novel yang memang belum terlalu termasyhur seperti Habiburrahman El Shirazy, Azimah Rahayu, Helvy Tiana Rossa, dan masih banyak nama-nama penulis lainnya yang menjadi penulis idolaku sekaligus menjadi inspirasiku dalam menulis. Dua novelku sudah beredar di pasaran. Yang pertama berjudul Kerlingan Hati dan yang kedua berjudul Episode Jingga. Alhamdulillah kedua novelku itu laris manis di pasaran. Dan sekarang, aku sedang menggarap novelku yang ketiga yang judulnya masih aku rahasiakan. Tapi lagi-lagi karena mamaku tersayang mengajakku pergi menjenguk temannya yang sedang sakit, jadilah aku merubah semua jadwalku duduk didepan komputer untuk merevisi ulang novelku, untuk ikut mama pergi menjenguk temannya. Mau bilang apa lagi? toh kalau mama sudah beralasan,”Dinda, nanti kalau sampai penyakit mama kumat di jalan, bagaimana?”. Hfh…tak tega rasanya kalau sampai penyakit asma mama kumat ditengah jalan. Semoga saja tidak.
Aku berangkat bersama mama tepat setelah shalat Ashar kami tunaikan. Aku tidak pernah tahu teman mama yang satu ini. Mama bilang dia itu bernama Ibu Rahayu. Teman mama semasa kuliah dulu. Aku hanya mendengarkan mama bercerita banyak tentang sahabatnya itu yang katanya lumayan cantik dan mempunyai seorang suami yang juga tampan dan seorang anak laki-laki yang menurut mama sangat cocok untuk dijadikan seorang menantu.
”Bu Rahayu itu punya seorang anak laki-laki. Mama lupa namanya siapa. Tapi yang pasti dia itu cocoklah untuk dijadikan seorang menantu”
Hfh…aku hanya menghela nafas mendengar celotehan mama yang menurutku hanya sebuah pengharapan seorang ibu yang menginginkan anak perempuannya segera menikah.
Menikah. Semua gadis yang sudah cukup umur juga pasti berharap ingin segera mempunyai pendamping hidup yang sesuai dengan kriterianya. Ya…minimal seseorang yang baik, sholeh, bertanggung jawab, dan dapat menerima keadaan diri apa adanya. Tapi kalau memang belum jodoh mau diapakan lagi? Aku hanya berharap seorang yang soleh yang bersedia menjadi suamiku.
* * *
Tepat disebuah rumah bernuansa minimalis kami turun dari mobil yang aku kendarai sendiri. Diluar sudah ada seorang perempuan paruh baya yang membukakan pintu rumah untuk kami. Ibu itu lalu menyuruh kami masuk karena dia sudah tahu bahwa kami akan datang untuk menjenguk Ibu Rahayu. Sekantong buah-buahan aku serahkan padanya. Diapun segera mengantar kami memasuki kamar Bu Rahayu.
Di dalam aku melihat seorang ibu yang sudah sedikit tua dengan wajah pucat pasinya berbaring diatas tempat tidur berselimutkan kain yang sangat tebal. Kepalanya ia tutup dengan sebuah kerudung pendek. Dialah Bu Rahayu. Senyumnya segera menyambut kami ketika ia lihat wajah kami nampak dari balik pintu. Mama dan Bu Rahayu segera berpelukan tatkala keduanya dipertemukan kembali setelah beberapa tahun tidak bertemu. Tangis kebahagiaanpun membuncah disana. Aku hanya bisa menatap mereka dengan penuh haru. Beberapa saat lamanya aku menjadi orang yang terasing didalam kamar itu.
Tiba-tiba Bu Rahayu menegurku dengan sapaan yang lembut. Tegurannya itu membuat aku tersadar dari lamunanku.
”Ini pasti Dinda ya?” Tanya Bu Rahayu.
”I..iya bu..” Jawabku tergagap. Aku segera meraih tangannya dan kucium. Aku kembali tersenyum padanya.
”Sudah besar ya? Berapa usia kamu sekarang?” Tanya Bu Rahayu lagi yang membuat aku ragu-ragu untuk menjawabnya.
”Ehm...27 tahun bu” Sahutku tanpa semangat yang membara. Entah mengapa setiap kali ada seseorang yang menanyakan berapa usiaku, aku selalu menjawabnya tanpa mempunyai semangat. Mungkin karena sampai sekarang aku belum juga menikah.
”Tahu darimana Lis kalau aku sakit?” Tanya Bu Rahayu pada Mama. Aku menarik kursi yang disediakan oleh ibu tua tadi sambil mendengar jawaban Mama.
”Dari Rudi. Kebetulan kemarin aku bertemu dia di pasar. Dan dia bilang katanya kamu sakit. Memang kamu sakit apa sih Yu?” Mama balik bertanya.
”Tahulah Lis. Aku juga bingung sendiri dengan sakitku” Jawab Bu Rahayu dengan mata berkaca-kaca. Sesaat kutangkap sepertinya ada yang mengganjal dalam hatinya. Diapun mulai bercerita.
”Beberapa hari yang lalu ada yang menawarkan seorang muslimah padaku untuk dijadikan istri oleh anakku....”
”Oh iya, mana anakmu itu? Kok tidak kelihatan? Siapa namanya?” Cerocos Mama memotong pembicaraan Bu Rahayu. Bu Rahayu menghela nafasnya dan menjawab dengan nada datar. Aku memperhatikannya dengan seksama.
”Anakku itu bernama Yusuf Abdul Fattah. Masa kau lupa sih Lis?”
”Oh iya! Maaf..maaf, namanya juga orang tua. Lanjutkan Yu!” Kata Mama seraya menyuruh Bu Rahayu untuk melanjutkan ceritanya.
”Aku sempat melihat gadis itu. Wajahnya cantik, perilakunya baik, ahklaknya pun bagus. Dia berjilbab, sama seperti Dinda” Lanjut Bu Rahayu sambil melirik kearahku ketika dia menyebutkan namaku. Aku hanya tersenyum dan meneruskan mendengar cerita Bu Rahayu.
”Setelah aku tawarkan pada si Yusuf, lha kok dia malah menolak. Katanya, kurang cocok dengan seleranya. Asal kamu tahu saja ya Lis, ini untuk yang kelima kalinya dia menolak untuk dinikahkan. Kamu tahu sendiri, usianya Yusuf itu tidak beda jauh dengan usianya Dinda. Apalagi coba yang mau dicari dengan umur segitu kalau bukan istri. Aku sampai stres memikirkannya dan akhirnya aku jatuh sakit. Nah itulah penyebab sakitku saat ini” Ucap Bu Rahayu menutup ceritanya. Sesekali kulihat dia membenarkan posisi duduknya yang bersandar pada sebuah bantal.
”Sekarang dia kemana bu?” Tanyaku tiba-tiba saja. Aku juga kaget. Kenapa aku menanyakan hal itu? Aku sendiri tidak tahu alasannya.
”Sekarang dia sedang menebus obat ibu di apotik. Perginya sih dari tadi, mungkin sebentar lagi juga pulang” Jawab Bu Rahayu tenang. Suasana kembali lagi seperti semula. Mama dan Bu Rahayu kembali larut dalam perbincangan masa lalunya, sedangkan aku hanya dapat mendengarkan mereka berbincang tentang suatu hal yang baru bagiku.
Beberapa saat lamanya waktu berjalan, tiba-tiba dari luar kamar terdengar suara seorang laki-laki mengucapkan salam dan membuka pintu secara perlahan. Aku, Mama, dan Bu Rahayu pun segera mengarahkan pandangan kami ke arah suara itu. Perlahan-lahan pintu itu terbuka dan...Subhanallah! Seorang laki-laki tampan dengan kemeja dan celana bahannya datang dengan membawa sekantong kecil obat.
Aku berdiri dari dudukku tanpa melepaskan pandanganku dari laki-laki itu. Sesaat lamanya aku menatap dia yang sedang mencium tangan Bu Rahayu kemudian mengatupkan kedua tangannya pada Mama. Aku seperti terbius oleh keindahan zahirnya. Aku tersadar tatkala dia mengucapkan salam padaku dan mengatupkan kedua tangannya juga padaku.
”Assalamu’alaikum” Ucapnya lembut sambil menunduk.
”Wa..wa’alaikummussalam” Sahutku dengan sedikit tergagap. Aku segera menundukkan pandanganku dari wajahnya dan kutarik nafasku secara perlahan. Entah mengapa saat ini jantungku berdebar-debar.
Kudengar Bu Rahayu memperkenalkan laki-laki itu sebagai anaknya yang bernama Yusuf Abdul Fattah dan dia juga memperkenalkan Mama sebagai sahabat lamanya dan juga memperkenalkan aku pada Yusuf. Sesaat aku mencuri pandang padanya. Astaghfirullah! Ucapku dalam hati. Kembali kutarik nafasku dalam-dalam.
Tak berapa lama, laki-laki yang kukenal bernama Yusuf itu meminta diri untuk keluar dari kamar. Aku tak berani lagi menatap wajahnya. Takut dosa. Aku hanya dapat mendengar suaranya yang dengan lembut mengucapkan salam. Aku menjawab salamnya dengan pelan. Tak berapa lama, Mama dan Bu Rahayu mengganti topik pembicaraan mereka dengan masalah Yusuf.
Aku berusaha mengendalikan perasaanku. Entah mengapa, seperti ada yang berbeda dalam hatiku setelah aku melihat Yusuf tadi. Aku jadi teringat perkataan Mama.
”Bu Rahayu itu punya seorang anak laki-laki. Mama lupa namanya siapa. Tapi yang pasti dia itu cocoklah untuk dijadikan seorang menantu”.
Apa mungkin bisa ya? Pikirku sudah mulai ngaco kemana-mana.
Sepanjang perjalanan pulang aku tak bisa memfokuskan fikiranku. Sesampainya dirumah aku sudah tak memikirkan editan tulisanku di komputer. Yang menjadi pikiranku sekarang adalah, apakah sosok ”malaikat” itu yang menjadi harapan Mama? Oh....Rabbi, selamatkan aku dari penyakit hati ini. Teriakku dalam hati.
Adzan Maghrib sudah berkumandang. Aku segera bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Di dalam aku melihat seorang ibu yang sudah sedikit tua dengan wajah pucat pasinya berbaring diatas tempat tidur berselimutkan kain yang sangat tebal. Kepalanya ia tutup dengan sebuah kerudung pendek. Dialah Bu Rahayu. Senyumnya segera menyambut kami ketika ia lihat wajah kami nampak dari balik pintu. Mama dan Bu Rahayu segera berpelukan tatkala keduanya dipertemukan kembali setelah beberapa tahun tidak bertemu. Tangis kebahagiaanpun membuncah disana. Aku hanya bisa menatap mereka dengan penuh haru. Beberapa saat lamanya aku menjadi orang yang terasing didalam kamar itu.
Tiba-tiba Bu Rahayu menegurku dengan sapaan yang lembut. Tegurannya itu membuat aku tersadar dari lamunanku.
”Ini pasti Dinda ya?” Tanya Bu Rahayu.
”I..iya bu..” Jawabku tergagap. Aku segera meraih tangannya dan kucium. Aku kembali tersenyum padanya.
”Sudah besar ya? Berapa usia kamu sekarang?” Tanya Bu Rahayu lagi yang membuat aku ragu-ragu untuk menjawabnya.
”Ehm...27 tahun bu” Sahutku tanpa semangat yang membara. Entah mengapa setiap kali ada seseorang yang menanyakan berapa usiaku, aku selalu menjawabnya tanpa mempunyai semangat. Mungkin karena sampai sekarang aku belum juga menikah.
”Tahu darimana Lis kalau aku sakit?” Tanya Bu Rahayu pada Mama. Aku menarik kursi yang disediakan oleh ibu tua tadi sambil mendengar jawaban Mama.
”Dari Rudi. Kebetulan kemarin aku bertemu dia di pasar. Dan dia bilang katanya kamu sakit. Memang kamu sakit apa sih Yu?” Mama balik bertanya.
”Tahulah Lis. Aku juga bingung sendiri dengan sakitku” Jawab Bu Rahayu dengan mata berkaca-kaca. Sesaat kutangkap sepertinya ada yang mengganjal dalam hatinya. Diapun mulai bercerita.
”Beberapa hari yang lalu ada yang menawarkan seorang muslimah padaku untuk dijadikan istri oleh anakku....”
”Oh iya, mana anakmu itu? Kok tidak kelihatan? Siapa namanya?” Cerocos Mama memotong pembicaraan Bu Rahayu. Bu Rahayu menghela nafasnya dan menjawab dengan nada datar. Aku memperhatikannya dengan seksama.
”Anakku itu bernama Yusuf Abdul Fattah. Masa kau lupa sih Lis?”
”Oh iya! Maaf..maaf, namanya juga orang tua. Lanjutkan Yu!” Kata Mama seraya menyuruh Bu Rahayu untuk melanjutkan ceritanya.
”Aku sempat melihat gadis itu. Wajahnya cantik, perilakunya baik, ahklaknya pun bagus. Dia berjilbab, sama seperti Dinda” Lanjut Bu Rahayu sambil melirik kearahku ketika dia menyebutkan namaku. Aku hanya tersenyum dan meneruskan mendengar cerita Bu Rahayu.
”Setelah aku tawarkan pada si Yusuf, lha kok dia malah menolak. Katanya, kurang cocok dengan seleranya. Asal kamu tahu saja ya Lis, ini untuk yang kelima kalinya dia menolak untuk dinikahkan. Kamu tahu sendiri, usianya Yusuf itu tidak beda jauh dengan usianya Dinda. Apalagi coba yang mau dicari dengan umur segitu kalau bukan istri. Aku sampai stres memikirkannya dan akhirnya aku jatuh sakit. Nah itulah penyebab sakitku saat ini” Ucap Bu Rahayu menutup ceritanya. Sesekali kulihat dia membenarkan posisi duduknya yang bersandar pada sebuah bantal.
”Sekarang dia kemana bu?” Tanyaku tiba-tiba saja. Aku juga kaget. Kenapa aku menanyakan hal itu? Aku sendiri tidak tahu alasannya.
”Sekarang dia sedang menebus obat ibu di apotik. Perginya sih dari tadi, mungkin sebentar lagi juga pulang” Jawab Bu Rahayu tenang. Suasana kembali lagi seperti semula. Mama dan Bu Rahayu kembali larut dalam perbincangan masa lalunya, sedangkan aku hanya dapat mendengarkan mereka berbincang tentang suatu hal yang baru bagiku.
Beberapa saat lamanya waktu berjalan, tiba-tiba dari luar kamar terdengar suara seorang laki-laki mengucapkan salam dan membuka pintu secara perlahan. Aku, Mama, dan Bu Rahayu pun segera mengarahkan pandangan kami ke arah suara itu. Perlahan-lahan pintu itu terbuka dan...Subhanallah! Seorang laki-laki tampan dengan kemeja dan celana bahannya datang dengan membawa sekantong kecil obat.
Aku berdiri dari dudukku tanpa melepaskan pandanganku dari laki-laki itu. Sesaat lamanya aku menatap dia yang sedang mencium tangan Bu Rahayu kemudian mengatupkan kedua tangannya pada Mama. Aku seperti terbius oleh keindahan zahirnya. Aku tersadar tatkala dia mengucapkan salam padaku dan mengatupkan kedua tangannya juga padaku.
”Assalamu’alaikum” Ucapnya lembut sambil menunduk.
”Wa..wa’alaikummussalam” Sahutku dengan sedikit tergagap. Aku segera menundukkan pandanganku dari wajahnya dan kutarik nafasku secara perlahan. Entah mengapa saat ini jantungku berdebar-debar.
Kudengar Bu Rahayu memperkenalkan laki-laki itu sebagai anaknya yang bernama Yusuf Abdul Fattah dan dia juga memperkenalkan Mama sebagai sahabat lamanya dan juga memperkenalkan aku pada Yusuf. Sesaat aku mencuri pandang padanya. Astaghfirullah! Ucapku dalam hati. Kembali kutarik nafasku dalam-dalam.
Tak berapa lama, laki-laki yang kukenal bernama Yusuf itu meminta diri untuk keluar dari kamar. Aku tak berani lagi menatap wajahnya. Takut dosa. Aku hanya dapat mendengar suaranya yang dengan lembut mengucapkan salam. Aku menjawab salamnya dengan pelan. Tak berapa lama, Mama dan Bu Rahayu mengganti topik pembicaraan mereka dengan masalah Yusuf.
Aku berusaha mengendalikan perasaanku. Entah mengapa, seperti ada yang berbeda dalam hatiku setelah aku melihat Yusuf tadi. Aku jadi teringat perkataan Mama.
”Bu Rahayu itu punya seorang anak laki-laki. Mama lupa namanya siapa. Tapi yang pasti dia itu cocoklah untuk dijadikan seorang menantu”.
Apa mungkin bisa ya? Pikirku sudah mulai ngaco kemana-mana.
Sepanjang perjalanan pulang aku tak bisa memfokuskan fikiranku. Sesampainya dirumah aku sudah tak memikirkan editan tulisanku di komputer. Yang menjadi pikiranku sekarang adalah, apakah sosok ”malaikat” itu yang menjadi harapan Mama? Oh....Rabbi, selamatkan aku dari penyakit hati ini. Teriakku dalam hati.
Adzan Maghrib sudah berkumandang. Aku segera bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
* * *
Dua
Hari berganti hari, aku sudah tak lagi memikirkan sosok ”malaikat” itu. Dan aku berusaha untuk tidak memikirkannya. Kemarin sore aku mendapat sebuah undangan dari sahabatku, Arini, teman satu kantor. Hari ini dia akan menikah. Aku tertawa sendiri melihat namanya yang manis bertengger didalam undangan pernikahannya yang berwarna kuning keemasan, bersebelahan dengan nama seorang ikhwan1 yang sangat aku kenal, Fauzi. Yang jelas-jelas aku ingat dulu Arini sempat tidak suka pada ikhwan yang mempunyai potongan rambut belah tengah itu dan berkaca mata.
Menurut Arini -sebelum akhirnya dia luluh juga pada Fauzi- Fauzi itu sosok seorang ikhwan yang paling aneh yang pernah ia kenal. Wajahnya yang biasa-biasa saja dengan aksesoris kaca matanya yang tak pernah ia tinggalkan, membuat Arini ilfill terhadapnya. Apalagi gaya bicaranya yang menurut Arini seperti perempuan, semakin menguatkan argumennya bahwa Fauzi itu bukan ikhwan tulen. Aku hanya tersenyum mendengarnya tanpa bisa memberikan komentar apa-apa soal Fauzi karena ternyata, diam-diam Fauzi menyimpan perasaan pada Arini.
Aku tahu hal itu dari Fauzi sendiri. Suatu ketika Fauzi pernah mengirimkan email padaku yang meminta tolong agar aku mau mengatakan pada Arini kalau dia suka padanya dan hendak melamarnya. Aku sempat terkejut membaca pesan itu. Jarak antara ruanganku dengan ruangan Fauzi tidak jauh. Kami memang satu kantor tapi kami tak pernah bertemu lama walaupun hanya sekedar berbincang-bincang.
Setelah membaca ulang emailnya, aku segera menulis balasan email untuknya.
Wa’alaikumussalam. Wr. Wb
Fauzi, apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu? Kalau peranku hanya sekedar menyampaikan pesanmu pada Arini, mungkin aku bisa bantu. Tapi kalau untuk lebih jauhnya, afwan2, lebih baik kamu hubungi saja murabbi3nya. Kalau kamu mau, aku bisa memberikan alamat dan nomor teleponnya padamu. Kebetulan aku mengenalnya. Bagaimana? Afwan ya.
Segera kukirim email itu padanya dan kuketik sms untuknya yang mengatakan bahwa aku sudah memberikan balasan emailnya. Aku melanjutkan tugasku kembali. Mengedit beberapa tulisan yang sudah masuk kedalam redaksi kami. Kantor tempat aku bekerja adalah perusahaan majalah Islam yang cukup terkenal di Jakarta.
Tak berapa lama ponselku berdering. Kulihat. Satu pesan diterima. Dari Fauzi. Kubuka. Isinya :
Baiklah Mbak. Aku minta almt & nomor tlp murabbinya Arini. Smg ini bs membntuku. Krm via email ya Mbak? Syukran4.
Aku tak membalas smsnya. Segera kubuka buku agendaku dan kucari nama Mbak Nurma, murabbi Arini. Ketemu. Tanpa berlama-lama, aku langsung mengetik nama, alamat, dan nomor telepon Mbak Nurma dan segera kukirim via email, sesuai dengan permintaan Fauzi. Setelah aku megirimnya, aku kembali mengetik sms untuknya.
Almtnya sdh aku krm. Smg itu bs mmbntu dlm ikhtiarmu mncri jodoh y? Smg sukses. Afwan.
Aku kembali larut dalam kerjaanku yang sedari tadi tertunda oleh urusan Fauzi. Tak berapa lama kemudian, ponselku berbunyi lagi. Aku tak mengindahkannya. Aku yakin itu dari Fauzi yang ingin mengucapkan terima kasih padaku. Kerjaanku sedang banyak-banyaknya dan sebentar lagi tulisan-tulisan ini harus segera diserahkan kepercetakan.
* * *
Aku tersenyum sendiri melihat undangan manis yang kini masih tergeletak di atas meja riasku. Peranku dalam usaha Fauzi menemukan jodohnya hanya sampai disitu. Aku sungguh tak menyangka kalau Fauzi memang benar-benar menginginkan Arini menjadi istrinya. Satu hal yang aku ingat saat aku berbincang-bincang dengan Arini dulu.
”Rin, membenci seseorang itu boleh saja. Tapi harus sewajarnya. Tidak boleh kita membenci orang lain tanpa alasan yang tidak jelas. Ingat lho Rin! Janganlah kamu membenci orang lain dengan sangat membencinya, karena bisa saja suatu hari kamu jadi menyukainya. Begitu juga sebaliknya. Jika kamu menyukai orang lain ya sewajarnya saja, sebab bisa jadi suatu hari kamu akan berbalik membencinya. Saat ini mungkin kamu tidak suka dengan penampilan dan gaya bicara Fauzi. Tapi bisa jadi suatu saat kamu malah justru berbalik menyukainya. Ingat! Hal itu ada haditsnya lho Rin”
Sikap Arini saat itu hanya diam. Mungkin dia sedang memikirkan hal yang baru saja aku katakan. Dan sekarang, aku sungguh tak percaya. Hari ini dia akan menikah dengan seorang ikhwan yang dulu sempat ia benci zahirnya.
Hah...jodoh memang sulit ditebak. Yang setiap hari bertengkar, ternyata dikemudian hari malah menjadi jodoh. Sedangkan yang sudah lama menjalin hubungan, malah putus ditengah jalan. Yap! Aku jadi lebih yakin kalau jodoh itu memang rahasia Allah. Dan bisa saja jodoh yang tengah disiapkan Allah untukku adalah seseorang yang tidak pernah aku duga sebelumnya.
Diluar, Mama mengetuk pintu kamarku dan minta izin untuk masuk. Akupun mengizinkan. Dia berdecak kagum ketika melihat aku berdandan sangat beda hari ini.
”Wah...wah!! Mau kemana sih kamu Din? Pagi-pagi begini sudah rapi sekali? Ada acara apa?” Tanya Mama sambil matanya terus memandangiku dari atas kebawah.
”Tuh, lihat saja Ma!” Jawabku sambil menunjuk sebuah undangan berwarna kuning keemasan diatas meja riasku. Tanganku sibuk mengaitkan peniti di jilbabku. Mama mengambil undangan itu dan membacanya.
”Undangan pernikahan, Arini Musdalifah dengan Fauzi Nur Alamsyah” Ucap Mama mengeja huruf-huruf yang terangkai dengan indah di undangan tersebut.
”Oh...ini Arini yang pernah main kesini ya Din? Yang pernah konsultasi sama kamu masalah lamaran....siapa itu?”
”Fauzi Ma!” Sahutku.
”Iya Fauzi. Lha kok jadi nikah begini? Katanya nggak suka, kok jadi nikah?” Tanya Mama penasaran.
”Ma, jodoh itu rahasia Allah. Kita nggak tahu dengan siapa nantinya kita akan menikah. Kalau Arini tadinya nggak suka sama Fauzi, tapi kalau memang Allah sudah menggarisakan jodohnya mereka ya mau diapakan lagi?” Jawabku meyakinkan Mama.
Mama hanya mengangguk-angguk pelan sambil terus membaca undangan Arini. Tiba-tiba ia menyampaikan sesuatu padaku yang membuat hatiku bertanya-tanya.
”Oh iya Din, nanti malam keluarganya Bu Rahayu akan datang kesini”
”Keluarganya Bu Rahayu?” Tanyaku dengan menatap wajah Mama dengan serius.
”Iya. Bu Rahayu yang tempo hari pernah kita jenguk. Kamu ingat kan?”
Aku mengangguk pelan. Mana mungkin aku lupa. Dari kunjungan itu aku melihat sesosok manusia alim bernama Yusuf Abdul Fattah. Yang menjadi maksud pertanyaanku pada Mama barusan adalah untuk apa Bu Rahayu datang kemari dengan membawa serta keluaganya? Aku mencoba bertanya pada Mama.
”Untuk apa mereka kemari Ma?”
”Ya sekedar silaturrahimlah. Kan sudah lama tidak bertemu. Sekalian ada yang mau kami bicarakan” Jawab Mama yang memberikan sebuah tanda tanya besar untukku. Membicarakan apa?
”Siapa saja yang nanti datang bersama Bu Rahayu?” Tanyaku makin penasaran.
”Nggak banyak. Ya Bu Rahayu, suaminya, dan anaknya yang kemarin” Jawab Mama tenang, tapi tidak bagiku. Tiba-tiba saja hatiku berdebar hebat ketika Mama menyebutkan ”anaknya yang kemarin”.
”Nanti jangan pulang malam-malam ya? Ikut temuin Bu Rahayu dengan keluarganya” Ucap Mama sambil beranjak pergi dari hadapanku. Aku masih terpaku dengan ucapan Mama. Dia ikut? Sosok ”malaikat” itu nanti malam akan datang? Oh Rabbi, kenapa aku ini? Kenapa aku jadi gelisah seperti ini?
Aku segera membereskan barang-barangku dan langsung bergegas pergi menuju pesta walimatul ursy-nya Arini dan Fauzi. Tak lupa aku membawa sebuah bingkisan untuk mereka. Sejenak aku lupakan dulu rasa tidak tenangku.
Mama hanya mengangguk-angguk pelan sambil terus membaca undangan Arini. Tiba-tiba ia menyampaikan sesuatu padaku yang membuat hatiku bertanya-tanya.
”Oh iya Din, nanti malam keluarganya Bu Rahayu akan datang kesini”
”Keluarganya Bu Rahayu?” Tanyaku dengan menatap wajah Mama dengan serius.
”Iya. Bu Rahayu yang tempo hari pernah kita jenguk. Kamu ingat kan?”
Aku mengangguk pelan. Mana mungkin aku lupa. Dari kunjungan itu aku melihat sesosok manusia alim bernama Yusuf Abdul Fattah. Yang menjadi maksud pertanyaanku pada Mama barusan adalah untuk apa Bu Rahayu datang kemari dengan membawa serta keluaganya? Aku mencoba bertanya pada Mama.
”Untuk apa mereka kemari Ma?”
”Ya sekedar silaturrahimlah. Kan sudah lama tidak bertemu. Sekalian ada yang mau kami bicarakan” Jawab Mama yang memberikan sebuah tanda tanya besar untukku. Membicarakan apa?
”Siapa saja yang nanti datang bersama Bu Rahayu?” Tanyaku makin penasaran.
”Nggak banyak. Ya Bu Rahayu, suaminya, dan anaknya yang kemarin” Jawab Mama tenang, tapi tidak bagiku. Tiba-tiba saja hatiku berdebar hebat ketika Mama menyebutkan ”anaknya yang kemarin”.
”Nanti jangan pulang malam-malam ya? Ikut temuin Bu Rahayu dengan keluarganya” Ucap Mama sambil beranjak pergi dari hadapanku. Aku masih terpaku dengan ucapan Mama. Dia ikut? Sosok ”malaikat” itu nanti malam akan datang? Oh Rabbi, kenapa aku ini? Kenapa aku jadi gelisah seperti ini?
Aku segera membereskan barang-barangku dan langsung bergegas pergi menuju pesta walimatul ursy-nya Arini dan Fauzi. Tak lupa aku membawa sebuah bingkisan untuk mereka. Sejenak aku lupakan dulu rasa tidak tenangku.
* * *
Sepulang dari walimatul ursy-nya Arini, aku langsung di ajak oleh Shanti, teman satu halaqah5ku ke Istora Senayan karena disana sedang ada acara pameran buku Islami atau Islamic Book Fair. Hari ini terakhir diadakan. Kupikir tidak ada salahnya menghabiskan waktu disana sambil membeli beberapa buku untuk referensi novel terbaruku.
Selepas Ashar aku langsung menuju kesana. Suasana disana sangat penuh oleh ikhwan dan akhwat6 yang berjubel ingin masuk. Aku dan Shanti bahkan hampir terpisah karena sesaknya orang yang berebut masuk. Yang aku tahu dari pusat informasi disana, hari ini ada temu penulis novel bestseller ”Ayat Ayat Cinta”, Habiburrahman El Shirazy, jadi pantas saja kalau banyak orang yang berbondong-bondong datang untuk melihat Kang Abik secara langsung. Aku yang mendengar hal itupun segera mencari tempat lokasi temu penulis ”Ayat Ayat Cinta”. Secara, aku juga sangat mengidolakan Kang Abik sebagai penulis inspirasiku dalam menulis novel.
Beberapa buah buku referensi telah aku dapatkan. Kebanyakan dari buku yang aku beli adalah novel dan beberapa buku penunjang untuk bahan penulisan novelku. Lain lagi dengan Shanti. Dia lebih tertarik dengan buku-buku yang membahas tentang perjalanan hidup Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya. Secara, dia itu adalah seorang guru agama Islam di Sekolah Menengah Pertama Islam Taman Qur’aniyah di daerah Poltangan, Jakarta Selatan.
Di saat langkahku tengah mendekati ruang Anggrek, tempat dimana acara temu penulis ”Ayat Ayat Cinta” digelar, aku melihat sosok ”malaikat” yang pernah kulihat dirumah Bu Rahayu. Dialah Yusuf. Dia berdiri di stand Penerbit Cakrawala sambil membuka lembar demi lembar buku yang dipegangnya. Disebelahnya berdiri seorang ikhwan yang tengah mengajaknya berbicara.
Entah ada angin apa, tiba-tiba saja Shanti menarik tanganku dan membawaku ke stand Penerbit Cakrawala. Dia bilang ingin membeli sebuah buku karangan Dr. ’Aidh bin Abdullah alqarni dengan judul Jangan Takut Hadapi Hidup. Aku terkejut dibuatnya. Yusuf belum beranjak dari tempatnya berdiri. Sedangkan aku berdiri persis membelakanginya. Dia tidak tahu kalau aku ada dibelakangnya. Atau mungkin, kalaupun dia melihatku, bisa saja dia tidak mengenaliku atau lupa padaku.
Shanti masih saja mencari buku yang dia maksudkan. Sedangkan aku pura-pura melihat-lihat buku yang sekarang ada dihadapanku. Samar-samar aku mendengarkan dia berbicara dengan temannya.
”Suf, ente bener hari ini nggak mau ikut ane kerumah Sandi? Ente nanti nyesel lho!” Ucap temannya Yusuf dengan semangat.
”Bener akhi7, ana nggak bisa ikut nih. Hari ini ana mau pergi sama orang tua kerumah teman mereka” Jawab Yusuf dengan nada penuh penyesalan.
”Ente jadi ikut sama orang tua ente? Kirain cuma main-main. Jadi dong nyebar undangan?” Tanya temannya yang tiba-tiba saja membuat hatiku bertanya-tanya. Undangan?!
”Ah, antum jangan begitu dong. Ana lagi pusing nih memikirkan permintaan orang tua” Sahut Yusuf.
”Lagi sih ente. Ane bilang buru-buru lamar si Alifa, eh ente bilang nanti-nanti dulu. Ya terima deh nasib dijo...”
”Sstt!!” Tiba-tiba Yusuf memotong pembicaraan temannya itu.
”Udah yuk ah, ana mau langsung pulang nih. Nanti Ibu marah, terus jatuh sakit lagi” Lanjutnya menutup perbincangan dia dan temannya. Aku semakin bertanya-tanya. Ada masalah apa sebenarnya dengan Yusuf? Apa yang diminta orang tuanya padanya?
Shanti menyadarkanku dari pertanyaan yang belum sempat aku temukan jawabannya. Dia sudah mendapatkan buku yang diinginkannya. Baru beberapa langkah aku menuju ruang Anggrek, tiba-tiba ponselku berdering. Kuangkat. Dari Mama.
”Ya Ma?” Sapaku langsung pada Mama.
”Din, kamu dimana sekarang? Cepat pulang. Sebentar lagi keluarganya Bu Rahayu akan segera datang” Ucap Mama dengan nada sedikit kesal.
”Iya Ma. Sebentar lagi Dinda akan pulang. Mama tunggu sajalah dirumah. Paling Bu Rahayu juga akan telat datangnya” Ucapku meyakinkan Mama. Sebab aku tahu, Yusuf saja masih ada di Senayan.
”Sok tahu kamu. Dari dulu itu Bu Rahayu orangnya selalu tepat waktu. Sudahlah jangan membantah. Pokoknya sebelum Maghrib, kamu harus sudah sampai dirumah” Ucap Mama sambil menutup teleponnya. Sepertinya Mama agak marah padaku. Mau diapakan lagi. Dengan berat hati aku langkahkan kakiku menuju keluar Istora Senayan dan itu artinya aku tidak jadi melihat Kang Abik secara langsung. Tapi satu yang masih aku pikirkan. Apa kira-kira yang diminta oleh orang tuanya Yusuf pada Yusuf?
”Iya Ma. Sebentar lagi Dinda akan pulang. Mama tunggu sajalah dirumah. Paling Bu Rahayu juga akan telat datangnya” Ucapku meyakinkan Mama. Sebab aku tahu, Yusuf saja masih ada di Senayan.
”Sok tahu kamu. Dari dulu itu Bu Rahayu orangnya selalu tepat waktu. Sudahlah jangan membantah. Pokoknya sebelum Maghrib, kamu harus sudah sampai dirumah” Ucap Mama sambil menutup teleponnya. Sepertinya Mama agak marah padaku. Mau diapakan lagi. Dengan berat hati aku langkahkan kakiku menuju keluar Istora Senayan dan itu artinya aku tidak jadi melihat Kang Abik secara langsung. Tapi satu yang masih aku pikirkan. Apa kira-kira yang diminta oleh orang tuanya Yusuf pada Yusuf?
* * *
Tiga
Sampai dirumah tepat ketika azan Maghrib berkumandang. Mama menyuruhku untuk segera mandi dan langsung menunaikan shalat Maghrib. Kuturuti apa kata Mama. Papa yang hendak pergi ke masjid tak pernah sedikitpun berkomentar tentang kerepotan Mama menyuruhku ini dan itu.
Selepas mandi dan shalat Maghrib, Mama lagi-lagi menyuruhku dengan suatu hal yang menurutku aneh.
”Din, coba kamu pakai ghamis kamu yang warna biru tua ini. Sepertinya bagus deh!” Pintanya sambil mengambil sebuah ghamis yang dimaksudkan dari dalam lemariku.
”Untuk apa sih Ma? Ini kan hanya acara silaturahim saja kan? Nggak usahlah pakai baju yang berlebihan. Kayak mau pergi saja” Tolakku tanpa mau mengindahkan permintaan Mama. Kuperhatikan ghamis biru tua itu yang menurutku lebih cocok dipakai keacara walimahan.
”Eh, malam ini kamu harus tampil cantik. Pokoknya harus spesial. Awas kalau tidak. Mama akan marah sama kamu. Dipakai ya?” Pinta Mama sekali lagi. Aku hanya Bisa termenung sendirian dikamar sambil memikirkan perkataan Mama barusan. Apa sih yang sebenarnya diinginkan Mama dariku? Sehingga aku harus mengenakan ghamis itu.
Kuturuti saja permintaan Mama. Aku masih tidak mengerti ada apa dibalik semua kedatangan keluarga Bu Rahayu malam ini.
Pukul tujuh malam kurang lima belas menit keluarga Bu Rahayu datang. Aku heran, apa mereka sudah shalat Maghrib? Mama dan Papa menyambut kedatangan mereka dengan hangat. Aku tidak ikut menyambut mereka karena aku sedang sibuk membuatkan minum dibelakang.
Hatiku tiba-tiba saja berdesir tatkala Mama menyebut nama Yusuf . Ya, dia datang malam ini. Jantungku yang seolah tenang, kini menjadi berdegup dengan kencangnya. Kutarik nafas dalam-dalam lalu kuhembuskan. Dari ruang tamu, Mama memanggil namaku.
”Dinda!! Kesini sebentar. Temui dulu ini keluarga Bu Rahayu!” Teriak Mama.
”Iya sebentar Ma!” Sahutku sembari mengelapkan tanganku pada sebuah kain. Aku bergegas melangkah menemui mereka diruang tamu. Sekali lagi kutarik nafasku dalam-dalam lalu kuhembuskan.
Wajah yang pertama kali kulihat adalah wajah Bu Rahayu, kemudian laki-laki bertubuh besar dengan kumis diwajahnya. Mungkin dia suaminya. Aku tak berani mengalihkan pandanganku pada Yusuf. Kuraih tangan Bu Rahayu lalu kucium. Dan kukatupkan kedua tanganku pada suaminya dan....Yusuf pastinya. Bu Rahayu memuji penampilanku.
”Wah!! Malam ini Dinda cantik sekali. Cocoklah” Ucap Bu Rahayu padaku. Ucapan itu membuat sebuah tanda tanya besar dihatiku. Cocok?!
”Ah, Bu Rahayu bisa saja. Terima kasih atas pujiannya” Sahutku sambil meminta diri. Aku ingat aku sedang membuatkan minum dibelakang. Mereka mengizinkan. Tiba-tiba saja kedua mataku beradu pandang dengan Yusuf. Uh!! Bergetar rasanya hati ini. Kutarik nafasku dan kuhembuskan ketika sudah sampai didalam.
Di belakang, aku lanjutkan membuat minum. Kutata kue-kue di atas piring yang tadi siang Mama beli di pasar. Samar-samar kudengar perbincangan Mama, Papa, dan keluarga Bu Rahayu di depan. Biasalah, membincangkan masa lalu.
Sambil membawa lima cangkir air teh hangat dan 2 toples kue-kue kering, aku melangkah keruang tamu. Wajahku masih menunduk. Tak berani aku mengangkat kepalaku. Bu Rahayu dan suaminya yang kuketahui bernama Pak Sardi mengucapkan terima kasih padaku, kecuali Yusuf. Dia hanya diam. Aku memberikan senyumku pada Bu Rahayu dan suaminya.
Aku berbalik kebelakang sebelum akhirnya aku mendengar Yusuf mengucapkan terima kasih padaku. Aku menoleh sesaat dan mengangguk padanya. Aku kembali kebelakang dengan perasaan yang tak menentu. Yang pasti, perasaan senang itu tiba-tiba saja merasuki jiwaku.
Aku kembali kebelakang dan kuambil dua piring berisi kue-kue yang tadi sudah kutata. Kusuguhkan pada mereka dan kembali kebelakang lagi. Awalnya Mama menyuruhku untuk tetap tinggal diruang tamu tapi aku menolaknya.
Kudengarkan dengan jelas perbincangan mereka dari ruang tengah. Sambil memainkan sebuah sendok, aku mendengar Pak Sardi bersuara.
”Ya, tujuan kami datang kesini ini kan, selain untuk menyambung silaturrahim juga untuk membicarakan suatu hal yang sangat penting, menyangkut anak-anak kita yang sudah besar-besar. Betul tidak Pak, Bu?”
”Ya ya, betul betul” Sahut Papa.
”Saya yakin Bapak sama Ibu pasti sudah tahu apa tujuan kami datang kesini” Lanjut Pak Sardi.
”Saya hendak melamar putri kalian untuk anak kami, Yusuf. Bagaimana Pak, Bu?”
”Prang!!” Sendok yang tadi aku mainkan terjatuh. Ya, sendok itu terjatuh karena aku terkejut mendengar perkataan Pak Sardi barusan. Dadaku sesak. Mulutku serasa kelu dibuatnya. Keringat dingin tiba-tiba saja membasahi sekujur tubuhku. Perlahan aku mendengar jawaban Papa.
”Ya, kami sangat senang atas keinginan Bapak dan Ibu untuk menjadikan anak kami sebagai menantu. Merupakan suatu kebanggaan bagi kami bisa berbesan dengan Bapak dan Ibu. Dengan senang hati kami menerima pinangan itu. Semoga ini menjadi langkah awal untuk kebaikan kita bersama”
”Amin!” Jawab semuanya serentak.
”Wah!! Malam ini Dinda cantik sekali. Cocoklah” Ucap Bu Rahayu padaku. Ucapan itu membuat sebuah tanda tanya besar dihatiku. Cocok?!
”Ah, Bu Rahayu bisa saja. Terima kasih atas pujiannya” Sahutku sambil meminta diri. Aku ingat aku sedang membuatkan minum dibelakang. Mereka mengizinkan. Tiba-tiba saja kedua mataku beradu pandang dengan Yusuf. Uh!! Bergetar rasanya hati ini. Kutarik nafasku dan kuhembuskan ketika sudah sampai didalam.
Di belakang, aku lanjutkan membuat minum. Kutata kue-kue di atas piring yang tadi siang Mama beli di pasar. Samar-samar kudengar perbincangan Mama, Papa, dan keluarga Bu Rahayu di depan. Biasalah, membincangkan masa lalu.
Sambil membawa lima cangkir air teh hangat dan 2 toples kue-kue kering, aku melangkah keruang tamu. Wajahku masih menunduk. Tak berani aku mengangkat kepalaku. Bu Rahayu dan suaminya yang kuketahui bernama Pak Sardi mengucapkan terima kasih padaku, kecuali Yusuf. Dia hanya diam. Aku memberikan senyumku pada Bu Rahayu dan suaminya.
Aku berbalik kebelakang sebelum akhirnya aku mendengar Yusuf mengucapkan terima kasih padaku. Aku menoleh sesaat dan mengangguk padanya. Aku kembali kebelakang dengan perasaan yang tak menentu. Yang pasti, perasaan senang itu tiba-tiba saja merasuki jiwaku.
Aku kembali kebelakang dan kuambil dua piring berisi kue-kue yang tadi sudah kutata. Kusuguhkan pada mereka dan kembali kebelakang lagi. Awalnya Mama menyuruhku untuk tetap tinggal diruang tamu tapi aku menolaknya.
Kudengarkan dengan jelas perbincangan mereka dari ruang tengah. Sambil memainkan sebuah sendok, aku mendengar Pak Sardi bersuara.
”Ya, tujuan kami datang kesini ini kan, selain untuk menyambung silaturrahim juga untuk membicarakan suatu hal yang sangat penting, menyangkut anak-anak kita yang sudah besar-besar. Betul tidak Pak, Bu?”
”Ya ya, betul betul” Sahut Papa.
”Saya yakin Bapak sama Ibu pasti sudah tahu apa tujuan kami datang kesini” Lanjut Pak Sardi.
”Saya hendak melamar putri kalian untuk anak kami, Yusuf. Bagaimana Pak, Bu?”
”Prang!!” Sendok yang tadi aku mainkan terjatuh. Ya, sendok itu terjatuh karena aku terkejut mendengar perkataan Pak Sardi barusan. Dadaku sesak. Mulutku serasa kelu dibuatnya. Keringat dingin tiba-tiba saja membasahi sekujur tubuhku. Perlahan aku mendengar jawaban Papa.
”Ya, kami sangat senang atas keinginan Bapak dan Ibu untuk menjadikan anak kami sebagai menantu. Merupakan suatu kebanggaan bagi kami bisa berbesan dengan Bapak dan Ibu. Dengan senang hati kami menerima pinangan itu. Semoga ini menjadi langkah awal untuk kebaikan kita bersama”
”Amin!” Jawab semuanya serentak.
Dalam hati aku bertanya-tanya. Kenapa Papa tidak menanyakan hal itu padaku dulu? Kenapa Papa menerima pinangan itu secara sepihak tanpa mau berkompromi dulu denganku? Tapi, biarpun Papa tidak menanyai hal itu kepadaku dulu juga, sebenarnya aku mau menerimanya.
Oh, senangnya hatiku!! Ternyata Yusuf menyukaiku. Jodoh memang benar-benar rahasia Allah. Aku tidak menyangka bahwa jodohku adalah seseorang yang baru saja kukenal. Tapi, bagaimana dengan sifat-sifat Yusuf? Aku kan belum begitu mengenalnya. Ah! Setelah menikah nanti, kami akan sama-sama belajar sifat kami masing-masing. Oh Rabbi, senangnya hati ini. Tiba-tiba aku mendengar Mama memnggil namaku.
”Dinda! Kesini sebentar Nak!”
Aduh! Bagaimana ini? Aku panas dingin. Kakiku gemetar dan sulit untuk diajak berjalan. Tapi mau tidak mau aku harus memenuhi panggilan Mama.
”Iya Ma, sebentar” Sahutku sambil menata diri agar tidak tampak gugup. Aku menunduk. Kuberanikan diriku menatap wajah Yusuf, yang kini telah menjadi calon suamiku. Dia masih menunduk. Aku beristighfar dan duduk disamping Mama.
”Kamu sudah mendengar kan, Apa yang barusan kami perbincangakan?” Tanya Mama sambil mengusap-usap bahuku. Aku mengangguk pelan.
”Lalu bagaimana dengan kamunya? Menerima tidak?” Tanya Mama yang sebenarnya ingin langsung kujawab ”Mau..mau!!” Tapi aku malu. Aku lebih memilih untuk diam sejenak sambil menatap satu per satu wajah yang ada diruang tamu, terutama Yusuf. Lalu aku bersuara.
”Dengan segala kerendahan hati, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang aku miliki, maka dengan menyebut nama Allah....” Kutarik nafasku perlahan.
”Aku menerimanya” Lanjutku.
Lega rasanya hati ini. Semua yang ada diruang tamu tertawa bahagia. Kecuali, Yusuf. Aku menatapnya dengan penuh tanya. Ada apa dengannya? Dia hanya menunduk. Sesekali bibirnya tersenyum ketika matanya menatap wajah Mama atau Papa. Tapi sepertinya, senyumnya berbeda. Senyum yang aku tangkap darinya, seperti bukan senyum kebahagiaan. Tidak. Pasti saat ini dia sedang menutupi rasa gugupnya, sama seperti aku. Setiap orang kan pasti berbeda-beda dalam menyembunyikan rasa gugupnya.
Aku tepis perasaan itu. Yusuf juga pasti mempunyai perasaan yang sama terhadapku. Saat ini aku hanya ingin melewati malam yang indah ini bersama keluarga besarku. Papa, Mama, Pak Sardi, dan Bu Rahayu mulai membicarakan semua proses pernikahan. Aku sangat bahagia malam ini.
Oh, senangnya hatiku!! Ternyata Yusuf menyukaiku. Jodoh memang benar-benar rahasia Allah. Aku tidak menyangka bahwa jodohku adalah seseorang yang baru saja kukenal. Tapi, bagaimana dengan sifat-sifat Yusuf? Aku kan belum begitu mengenalnya. Ah! Setelah menikah nanti, kami akan sama-sama belajar sifat kami masing-masing. Oh Rabbi, senangnya hati ini. Tiba-tiba aku mendengar Mama memnggil namaku.
”Dinda! Kesini sebentar Nak!”
Aduh! Bagaimana ini? Aku panas dingin. Kakiku gemetar dan sulit untuk diajak berjalan. Tapi mau tidak mau aku harus memenuhi panggilan Mama.
”Iya Ma, sebentar” Sahutku sambil menata diri agar tidak tampak gugup. Aku menunduk. Kuberanikan diriku menatap wajah Yusuf, yang kini telah menjadi calon suamiku. Dia masih menunduk. Aku beristighfar dan duduk disamping Mama.
”Kamu sudah mendengar kan, Apa yang barusan kami perbincangakan?” Tanya Mama sambil mengusap-usap bahuku. Aku mengangguk pelan.
”Lalu bagaimana dengan kamunya? Menerima tidak?” Tanya Mama yang sebenarnya ingin langsung kujawab ”Mau..mau!!” Tapi aku malu. Aku lebih memilih untuk diam sejenak sambil menatap satu per satu wajah yang ada diruang tamu, terutama Yusuf. Lalu aku bersuara.
”Dengan segala kerendahan hati, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang aku miliki, maka dengan menyebut nama Allah....” Kutarik nafasku perlahan.
”Aku menerimanya” Lanjutku.
Lega rasanya hati ini. Semua yang ada diruang tamu tertawa bahagia. Kecuali, Yusuf. Aku menatapnya dengan penuh tanya. Ada apa dengannya? Dia hanya menunduk. Sesekali bibirnya tersenyum ketika matanya menatap wajah Mama atau Papa. Tapi sepertinya, senyumnya berbeda. Senyum yang aku tangkap darinya, seperti bukan senyum kebahagiaan. Tidak. Pasti saat ini dia sedang menutupi rasa gugupnya, sama seperti aku. Setiap orang kan pasti berbeda-beda dalam menyembunyikan rasa gugupnya.
Aku tepis perasaan itu. Yusuf juga pasti mempunyai perasaan yang sama terhadapku. Saat ini aku hanya ingin melewati malam yang indah ini bersama keluarga besarku. Papa, Mama, Pak Sardi, dan Bu Rahayu mulai membicarakan semua proses pernikahan. Aku sangat bahagia malam ini.
* * *
Empat
Semuanya sudah ditentukan. Prosesi pernikahan jatuh pada tanggal 23 April 2007. Akad dan walimatul ursy-nya akan diadakan bersamaan di Masjid Raya At Taqwa Pasar Minggu. Baju pengantin yang nantinya akan aku dan Yusuf kenakan pun sudah ditentukan. Dan mahar, aku minta agar Yusuf cukup memberikan aku seperangkat alat shalat, satu buah Al-Qur’an, sebuah cincin emas, dan hafalan surat Al Ikhlas.
Setelah semua selesai dan beres dengan rapi, Yusuf dan keluarganya pamit pulang. Aku pun ikut mengantarkan mereka sampai depan pintu. Aku masih belum menemukan senyum yang berarti dari Yusuf. Sampai pulang pun dia tak sedikitpun menatapku. Aku mulai berpikir yang macam-macam.
Setelah mereka pulang, aku langsung membereskan cangkir-cangkir dan piring-piring yang kotor diatas meja. Tiba-tiba Mama memberikan sebuah amplop putih padaku.
”Apa ini Ma?” Tanyaku heran.
”Surat dari calon suamimu” Jawab Mama membuat hatiku berbunga-bunga. Aku tertawa sendiri menerima surat itu. Mataku mulai berair. Segera saja kupeluk erat tubuh Mama.
”Makasih ya Ma? Akhirnya aku menemukan jodohku” Ucapku sedikit serak.
”Iya. Mama doakan supaya kamu selalu bahagia” Sahut Mama sambil membelai kepalaku yang masih tertutup jilbab. Aku beranjak kekamarku untuk menaruh surat dari Yusuf di atas meja belajar. Tak sabar rasanya ingin cepat-cepat membukanya. Tapi aku harus mencuci dulu semua piring-piring kotor didapur.
Setelah selesai, aku langsung bergegas melangkah kekamar. Amplop putih itu kini seperti harta yang paling berharga untukku. Tak rela rasanya bila harus kehilangan kata-kata dalam surat yang ditulis Yusuf untukku. Sekarang aku yakin, Yusuf bersikap seperti itu tadi karena dia merasa gugup. Buktinya sekarang aku menerima surat darinya. Lebih tepatnya lagi, surat cinta dari kekasihku. Oh...aku jadi romantis begini. Sejak bertatap muka dengannya, hatiku ini memang sepenuhnya dipenuhi rasa cinta padanya.
Kubuka perlahan surat itu. Isinya,
Assalamu’alaikum. Wr. Wb
Kepada yang terhormat
Dinda Altharina Puteri
Di tempat
Aku sengaja menulis surat ini dengan tulisan tanganku sendiri. Berharap kau bisa merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan ketika orang tuaku memaksaku untuk menikah denganmu. Asal kau tahu saja, pinangan atas dirimu sebenarnya bukan aku yang menginginkan, melainkan orang tuaku.
Mereka bilang, sejak pertama kali melihatmu, hati mereka langsung tergerak untuk menjadikanmu sebagai menantu. Lagi pula orang tuaku dan orang tuamu berteman sejak lama. Tapi maaf, itu semua diluar kemauanku. Dan maaf sekali lagi, aku tidak pernah berniat menikahimu. Semua ini adalah rencana orang tuaku dan orang tuamu untuk menjodohkan kita.
Aku tahu hal ini adalah hal bodoh yang pernah aku lakukan sepanjang hidupku. Aku juga tahu bahwa jika semua ini benar-benar terjadi, maka akan banyak orang yang aku bohongi. Terlebih lagi, aku akan menjadi seorang pecundang dan pengecut karena telah menyakiti perasaanmu.
Tapi aku juga tidak bisa berbuat lebih banyak lagi sebab melihat kondisi ibuku yang sudah sangat lemah, aku takut bila aku menolak permintaanya, sakitnya akan semakin parah. Asal kau tahu saja, dua hari yang lalu ibuku masuk rumah sakit karena aku menolak permintaannya. Jadi aku mohon, bantulah aku memainkan sandiwara ini didepan orang tua kita masing-masing. Aku tahu segala sesuatunya itu akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah Azza wa Jalla, tapi aku tak bisa berbuat banyak lagi untuk hal ini.
Aku merasa, belajarku selama beberapa tahun tentang Islam sia-sia saja karena akhirnya aku harus membohongi banyak orang atas kepura-puraanku mencintaimu. Maaf sekali lagi.
Pernikahan bukanlah suatu hal yang main-main untuk dijalankan. Terlebih lagi bila tidak dilandasi dengan rasa cinta. Sesungguhnya, ada ’nama’ lain yang mengisi relung hatiku. Dan sepertinya, mulai saat ini aku harus menghapus ’nama’ itu dan berusaha menggantinya dengan ’namamu’.
Jika memang tak ada cara lain lagi untuk kita mencegah kebohongan ini, maka sebagai langkah awalku dalam menjalankan kehidupan baruku nanti, aku ceritakan semuanya ini padamu. Jujur. Tidak ada yang ditambahkan atau dikurangkan. Aku tidak mau mengawali semua ini dengan kebohonganku pada dirimu. Maafkanlah aku yang tak mencintaimu.
Mungkin ketika membaca surat ini, matamu sudah dipenuhi dengan air mata. Aku akan berusaha mengganti air matamu itu dengan usahaku untuk dapat mencintaimu. Maaf, beribu-ribu maaf aku minta kepadamu.
Tolonglah malam ini kau shalat tahajud dan minta kepada Allah agar memberikan yang terbaik untuk kita. Aku tak sanggup, bila selamanya harus menyakitimu. dengan kepalsuan cintaku.
Dan tolong jangan ceritakan hal ini pada siapapun. Aku yakin kau mengerti seperti apa posisiku. Sekian dulu surat dariku. Bila semua ini kurang berkenan dihatimu, mohon dibukakan pintu maafmu untukku. Afwan
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb
Dari Seorang Pengecut
Yusuf Abdul Fattah
Remuk redam rasanya jiwa ini ketika aku membaca surat itu. Air mata sudah tak dapat lagi kubendung. Aku merasa hatiku hancur berkeping-keping. Aku merasa dunia ini menjadi gelap di penglihatanku. Orang yang aku cintai ternyata tidak pernah mengharapkanku. Dan sikapnya yang tadi kulihat janggal, ternyata benar adanya. Tiba-tiba aku merasa bahwa Yusuf adalah manusia terjahat yang pernah aku temukan selama hidupku. Tapi spekulasi itu tetap tidak bisa mengalahkan perasaanku yang sejak awal sudah dipenuhi rasa cinta padanya.
Sekarang aku mengerti apa yang diminta oleh Bu Rahayu padanya. Dan sekarang aku lebih mengerti apa yang dibicaraknnya pada temannya di book fair tadi. Yang dimaksudkan menyebar undangan adalah undangan pernikahanku dengan Yusuf. Dan ’nama’ lain yang dimaksudkannya adalah nama ... Alifa. Nama seorang akhwat yang tadi disebut-sebut oleh temannya Yusuf. Oh Alifa, mengapa tiba-tiba aku jadi merasa cemburu padamu? Sebenarnya seperti apa sosok dirimu sehingga membuat Yusuf jatuh hati padamu?
Aku merasakan air mata kembali menetes membasahi kedua pipiku. Sebuah berita menggembirakan yang baru saja aku dengar beberapa saat lalu, tiba-tiba saja berubah bagai kilat yang menyambar yang menghantam tubuhku dan membuatnya hancur berkeping-keping. Kalau saja aku tahu hal ini dari awal, aku tidak akan pernah mau menerima lamarannya. Tapi, aku juga tidak mau melihat Bu Rahayu jadi jatuh sakit. Oh Ya Rabbi, tolonglah hambaMu ini.
Aku bangkit dari dudukku. Aku berusaha mengumpulkan kembali sisa-sisa kepingan hatiku yang tadi hancur berserakan. Kulirikkan mataku ke jam dinding. Sudah cukup malam dan aku teringat, aku belum shalat Isya. Sekuat tenaga aku berdiri dan melangkahkan kakiku ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Mataku memerah tapi kutahan untuk menangis dihadapan Mama dan Papa. Mereka tidak boleh tahu akan hal ini.
Malam ini akan kuadukan semuanya pada Dzat Yang Maha Memberikan rasa, agar Yusuf dapat menemukan arti dari sebuah makna cinta sejati.
* * *
Hari ini hari Minggu. Pagi ini aku kelihatan lesu dan tidak berdaya. Seusai shalat subuh, tilawah qur’an beberapa halaman, dan wirid ma’tsurat aku langsung bergegas mandi dan membereskan rumah. Hari ini aku ingat ada jadwal liqa8 pukul sepuluh nanti. Seusai membereskan rumah, aku langsung membuat sarapan seperti biasanya. Makan satu meja bersama Mama dan Papa.
Di tengah menyantap nasi goreng yang kubuat, tiba-tiba Papa menegurku.
”Din, kamu kenapa? Sepertinya lesu sekali pagi ini?” Tanya Papa mengejutkanku dari lamunan. Kupandangi wajah Papa dengan tatapan hampa.
”Iya nih Din. Mama perhatikan dari tadi kok kamu diam saja. Seharusnya kamu senang dong, kan semalam baru dilamar oleh Yusuf. Dapat surat lagi darinya” Imbuh Mama melanjutkan. Tiba-tiba aku teringat akan surat dari Yusuf yang isinya sangat menghancurkan hatiku. Aku termenung sendiri sambil menatap segelas susu putih kepunyaanku. Andaikan saja hatiku ini bisa seputih susu itu.
”Din! Ada apa sih kamu?” Tegur Mama padaku. Aku kembali tersadar dari lamunanku.
”Ehm....Pa, Ma, ada yang mau aku bicarakan” Ucapku tanpa pikir panjang lagi. Hatiku semakin galau.
”Mau membicarakan apa?” Tanya Papa.
Kutarik nafasku dalam-dalam.
”Setelah semalaman aku berpikir ulang kembali, aku memutuskan untuk.... menolak lamaran Yusuf”
”Apa?!” Teriak Papa dan Mama berbarengan.
”Iya Pa, Ma, aku memutuskan untuk tidak menikah dengan Yusuf” Kataku lagi mempertegas perkataanku sebelumnya.
”Kamu sudah ngaco apa? Hari pernikahan dan segala persiapannya itu sudah ditentukan, Dinda. Lagi pula, kenapa tiba-tiba kamu menolaknya? Bukankah semalam kamu kelihatan bergembira sekali menerima lamaran Yusuf? Bahkan Yusuf sampai menuliskan surat cinta untukmu. Lalu apa yang menyebabkanmu sampai berubah pikiran?” Tanya Mama dengan penuh ketegasan.
Andai saja Mama dan Papa tahu apa isi surat itu, pasti kalianpun akan melakukan hal yang sama sepertiku. Bahkan aku yakin, Papa dan Mama tidak akan rela melepaskan aku pada seseorang yang tidak mencintaiku. Tapi aku tidak akan memberitahukan semua ini pada kalian. Cukup aku saja yang menderita.
”Dinda?” Tegur Mama.
”Ya Ma? Ehm....”
Sesungguhnya aku tidak mempunyai jawaban atas pertanyaan Mama. Ya Allah, jawaban apa yang harus aku berikan pada Mama dan Papa?
”Ehm...A, aku merasa kurang pantas saja Ma bersanding dengan Yusuf. Aku merasa, lebih baik dia bersanding dengan wanita lain saja dari pada dengan aku” Jawabku sekenanya.
”Tapi Din, dia itu jelas-jelas sudah memilihmu untuk menjadi pendampingnya. Jadi untuk apa lagi kau menolaknya?” Tanya Papa penuh ketegasan. Aku diam seribu bahasa. Dalam hati aku menjawab pertanyaannya.
”Yang sebenarnya memilihku bukanlah Yusuf Pa, tapi orang tuanya. Orang tuanya yang menginginkan aku jadi menantunya, bukan Yusuf”
Aku hanya bisa menunduk dan pasrah dalam ketidak berdayaanku. Sejurus do’a kupanjatkan pada Yang Kuasa agar semuanya bisa berjalan dengan baik. Mama kembali bersuara.
”Din, usiamu sudah menginjak 27 tahun. Mau cari yang seperti apa lagi kalau yang seperti Yusuf saja kamu tolak?” Ucap Mama berusaha meyakinkanku. Aku rasa pertanyaan Mama tak perlu kujawab. Aku hanya menjawabnya dalam hati.
”Aku hanya ingin mencari suami yang sholeh dan dapat mencintaiku apa adanya, Ma” Ucapku dalam hati.
Aku beranjak pergi dari hadapan Mama dan Papa. Mereka hanya bisa memandangiku berjalan kekamar. Di kamar, kubuka buku harianku dan kutuliskan semua kegundahanku dalam buku itu dengan air mata berlinang. Tanpa kusadari air mataku itu jatuh membasahi tulisanku.
Aku tak sanggup lagi dengan keadaan ini. Tapi aku kembali ingat, bahwa Allah tidak akan pernah memberikan suatu cobaan kepada hambaNya diluar batas kemampuan hambaNya. Dan sampai sekarang aku selalu ingat salah satu ayat itu yang terdapat di Surat Al Baqarah. Kalau memang Allah sudah mempercayakan cobaan itu padaku, maka aku yakin akupun bisa mengatasinya. Allah tidak pernah salah dalam bertindak. Mana mungkin Allah salah? Mungkin ini adalah sebuah cobaan atas diriku untuk mencapai tingkat derajat taqwa yang lebih tinggi. Jika aku sabar menghadapinya, itu berarti aku lulus. Tapi kalau tidak, maka aku belum bisa mencapai derajat taqwa yang lebih tinggi itu.
Aku yakin, setiap manusia itu mempunyai kadar kesanggupannya masing-masing. Dan yang tahu kadar itu hanyalah Allah swt. Bahkan manusia pun belum tentu mengetahui kadar itu, karena manusia hanya bisa mengeluh dan mengeluh tanpa mau berpikir kenapa Allah memberikan cobaan itu. Yang manusia bisa lakukan hanyalah meratapi nasib yang sudah ada tanpa mau berusaha untuk mengubahnya. Padahal kalau diingat-ingat lagi, Allah itu mengikuti prasangka hambaNya. Pertanyaannya bukan, Kenapa Allah memberikan cobaan ini? Tapi lebih tepatnya lagi, Apa hikmah dibalik cobaan yang Allah berikan? Dan tugas seorang manusia itu ialah mencari hikmah yang terkandung dari semua cobaan yang telah Allah berikan. Itulah sikap manusia sejati.
Dan aku? Aku akan berusaha untuk menjadi manusia sejati itu. Aku tidak boleh kalah oleh keadaan. Biar bagaimana pun, hidup ini masih dan harus terus berjalan. Aku yakin, akan ada hikmah dibalik semua cobaan ini.
Ya, saat ini, bagiku, mencintai calon suamiku adalah cobaan untukku. Dan pastinya, akan ada suatu kebaikan yang terkandung jika aku bersabar dalam mencintainya. Dan janji Allah itu pasti, Innallaha Ma ’ashshobirin. Allah itu selalu bersama orang-orang yang sabar. Sabar dalam beribadah, sabar dalam melakukan perbuatan, sabar dalam mengarungi kehidupan, dan sabar bila kita mencintai seseorang yang tidak mencintai kita. Sabar, sabar, dan sabar. Itulah yang sekarang sedang berusaha aku lakukan. Aku akan selalu bersabar, menanti pintu hatinya terbuka untuk dapat menerima cintaku.
Pukul sembilan kurang sepulih menit. Aku harus bersiap-siap pergi liqa ketempat Mbak Rianti, murabbiku. Hari ini aku ada jadwal kultum. Aku tak mau terus menerus memikirkan masalahku dengan Yusuf sementara masalahku yang lain masih menunggu uluran tangan untuk aku selesaikan. Aku jadi mempunyai tema kultum yang baru untuk aku sampaikan kepada teman-teman. Tema itu adalah tentang kesabaran. Apa itu sabar, kenapa kita harus sabar, dan apa gunanya kita bersabar, semuanya akan aku bahas di forum halaqah nanti. Sekalian aku akan meyampaikan kabar gembira sekaligus menyedihkan untukku. Gembira karena sebentar lagi aku akan menikah. Dan menyedihkan karena laki-laki yang menikahiku sesungguhnya tidak mencintaiku. Tapi kabar menyedihkan itu tak akan aku sampaikan nanti. Cukup hanya aku, Yusuf, dan Allah saja yang tahu.
Rabbi, kuatkanlah diriku. Izinkanlah aku meraih derajat taqwaMu, Ya Allah......
Andai saja Mama dan Papa tahu apa isi surat itu, pasti kalianpun akan melakukan hal yang sama sepertiku. Bahkan aku yakin, Papa dan Mama tidak akan rela melepaskan aku pada seseorang yang tidak mencintaiku. Tapi aku tidak akan memberitahukan semua ini pada kalian. Cukup aku saja yang menderita.
”Dinda?” Tegur Mama.
”Ya Ma? Ehm....”
Sesungguhnya aku tidak mempunyai jawaban atas pertanyaan Mama. Ya Allah, jawaban apa yang harus aku berikan pada Mama dan Papa?
”Ehm...A, aku merasa kurang pantas saja Ma bersanding dengan Yusuf. Aku merasa, lebih baik dia bersanding dengan wanita lain saja dari pada dengan aku” Jawabku sekenanya.
”Tapi Din, dia itu jelas-jelas sudah memilihmu untuk menjadi pendampingnya. Jadi untuk apa lagi kau menolaknya?” Tanya Papa penuh ketegasan. Aku diam seribu bahasa. Dalam hati aku menjawab pertanyaannya.
”Yang sebenarnya memilihku bukanlah Yusuf Pa, tapi orang tuanya. Orang tuanya yang menginginkan aku jadi menantunya, bukan Yusuf”
Aku hanya bisa menunduk dan pasrah dalam ketidak berdayaanku. Sejurus do’a kupanjatkan pada Yang Kuasa agar semuanya bisa berjalan dengan baik. Mama kembali bersuara.
”Din, usiamu sudah menginjak 27 tahun. Mau cari yang seperti apa lagi kalau yang seperti Yusuf saja kamu tolak?” Ucap Mama berusaha meyakinkanku. Aku rasa pertanyaan Mama tak perlu kujawab. Aku hanya menjawabnya dalam hati.
”Aku hanya ingin mencari suami yang sholeh dan dapat mencintaiku apa adanya, Ma” Ucapku dalam hati.
Aku beranjak pergi dari hadapan Mama dan Papa. Mereka hanya bisa memandangiku berjalan kekamar. Di kamar, kubuka buku harianku dan kutuliskan semua kegundahanku dalam buku itu dengan air mata berlinang. Tanpa kusadari air mataku itu jatuh membasahi tulisanku.
Aku tak sanggup lagi dengan keadaan ini. Tapi aku kembali ingat, bahwa Allah tidak akan pernah memberikan suatu cobaan kepada hambaNya diluar batas kemampuan hambaNya. Dan sampai sekarang aku selalu ingat salah satu ayat itu yang terdapat di Surat Al Baqarah. Kalau memang Allah sudah mempercayakan cobaan itu padaku, maka aku yakin akupun bisa mengatasinya. Allah tidak pernah salah dalam bertindak. Mana mungkin Allah salah? Mungkin ini adalah sebuah cobaan atas diriku untuk mencapai tingkat derajat taqwa yang lebih tinggi. Jika aku sabar menghadapinya, itu berarti aku lulus. Tapi kalau tidak, maka aku belum bisa mencapai derajat taqwa yang lebih tinggi itu.
Aku yakin, setiap manusia itu mempunyai kadar kesanggupannya masing-masing. Dan yang tahu kadar itu hanyalah Allah swt. Bahkan manusia pun belum tentu mengetahui kadar itu, karena manusia hanya bisa mengeluh dan mengeluh tanpa mau berpikir kenapa Allah memberikan cobaan itu. Yang manusia bisa lakukan hanyalah meratapi nasib yang sudah ada tanpa mau berusaha untuk mengubahnya. Padahal kalau diingat-ingat lagi, Allah itu mengikuti prasangka hambaNya. Pertanyaannya bukan, Kenapa Allah memberikan cobaan ini? Tapi lebih tepatnya lagi, Apa hikmah dibalik cobaan yang Allah berikan? Dan tugas seorang manusia itu ialah mencari hikmah yang terkandung dari semua cobaan yang telah Allah berikan. Itulah sikap manusia sejati.
Dan aku? Aku akan berusaha untuk menjadi manusia sejati itu. Aku tidak boleh kalah oleh keadaan. Biar bagaimana pun, hidup ini masih dan harus terus berjalan. Aku yakin, akan ada hikmah dibalik semua cobaan ini.
Ya, saat ini, bagiku, mencintai calon suamiku adalah cobaan untukku. Dan pastinya, akan ada suatu kebaikan yang terkandung jika aku bersabar dalam mencintainya. Dan janji Allah itu pasti, Innallaha Ma ’ashshobirin. Allah itu selalu bersama orang-orang yang sabar. Sabar dalam beribadah, sabar dalam melakukan perbuatan, sabar dalam mengarungi kehidupan, dan sabar bila kita mencintai seseorang yang tidak mencintai kita. Sabar, sabar, dan sabar. Itulah yang sekarang sedang berusaha aku lakukan. Aku akan selalu bersabar, menanti pintu hatinya terbuka untuk dapat menerima cintaku.
Pukul sembilan kurang sepulih menit. Aku harus bersiap-siap pergi liqa ketempat Mbak Rianti, murabbiku. Hari ini aku ada jadwal kultum. Aku tak mau terus menerus memikirkan masalahku dengan Yusuf sementara masalahku yang lain masih menunggu uluran tangan untuk aku selesaikan. Aku jadi mempunyai tema kultum yang baru untuk aku sampaikan kepada teman-teman. Tema itu adalah tentang kesabaran. Apa itu sabar, kenapa kita harus sabar, dan apa gunanya kita bersabar, semuanya akan aku bahas di forum halaqah nanti. Sekalian aku akan meyampaikan kabar gembira sekaligus menyedihkan untukku. Gembira karena sebentar lagi aku akan menikah. Dan menyedihkan karena laki-laki yang menikahiku sesungguhnya tidak mencintaiku. Tapi kabar menyedihkan itu tak akan aku sampaikan nanti. Cukup hanya aku, Yusuf, dan Allah saja yang tahu.
Rabbi, kuatkanlah diriku. Izinkanlah aku meraih derajat taqwaMu, Ya Allah......
* * *
Lima
Hari pernikahan itu tiba. Aku dan Yusuf didandani ala pengantin Jawa karena keluargaku dan keluarganya berasal dari Jawa. Lebih tepatnya lagi, aku dari Jawa Timur dan Yusuf dari Jawa Tengah. Aku mengenakan pakaian khas Jawa tapi tetap terbalut oleh jilbab syar’i. Para undangan banyak sekali yang hadir. Tak terkecuali orang-orang dari pihak penerbit yang selama ini berjasa dalam menerbitkan dua novelku. Diantara para undangan yang hadir, ada yang mengaku kalau mereka adalah penggemar setia novelku. Aku tak tahu dari mana mereka tahu acara pernikahanku ini. Tapi yang pasti aku sangat senang karena mereka sangat peduli padaku. Aku hanya bisa mendo’akan mereka supaya mereka bisa menemukan jodoh mereka dengan cinta.
Aku duduk bersanding dengan Yusuf. Kulihat wajah Yusuf tak seperti orang yang sudah menikah pada umumnya. Wajahnya terlihat murung dan tak bersemangat. Dan yang mengetahui penyebab kemurungannya itu hanya aku pastinya. Sesekali dia melebarkan senyumnya pada orang yang memberikannya selamat. Senyum keterpaksaan tentunya.
Disela-sela waktuku menerima ucapan selamat dari para tamu, aku melihat sosok seorang akhwat berjilbab lebar datang menghampiriku dan Yusuf bersama dengan dua orang temannya. Aku dan Yusuf berdiri. Setelah mendekat, akhwat itu dan dua orang temannya mengatupkan tangannya pada Yusuf sambil memberikan ucapan selamat padanya. Akhwat berjilbab lebar itu begitu cantik. Dia lalu menjabat tanganku dan memelukku dengan erat seraya berkata,
”Barakallah ya? Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah” Ucapnya pelan. Dua orang akhwat yang mengiringinya melakukan hal yang sama terhadapku. Aku hanya tersenyum pada mereka dan mengucapkan terima kasih. Aku tak tahu siapa mereka. Tiba-tiba Yusuf bersuara,
”Syukran ya Alifa sudah mau datang” Ucap Yusuf pada akhwat berjilbab lebar tadi yang kuketahui bernama Alifa. Alifa hanya mengangguk dan segera meminta diri. Dua akhwat yang mengiringinya pun mengikutinya.
Kini aku tahu siapa Alifa yang pernah disebut-sebut oleh temannya Yusuf waktu di book fair tempo hari. Kini aku tahu siapa Alifa yang disarankan oleh temannya Yusuf itu untuk segera dilamarnya. Dan kini aku tahu, siapa ’nama lain’ yang ada di hatinya Yusuf, yang mulai saat ini harus ia ganti dengan namaku. Nama itu adalah Alifa. Gadis itu adalah Alifa. Dan impiannya yang sebenarnya juga adalah Alifa. Bukan diriku.
Aku hampir saja meneteskan air mata kalau saja Mama tidak mengajakku untuk berphoto bersama. Dalam keramaian pesta pernikahanku, aku merasa sepi. Sepi sekali. Mulai hari ini, aku harus menjalani kehidupanku yang baru dengan seorang suami yang tidak pernah mencintaiku. Aku merasa sendiri saat ini. Hanya kesabaran yang dapat menguatkan aku. Sekali lagi, hanya kesabaran yang dapat menguatkan aku.
Hari pernikahan itu tiba. Aku dan Yusuf didandani ala pengantin Jawa karena keluargaku dan keluarganya berasal dari Jawa. Lebih tepatnya lagi, aku dari Jawa Timur dan Yusuf dari Jawa Tengah. Aku mengenakan pakaian khas Jawa tapi tetap terbalut oleh jilbab syar’i. Para undangan banyak sekali yang hadir. Tak terkecuali orang-orang dari pihak penerbit yang selama ini berjasa dalam menerbitkan dua novelku. Diantara para undangan yang hadir, ada yang mengaku kalau mereka adalah penggemar setia novelku. Aku tak tahu dari mana mereka tahu acara pernikahanku ini. Tapi yang pasti aku sangat senang karena mereka sangat peduli padaku. Aku hanya bisa mendo’akan mereka supaya mereka bisa menemukan jodoh mereka dengan cinta.
Aku duduk bersanding dengan Yusuf. Kulihat wajah Yusuf tak seperti orang yang sudah menikah pada umumnya. Wajahnya terlihat murung dan tak bersemangat. Dan yang mengetahui penyebab kemurungannya itu hanya aku pastinya. Sesekali dia melebarkan senyumnya pada orang yang memberikannya selamat. Senyum keterpaksaan tentunya.
Disela-sela waktuku menerima ucapan selamat dari para tamu, aku melihat sosok seorang akhwat berjilbab lebar datang menghampiriku dan Yusuf bersama dengan dua orang temannya. Aku dan Yusuf berdiri. Setelah mendekat, akhwat itu dan dua orang temannya mengatupkan tangannya pada Yusuf sambil memberikan ucapan selamat padanya. Akhwat berjilbab lebar itu begitu cantik. Dia lalu menjabat tanganku dan memelukku dengan erat seraya berkata,
”Barakallah ya? Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah” Ucapnya pelan. Dua orang akhwat yang mengiringinya melakukan hal yang sama terhadapku. Aku hanya tersenyum pada mereka dan mengucapkan terima kasih. Aku tak tahu siapa mereka. Tiba-tiba Yusuf bersuara,
”Syukran ya Alifa sudah mau datang” Ucap Yusuf pada akhwat berjilbab lebar tadi yang kuketahui bernama Alifa. Alifa hanya mengangguk dan segera meminta diri. Dua akhwat yang mengiringinya pun mengikutinya.
Kini aku tahu siapa Alifa yang pernah disebut-sebut oleh temannya Yusuf waktu di book fair tempo hari. Kini aku tahu siapa Alifa yang disarankan oleh temannya Yusuf itu untuk segera dilamarnya. Dan kini aku tahu, siapa ’nama lain’ yang ada di hatinya Yusuf, yang mulai saat ini harus ia ganti dengan namaku. Nama itu adalah Alifa. Gadis itu adalah Alifa. Dan impiannya yang sebenarnya juga adalah Alifa. Bukan diriku.
Aku hampir saja meneteskan air mata kalau saja Mama tidak mengajakku untuk berphoto bersama. Dalam keramaian pesta pernikahanku, aku merasa sepi. Sepi sekali. Mulai hari ini, aku harus menjalani kehidupanku yang baru dengan seorang suami yang tidak pernah mencintaiku. Aku merasa sendiri saat ini. Hanya kesabaran yang dapat menguatkan aku. Sekali lagi, hanya kesabaran yang dapat menguatkan aku.
* * *
Enam
Selesai akad dan walimatul ursy, Yusuf membawaku ke Hotel Maharani yang terletak di kawasan Mampang Prapatan. Masih dengan busana pengantin lengkap, aku dan Yusuf memasuki kamar malam pertama kami. Kamar yang begitu indah, megah, mewah, dan harum. Tapi semua itu sia-sia saja kalau malam ini aku dan Yusuf hanya bisa menatapi keindahan kamar itu dengan perasaan hampa.
Aku tak tahu kenapa Yusuf membawaku ke hotel ini. Sebelum masuk ke kamar, Mama, Papa, dan orang tua Yusuf ikut mengantarkan kami. Setelah dirasa cukup, merekapun pulang. Tinggal aku dan Yusuf yang kini ada di dalam kamar. Mau apa juga bingung. Aku memutuskan untuk mengganti pakaianku dengan pakaian biasa yang sudah disiapkan dikamar. Entah siapa yang menyiapkan. Aku mandi, berganti pakaian, dan mengambil air wudhu. Tak lupa aku mengajak Yusuf untuk shalat sunnah dua rakaat. Diapun menuruti.
Tak lama shalat sunnah, azan maghrib berkumandang. Segera saja Yusuf berpamitan padaku untuk melakukan shalat Maghrib dan Isya di masjid terdekat. Aku mengizinkannya. Tapi sebelum itu, aku memintanya untuk membacakan do’a yang pernah Rasulullah ajarkan. Diapun mau. Perlahan dia mencium keningku dan membacakan do’a yang pernah Rasulullah ajarkan, di atas ubun-ubunku. Sejurus kemudian aku dapati mataku basah dengan air mata. Aku ucapkan terima kasih padanya. Setelah itu dia melangkah keluar dan hilang dari pandanganku. Aku langsung menunaikan kewajiban shalat Maghribku di kamar sambil menunggu Yusuf pulang dari masjid. Aku masih merasakan kehampaan disini.
* * *
Pukul delapan malam lebih lima belas menit Yusuf tiba kembali dikamar. Aku yang selepas shalat Isya lalu tilawah sebentar, segera bergegas untuk tidur. Tak ada pembicaraan yang berarti antara aku dan Yusuf. Aku bangkit dari tempat tidur dan mengambilkan segelas susu putih untuknya. Dia menerimanya dengan ekspresi biasa-biasa saja lalu mengucapkan terima kasih padaku. Saat ini aku masih mengenakan jilbabku. Aku masih belum bisa tampil apa adanya di hadapannya.
Aku kembali lagi ke tempat tidur dan memiringkan tubuhku disana. Aku membelakangi Yusuf yang tengah menikmati susu putih buatanku tadi. Kami masih terjaga oleh diam. Sesaat lamanya kami melewati waktu dengan kondisi seperti itu. Tiba-tiba Yusuf bersuara dan memulai pembicaraan.
”Maafkan aku ya Din?” Ucapnya pelan.
Aku masih terkejut mendengar dia bersuara. Aku tak menjawabnya dan hanya diam sambil mendengarkan dia kembali bersuara.
”Aku memang seorang lelaki pengecut yang tidak mempunyai nyali untuk menghadapi semua kenyataan ini. Kenyataan bahwa aku harus membohongi kedua orang tuaku, membohongi kedua orang tuamu, menyakiti hatimu, dan terlebih lagi, aku harus menyakiti Allah karena telah melakukan hal ini. Aku sungguh-sungguh lelaki yang tak berguna. Bahkan ketika aku sudah menjadi seorang suami pun, seorang imam bagi dirimu, aku tidak bisa sedikit pun membahagiakanmu. Aku memang pengecut”
Aku dengar suara itu dengan perasaan gamang. Aku tak bisa berucap apa-apa. Perlahan aku rasakan kedua mataku basah. Segera aku membasuhnya.
”Maaf, jika karena diriku, kamu harus merelakan kebahagiaanmu tergadaikan oleh sikapku ini. Mungkin kamu tidak akan menemukan kebahagiaan itu bersamaku. Tapi aku selalu berharap, kelak kaupun bisa menemukan kebahagiaanmu itu” Ucap Yusuf lagi pelan.
”Bagaimana mungkin aku bisa bahagia, bila orang yang aku cintai tidak bahagia” Ucapku menyahuti perkataan Yusuf. Aku tak mendengar dia berucap.
”Aku memang memiliki dirimu, tapi aku tidak memiliki cintamu. Aku memang bukan siapa-siapa dihatimu, tapi aku berharap....kau tidak lagi memikirkan Alifa” Sambungku sekenanya.
”Alifa?!” Tanya Yusuf kaget.
”Dari mana kau tahu tentang Alifa?”
Aku bangkit dari tidurku dan kuhadapkan wajahku padanya. Wajah yang penuh kecemburuan pada seorang wanita yang bernama Alifa.
”Kau tidak perlu tahu darimana aku tahu tentang Alifa, yang terpenting, aku hanya minta satu darimu, tolong lupakan Alifa. Biar bagaimanapun, aku istrimu yang sah. Dan seperti seorang istri pada umumnya, aku tidak terima kalau kau masih saja terus memikirkan perempuan lain. Aku bukannya egois, tapi aku hanya ingin membantumu untuk tidak menyakiti Allah lebih banyak lagi. Aku yakin kaupun mengerti akan hal ini” Jelasku sambil menatap kedua matanya yang jeli. Kembali aku rebahkan tubuhku di tempat tidur dengan membelakanginya. Kutarik selimut untuk menutupi tubuhku dan kumatikan lampu yang ada diatas meja kecil disamping tempat tidur. Aku berusaha memejamkan mataku sebisanya. Dalam hati kecilku, aku masih berharap Yusuf mau menyentuhku dan menganggapku sebagai seorang istri. Biar bagaimanapun, akupun sama seperti seorang istri pada umumnya, menginginkan kebahagiaan atas dirinya di malam pertama pernikahannya. Melakukan ibadah bersama sebagaimana sepasang suami istri pada umumnya. Memadu kasih dengan kerelaan hati dan jiwa, diiringi dengan munajat sepasang pengantin yang tengah dimabuk cinta dan berharap pahala yang banyak dari Allah swt. Dapat melahirkan generasi pilihan yang dapat menegakkan kalimat Allah di muka bumi ini.
Tapi semua harapanku seolah sirna ketika Yusuf lebih memilih untuk tidur membelakangiku dan mematikan lampu yang ada disebelahnya. Keadaan kamar saat itu gelap seketika. Aku tak bisa merasakan apapun kecuali sakit yang tiba-tiba saja menyusup dalam dada. Aku ingin menjerit, aku ingin berteriak, tapi aku kembali sadar, bahwa ini hanya sebuah ujian yang Allah berikan untukku. Dan aku yakin, akan ada berlimpah-limpah hikmah yang akan aku dapat jika aku bersabar karenanya.
Rabbi, kuatkanlah aku malam ini........
* * *
Waktu seolah lamban sekali berputar. Malam ini, aku benar-benar tidak bisa tidur. Entah dengan Yusuf. Berkali-kali aku merasakan tempat tidur yang kami tiduri bergoyang karena Yusuf sering sekali membalik-balikkan tubuhnya. Sedangkan aku masih dengan posisiku yang semula. Aku merasakan pegal yang teramat sangat di bagian pinggangku karena semalaman aku tidur dengan posisi miring membelakanginya.
Kuraih ponselku yang tergeletak diatas meja kecil dekat lampu. Kunyalakan. Ternyata baru pukul setengah tiga pagi. Sudah bosan rasanya aku dengan keadaan seperti ini. Ingin berbuat sesuatu, tapi apa? Tiba-tiba aku merasakan Yusuf bangkit dari tempat tidur. Entah dia berjalan kemana. Aku enggan menolehkan kepalaku untuk melihat sedang apa dia sekarang.
Sejurus kemudian aku mendengar dia bersuara.
”Din, aku mau ke masjid. Mau shalat tahajud lalu menunggu hingga subuh datang” Ucapnya padaku. Aku dengar dia melangkahkan kakinya menuju pintu keluar. Aku bingung harus berbuat apa. Seketika saja aku bangkit dari tidurku dan berlari mengejarnya. Aku berdiri di depan pintu untuk menghadangnya keluar. Segera saja aku kunci pintu. Kuncinya aku cabut dan kupegang dengan erat.
”Kau tidak boleh kemana-mana!” Ucapku tegas. Aku menatapnya dengan tajam. Kulihat pandangannya seolah bertanya-tanya akan sikapku. Sedangkan aku masih berdiri di depan pintu sambil mengatur nafasku.
”Kenapa aku tidak boleh? Aku hanya ingin pergi ke masjid untuk shalat tahajud dan menunggu hingga subuh datang. Aku hanya ingin shalat” Ucap Yusuf seolah mempertegas pernyataannya yang pertama tadi.
”Kau tidak boleh kemana-mana sebelum kau melakukan tugasmu sebagai seorang suami!” Kataku sambil diiringi dengan nafasku yang tersengal-sengal. Aku yakin tatapanku begitu meyakinkan untuknya. Dia tidak bersuara sedikitpun. Tapi raut wajahnya begitu memperlihatkan kebertanya-tanyaannya. Aku kembali berucap.
”Subuh masih dua jam lagi dan kau masih punya waktu untuk menunaikan tugasmu sebagai seorang suami yang bukan seorang pengecut!”
Matanya tidak berkedip sedikitpun dan wajahnya terlihat hampa. Bibirnya bergerak sedikit tapi tidak mengucapkan apapun. Aku terus saja menatap wajahnya. Tiba-tiba mataku basah dan sejurus kemudian aku menangis sejadi-jadinya. Aku menangis karena memikirkan tindakan dan perkataanku barusan padanya. Aku tersadar. Mana mungkin Yusuf mau memenuhi permintaanku sedangkan rasa cinta untukkupun dia tidak punya. Yusuf memandangiku yang sedang menangis. Tak sedikitpun dia berpikir untuk menghampiriku untuk sekedar menghapus air mataku.
Ditengah tangisku aku berucap,
”Mungkin aku egois karena tidak memimikirkn perasaanmu, dan mungkin aku egois karena seakan-akan aku memaksakan cintamu padaku. Tapi aku ingin tanya, apakah pernah kau memikirkan perasaanku ketika pertama kali aku tahu kalau kau tidak mencintaiku? Apakah pernah kau memikirkan perasaanku ketika surat darimu yang aku kira surat cinta, ternyata adalah surat yang isinya begitu menyakitkan untukku? Apakah pernah kau memikirkan perasaanku ketika kau menyebutkan ada ’nama lain’ di hatimu dan itu bukan aku? Apakah pernah kau memikirkan perasaanku ketika di malam-malam menjelang hari pernikahanku, bukan kebahagiaan yang aku rasakan melainkan kesedihan demi kesedihan yang terus menyayat hatiku? Apakah tak tergerak sedikit saja hatimu, ketika kau melihat air mataku jatuh di malam pertama pernikahanku? Apakah pernah kau memikirkannya??!” Tanyaku sambil terus menangis.
Aku tertunduk lemas didepan pintu kamar sambil sesenggukkan. Berkali-kali aku hapus air mataku tapi air mata itu keluar begitu saja seiring dengan hatiku yang semakin sakit akan sikap Yusuf yang biasa-biasa saja terhadapku. Sesaat lamanya aku menangis dan Yusuf juga hanya bisa menundukkan kepalanya tanpa berbuat apapun. Aku semakin gemas dibuatnya. Dia memang laki-laki yang pengecut. Untuk hal ini saja dia tidak bisa mengambil keputusan.
Akhirnya aku putuskan untuk membiarkannya pergi. Aku buka pintu dan kupersilahkan dia untuk pergi. Kemana saja yang dia mau tanpa harus memikirkan diriku.
”Pergilah!” Ucapku tanpa memandang wajahnya.
”Pergilah kemanapun kau suka. Pergilah ketempat yang bisa membuatmu tenang. Pergilah agar kau tidak selalu melihat diriku. Pergilah tanpa kau harus memikirkan diriku disini. Aku tidak akan memaksamu. Pergilah!!” Perintahku dengan suara agak serak.
Lagi-lagi kurasakan air mataku jatuh membasahi pipiku. Segera saja kuhapus. Sesaat kemudian aku mendengar dia melangkahkan kakinya mendekat kearahku. Tiba-tiba dia memelukku dengan sangat erat. Aku terkejut dibuatnya. Air mataku semakin deras membasahi pipi. Di dalam pelukannya aku berucap,
”Pergilah! Aku sudah bilang aku tidak akan memaksamu. Pergilah! Jangan biarkan hatimu tersakiti oleh perbuatan yang sebenarnya tidak ingin kau lakukan. Pergilah! Pergilah!” Ucapku sambil terus menangis. Yusuf semakin erat memelukku. Sejujurnya, aku merasakan kehangatan berada dalam pelukannya.
Tiba-tiba Yusuf menutup pintu kamar dan menguncinya. Tanpa berucap sepatah katapun dia mengajakku ke tempat tidur. Kududukkan tubuhku di pinggirannya dan diapun duduk di hadapanku. Tangannya menghapus air mataku. Dia menatapku dan berucap,
”Subuh masih dua jam lagi dan aku masih punya waktu untuk menunaikan tugasku sebagai seorang suami. Dan akan aku buktikan, bahwa aku bukan seorang pengecut”.
Aku mengerti apa yang diucapkannya. Aku tak menyahuti perkataannya lagi. Perlahan dia melepas jilbab yang aku kenakan. Dia membuka ikatan rambutku dan perlahan tangannya menyentuh kancing-kancing bajuku.
Dia merebahkan tubuhku. Dan dalam kegelapan malam, aku dan Yusuf melakukan ibadah itu bersama. Melakukannya dengan penuh kekhusyukkan, ketenangan, meskipun aku tahu, tak ada cinta yang dia berikan untukku. Tapi sungguh, malam ini aku benar-benar menjadi seorang istri. Aku selalu berharap, Allah masih bersedia memberikan sedikit pahalaNya atas ibadahku dan Yusuf malam ini.
Ya Allah, berkahi malam ini untukku dan suamiku. Amin.
”Subuh masih dua jam lagi dan aku masih punya waktu untuk menunaikan tugasku sebagai seorang suami. Dan akan aku buktikan, bahwa aku bukan seorang pengecut”.
Aku mengerti apa yang diucapkannya. Aku tak menyahuti perkataannya lagi. Perlahan dia melepas jilbab yang aku kenakan. Dia membuka ikatan rambutku dan perlahan tangannya menyentuh kancing-kancing bajuku.
Dia merebahkan tubuhku. Dan dalam kegelapan malam, aku dan Yusuf melakukan ibadah itu bersama. Melakukannya dengan penuh kekhusyukkan, ketenangan, meskipun aku tahu, tak ada cinta yang dia berikan untukku. Tapi sungguh, malam ini aku benar-benar menjadi seorang istri. Aku selalu berharap, Allah masih bersedia memberikan sedikit pahalaNya atas ibadahku dan Yusuf malam ini.
Ya Allah, berkahi malam ini untukku dan suamiku. Amin.
* * *
Tujuh
Tiga hari kami berada di hotel. Tak banyak waktu yang kami gunakan untuk melakukan segala aktivitas yang biasanya dilakukan oleh pasangan suami istri yang sedang berbulan madu pada umumnya. Jalan-jalan bersama, melihat pemandangan suasana malam di beranda kamar hotel, atau sekedar sarapan bersama sambil bercerita hal-hal yang indah yang Bisa membangkitkan keromantisan dalam berumah tangga. Semua itu hanya impian belaka bagi kehidupanku yang sekarang. Selepas shalat Subuh, Yusuf pergi keluar dan baru akan kembali setelah waktu dhuha sudah hampir hilang. Sedangkan aku, kuhabiskan waktuku sendirian di dalam kamar sambil membaca buku atau tilawah qur’an sambil sedikit menghafalnya.
Tadi pagi Yusuf tak pergi kemana-mana. Dia bilang tugasnya disekolah sudah menumpuk. Dia tak ingin tidak masuk mengajar lebih lama lagi karena kasihan murid-muridnya. Ya, Yusuf memang seorang guru fisika di Sekolah Menengah Pertama Labschool di kawasan Kebayoran. Dari sekolahnya sebenarnya mengizinkan dia untuk libur sampai lima hari, tapi dengan alasan banyak kerjaan yang tertunda kalau dia libur sampai lima hari, akhirnya dia memutuskan untuk pulang hari ini. Akupun menerima keputusannya dan berusaha menerima alasannya juga.
Semua barang sudah dikemas dengan rapi. Tak banyak barang yang kami bawa sebab kami datang kesini langsung dari pesta walimatul ursy. Hari ini kami sepakat untuk pulang kerumah orang tua Yusuf yang terletak di kawasan Cawang, Jakarta Timur. Setelah dirasa cukup, kamipun pulang meninggalkan hotel. Tak banyak yang kami perbincangkan selama dalam perjalanan pulang, bahkan seolah tak ada topik yang enak untuk dibahas bersama. Suasana didalam taksi benar-benar hening, sunyi, dan senyap. Sesekali supir taksi yang kuketahui bernama Pah Burhan, berseloroh mengenai cerita-cerita lucu. Aku dan Yusuf hanya tersenyum kecil lalu kembali diam. Kadang-kadang Yusuf menimpali dan menyahuti celotehan Pak Burhan itu. Aku jadi tak berselera. Di sekitar kawasan Jalan MT. Haryono taksi yang kami tumpangi berhenti. Bukan karena mogok atau kehabisan bensin, tapi karena macet tengah menghadang kami. Cukup lama taksi terjebak oleh kemacetan itu. Ditengah hiruk pikuk kota Jakarta, tiba-tiba saja Pak Burhan mengeluarkan pertanyaan yang membuatku dan Yusuf saling bertatap muka.
”Oh iya, kalian ini suami istri kan?” Tanyanya sambil melihat kaca spion yang ada di atas kepalanya. Aku dan Yusuf mengangguk.
”Kenapa memang Pak?” Tanya Yusuf.
”Ah tidak. Saya takut saja kalau kalian ini bukan suami istri tapi kok keluar dari hotel. Ternyata kalian memang benar-benar suami istri. Syukurlah” Ucap Pak Burhan sambil sesekali membasuh peluh yang mengalir di pelipisnya. Suaranya menunjukkan sekali keciri khasannya bahwa dia ini orang Batak.
”Kenapa Bapak bertanya seperti itu?” Tanyaku tiba-tiba.
”Tidak. Tidak kenapa-kenapa. Habis saya perhatikan dari tadi, kalian ini kok hanya diam-diaman saja tanpa berbicara sedikitpun. Kenapa rupanya kalau saya boleh tahu?” Tukas Pak Burhan.
Aku dan Yusuf terdiam. Aku mengalihkan pandanganku kearahnya dan diapun begitu. Lalu kami mengembalikan pandangan kami ke luar. Aku tak tahu jawaban apa yang harus aku berikan untuk pertanyaan Pak Burhan yang sebenarnya bisa aku jawab dengan jawaban, ”Kami seperti ini karena suami saya tidak mencintai saya Pak”. Tapi aku hanya bergumam dalam hati. Pak Burhan kembali bertanya.
”Waduh!! kalian ini kenapa malah diam lagi? Kalau memang saya tidak boleh tahu, ya tidak apa-apa. Tapi kalau saya boleh saran, janganlah suami istri itu saling diam dan acuh tak acuh. Tidak baik itu. Kalian itu dipertemukan oleh Allah dan sepatutnyalah kalian bersyukur akan hal itu. Kalau memang kalin punya masalah, maka selesaikanlah secara baik-baik. Dibicarakan apa permasalahannya lalu carilah jalan keluarnya secara bersama-sama. Dan semua itu butuh komunikasi yang kuat. Tidak diam-diaman seperti ini. Macam mana pula kalian ini. Saya ini hidup berkeluarga itu sudah hampir 36 tahun, tapi keadaan rumah tangga saya dan istri baik-baik saja, karena kami selalu membicarakan apapun yang menurut kami mengganjal dihati. Seperti itulah kalian berdua.” Jelas Pak Burhan panjang lebar.
Aku yang mendengarnya benar-benar tersentuh. Memang benar apa yang di katakan Pak Burhan. Segala sesuatunya itu memang harus dibicarakan agar tidak ada kesalah pahaman. Tapi apa yang mau dibicarakan kalau semuanya sudah jelas kalau keadaan seperti ini disebabkan oleh ketidak mampuan suamiku untuk mencintaiku. Aku perhatikan Yusuf hanya terdiam. Mungkin diapun tengah memikirkan perkataan Pak Burhan barusan.
”Kalau saya boleh tahu lagi, sudah berapa lama kalian ini menikah?” Tanya Pak Burhan lagi mengejutkanku. Kuarahkan pandanganku padanya. Kali ini Yusuf menjawab,
”Baru tiga hari Pak”
”Wah! Wah! Wah! Baru tiga hari rupanya. Pengantin barulah kailan. Kuucapkan selamat ya? Berarti, ke hotel kemarin itu untuk bulan madu ya? Wah! Bergembiralah kalian. Berapa ronde sudah kalian mainkan?” Tanya Pak Burhan membuatku bingung.
”Berapa ronde apanya Pak?” Yusuf balik bertanya.
”Ah! Masa kalian tidak mengerti. Itu, ronde kalian bermain cinta. Masa tidak mengerti. Kaulah anak muda. Pura-pura saja kau tidak mengerti. Tapi maklumlah aku, namanya juga pengantin baru. Jadi masih perlu banyak belajar” Tukas Pak Burhan santai. Aku dan Yusuf saling berpandangan sesaat lalu kembali terdiam.
Taksi sudah mulai berjalan. Kamipun terlepas dari jebakan macet. Yusuf lebih memilih diam tanpa mau menjawab pertanyaan Pak Burhan tadi. Aku sendiri memikirkan perkataan Pak Burhan.
”Namanya juga pengantin baru, jadi masih perlu banyak belajar”
Ya, aku dan Yusuf memang masih harus banyak belajar. Belajar untuk lebih sabar dalam menghadapi kenyataan hidup, belajar untuk lebih bisa menerima keadaan kami satu sama lain, belajar untuk bisa lebih bersyukur atas segala nikmat yang diberikan Allah, dan belajar untuk lebih bisa menghargai dalam mencintai. Belajar, belajar, dan belajar. Itulah yang sekarang sedang aku dan Yusuf usahakan dalam mengisi hidup ini.
Utlubul ilma minal mahdi ilallahdi.9
Tiga hari kami berada di hotel. Tak banyak waktu yang kami gunakan untuk melakukan segala aktivitas yang biasanya dilakukan oleh pasangan suami istri yang sedang berbulan madu pada umumnya. Jalan-jalan bersama, melihat pemandangan suasana malam di beranda kamar hotel, atau sekedar sarapan bersama sambil bercerita hal-hal yang indah yang Bisa membangkitkan keromantisan dalam berumah tangga. Semua itu hanya impian belaka bagi kehidupanku yang sekarang. Selepas shalat Subuh, Yusuf pergi keluar dan baru akan kembali setelah waktu dhuha sudah hampir hilang. Sedangkan aku, kuhabiskan waktuku sendirian di dalam kamar sambil membaca buku atau tilawah qur’an sambil sedikit menghafalnya.
Tadi pagi Yusuf tak pergi kemana-mana. Dia bilang tugasnya disekolah sudah menumpuk. Dia tak ingin tidak masuk mengajar lebih lama lagi karena kasihan murid-muridnya. Ya, Yusuf memang seorang guru fisika di Sekolah Menengah Pertama Labschool di kawasan Kebayoran. Dari sekolahnya sebenarnya mengizinkan dia untuk libur sampai lima hari, tapi dengan alasan banyak kerjaan yang tertunda kalau dia libur sampai lima hari, akhirnya dia memutuskan untuk pulang hari ini. Akupun menerima keputusannya dan berusaha menerima alasannya juga.
Semua barang sudah dikemas dengan rapi. Tak banyak barang yang kami bawa sebab kami datang kesini langsung dari pesta walimatul ursy. Hari ini kami sepakat untuk pulang kerumah orang tua Yusuf yang terletak di kawasan Cawang, Jakarta Timur. Setelah dirasa cukup, kamipun pulang meninggalkan hotel. Tak banyak yang kami perbincangkan selama dalam perjalanan pulang, bahkan seolah tak ada topik yang enak untuk dibahas bersama. Suasana didalam taksi benar-benar hening, sunyi, dan senyap. Sesekali supir taksi yang kuketahui bernama Pah Burhan, berseloroh mengenai cerita-cerita lucu. Aku dan Yusuf hanya tersenyum kecil lalu kembali diam. Kadang-kadang Yusuf menimpali dan menyahuti celotehan Pak Burhan itu. Aku jadi tak berselera. Di sekitar kawasan Jalan MT. Haryono taksi yang kami tumpangi berhenti. Bukan karena mogok atau kehabisan bensin, tapi karena macet tengah menghadang kami. Cukup lama taksi terjebak oleh kemacetan itu. Ditengah hiruk pikuk kota Jakarta, tiba-tiba saja Pak Burhan mengeluarkan pertanyaan yang membuatku dan Yusuf saling bertatap muka.
”Oh iya, kalian ini suami istri kan?” Tanyanya sambil melihat kaca spion yang ada di atas kepalanya. Aku dan Yusuf mengangguk.
”Kenapa memang Pak?” Tanya Yusuf.
”Ah tidak. Saya takut saja kalau kalian ini bukan suami istri tapi kok keluar dari hotel. Ternyata kalian memang benar-benar suami istri. Syukurlah” Ucap Pak Burhan sambil sesekali membasuh peluh yang mengalir di pelipisnya. Suaranya menunjukkan sekali keciri khasannya bahwa dia ini orang Batak.
”Kenapa Bapak bertanya seperti itu?” Tanyaku tiba-tiba.
”Tidak. Tidak kenapa-kenapa. Habis saya perhatikan dari tadi, kalian ini kok hanya diam-diaman saja tanpa berbicara sedikitpun. Kenapa rupanya kalau saya boleh tahu?” Tukas Pak Burhan.
Aku dan Yusuf terdiam. Aku mengalihkan pandanganku kearahnya dan diapun begitu. Lalu kami mengembalikan pandangan kami ke luar. Aku tak tahu jawaban apa yang harus aku berikan untuk pertanyaan Pak Burhan yang sebenarnya bisa aku jawab dengan jawaban, ”Kami seperti ini karena suami saya tidak mencintai saya Pak”. Tapi aku hanya bergumam dalam hati. Pak Burhan kembali bertanya.
”Waduh!! kalian ini kenapa malah diam lagi? Kalau memang saya tidak boleh tahu, ya tidak apa-apa. Tapi kalau saya boleh saran, janganlah suami istri itu saling diam dan acuh tak acuh. Tidak baik itu. Kalian itu dipertemukan oleh Allah dan sepatutnyalah kalian bersyukur akan hal itu. Kalau memang kalin punya masalah, maka selesaikanlah secara baik-baik. Dibicarakan apa permasalahannya lalu carilah jalan keluarnya secara bersama-sama. Dan semua itu butuh komunikasi yang kuat. Tidak diam-diaman seperti ini. Macam mana pula kalian ini. Saya ini hidup berkeluarga itu sudah hampir 36 tahun, tapi keadaan rumah tangga saya dan istri baik-baik saja, karena kami selalu membicarakan apapun yang menurut kami mengganjal dihati. Seperti itulah kalian berdua.” Jelas Pak Burhan panjang lebar.
Aku yang mendengarnya benar-benar tersentuh. Memang benar apa yang di katakan Pak Burhan. Segala sesuatunya itu memang harus dibicarakan agar tidak ada kesalah pahaman. Tapi apa yang mau dibicarakan kalau semuanya sudah jelas kalau keadaan seperti ini disebabkan oleh ketidak mampuan suamiku untuk mencintaiku. Aku perhatikan Yusuf hanya terdiam. Mungkin diapun tengah memikirkan perkataan Pak Burhan barusan.
”Kalau saya boleh tahu lagi, sudah berapa lama kalian ini menikah?” Tanya Pak Burhan lagi mengejutkanku. Kuarahkan pandanganku padanya. Kali ini Yusuf menjawab,
”Baru tiga hari Pak”
”Wah! Wah! Wah! Baru tiga hari rupanya. Pengantin barulah kailan. Kuucapkan selamat ya? Berarti, ke hotel kemarin itu untuk bulan madu ya? Wah! Bergembiralah kalian. Berapa ronde sudah kalian mainkan?” Tanya Pak Burhan membuatku bingung.
”Berapa ronde apanya Pak?” Yusuf balik bertanya.
”Ah! Masa kalian tidak mengerti. Itu, ronde kalian bermain cinta. Masa tidak mengerti. Kaulah anak muda. Pura-pura saja kau tidak mengerti. Tapi maklumlah aku, namanya juga pengantin baru. Jadi masih perlu banyak belajar” Tukas Pak Burhan santai. Aku dan Yusuf saling berpandangan sesaat lalu kembali terdiam.
Taksi sudah mulai berjalan. Kamipun terlepas dari jebakan macet. Yusuf lebih memilih diam tanpa mau menjawab pertanyaan Pak Burhan tadi. Aku sendiri memikirkan perkataan Pak Burhan.
”Namanya juga pengantin baru, jadi masih perlu banyak belajar”
Ya, aku dan Yusuf memang masih harus banyak belajar. Belajar untuk lebih sabar dalam menghadapi kenyataan hidup, belajar untuk lebih bisa menerima keadaan kami satu sama lain, belajar untuk bisa lebih bersyukur atas segala nikmat yang diberikan Allah, dan belajar untuk lebih bisa menghargai dalam mencintai. Belajar, belajar, dan belajar. Itulah yang sekarang sedang aku dan Yusuf usahakan dalam mengisi hidup ini.
Utlubul ilma minal mahdi ilallahdi.9
* * *
Sesampainya dirumah, aku dan Yusuf langsung disambut hangat oleh orang tua Yusuf yang kini telah menjadi mertuaku, dan juga orang tuaku yang kini telah menjadi mertua Yusuf. Mereka begitu bergembira melihat kedatangan kami. Aku peluki Mama dan Papa dengan penuh kerinduan. Entah mengapa, aku benar-benar merindukan mereka. Tak lupa aku memeluk Bu Rahayu yang tak lain adalah ibu mertuaku dan mencium tangan Pak Sardi yang tak lain adalah ayah mertuaku. Hari itu kami habiskan dengan memperbincangkan hal-hal kecil seputar pernikahan dan bulan madu kami selama tiga hari di hotel.
Setelah cukup lama di rumah mertuaku, Mama dan Papa memutuskan untuk pulang. Mulai hari ini, aku telah resmi menjadi bagian dari keluarga Pak Sardi dan Bu Rahayu. Sebelum mereka pulang, aku memeluk mereka dengan erat sambil menangis di pelukannya. Sungguh, aku tak bisa menahan tangis haruku ketika mereka memutuskan untuk melepasku dan menyerahkanku pada Yusuf dan keluarganya. Mereka hanya menenangkanku dengan ucapan-ucapan yang tidak bisa aku terima dalam hati.
”Sudahlah Din. Kamu ini sudah berkeluarga. Ikutlah apa yang suamimu bilang. Jangan sampai mengecewakannya ya? Mama dan Papa akan sering-sering menghubungimu. Kami yakin kamu akan bahagia hidup bersama mereka. Ya?”
Itulah perkataan yang diucapkan Mama sebelum dia pulang bersama Papa. Aku memandangi mereka dari kejauhan. Semakin lama mereka hilang dari pandanganku. Jauh, jauh, dan akhirnya hanya tinggal bayangan mereka saja yang selalu aku ingat dalam pikiranku.
Aku, Yusuf, dan orang tuanya masuk kembali ke dalam rumah. Hari sudah semakin malam. Ayah mertuaku memutuskan untuk segera tidur. Aku dan Bu Rahayu membereskan gelas-gelas dan piring kotor untuk dicuci di dapur. Yusuf masih tenang di depan televisi sambil menonton siaran berita malam. Tak pernah ada senyum yang mengembang di wajahnya.
Aku membantu ibu mertuaku mencuci piring. Kami banyak berbincang tentang pengalaman beliau selama berumah tangga dengan Pak Sardi. Dari perbincangan itu aku banyak menemukan pelajaran-pelajaran baru dalam berumah tangga. Bagaimana caranya membuat suami bahagia, apa yang harus dilakukan seorang istri jika suaminya marah, dan masih banyak lagi yang ibu mertuaku beri tahukan padaku soal kehidupan suami istri. Termasuk hal-hal intim yang menurut sebagian orang tabu untuk dibicarakan.
Aku melihat sosok Bu Rahayu begitu terbuka. Begitu ramah dan baik dalam bersikap. Kelembutannya sebagai seorang ibu tidak mengalahkan sikap ketegasannya dalam bertindak. Apa yang menurutnya benar, ya maka dibenarkannya. Tapi jika menurutnya salah, maka diapun tak segan-segan memberikan peringatan pada siapapun dengan tegas dan baik tapi tidak terkesan menghakimi.
Hal itu aku ketahui ketika dia bercerita tentang Yusuf yang ketika kecil sering membuat onar dengan teman bermainnya. Suatu ketika, orang tua temannya itu pernah mengadu pada Bu Rahayu kalau Yusuf telah memukul anaknya itu sampai berdarah. Sebagai ibu yang adil dan bijaksana, Bu Rahayu memberikan hukuman yang setimpal pada Yusuf. Dia akhirnya jera dan tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Diam-diam aku salut pada ibu mertuaku. Dia sosok yang sekarang ini menjadi pengganti Mama di kehidupan baruku. Dia pula yang secara tidak langsung dapat menguatkanku dalam menghadapi masalahku dengan Yusuf.
Tak terasa waktu sudah beranjak malam mendekati dini hari. Aku dan ibu mertuaku memutuskan untuk segera tidur. Di ruang tamu tidak lagi aku dapati Yusuf disana. Mungkin sudah masuk kamar. Semua lampu sudah dimatikan. Sebelum masuk kekamarnya, Bu Rahayu memberikan senyumannya padaku. Aku membalasnya. Aku masih berdiri di depan kamar Yusuf yang kini juga menjadi kamarku. Kutarik nafasku dalam-dalam dan kupejamkan mataku. Perlahan kusentuh gagang pintu kamarku dan mulai kubuka. Tiba-tiba saja dari dalam, Yusuf membukanya dan mendapatiku tengah terkejut menatap wajahnya.
”Kenapa berdiri saja disitu? Ayo masuk!” Perintahnya padaku. Aku hanya mengangguk dan mengikutinya masuk ke kamar. Dia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya yang empuk. Lampu yang ada disebelahnya sudah dimatikan. Cahaya yang ada tinggal dari lampu yang ada disebelah tempat aku tidur. Aku belum mau mematikannya. Aku membuka jilbabku dan aku duduk di depan cermin. Kusisiri rambutku perlahan sambil memandangi Yusuf dari balik cermin. Tubuhnya membelakangiku.
Setelah selesai menyisir, aku melangkah ketempat tidur dan bersiap untuk tidur. Posisiku sama seperti posisi dia membelakangiku. Kumatikan lampu yang ada disebelahku dan kupejamkan mataku. Suasana malam ini begitu dingin. Selimut yang menutupi tubuhku dan Yusuf seolah tak bisa memberikan rasa hangat yang lebih pada hatiku yang semakin membeku. Dalam pejam malamku, aku berdo’a,
”Ya Allah, kuatkanlah aku untuk bisa menghadapi semua kenyataan ini. Amin”
Setelah cukup lama di rumah mertuaku, Mama dan Papa memutuskan untuk pulang. Mulai hari ini, aku telah resmi menjadi bagian dari keluarga Pak Sardi dan Bu Rahayu. Sebelum mereka pulang, aku memeluk mereka dengan erat sambil menangis di pelukannya. Sungguh, aku tak bisa menahan tangis haruku ketika mereka memutuskan untuk melepasku dan menyerahkanku pada Yusuf dan keluarganya. Mereka hanya menenangkanku dengan ucapan-ucapan yang tidak bisa aku terima dalam hati.
”Sudahlah Din. Kamu ini sudah berkeluarga. Ikutlah apa yang suamimu bilang. Jangan sampai mengecewakannya ya? Mama dan Papa akan sering-sering menghubungimu. Kami yakin kamu akan bahagia hidup bersama mereka. Ya?”
Itulah perkataan yang diucapkan Mama sebelum dia pulang bersama Papa. Aku memandangi mereka dari kejauhan. Semakin lama mereka hilang dari pandanganku. Jauh, jauh, dan akhirnya hanya tinggal bayangan mereka saja yang selalu aku ingat dalam pikiranku.
Aku, Yusuf, dan orang tuanya masuk kembali ke dalam rumah. Hari sudah semakin malam. Ayah mertuaku memutuskan untuk segera tidur. Aku dan Bu Rahayu membereskan gelas-gelas dan piring kotor untuk dicuci di dapur. Yusuf masih tenang di depan televisi sambil menonton siaran berita malam. Tak pernah ada senyum yang mengembang di wajahnya.
Aku membantu ibu mertuaku mencuci piring. Kami banyak berbincang tentang pengalaman beliau selama berumah tangga dengan Pak Sardi. Dari perbincangan itu aku banyak menemukan pelajaran-pelajaran baru dalam berumah tangga. Bagaimana caranya membuat suami bahagia, apa yang harus dilakukan seorang istri jika suaminya marah, dan masih banyak lagi yang ibu mertuaku beri tahukan padaku soal kehidupan suami istri. Termasuk hal-hal intim yang menurut sebagian orang tabu untuk dibicarakan.
Aku melihat sosok Bu Rahayu begitu terbuka. Begitu ramah dan baik dalam bersikap. Kelembutannya sebagai seorang ibu tidak mengalahkan sikap ketegasannya dalam bertindak. Apa yang menurutnya benar, ya maka dibenarkannya. Tapi jika menurutnya salah, maka diapun tak segan-segan memberikan peringatan pada siapapun dengan tegas dan baik tapi tidak terkesan menghakimi.
Hal itu aku ketahui ketika dia bercerita tentang Yusuf yang ketika kecil sering membuat onar dengan teman bermainnya. Suatu ketika, orang tua temannya itu pernah mengadu pada Bu Rahayu kalau Yusuf telah memukul anaknya itu sampai berdarah. Sebagai ibu yang adil dan bijaksana, Bu Rahayu memberikan hukuman yang setimpal pada Yusuf. Dia akhirnya jera dan tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Diam-diam aku salut pada ibu mertuaku. Dia sosok yang sekarang ini menjadi pengganti Mama di kehidupan baruku. Dia pula yang secara tidak langsung dapat menguatkanku dalam menghadapi masalahku dengan Yusuf.
Tak terasa waktu sudah beranjak malam mendekati dini hari. Aku dan ibu mertuaku memutuskan untuk segera tidur. Di ruang tamu tidak lagi aku dapati Yusuf disana. Mungkin sudah masuk kamar. Semua lampu sudah dimatikan. Sebelum masuk kekamarnya, Bu Rahayu memberikan senyumannya padaku. Aku membalasnya. Aku masih berdiri di depan kamar Yusuf yang kini juga menjadi kamarku. Kutarik nafasku dalam-dalam dan kupejamkan mataku. Perlahan kusentuh gagang pintu kamarku dan mulai kubuka. Tiba-tiba saja dari dalam, Yusuf membukanya dan mendapatiku tengah terkejut menatap wajahnya.
”Kenapa berdiri saja disitu? Ayo masuk!” Perintahnya padaku. Aku hanya mengangguk dan mengikutinya masuk ke kamar. Dia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya yang empuk. Lampu yang ada disebelahnya sudah dimatikan. Cahaya yang ada tinggal dari lampu yang ada disebelah tempat aku tidur. Aku belum mau mematikannya. Aku membuka jilbabku dan aku duduk di depan cermin. Kusisiri rambutku perlahan sambil memandangi Yusuf dari balik cermin. Tubuhnya membelakangiku.
Setelah selesai menyisir, aku melangkah ketempat tidur dan bersiap untuk tidur. Posisiku sama seperti posisi dia membelakangiku. Kumatikan lampu yang ada disebelahku dan kupejamkan mataku. Suasana malam ini begitu dingin. Selimut yang menutupi tubuhku dan Yusuf seolah tak bisa memberikan rasa hangat yang lebih pada hatiku yang semakin membeku. Dalam pejam malamku, aku berdo’a,
”Ya Allah, kuatkanlah aku untuk bisa menghadapi semua kenyataan ini. Amin”
* * *
Delapan
Detik berganti detik, menit berganti menit, jam berganti jam, hari berganti hari, dan minggu berganti minggu. Tak terasa sudah lima bulan lamanya aku hidup sebagai seorang istri. Menjalani hidup ini dengan seorang suami yang sampai sekarang belum bisa menerimaku sebagai istrinya. Sampai sekarang pula tak pernah sedikitpun aku lihat sebuah kilatan cinta dimatanya untukku. Tak pernah ada tatapan mesra penuh kehangatan yang dia berikan padaku ketika dia pulang dari kerjanya ataupun ketika aku pulang dari kewajibanku bekerja di sebuah perusahaan majalah Islam. Karena hal ini juga, novel ketigaku yang harusnya sudah rampung beberapa bulan yang lalu, kini harus rela tertunda karena masalah hatiku.
Suasana di rumah dan di kantor sangat berbeda sekali. Di rumah tak bisa aku temukan kemesraan seikitpun dari suamiku, Yusuf. Tetapi dikantor, aku justru menemui Arini dan Fauzi yang kian hari kulihat kian mesra. Tak jarang aku mendengar cerita Arini tentang Fauzi, suaminya, yang menurutnya sangat lembut dan mesra sekali pada dirinya. Aku semakin iri dibuatnya.
Andai saja Arini tahu apa yang aku alami selama hidup berumah tangga, aku yakin Arinipun akan menangis dibuatnya. Dia adalah tipe perempuan yang mudah sekali menangis bila melihat atau mendengar kabar atau berita yang menyedihkan. Saat ini dia tengah mengandung dua bulan, hasil buah cintanya dengan Fauzi. Aku hanya bisa tersenyum kecil kala mendengar ceritanya tentang pengalamannya selama dia mengandung. Tak jarang aku dibuatnya kebingungan tatkala dia menanyaiku kapan aku mau menyusulnya. Aku kembali tersenyum dan hanya menjawab,
”Do’akan saja ya Rin? Mudah-mudahan Allah berkenan menitipkan bidadari kecilNya padaku dan suami”
”Amin”, Sahut Arini mengamini.
Mengingat hal itu, aku jadi teringat akan bulan maduku bersama Yusuf di hotel Maharani lima bulan yang lalu. Aku ingat betul, sejak kejadian itu sampai sekarang, kami baru melakukannya lima kali. Ya, bisa diperhitungkan dalam sebulan itu hanya sekali kami melakukannya. Maka tak jarang, sebelum subuh aku terbangun untuk makan sahur agar keesokannya aku kuat melakukan shaum10. Hal itu sengaja aku lakukan untuk menahan keinginan biologisku yang tak tersalurkan.
Terkadang pula sebelum aku makan sahur, aku terlebih dulu melaksanakan shalat tahajud dan sedikit bermunajat pada Sang Maha Pencipta. Meminta kekuatan untuk bisa menjalani hidup ini, meminta kesabaran agar aku bisa lebih tabah menerima keadaan suamiku, dan tak lupa, meminta kepada Sang Maha Pemberi nikmat agar berkenan menitipkan bidadari kecilNya padaku. Bidadari kecil yang sudah lama aku nantikan. Bidadari mungil yang sebenarnya sudah aku impikan sebelum aku menikah. Bidadari cantik yang sesungguhnya menjadi harapanku ketika kelak aku hidup bersama seorang suami. Bidadari yang mungkin kini akan lama hadir dalam kehidupanku.
Ditengah munajatku kepadaNya, tak jarang air mataku jatuh membasahi putihnya warna mukena yang kukenakan. Selesai bermunajat, aku tutup tahajudku dengan shalat witir 3 rakaat lalu kemudian aku makan sahur. Seadanya saja. Biasanya setelah sahur, aku mengambil buku harianku dan kutuliskan semua keadaan hatiku disana. Tentang Yusuf suamiku, tentang alasanku melakukan puasa sunnah, dan tentang harapan-harapanku di masa depan.
Terkadang ayah dan ibu mertuaku bertanya padaku kenapa sering sekali melakukan puasa sunnah. Aku hanya menjawab,
”Ingin lebih mendekatkan diri kepada Allah dengan banyak melakukan ibadah-ibadah sunnah”
Biasanya ayah dan ibu mertuaku hanya mengangguk-angguk pelan.
Aku juga sering mandi sebelum subuh. Hal itu aku lakukan agar mereka tak menaruh curiga padaku. Mereka pasti akan berpikir kalau aku mandi sebelum subuh, itu artinya semalam aku dan Yusuf baru memadu kasih. Aku hanya ingin mereka berpikiran yang baik-baik terhadap aku dan Yusuf. Itulah hal-hal yang sering aku lakukan ketika aku masih tinggal dirumah mereka.
Tapi kini, hal itu tak perlu lagi aku lakukan. Beberapa hari yang lalu aku dan Yusuf memutuskan untuk mengontrak rumah di darerah Lenteng Agung. Tak besar memang, tapi aku rasa inilah yang terbaik yang harus kami lakukan.
Tempat tidur, lemari pakaian, komputer, bufet, televisi, kursi, dan meja, semuanya telah tertata dengan rapi dirumah kontrakan baruku. Mama, Papa, Ayah, dan Ibu mertuaku turut membantuku merapikan rumah. Mereka benar-benar mengira kalau kehidupanku dan Yusuf amatlah bahagia, sampai-sampai kami memilih untuk mengontrak rumah karena ingin belajar hidup mandiri. Aku hanya bisa meminta do’a restu mereka agar aku dan Yusuf memang benar-benar Bisa menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya dirumah ini.
Detik berganti detik, menit berganti menit, jam berganti jam, hari berganti hari, dan minggu berganti minggu. Tak terasa sudah lima bulan lamanya aku hidup sebagai seorang istri. Menjalani hidup ini dengan seorang suami yang sampai sekarang belum bisa menerimaku sebagai istrinya. Sampai sekarang pula tak pernah sedikitpun aku lihat sebuah kilatan cinta dimatanya untukku. Tak pernah ada tatapan mesra penuh kehangatan yang dia berikan padaku ketika dia pulang dari kerjanya ataupun ketika aku pulang dari kewajibanku bekerja di sebuah perusahaan majalah Islam. Karena hal ini juga, novel ketigaku yang harusnya sudah rampung beberapa bulan yang lalu, kini harus rela tertunda karena masalah hatiku.
Suasana di rumah dan di kantor sangat berbeda sekali. Di rumah tak bisa aku temukan kemesraan seikitpun dari suamiku, Yusuf. Tetapi dikantor, aku justru menemui Arini dan Fauzi yang kian hari kulihat kian mesra. Tak jarang aku mendengar cerita Arini tentang Fauzi, suaminya, yang menurutnya sangat lembut dan mesra sekali pada dirinya. Aku semakin iri dibuatnya.
Andai saja Arini tahu apa yang aku alami selama hidup berumah tangga, aku yakin Arinipun akan menangis dibuatnya. Dia adalah tipe perempuan yang mudah sekali menangis bila melihat atau mendengar kabar atau berita yang menyedihkan. Saat ini dia tengah mengandung dua bulan, hasil buah cintanya dengan Fauzi. Aku hanya bisa tersenyum kecil kala mendengar ceritanya tentang pengalamannya selama dia mengandung. Tak jarang aku dibuatnya kebingungan tatkala dia menanyaiku kapan aku mau menyusulnya. Aku kembali tersenyum dan hanya menjawab,
”Do’akan saja ya Rin? Mudah-mudahan Allah berkenan menitipkan bidadari kecilNya padaku dan suami”
”Amin”, Sahut Arini mengamini.
Mengingat hal itu, aku jadi teringat akan bulan maduku bersama Yusuf di hotel Maharani lima bulan yang lalu. Aku ingat betul, sejak kejadian itu sampai sekarang, kami baru melakukannya lima kali. Ya, bisa diperhitungkan dalam sebulan itu hanya sekali kami melakukannya. Maka tak jarang, sebelum subuh aku terbangun untuk makan sahur agar keesokannya aku kuat melakukan shaum10. Hal itu sengaja aku lakukan untuk menahan keinginan biologisku yang tak tersalurkan.
Terkadang pula sebelum aku makan sahur, aku terlebih dulu melaksanakan shalat tahajud dan sedikit bermunajat pada Sang Maha Pencipta. Meminta kekuatan untuk bisa menjalani hidup ini, meminta kesabaran agar aku bisa lebih tabah menerima keadaan suamiku, dan tak lupa, meminta kepada Sang Maha Pemberi nikmat agar berkenan menitipkan bidadari kecilNya padaku. Bidadari kecil yang sudah lama aku nantikan. Bidadari mungil yang sebenarnya sudah aku impikan sebelum aku menikah. Bidadari cantik yang sesungguhnya menjadi harapanku ketika kelak aku hidup bersama seorang suami. Bidadari yang mungkin kini akan lama hadir dalam kehidupanku.
Ditengah munajatku kepadaNya, tak jarang air mataku jatuh membasahi putihnya warna mukena yang kukenakan. Selesai bermunajat, aku tutup tahajudku dengan shalat witir 3 rakaat lalu kemudian aku makan sahur. Seadanya saja. Biasanya setelah sahur, aku mengambil buku harianku dan kutuliskan semua keadaan hatiku disana. Tentang Yusuf suamiku, tentang alasanku melakukan puasa sunnah, dan tentang harapan-harapanku di masa depan.
Terkadang ayah dan ibu mertuaku bertanya padaku kenapa sering sekali melakukan puasa sunnah. Aku hanya menjawab,
”Ingin lebih mendekatkan diri kepada Allah dengan banyak melakukan ibadah-ibadah sunnah”
Biasanya ayah dan ibu mertuaku hanya mengangguk-angguk pelan.
Aku juga sering mandi sebelum subuh. Hal itu aku lakukan agar mereka tak menaruh curiga padaku. Mereka pasti akan berpikir kalau aku mandi sebelum subuh, itu artinya semalam aku dan Yusuf baru memadu kasih. Aku hanya ingin mereka berpikiran yang baik-baik terhadap aku dan Yusuf. Itulah hal-hal yang sering aku lakukan ketika aku masih tinggal dirumah mereka.
Tapi kini, hal itu tak perlu lagi aku lakukan. Beberapa hari yang lalu aku dan Yusuf memutuskan untuk mengontrak rumah di darerah Lenteng Agung. Tak besar memang, tapi aku rasa inilah yang terbaik yang harus kami lakukan.
Tempat tidur, lemari pakaian, komputer, bufet, televisi, kursi, dan meja, semuanya telah tertata dengan rapi dirumah kontrakan baruku. Mama, Papa, Ayah, dan Ibu mertuaku turut membantuku merapikan rumah. Mereka benar-benar mengira kalau kehidupanku dan Yusuf amatlah bahagia, sampai-sampai kami memilih untuk mengontrak rumah karena ingin belajar hidup mandiri. Aku hanya bisa meminta do’a restu mereka agar aku dan Yusuf memang benar-benar Bisa menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya dirumah ini.
* * *
Malam ini Yusuf tengah bergelut dengan laptopnya. Aku sendiri tak tahu apa yang sedari tadi dikerjakannya. Selepas Maghrib tadi dia sudah mulai duduk di depan laptop sambil mengetik beberapa tulisan yang ada dihadapannya. Beberapa lembar kertas berserakan di meja dan itu membuatnya tampak sangat sibuk. Sepertinya tak ada jeda untuk dia melakukan aktivitas lain. Dia menjeda kegiatannya tatkala azan Isya berkumandang dari masjid dekat rumah baru kami. Masjid Al Mustofa namanya. Kali ini dia memilih untuk shalat Isya dirumah ketimbang di masjid. Alasannya kalau di masjid, selesai shalat tidak Bisa langsung pulang karena bapak-bapak disana sering mengajaknya berbincang-bincang terlebih dahulu. Kalau itu sampai terjadi, maka malam ini dia harus ekstra lembur karena banyak sekali ketikan yang yang harus diselesaikan.
Selesai shalat Isya, dia kembali lagi bergelut dengan laptopnya di ruang tamu. Aku mencoba memberanikan diri untuk bertanya padanya sambil membawakan segelas wedang jahe untuknya agar tidak masuk angin, karena malam ini ia harus lembur.
”Ngetik apa sih Mas, dari tadi? Sepertinya kelihatan sibuk sekali?” Tanyaku sambil memanggilnya dengan sebutan ’Mas’. Ya, memang semenjak aku menikah dengannya, aku memanggilnya dengan sebutan ’Mas’. Diapun tidak keberatan aku memanggilnya seperti itu.
Mendengar pertanyaanku tadi, dia sepertinya agak kesal. Wajahnya tak tampak seguratpun senyuman. Mungkin karena dia yang sudah sibuk, ditambah lagi dengan pertanyaanku yang sebenarnya tidak Bisa membantunya. Mungkin. Itu hanya sebuah kemungkinan saja dariku. Dia menjawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.
”Ngetik soal buat UTS11 besok” Jawabnya singkat.
”Memang sebanyak itu?” Tanyaku lagi.
Dia hanya mengangguk. Aku terdiam sesaat lalu beranjak pergi dari hadapannya.
”Jangan tidur terlalu malam ya? Khawatir besoknya kurang fit malah tidak Bisa ngajar. Wedang jahenya jangan lupa diminum, biar kamu tidak masuk angin. Aku tidur duluan ya?” Ucapku sebelum beranjak pergi ke kamar.
Lagi-lagi dia hanya mengangguk lirih. Aku jadi merasa kasihan padanya. Ketika aku hendak membuka pintu kamar, dia bersuara.
”Terima kasih ya? Dinda” Ucapnya sambil memandang kearahku. Spontan akupun menoleh padanya dan memberikannya senyuman. Diapun tersenyum kecil dan kembali lagi mengetik. Aku masuk ke dalam kamar dengan perasaan bahagia. Entah mengapa mendengar dia memanggil namaku seolah mendadak berubah menjadi panggilan sayang untukku. Dinda. Ya, nama itu seolah menjelma menjadi panggilan, ’Dindaku sayang’.
Ah, andai saja itu benar-benar terjadi, pasti saat ini aku tengah berbahagia dengan kehidupan baruku. Tapi paling tidak, mendengar dia memanggil namaku saja aku sudah sangat senang. Malam ini, aku Bisa tidur nyenyak.
”Terima kasih ya? Dinda” Suaranya terus menggema di telingaku, sampai aku memejamkan mata.
Selesai shalat Isya, dia kembali lagi bergelut dengan laptopnya di ruang tamu. Aku mencoba memberanikan diri untuk bertanya padanya sambil membawakan segelas wedang jahe untuknya agar tidak masuk angin, karena malam ini ia harus lembur.
”Ngetik apa sih Mas, dari tadi? Sepertinya kelihatan sibuk sekali?” Tanyaku sambil memanggilnya dengan sebutan ’Mas’. Ya, memang semenjak aku menikah dengannya, aku memanggilnya dengan sebutan ’Mas’. Diapun tidak keberatan aku memanggilnya seperti itu.
Mendengar pertanyaanku tadi, dia sepertinya agak kesal. Wajahnya tak tampak seguratpun senyuman. Mungkin karena dia yang sudah sibuk, ditambah lagi dengan pertanyaanku yang sebenarnya tidak Bisa membantunya. Mungkin. Itu hanya sebuah kemungkinan saja dariku. Dia menjawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.
”Ngetik soal buat UTS11 besok” Jawabnya singkat.
”Memang sebanyak itu?” Tanyaku lagi.
Dia hanya mengangguk. Aku terdiam sesaat lalu beranjak pergi dari hadapannya.
”Jangan tidur terlalu malam ya? Khawatir besoknya kurang fit malah tidak Bisa ngajar. Wedang jahenya jangan lupa diminum, biar kamu tidak masuk angin. Aku tidur duluan ya?” Ucapku sebelum beranjak pergi ke kamar.
Lagi-lagi dia hanya mengangguk lirih. Aku jadi merasa kasihan padanya. Ketika aku hendak membuka pintu kamar, dia bersuara.
”Terima kasih ya? Dinda” Ucapnya sambil memandang kearahku. Spontan akupun menoleh padanya dan memberikannya senyuman. Diapun tersenyum kecil dan kembali lagi mengetik. Aku masuk ke dalam kamar dengan perasaan bahagia. Entah mengapa mendengar dia memanggil namaku seolah mendadak berubah menjadi panggilan sayang untukku. Dinda. Ya, nama itu seolah menjelma menjadi panggilan, ’Dindaku sayang’.
Ah, andai saja itu benar-benar terjadi, pasti saat ini aku tengah berbahagia dengan kehidupan baruku. Tapi paling tidak, mendengar dia memanggil namaku saja aku sudah sangat senang. Malam ini, aku Bisa tidur nyenyak.
”Terima kasih ya? Dinda” Suaranya terus menggema di telingaku, sampai aku memejamkan mata.
* * *
Sembilan
Di tengah pejam malamku, tiba-tiba aku terbangun. Aku merasakan haus yang tak tertahankan. Akhirnya aku bangkit dari tidurku dan melangkah keluar kamar. Betapa terkejutnya aku melihat suamiku tengah tertidur di depan laptopnya. Kulirik jam dinding. Pukul sebelas malam. Aku terenyuh melihatnya. Kuhampiri dia. Wajahnya begitu lelah terlihat. Wedang jahe yang tadi aku buatkan untuknya juga sudah habis diminumnya. Aku juga melihat ketikan di komputernya. Masih banyak yang belum ia selesaikan. Aku bingung. Apa yang harus aku lakukan untuk membantunya?
Sejenak aku berpikir. Tiba-tiba aku mempunyai ide untuk menghubungi Mas Bambang, temannya Mas Yusuf di tempatnya mengajar, untuk mencari tahu tentang soal-soal yang tengah diselesaikannya sekarang. Mas Bambang itu mengajar pelajaran matematika. Tapi, apa tidak terlalu malam untuk menghubunginya? Apa tidak mengganggunya? Ah, ini kan untuk kebaikan juga. Kalau sampai soal-soal ini tidak selesai malam ini juga, maka besok tidak ada soal fisika yang bisa dikerjakan. Aku putuskan untuk menghubungi Mas Bambang melalui ponsel Mas Yusuf yang tergeletak di meja dekat laptopnya. Kucari nama Mas Bambang lalu kupanggil. Busmillah.
Sesaat lamanya yang kudengar hanya nada sambung. Kuulangi lagi. Alhamdulillah diangkat.
”Ada apa Suf? Malam-malam kok mengganggu saja” Ucap Mas Bambang dengan nada kesal. Terdengar sekali suaranya yang baru saja terbangun dari tidurnya.
”Maaf Mas, saya Dinda, istrinya Mas Yusuf” Tukasku agak pelan. Takut Mas Yusuf terbangun.
”Oh, maaf...maaf. Saya pikir Yusuf. Ada apa ya, menelepon malam-malam?” Tanya Mas Bambang terdengar kaget ketika dia tahu yang meneleponnya adalah istrinya Yusuf, bukan Yusuf.
”Maaf ya Mas, sebelumnya. Saya hanya ingin tahu mengenai UTS besok. Apa mata pelajaran Mas Yusuf itu akan diujikan besok pagi, Mas ya?”
”Oh...iya. Pelajaran fisika itu akan diujikan besok bersama pelajaran Bahasa Indonesia. Ada apa rupanya ya?” Tanya Mas Bambang ingin tahu.
”Tidak Mas, tidak ada apa-apa. Ehm...setiap soal pelajaran itu mendapat jatah berapa nomor ya Mas?”
”Setiap soal pelajaran itu mendapat jatah 50 nomor, kecuali matematika, hanya 40 nomor” Jelas Mas Bambang singkat. Kulirikkan mataku ke layar laptop. Soal yang diselesaikan Mas Yusuf baru 27 nomor. Berarti kurang 23 nomor. Jumlah yang cukup besar bila harus diselesaikan malam ini juga. Mengingat waktu terus berputar dan malam semakin larut menjelang.
”Ya sudah Mas, terima kasih kalau begitu. Maaf ya mengganggu malam-malam” Ucapku masih dengan pelan.
”Ya...ya, tidak apa-apa” Sahut Mas Bambang.
”Makasih sekali lagi Mas, ya. Assalamu’alaikum”
”Wa’alaikumussalam” Jawabnya menutup pembicaran.
Aku langsung bergerak cepat. Kuputar laptop kearahku. Kubaca dengan seksama konsep soal-soal fisika yang ada dihadapanku. Setelah cukup, aku mulai mengetiknya dengan melanjutkan soal yang ada. Dengan teliti aku membacanya dan mengetiknya. Agak sulit juga rupanya karena banyak istilah-istilah fisika yang masih sangat asing bagiku. Namun karena niatku ingin membantu suamiku, maka aku harus benar-benar berusaha untuk menyelesaikan soal-soal ini.
Waktu terus bergulir hingga jam dinding sudah menunjukkan pukul satu malam lewat lima belas detik. Alhamdulillah semuanya sudah selesai. Setelah kuteliti ulang dan kurasa benar, soal-soal itu kumasukkan kedalam flash disk, lalu kuprint semuanya di komputerku yang ada di di dalam kamar. Alhamdulillah wa syukurillah, lima lembar soal dengan kertas ukuran folio, huruf times new roman dengan ukuran 12 font, telah selesai aku ketik. Lega rasanya hati ini karena akhirnya soal-soal ini sudah selesai. Aku tersenyum bangga.
Kuletakkan lima lembar soal itu di atas meja. Kubereskan semua kertas-kertas yang ada disana dan kumatikan laptopnya. Setelah semua beres, aku berniat melaksanakan shalat tahajud. Sebelum kuberanjak ke kamar mandi, kusempatkan mataku menatap wajah Mas Yusuf. Begitu bersih dan bersahaja. Tapi sayang, tak pernah kutemukan pancaran cinta yang dia berikan untukku. Oh, ingin sekali rasanya aku menyentuh wajahnya, membelai rambutnya, dan...mencium pipinya. Ya, menciumnya. Aku ingin sekali menciumnya. Sampai sekarang belum pernah aku merasakan ciuman hangat darinya. Tapi, ah, kuurungkan saja niatku untuk menciumnya diam-diam. Aku tak ingin menciumnya karena terpaksa. Biarlah. Jika memang seumur hidup aku tidak akan pernah mendapatkan ciuman itu, aku akan berusaha untuk ikhlas. Hanya dengan keikhlasan dan kesabaran, aku akan menjalani hidup ini.
Ku langkahkan kakiku ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Di tengah pejam malamku, tiba-tiba aku terbangun. Aku merasakan haus yang tak tertahankan. Akhirnya aku bangkit dari tidurku dan melangkah keluar kamar. Betapa terkejutnya aku melihat suamiku tengah tertidur di depan laptopnya. Kulirik jam dinding. Pukul sebelas malam. Aku terenyuh melihatnya. Kuhampiri dia. Wajahnya begitu lelah terlihat. Wedang jahe yang tadi aku buatkan untuknya juga sudah habis diminumnya. Aku juga melihat ketikan di komputernya. Masih banyak yang belum ia selesaikan. Aku bingung. Apa yang harus aku lakukan untuk membantunya?
Sejenak aku berpikir. Tiba-tiba aku mempunyai ide untuk menghubungi Mas Bambang, temannya Mas Yusuf di tempatnya mengajar, untuk mencari tahu tentang soal-soal yang tengah diselesaikannya sekarang. Mas Bambang itu mengajar pelajaran matematika. Tapi, apa tidak terlalu malam untuk menghubunginya? Apa tidak mengganggunya? Ah, ini kan untuk kebaikan juga. Kalau sampai soal-soal ini tidak selesai malam ini juga, maka besok tidak ada soal fisika yang bisa dikerjakan. Aku putuskan untuk menghubungi Mas Bambang melalui ponsel Mas Yusuf yang tergeletak di meja dekat laptopnya. Kucari nama Mas Bambang lalu kupanggil. Busmillah.
Sesaat lamanya yang kudengar hanya nada sambung. Kuulangi lagi. Alhamdulillah diangkat.
”Ada apa Suf? Malam-malam kok mengganggu saja” Ucap Mas Bambang dengan nada kesal. Terdengar sekali suaranya yang baru saja terbangun dari tidurnya.
”Maaf Mas, saya Dinda, istrinya Mas Yusuf” Tukasku agak pelan. Takut Mas Yusuf terbangun.
”Oh, maaf...maaf. Saya pikir Yusuf. Ada apa ya, menelepon malam-malam?” Tanya Mas Bambang terdengar kaget ketika dia tahu yang meneleponnya adalah istrinya Yusuf, bukan Yusuf.
”Maaf ya Mas, sebelumnya. Saya hanya ingin tahu mengenai UTS besok. Apa mata pelajaran Mas Yusuf itu akan diujikan besok pagi, Mas ya?”
”Oh...iya. Pelajaran fisika itu akan diujikan besok bersama pelajaran Bahasa Indonesia. Ada apa rupanya ya?” Tanya Mas Bambang ingin tahu.
”Tidak Mas, tidak ada apa-apa. Ehm...setiap soal pelajaran itu mendapat jatah berapa nomor ya Mas?”
”Setiap soal pelajaran itu mendapat jatah 50 nomor, kecuali matematika, hanya 40 nomor” Jelas Mas Bambang singkat. Kulirikkan mataku ke layar laptop. Soal yang diselesaikan Mas Yusuf baru 27 nomor. Berarti kurang 23 nomor. Jumlah yang cukup besar bila harus diselesaikan malam ini juga. Mengingat waktu terus berputar dan malam semakin larut menjelang.
”Ya sudah Mas, terima kasih kalau begitu. Maaf ya mengganggu malam-malam” Ucapku masih dengan pelan.
”Ya...ya, tidak apa-apa” Sahut Mas Bambang.
”Makasih sekali lagi Mas, ya. Assalamu’alaikum”
”Wa’alaikumussalam” Jawabnya menutup pembicaran.
Aku langsung bergerak cepat. Kuputar laptop kearahku. Kubaca dengan seksama konsep soal-soal fisika yang ada dihadapanku. Setelah cukup, aku mulai mengetiknya dengan melanjutkan soal yang ada. Dengan teliti aku membacanya dan mengetiknya. Agak sulit juga rupanya karena banyak istilah-istilah fisika yang masih sangat asing bagiku. Namun karena niatku ingin membantu suamiku, maka aku harus benar-benar berusaha untuk menyelesaikan soal-soal ini.
Waktu terus bergulir hingga jam dinding sudah menunjukkan pukul satu malam lewat lima belas detik. Alhamdulillah semuanya sudah selesai. Setelah kuteliti ulang dan kurasa benar, soal-soal itu kumasukkan kedalam flash disk, lalu kuprint semuanya di komputerku yang ada di di dalam kamar. Alhamdulillah wa syukurillah, lima lembar soal dengan kertas ukuran folio, huruf times new roman dengan ukuran 12 font, telah selesai aku ketik. Lega rasanya hati ini karena akhirnya soal-soal ini sudah selesai. Aku tersenyum bangga.
Kuletakkan lima lembar soal itu di atas meja. Kubereskan semua kertas-kertas yang ada disana dan kumatikan laptopnya. Setelah semua beres, aku berniat melaksanakan shalat tahajud. Sebelum kuberanjak ke kamar mandi, kusempatkan mataku menatap wajah Mas Yusuf. Begitu bersih dan bersahaja. Tapi sayang, tak pernah kutemukan pancaran cinta yang dia berikan untukku. Oh, ingin sekali rasanya aku menyentuh wajahnya, membelai rambutnya, dan...mencium pipinya. Ya, menciumnya. Aku ingin sekali menciumnya. Sampai sekarang belum pernah aku merasakan ciuman hangat darinya. Tapi, ah, kuurungkan saja niatku untuk menciumnya diam-diam. Aku tak ingin menciumnya karena terpaksa. Biarlah. Jika memang seumur hidup aku tidak akan pernah mendapatkan ciuman itu, aku akan berusaha untuk ikhlas. Hanya dengan keikhlasan dan kesabaran, aku akan menjalani hidup ini.
Ku langkahkan kakiku ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
* * *
”Dinda, apa semua ini kamu yang mengerjakan?” Tanya Mas Yusuf ketika dia baru saja terbangun dari tidurnya. Aku melongok keruang tamu dari balik dinding dapur dan balik bertanya padanya seolah-olah tidak mengerti apa yang ditanyakannya.
”Mengerjakan apa?”
”Soal-soal UTS ini?” Jawabnya dengan raut wajah yang tampak bingung sambil membaca dengan seksama kertas-kertas soal yang dimaksud.
”Oh! Iya, itu aku yang mengerjakan. Kenapa, ada yang salah?”
Mas Yusuf terdiam sejenak. Dia mengerutkan keningnya. Kedua alisnya hampir saja bertemu ketika membaca soal-soal itu.
”Ehm....Tidak, tidak ada yang salah fatal. Hanya saja ada beberapa kata yang salah penulisannya” Jawabnya sambil memandang kearahku kemudian menunduk lagi memeriksa soal-soal itu.
”Syukurlah kalau begitu” Sahutku sambil meneruskan aktivitasku memasak nasi goreng dan telur dadar. Aku kembali berkata pada Mas Yusuf.
”Hari semakin siang, Mas. Kau belum shalat Subuh” Ucapku lagi pada Mas Yusuf. Sekedar mengingatkan kalau dia memang belum shalat Subuh.
”Astaghfirullahal’adzim” Ucapnya terdengar di telingaku. Tak lama kemudian dia bergegas masuk ke kamar mandi tanpa membawa handuk. Dia melewatiku dengan terburu-buru.
Nasi goreng yang kubuat sudah matang. Kuangkat dan kusajikan menjadi dua piring. Telur dadarnya pun senantiasa menghiasinya. Kusajikan semuanya di atas meja makan. Dari kamar mandi terdengar Mas Yusuf sedang mandi. Sepertinya dia lupa kalau dia tidak membawa handuk. Mungkin awalnya dia hanya berniat untuk mengambil air wudhu. Tapi karena sudah terlanjur di kamar mandi, ya sekalian saja dia mandi. Tanpa ingat kalau dia lupa membawa handuk.
Setelah meletakkan dua piring nasi goreng di meja makan, aku bergegas mengambil handuk dan menyerahkannya pada MasYusuf.
”Mas, ini handuknya!” Ucapku dari luar kamar mandi sambil mengetuk pintunya.
Tak lama dia membuka sedikit pintu kamar mandi dan mengulurkan tangannya seraya mengambil handuk yang aku berikan padanya.
”Terima kasih” Ucapnya pelan sambil menutup pintu kamar mandi.
Aku kembali lagi ke meja makan dan menatanya dengan rapi. Setelah kurasa beres semua, aku beranjak ke kamar untuk menyiapkan pakaian Mas Yusuf yang akan dia kenakan untuk berangkat mengajar. Kemudian aku merapikan diriku untuk segera bersiap-siap pergi ke kantor.
Setelah keluar dari kamar mandi, Mas Yusuf langsung masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Aku sudah menunggunya di meja makan untuk sarapan. Tak lama kemudian dia keluar kamar dengan mengenakan pakaian yang tadi sudah aku siapkan.
”Sudah shalat Mas?” Tanyaku ketika dia baru saja keluar dari kamar.
Dia hanya mengangguk kemudian duduk di salah satu kursi yang ada di sebelahku. Di hadapannya sudah ada sepiring nasi goreng lengkap dengan telur dadar dan ketimun serta tomatnya yang kuiris tipis-tipis. Di sebelah nasi gorengnya sudah aku siapkan segelas teh manis hangat untuk menghangatkan perutnya.
Dia melahapnya dengan terlebih dahulu membaca Bismillah. Akupun menemaninya makan. Tak ada perbincangan yang berarti ketika kami sedang makan. Entahlah. Mungkin sampai detik ini, perasaannya terhadapku belum berubah. Masih dingin dan acuh. Padahal sebenarnya, aku ingin sekali mendengarkan dia berucap sepatah kata saja padaku. Kata apa saja itu. Yang penting aku mendengar dia memanggil namaku seperti semalam. Rasanya indah sekali.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul enam lewat dua puluh lima menit. Mas Yusuf menyudahi makannya dengan menenggak teh manis hangat buatanku. Setelah itu dia beranjak mengambil sepatunya dan memakainya di ruang tamu. Semua kertas soal yang aku ketik semalam sudah dia masukkan ke dalam tasnya. Setelah semuanya dirasa cukup dan dirasa tidak ada yang tertinggal, dia bangkit sambil membawa tasnya.
Aku mengiringi langkahnya dari belakang. Setelah di depan pintu dia berbalik kearahku. Aku mencium tangannya dengan penuh ketulusan. Dia menatap wajahku dengan biasa-biasa saja. Aku menatapnya.
”Hati-hati di jalan ya? Jangan ngebut” Pesanku sebelum dia berangkat.
Lagi-lagi dia hanya mengangguk pelan tanpa menyahut sedikitpun. Dia melangkah kearah motornya sambil mengucapkan salam. Aku pun menjawabnya. Namun tiba-tiba dia menghentikan langkahnya dan berbalik menghampiriku.
”Ada apa lagi? Ada yang tertinggal?” Tanyaku dengan penuh kebingungan.
Dia menggeleng kemudian bersuara,
”Tidak ada yang tertinggal namun ada yang terlupa...” Jawabnya membuat aku tambah bingung.
”Apa yang terlupa? Biar aku ambilkan” Ucapku.
”Tidak usah kau ambilkan. Aku hanya lupa mengucapkan terima kasih padamu atas bantuanmu menyelesaikan soal-soal UTS ini. Sungguh, kalau tak ada dirimu, mungkin pagi ini aku akan kuwalahan menyelesaikan soal-soal ini sendirian sambil di kejar-kejar waktu. Terima kasih ya karena sudah meluangkan waktu malammu untuk menyelesaikan pekerjaanku. Suatu saat, pasti akan kubalas” Ucapnya panjang lebar membuat aku terhenyak.
”Tidak perlu seperti itu. Memang sudah menjadi tanggung jawabku sebagai seorang istri untuk membantu suaminya” Sahutku menimpalinya.
Dia mengangguk pelan dan kembali berkata,
”Ya. Kalau begitu aku berangkat. Assalamu’alaikum”
”Wa’alaikumussalam”
Dia pun menaiki motornya dan sejurus kemudian dia menyusuri jalanan dan menghilang dari pandanganku. Tiba-tiba saja ada sesuatu yang merasuki jiwaku. Sesuatu yang menetes di kedalaman hatiku yang kemudian membuatnya menjadi segar kembali. Entah apa itu. Aku yakin, itulah cinta. Cintaku yang kian hari kian mendalam pada sosok suamiku. Cinta yang bisa menguatkanku dalam keberadaanku bersamanya.
Aku pun masuk kedalam dan bersiap-siap untuk berangkat kerja.
”Mengerjakan apa?”
”Soal-soal UTS ini?” Jawabnya dengan raut wajah yang tampak bingung sambil membaca dengan seksama kertas-kertas soal yang dimaksud.
”Oh! Iya, itu aku yang mengerjakan. Kenapa, ada yang salah?”
Mas Yusuf terdiam sejenak. Dia mengerutkan keningnya. Kedua alisnya hampir saja bertemu ketika membaca soal-soal itu.
”Ehm....Tidak, tidak ada yang salah fatal. Hanya saja ada beberapa kata yang salah penulisannya” Jawabnya sambil memandang kearahku kemudian menunduk lagi memeriksa soal-soal itu.
”Syukurlah kalau begitu” Sahutku sambil meneruskan aktivitasku memasak nasi goreng dan telur dadar. Aku kembali berkata pada Mas Yusuf.
”Hari semakin siang, Mas. Kau belum shalat Subuh” Ucapku lagi pada Mas Yusuf. Sekedar mengingatkan kalau dia memang belum shalat Subuh.
”Astaghfirullahal’adzim” Ucapnya terdengar di telingaku. Tak lama kemudian dia bergegas masuk ke kamar mandi tanpa membawa handuk. Dia melewatiku dengan terburu-buru.
Nasi goreng yang kubuat sudah matang. Kuangkat dan kusajikan menjadi dua piring. Telur dadarnya pun senantiasa menghiasinya. Kusajikan semuanya di atas meja makan. Dari kamar mandi terdengar Mas Yusuf sedang mandi. Sepertinya dia lupa kalau dia tidak membawa handuk. Mungkin awalnya dia hanya berniat untuk mengambil air wudhu. Tapi karena sudah terlanjur di kamar mandi, ya sekalian saja dia mandi. Tanpa ingat kalau dia lupa membawa handuk.
Setelah meletakkan dua piring nasi goreng di meja makan, aku bergegas mengambil handuk dan menyerahkannya pada MasYusuf.
”Mas, ini handuknya!” Ucapku dari luar kamar mandi sambil mengetuk pintunya.
Tak lama dia membuka sedikit pintu kamar mandi dan mengulurkan tangannya seraya mengambil handuk yang aku berikan padanya.
”Terima kasih” Ucapnya pelan sambil menutup pintu kamar mandi.
Aku kembali lagi ke meja makan dan menatanya dengan rapi. Setelah kurasa beres semua, aku beranjak ke kamar untuk menyiapkan pakaian Mas Yusuf yang akan dia kenakan untuk berangkat mengajar. Kemudian aku merapikan diriku untuk segera bersiap-siap pergi ke kantor.
Setelah keluar dari kamar mandi, Mas Yusuf langsung masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Aku sudah menunggunya di meja makan untuk sarapan. Tak lama kemudian dia keluar kamar dengan mengenakan pakaian yang tadi sudah aku siapkan.
”Sudah shalat Mas?” Tanyaku ketika dia baru saja keluar dari kamar.
Dia hanya mengangguk kemudian duduk di salah satu kursi yang ada di sebelahku. Di hadapannya sudah ada sepiring nasi goreng lengkap dengan telur dadar dan ketimun serta tomatnya yang kuiris tipis-tipis. Di sebelah nasi gorengnya sudah aku siapkan segelas teh manis hangat untuk menghangatkan perutnya.
Dia melahapnya dengan terlebih dahulu membaca Bismillah. Akupun menemaninya makan. Tak ada perbincangan yang berarti ketika kami sedang makan. Entahlah. Mungkin sampai detik ini, perasaannya terhadapku belum berubah. Masih dingin dan acuh. Padahal sebenarnya, aku ingin sekali mendengarkan dia berucap sepatah kata saja padaku. Kata apa saja itu. Yang penting aku mendengar dia memanggil namaku seperti semalam. Rasanya indah sekali.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul enam lewat dua puluh lima menit. Mas Yusuf menyudahi makannya dengan menenggak teh manis hangat buatanku. Setelah itu dia beranjak mengambil sepatunya dan memakainya di ruang tamu. Semua kertas soal yang aku ketik semalam sudah dia masukkan ke dalam tasnya. Setelah semuanya dirasa cukup dan dirasa tidak ada yang tertinggal, dia bangkit sambil membawa tasnya.
Aku mengiringi langkahnya dari belakang. Setelah di depan pintu dia berbalik kearahku. Aku mencium tangannya dengan penuh ketulusan. Dia menatap wajahku dengan biasa-biasa saja. Aku menatapnya.
”Hati-hati di jalan ya? Jangan ngebut” Pesanku sebelum dia berangkat.
Lagi-lagi dia hanya mengangguk pelan tanpa menyahut sedikitpun. Dia melangkah kearah motornya sambil mengucapkan salam. Aku pun menjawabnya. Namun tiba-tiba dia menghentikan langkahnya dan berbalik menghampiriku.
”Ada apa lagi? Ada yang tertinggal?” Tanyaku dengan penuh kebingungan.
Dia menggeleng kemudian bersuara,
”Tidak ada yang tertinggal namun ada yang terlupa...” Jawabnya membuat aku tambah bingung.
”Apa yang terlupa? Biar aku ambilkan” Ucapku.
”Tidak usah kau ambilkan. Aku hanya lupa mengucapkan terima kasih padamu atas bantuanmu menyelesaikan soal-soal UTS ini. Sungguh, kalau tak ada dirimu, mungkin pagi ini aku akan kuwalahan menyelesaikan soal-soal ini sendirian sambil di kejar-kejar waktu. Terima kasih ya karena sudah meluangkan waktu malammu untuk menyelesaikan pekerjaanku. Suatu saat, pasti akan kubalas” Ucapnya panjang lebar membuat aku terhenyak.
”Tidak perlu seperti itu. Memang sudah menjadi tanggung jawabku sebagai seorang istri untuk membantu suaminya” Sahutku menimpalinya.
Dia mengangguk pelan dan kembali berkata,
”Ya. Kalau begitu aku berangkat. Assalamu’alaikum”
”Wa’alaikumussalam”
Dia pun menaiki motornya dan sejurus kemudian dia menyusuri jalanan dan menghilang dari pandanganku. Tiba-tiba saja ada sesuatu yang merasuki jiwaku. Sesuatu yang menetes di kedalaman hatiku yang kemudian membuatnya menjadi segar kembali. Entah apa itu. Aku yakin, itulah cinta. Cintaku yang kian hari kian mendalam pada sosok suamiku. Cinta yang bisa menguatkanku dalam keberadaanku bersamanya.
Aku pun masuk kedalam dan bersiap-siap untuk berangkat kerja.
* * *
Sepuluh
Ponselku berdering ketika aku tengah sibuk dengan pekerjaanku di kantor. Awalnya aku kurang menghiraukannya karena memang pekerjaanku benar-benar menumpuk. Tapi ponsel itu terus berdering mengeluarkan ringtone ’Merah Saga’nya Shoutul Harokah, nasyid kegemaranku. Kuangkat. Ternyata dari Mas Yusuf. Pikiranku tiba-tiba teralih sejenak pada Mas Yusuf yang kini tengah menanti jawaban telepon dariku.
”Assalamu’alaikum. Ada apa Mas?” Tanyaku segera tanpa basa-basi.
”Wa’alaikumussalam. Nanti sore ada acara di Bumiwiyata Depok. Kita ketemu disana jam 5 ya? Malamnya kita menginap di rumah Ibu” Jawabnya singkat dengan cepat. Ibu yang dimaksud adalah ibunya. Aku baru menyadari, dia tak sedikitpun menyebut namaku.
”Acara apa memangnya Mas?”
”Acara bedah buku bersama Penerbit Al Kautsar. Bintang tamunya ada Shoutul Harokah dan Izzatul Islam. Sekalian aku mau cari-cari buku disana” Sahutnya datar.
”Oh. Ya sudah kalau begitu, kita ketemu disana jam 5 ya?”
”Ya. Assalamu’alaikum” Ucapnya mengakhiri pembicaraan. Diapun langsung menutup teleponnya tanpa mendengar dulu jawaban salamku.
”Wa’alaikumussalam”
Aku terdiam sejenak sesaat sambil memikirkan apa yang baru saja aku alami tadi. Mas Yusuf meneleponku. Dia mengajakku pergi bersama ke sebuah acara. Inilah untuk yang pertama kalinya selama lima bulan aku menikah dengan Mas Yusuf, dia mengajakku pergi bersama. Suatu hal yang sebenarnya sudah lama sekali aku impi-impikan. Pergi ke sebuah acara bersama seorang suami yang Bisa menggandengku dan menuntunku. Seperti apa yang sering aku lihat. Tapi apakah nanti dia mau menggandeng dan menuntunku seperti apa yang aku impi-impikan selama ini? Entahlah. Aku tidak mau terlalu berharap banyak padanya.
Kuselesaikan kembali pekerjaanku. Tak lama kemudian ponselku berdering lagi. Kali ini satu pesan diterima. Kubuka. Ternyata dari Mas Yusuf lagi. Bibirku tersenyum kecil sambil membaca isi pesannya.
Tunggu sj di dpn pintu msk dan jgn kmn2 smp aku dtg.
Aku membalasnya.
Baiklah. Aku janji tak akan kmn2 smp kau dtg.
Aku bahagia sekali. Mudah-mudahan saja ini langkah awal untuk memperbaiki hubungnku dengan Mas Yusuf.
Waktu berlalu begitu cepat. Pekerjaanku sudah selesai. Selepas shalat Ashar aku langsung bergegas pergi menuju Bumiwiyata Depok. Jarak antara kantorku ke Depok lumayan jauh, jadi aku putuskan untuk berangkat selepas shalat Ashar agar Mas Yusuf tak terlalu lama menungguku. Dari arah Rawamangun aku naik mobil angkot jurusan Pasar Minggu. Setelah sampai di Pasar Minggu, aku turun dan menyambung lagi dengan Bus jurusan Depok. Alhamdulillah aku mendapat satu kursi pertama di dekat pintu. Di daerah Poltangan, banyak penumpang yang turun, namun tak sedikit pula orang yang berebut untuk naik.
Disaat yang bersamaan aku melihat ada seorang ibu tua yang naik dengan membawa beberapa kantong plastik yang aku perkirakan isinya sangat banyak karena cara ibu tua itu membawanya sangat berat. Dia memutarkan pandangannya kesemua tempat duduk yang
ada. Penuh. Semua kursi terisi. Ada satu yang kosong di dekat supir. Ibu itu hendak menghampirinya sebelum akhirnya seorang pemuda naik ke dalam Bus dan mendudukkan dirinya disana terlebih dahulu.
Ibu itu sudah di dera keletihan yang teramat sangat. Peluh di wajahnya menggambarkan sekali kalau dia benar-benar letih dan memerlukan tempat duduk untuk mengistirahatkan tubuhnya yang sudah tua. Aku mengalihkan pandanganku ke semua penjuru Bus. Tak ada yang mau peduli pada ibu itu. Ada seorang perempuan muda yang asik menelepon sambil tertawa-tawa, ada juga kulihat seorang lelaki yang usianya aku perkirakan baru 30 tahunan sedang membolak balikan koran yang tengah dibacanya sambil sesekali melirikkan kedua matanya ke arah ibu tadi lalu pura-pura kembali membaca.
Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung bangkit dari dudukku dan kupersilahkan ibu itu untuk duduk di kursi yang tadi aku tempati. Aku menemukan kebahagiaan yang tiada terkira terpancar di wajahnya.
”Terima kasih ya Nak?” Ucapnya pelan sambil menata barang bawaannya di pangkuannya. Aku mengangguk pelan dan tersenyum padanya. Bus melaju kencang di jalan raya. Terus berjalan menyisiri belahan kota Jakarta. Sejenak aku berpikir tentang semua orang yang ada didalam bus. Kenapa mereka begitu tega melihat seorang ibu yang sudah tua ini berdiri sambil menahan letih dan peluhnya sambil menunggu ada yang mau bangkit dan memberikan tempat duduknya untuknya, sementara banyak dari mereka yang masih sangat muda dan masih gagah, duduk dengan nyamannya sambil memperhatikan ibu itu dengan tatapan biasa-biasa saja. Tak ada sedikitpun dari mereka yang merasa kasihan melihat ibu itu dan tersentuh hatinya lalu bangkit dan memberikan tempat duduknya untuknya. Apa mereka tak menyadari berapa banyak pahala yang tengah Allah siapkan bagi mereka kalau saja mereka mau sedikit saja berbagi pada orang lain yang membutuhkan.
Tiba-tiba aku teringat akan sebuah hadits Rasulullah yang pernah murabbiku sampaikan, tentang ’amal kebaikan’ di halaqah pekan kemarin.
”Dari Abu Hurairah ra. berkata, Nabi saw. Bersabda, Barang siapa yang melepaskan seorang mukmin dari kesusahan dunia, maka Allah akan membebaskannya dari kesusahan di hari kiamat. Barang siapa yang memudahkan orang yang sedang mengalami kesulitan, maka Allah akan memudahkan kepadanya di dunia dan akhirat. Barang siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hambaNya selama hamba tersebut menolong saudaranya. Barang siapa yang menempuh suatu jalan untuk memperoleh ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di suatu rumah Allah (masjid); membaca kitab Allah, dan mempelajarinya bersam-sama, melainkan akan turun kepada mereka ketentraman, rahmat Allah akan menyelimuti mereka, para malaikat berkerumun di sekelilingnya, dan Allah akan memuji mereka di depan (para malaikat) yang berada di sisiNya. Barangsiapa amalnya lambat (kurang), maka nasabnya tidak akan dapat menyempurnakannya12 ”
Aku ingin sekali mencium bau surga itu. Aku ingin sekali melihat indahnya surga yang Allah janjikan itu. Aku ingin sekali. Apakah mereka-mereka yang tengah terduduk itu tidak menginginkan surga itu? Aku yakin mereka pasti menginginkannya. Tapi aku lebih
yakin lagi, meskipun mereka mengetahui berapa besar balasan yang akan Allah berikan, mereka akan memilih untuk tetap duduk daripada harus berpanas-panasan sambil berdiri sementara mereka sudah mendapatkan tempat duduk yang enak.
Menurutku, mereka itu sombong. Mereka menganggap pahala mereka sudah banyak jadi tak perlu lagi memberikan tempat duduk pada ibu tua tadi demi mendapatkan sebuah pahala. Dan lebih celakanya lagi, pemikiran seperti itulah yang kini sudah tersetting di pikiran mereka masing-masing. Dan mereka juga beranggapan bahwa ibu tua tadi pasti juga akan mengerti kalau mereka tidak berkenan bangkit, itu karena mereka juga sama-sama lelah. Tapi menurutku, kadar kelelahan mereka berbeda. Mereka bisa menahan rasa lelah mereka, tapi kalau ibu tua tadi? Bisa-bisa dia pingsan kalau terlalu lelah berdiri. Hah, aku hanya bisa berdo’a agar mereka semua bisa lebih mengerti pada jalan dan tujuan hidup mereka masing-masing.
Jalanan tidak terlalu macet untuk di lalui kendaraan. Ya memang kadang-kadang mobil yang aku tumpangi berhenti sejenak tapi itu tidak lama. Meskipun misalnya mobil yang aku tumpangi terjebak macet, aku berusaha untuk tetap sabar. Aku tak ingin menyalahkan siapapun atas kemacetan yang terjadi. Macet ya macet. Hanya kadang banyak orang yang mempunyai persepsi yang berbeda-beda mengenai macet itu sendiri.
Ada yang menyalahi pemerintah karena kurang bijak dalam mengatasi masalah kemacetan, atau malah justru menyalahi pengguna jalan dan kendaraan yang kurang Bisa bertanggung jawab dalam menggunakan jalan. Entahlah. Semua itu hanya pendapat dari masing-masing orang. Yang pasti untukku, macet ya macet. Biar bagaimana pun kita berkeluh kesah tentang kemacetan, semua itu tidak akan menyelesaikan masalah. Malah justru Bisa membuat masalah baru pada diri kita yang menggerutu tanpa tujuan yang jelas kepada siapa keluhan itu ditujukan. Lebih baik bersabar dan bertawakal karena hal itu Bisa membawa kita pada dua keuntungan. Keuntungan yang pertama, kita Bisa memperoleh pahala atas kesabaran kita, dan keuntungan yang kedua, kita akan awet muda jika kita selalu berpikiran positif pada segala hal, termasuk kemacetan.
Yang pasti, sebagai manusia dan rakyat biasa, kita hanya Bisa berdo’a kelak kota Jakarta ini bisa mendapatkan seorang pemimpin yang benar-benar bisa memikirkan kepentingan rakyatnya dan dapat menyelesaikan permasalahan dengan adil dan bijak.
Bumiwiyata sudah di depan mata. Aku turun dari bus dengan perasaan senang. Aku menyeberang jalan dan sampai di depan Bumiwiyata. Disana sudah banyak akhwat yang berjilbab lebar dan ikhwan dengan celananya yang semata kaki dan dagunya yang berjenggot tipis. Aku teringat pesan dari Mas Yusuf agar aku menunggunya di depan pintu masuk sampai dia datang. Aku pun menunggunya.
Banyak yang datang namun tak sedikit pula yang keluar. Aku memandangi mereka dengan biasa saja. Kulihat jam tanganku sudah menunjukkan pukul 17 lewat 15 menit. Aku sudah mulai gelisah. Kuputuskan untuk menelepon Mas Yusuf di menit ke 25. Tak ada jawaban.
”Telepon yang anda tuju, untuk sementara tidak dapat di hubungi. Cobalah beberapa saat lagi, atau tinggalkan pesan setelah nada berikut”
Itulah jawaban yang aku dengar berkali-kali dari operator telepon. Ada apa dengan Mas Yusuf? Aku benar-benar gelisah. Tiba-tiba ada seorang akhwat yang sangat aku kenal sekali wajahnya, bahkan tak pernah bisa aku lupa, menghampiriku sambil tersenyum.
”Assalamu’alaikum” Ucapnya dengan lembut.
”Wa’alaikumussalam” Jawabku sambil melemparkan senyum padanya.
”Afwan kamu Dinda kan, istrinya Yusuf?”
”Iya. Kamu pasti Alifa” Jawabku menimpalinya.
”Iya aku Alifa. Kamu masih ingat aku? Bukankah kita belum pernah berkenalan?”
”Bagaimana mungkin aku lupa. Suamiku kan pernah menyebut namamu ketika kamu datang ke pernikahanku”.
”Oh, syukurlah kalau kamu masih ingat. Aku pikir kau tak akan mengenaliku”
”Tenang saja. Aku selalu berusaha untuk mengingat orang-orang yang pernah aku kenal. Oh iya, kamu ikut acara ini?”
”Iya. Kamu sendirian? Yusufnya mana?”
”Mungkin sebentar lagi akan sampai. Tadi kami janjian untuk bertemu disini”
”Oh begitu” Sahut Alifa datar. Aku mengangguk sambil tersenyum.
”Oh iya hampir lupa” Tukasnya padaku. Dia mengambil sesuatu dari tasnya.
”Ini” Ucapnya sambil memberikan sebuah undangan pernikahan berwarna biru tua padaku. Aku menerimanya.
”Ini undangan pernikahanku. Datang ya?” Sambungnya. Aku menatapnya sesaat lalu kubuka undangan itu. Disitu tertera nama Alifa Oktaviana menikah dengan Guntur Maulana.
”Selamat ya?” Ucapku padanya. Dia mengangguk.
”Kalau begitu aku ke dalam dulu ya? Jangan lupa datang bersama suamimu di hari pernikahanku nanti” Ucapnya sebelum pergi meninggalkanku.
”Insya Allah nanti aku sampaikan” Sahutku. Alifa tersenyum dan pergi dari hadapanku. Kulihat lagi jam tanganku. Sudah pukul 17 lewat 30 menit tapi Mas Yusuf belum juga datang. Kemana dia?
Tak lama berselang aku mendapati seorang ikhwan yang dulu pernah aku lihat di book fair. Dia temannya Mas Yusuf yang pernah berbincang dengannya. Aku melihatnya tepat ketika dia melihat kearahku. Dia mengangguk dan menghampiriku.
”Assalamu’alaikum. Yusufnya kemana ukh13?” Tanyanya padaku.
Aku menggeleng, ”Wa’alaikumusslam. Belum datang”.
”Oh...Bukannya bareng?”
Aku menggeleng lagi sambil mengarahkan pandanganku kearah jalan. Siapa tahu Mas Yusuf sudah datang.
”Tadi sih ana ketemu dia di sekolah terus dia bilang mau pergi jenguk Mas Bambang yang lagi sakit. Tapi dia nggak bilang mau datang kesini” Jelasnya.
”Memang Mas Bambang sakit apa? Antum tahu kapan dia pergi jenguk Mas Bambang?” Tanyaku.
”Tadi pagi kakinya Mas Bambang tersiram air panas, jadi tadi dia tidak mengajar. Kayaknya abis Ashar tadi deh Yusuf jalan. Soalnya dia bilang, pulang dari rumah Mas Bambang dia mau langsung kerumah ibunya. Mau nginep katanya. Tapi nggak tahu juga sih”
Aku terdiam sejenak.
”Randi!! Ayo!” Teriak salah seorang memanggil ikhwan yang kini ada di hadapanku yang kutahu bernama Randi.
”Afwan. Ana duluan. Asslamu’alaikum” Ucapnya lalu melangkah menghampiri seseorang yang tadi memanggilnya.
”Wa’alaikumussalam” Sahutku.
Pikiranku semakin kacau. Apa Mas Yusuf lupa dengan janjinya? Apa Mas Yusuf lupa kalau aku sekarang tengah menantinya disini? Oh Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Engkau mendatangkan Randi kesini untuk memberikan kabar yang membuatku bimbang?
Sesaat lamanya aku terdiam sampai akhirnya aku menyadari kalau rintik-rintik hujan telah membasahi pakaianku. Segera saja aku ambil payung dari dalam tas dan kubuka untuk melindungi tubuhku dari hujan. Kalau saja Mas Yusuf tidak menyuruhku menunggunya disini, pasti aku sudah masuk kedalam lebih dulu. Dan kalau saja aku tidak berjanji untuk menunggunya sampai ia datang, pasti saat ini aku sudah berada di dalam tanpa harus berdiri disini ditemani hujan yang turun semakin deras.
Langit sudah semakin mendung dan azan Maghrib pun berkumandang. Dengan berucap bismillah aku melangkahkan kakiku kedalam diiringi niat kalau aku hendak menunaikan shalat Maghrib dan bukan bermaksud untuk mengingkari janjiku pada Mas Yusuf.
Setelah shalat Maghrib, aku kembali lagi kedepan. Dengan harapan Mas Yusuf pasti datang. Hujan sudah mulai reda, namun masih ada sisa-sisa gerimisnya yang membasahi jilbabku. Aku sudah mulai letih. Aku berniat menghubungi Mas Yusuf kembali. Tapi kuurungkan. Akhirnya aku putuskan untuk mengiriminya pesan yang isinya,
Mas, bkn mksudku ingin mengingkari janjiku u/ menunggumu disini smp kau dtg. Tp sungguh, aku sdh tk kuat lagi berdiri disini u/ menunggumu. Jd aku hrp, kau mau mengizinkanku u/ plg skrg.
Kukirim segera. Alhamdulillah pengiriman berhasil. Allah selalu ada bagi hamba-hambaNya yang bersabar. Tak lama kemudian satu pesan aku terima. Dari Mas Yusuf. ternyata. Isinya,
Aku segera kesana. Kau jgn kmn2. Kali ini aku janji. Afwan
Tiba-tiba air mataku jatuh membasahi ponsel yang kupegang. Aku berusaha untuk meluruskan pikiranku. Aku berusaha untuk tetap memikirkan hal-hal baik tentang Mas Yusuf, tapi kenapa air mata ini masih saja membasahi wajahku? Sekuat tenaga aku yakinkan diriku kalau Mas Yusuf hanya terlupa. Dan bukan karena dia tidak mencintaiku makanya dia lupa pada janjinya.
Seperempat jam aku menunggunya akhirnya dia datang juga. Entah bagaimana lagi raut wajahku saat ini. Yang pasti aku berusaha untuk tetap tersenyum melihat kedatangannya.
”Maaf ya, maaf banget. Tadi aku lupa kasih tahu kamu kalau Mas Bambang itu sakit. Tadi pagi kakinya tersiram air panas waktu mau menyeduh kopi, jadi tadi dia tidak mengajar. Lalu guru-guru yang lain mengjak aku untuk menjenguknya. Kamu tidak marah kan?” Cerocosnya begitu dia sampai di hadapanku.
Aku memandanginya lekat-lekat tanpa bisa menjawab sedikitpun. Aku bingung harus menjawab apa. Aku memang marah dan kesal padanya, tapi aku juga tidak mau dia tahu kalau aku marah padanya. Aku putuskan untuk menggeleng sambil berucap, ”Iya”
”Maksudnya?” Tanyanya tidak mengerti.
”Coba kamu pikirkan kembali apa jawabanku barusan. Kalau kau mengerti, pasti kau tahu apa maksud dari jawabanku” Sahutku dengan nada datar. Aku sudah lelah. Dia terdiam. Acara di Bumiwiyata sudah selesai. Orang-orang sudah berhamburan keluar. Aku teringat Alifa yang memberikan undangan pernikahnnya padaku. Aku segera mengambilnya dari dalam tas dan memberikannya pada Mas Yusuf.
”Nih” Ucapku sambil menyodorkan undangannya.
”Apa ini?” Tanyanya sambil meraih undangannya dariku.
”Undangan pernikahan Alifa” Jawabku. Dia membukanya dan membacanya. Tak lama dia berucap datar.
”Mungkin inilah yang terbaik”
Aku hanya diam. Dia mengembalikan undangannya padaku dan menyuruhku naik ke motornya. Sambil naik aku berkata,
”Sebaiknya kita tidak usah kerumah ibu. Tidak enak rasanya datang kesana dengan pakaianku yang basah. Lebih baik besok saja kita kesananya”
”Baiklah” Sahutnya.
Motor yang kami tumpangi segera berbaur dengan kendaraan lainnya di jalan raya. Sepanjang jalan kami hanya diam sambil mengintrospeksi diri masing-masing. Adakah surga yang tadi aku impi-impikan bisa aku cium baunya? Adakah surga yang telah Allah janjikan itu, bisa juga kami rasakan? Entahlah. Hanya waktu yang dapat menentukan. Hanya kesabaran dan kekuatan yang dapat menunjukkan segalanya dengan jelas. Aku hanya bisa berdo’a dalam diamku.
Ponselku berdering ketika aku tengah sibuk dengan pekerjaanku di kantor. Awalnya aku kurang menghiraukannya karena memang pekerjaanku benar-benar menumpuk. Tapi ponsel itu terus berdering mengeluarkan ringtone ’Merah Saga’nya Shoutul Harokah, nasyid kegemaranku. Kuangkat. Ternyata dari Mas Yusuf. Pikiranku tiba-tiba teralih sejenak pada Mas Yusuf yang kini tengah menanti jawaban telepon dariku.
”Assalamu’alaikum. Ada apa Mas?” Tanyaku segera tanpa basa-basi.
”Wa’alaikumussalam. Nanti sore ada acara di Bumiwiyata Depok. Kita ketemu disana jam 5 ya? Malamnya kita menginap di rumah Ibu” Jawabnya singkat dengan cepat. Ibu yang dimaksud adalah ibunya. Aku baru menyadari, dia tak sedikitpun menyebut namaku.
”Acara apa memangnya Mas?”
”Acara bedah buku bersama Penerbit Al Kautsar. Bintang tamunya ada Shoutul Harokah dan Izzatul Islam. Sekalian aku mau cari-cari buku disana” Sahutnya datar.
”Oh. Ya sudah kalau begitu, kita ketemu disana jam 5 ya?”
”Ya. Assalamu’alaikum” Ucapnya mengakhiri pembicaraan. Diapun langsung menutup teleponnya tanpa mendengar dulu jawaban salamku.
”Wa’alaikumussalam”
Aku terdiam sejenak sesaat sambil memikirkan apa yang baru saja aku alami tadi. Mas Yusuf meneleponku. Dia mengajakku pergi bersama ke sebuah acara. Inilah untuk yang pertama kalinya selama lima bulan aku menikah dengan Mas Yusuf, dia mengajakku pergi bersama. Suatu hal yang sebenarnya sudah lama sekali aku impi-impikan. Pergi ke sebuah acara bersama seorang suami yang Bisa menggandengku dan menuntunku. Seperti apa yang sering aku lihat. Tapi apakah nanti dia mau menggandeng dan menuntunku seperti apa yang aku impi-impikan selama ini? Entahlah. Aku tidak mau terlalu berharap banyak padanya.
Kuselesaikan kembali pekerjaanku. Tak lama kemudian ponselku berdering lagi. Kali ini satu pesan diterima. Kubuka. Ternyata dari Mas Yusuf lagi. Bibirku tersenyum kecil sambil membaca isi pesannya.
Tunggu sj di dpn pintu msk dan jgn kmn2 smp aku dtg.
Aku membalasnya.
Baiklah. Aku janji tak akan kmn2 smp kau dtg.
Aku bahagia sekali. Mudah-mudahan saja ini langkah awal untuk memperbaiki hubungnku dengan Mas Yusuf.
Waktu berlalu begitu cepat. Pekerjaanku sudah selesai. Selepas shalat Ashar aku langsung bergegas pergi menuju Bumiwiyata Depok. Jarak antara kantorku ke Depok lumayan jauh, jadi aku putuskan untuk berangkat selepas shalat Ashar agar Mas Yusuf tak terlalu lama menungguku. Dari arah Rawamangun aku naik mobil angkot jurusan Pasar Minggu. Setelah sampai di Pasar Minggu, aku turun dan menyambung lagi dengan Bus jurusan Depok. Alhamdulillah aku mendapat satu kursi pertama di dekat pintu. Di daerah Poltangan, banyak penumpang yang turun, namun tak sedikit pula orang yang berebut untuk naik.
Disaat yang bersamaan aku melihat ada seorang ibu tua yang naik dengan membawa beberapa kantong plastik yang aku perkirakan isinya sangat banyak karena cara ibu tua itu membawanya sangat berat. Dia memutarkan pandangannya kesemua tempat duduk yang
ada. Penuh. Semua kursi terisi. Ada satu yang kosong di dekat supir. Ibu itu hendak menghampirinya sebelum akhirnya seorang pemuda naik ke dalam Bus dan mendudukkan dirinya disana terlebih dahulu.
Ibu itu sudah di dera keletihan yang teramat sangat. Peluh di wajahnya menggambarkan sekali kalau dia benar-benar letih dan memerlukan tempat duduk untuk mengistirahatkan tubuhnya yang sudah tua. Aku mengalihkan pandanganku ke semua penjuru Bus. Tak ada yang mau peduli pada ibu itu. Ada seorang perempuan muda yang asik menelepon sambil tertawa-tawa, ada juga kulihat seorang lelaki yang usianya aku perkirakan baru 30 tahunan sedang membolak balikan koran yang tengah dibacanya sambil sesekali melirikkan kedua matanya ke arah ibu tadi lalu pura-pura kembali membaca.
Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung bangkit dari dudukku dan kupersilahkan ibu itu untuk duduk di kursi yang tadi aku tempati. Aku menemukan kebahagiaan yang tiada terkira terpancar di wajahnya.
”Terima kasih ya Nak?” Ucapnya pelan sambil menata barang bawaannya di pangkuannya. Aku mengangguk pelan dan tersenyum padanya. Bus melaju kencang di jalan raya. Terus berjalan menyisiri belahan kota Jakarta. Sejenak aku berpikir tentang semua orang yang ada didalam bus. Kenapa mereka begitu tega melihat seorang ibu yang sudah tua ini berdiri sambil menahan letih dan peluhnya sambil menunggu ada yang mau bangkit dan memberikan tempat duduknya untuknya, sementara banyak dari mereka yang masih sangat muda dan masih gagah, duduk dengan nyamannya sambil memperhatikan ibu itu dengan tatapan biasa-biasa saja. Tak ada sedikitpun dari mereka yang merasa kasihan melihat ibu itu dan tersentuh hatinya lalu bangkit dan memberikan tempat duduknya untuknya. Apa mereka tak menyadari berapa banyak pahala yang tengah Allah siapkan bagi mereka kalau saja mereka mau sedikit saja berbagi pada orang lain yang membutuhkan.
Tiba-tiba aku teringat akan sebuah hadits Rasulullah yang pernah murabbiku sampaikan, tentang ’amal kebaikan’ di halaqah pekan kemarin.
”Dari Abu Hurairah ra. berkata, Nabi saw. Bersabda, Barang siapa yang melepaskan seorang mukmin dari kesusahan dunia, maka Allah akan membebaskannya dari kesusahan di hari kiamat. Barang siapa yang memudahkan orang yang sedang mengalami kesulitan, maka Allah akan memudahkan kepadanya di dunia dan akhirat. Barang siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hambaNya selama hamba tersebut menolong saudaranya. Barang siapa yang menempuh suatu jalan untuk memperoleh ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di suatu rumah Allah (masjid); membaca kitab Allah, dan mempelajarinya bersam-sama, melainkan akan turun kepada mereka ketentraman, rahmat Allah akan menyelimuti mereka, para malaikat berkerumun di sekelilingnya, dan Allah akan memuji mereka di depan (para malaikat) yang berada di sisiNya. Barangsiapa amalnya lambat (kurang), maka nasabnya tidak akan dapat menyempurnakannya12 ”
Aku ingin sekali mencium bau surga itu. Aku ingin sekali melihat indahnya surga yang Allah janjikan itu. Aku ingin sekali. Apakah mereka-mereka yang tengah terduduk itu tidak menginginkan surga itu? Aku yakin mereka pasti menginginkannya. Tapi aku lebih
yakin lagi, meskipun mereka mengetahui berapa besar balasan yang akan Allah berikan, mereka akan memilih untuk tetap duduk daripada harus berpanas-panasan sambil berdiri sementara mereka sudah mendapatkan tempat duduk yang enak.
Menurutku, mereka itu sombong. Mereka menganggap pahala mereka sudah banyak jadi tak perlu lagi memberikan tempat duduk pada ibu tua tadi demi mendapatkan sebuah pahala. Dan lebih celakanya lagi, pemikiran seperti itulah yang kini sudah tersetting di pikiran mereka masing-masing. Dan mereka juga beranggapan bahwa ibu tua tadi pasti juga akan mengerti kalau mereka tidak berkenan bangkit, itu karena mereka juga sama-sama lelah. Tapi menurutku, kadar kelelahan mereka berbeda. Mereka bisa menahan rasa lelah mereka, tapi kalau ibu tua tadi? Bisa-bisa dia pingsan kalau terlalu lelah berdiri. Hah, aku hanya bisa berdo’a agar mereka semua bisa lebih mengerti pada jalan dan tujuan hidup mereka masing-masing.
Jalanan tidak terlalu macet untuk di lalui kendaraan. Ya memang kadang-kadang mobil yang aku tumpangi berhenti sejenak tapi itu tidak lama. Meskipun misalnya mobil yang aku tumpangi terjebak macet, aku berusaha untuk tetap sabar. Aku tak ingin menyalahkan siapapun atas kemacetan yang terjadi. Macet ya macet. Hanya kadang banyak orang yang mempunyai persepsi yang berbeda-beda mengenai macet itu sendiri.
Ada yang menyalahi pemerintah karena kurang bijak dalam mengatasi masalah kemacetan, atau malah justru menyalahi pengguna jalan dan kendaraan yang kurang Bisa bertanggung jawab dalam menggunakan jalan. Entahlah. Semua itu hanya pendapat dari masing-masing orang. Yang pasti untukku, macet ya macet. Biar bagaimana pun kita berkeluh kesah tentang kemacetan, semua itu tidak akan menyelesaikan masalah. Malah justru Bisa membuat masalah baru pada diri kita yang menggerutu tanpa tujuan yang jelas kepada siapa keluhan itu ditujukan. Lebih baik bersabar dan bertawakal karena hal itu Bisa membawa kita pada dua keuntungan. Keuntungan yang pertama, kita Bisa memperoleh pahala atas kesabaran kita, dan keuntungan yang kedua, kita akan awet muda jika kita selalu berpikiran positif pada segala hal, termasuk kemacetan.
Yang pasti, sebagai manusia dan rakyat biasa, kita hanya Bisa berdo’a kelak kota Jakarta ini bisa mendapatkan seorang pemimpin yang benar-benar bisa memikirkan kepentingan rakyatnya dan dapat menyelesaikan permasalahan dengan adil dan bijak.
Bumiwiyata sudah di depan mata. Aku turun dari bus dengan perasaan senang. Aku menyeberang jalan dan sampai di depan Bumiwiyata. Disana sudah banyak akhwat yang berjilbab lebar dan ikhwan dengan celananya yang semata kaki dan dagunya yang berjenggot tipis. Aku teringat pesan dari Mas Yusuf agar aku menunggunya di depan pintu masuk sampai dia datang. Aku pun menunggunya.
Banyak yang datang namun tak sedikit pula yang keluar. Aku memandangi mereka dengan biasa saja. Kulihat jam tanganku sudah menunjukkan pukul 17 lewat 15 menit. Aku sudah mulai gelisah. Kuputuskan untuk menelepon Mas Yusuf di menit ke 25. Tak ada jawaban.
”Telepon yang anda tuju, untuk sementara tidak dapat di hubungi. Cobalah beberapa saat lagi, atau tinggalkan pesan setelah nada berikut”
Itulah jawaban yang aku dengar berkali-kali dari operator telepon. Ada apa dengan Mas Yusuf? Aku benar-benar gelisah. Tiba-tiba ada seorang akhwat yang sangat aku kenal sekali wajahnya, bahkan tak pernah bisa aku lupa, menghampiriku sambil tersenyum.
”Assalamu’alaikum” Ucapnya dengan lembut.
”Wa’alaikumussalam” Jawabku sambil melemparkan senyum padanya.
”Afwan kamu Dinda kan, istrinya Yusuf?”
”Iya. Kamu pasti Alifa” Jawabku menimpalinya.
”Iya aku Alifa. Kamu masih ingat aku? Bukankah kita belum pernah berkenalan?”
”Bagaimana mungkin aku lupa. Suamiku kan pernah menyebut namamu ketika kamu datang ke pernikahanku”.
”Oh, syukurlah kalau kamu masih ingat. Aku pikir kau tak akan mengenaliku”
”Tenang saja. Aku selalu berusaha untuk mengingat orang-orang yang pernah aku kenal. Oh iya, kamu ikut acara ini?”
”Iya. Kamu sendirian? Yusufnya mana?”
”Mungkin sebentar lagi akan sampai. Tadi kami janjian untuk bertemu disini”
”Oh begitu” Sahut Alifa datar. Aku mengangguk sambil tersenyum.
”Oh iya hampir lupa” Tukasnya padaku. Dia mengambil sesuatu dari tasnya.
”Ini” Ucapnya sambil memberikan sebuah undangan pernikahan berwarna biru tua padaku. Aku menerimanya.
”Ini undangan pernikahanku. Datang ya?” Sambungnya. Aku menatapnya sesaat lalu kubuka undangan itu. Disitu tertera nama Alifa Oktaviana menikah dengan Guntur Maulana.
”Selamat ya?” Ucapku padanya. Dia mengangguk.
”Kalau begitu aku ke dalam dulu ya? Jangan lupa datang bersama suamimu di hari pernikahanku nanti” Ucapnya sebelum pergi meninggalkanku.
”Insya Allah nanti aku sampaikan” Sahutku. Alifa tersenyum dan pergi dari hadapanku. Kulihat lagi jam tanganku. Sudah pukul 17 lewat 30 menit tapi Mas Yusuf belum juga datang. Kemana dia?
Tak lama berselang aku mendapati seorang ikhwan yang dulu pernah aku lihat di book fair. Dia temannya Mas Yusuf yang pernah berbincang dengannya. Aku melihatnya tepat ketika dia melihat kearahku. Dia mengangguk dan menghampiriku.
”Assalamu’alaikum. Yusufnya kemana ukh13?” Tanyanya padaku.
Aku menggeleng, ”Wa’alaikumusslam. Belum datang”.
”Oh...Bukannya bareng?”
Aku menggeleng lagi sambil mengarahkan pandanganku kearah jalan. Siapa tahu Mas Yusuf sudah datang.
”Tadi sih ana ketemu dia di sekolah terus dia bilang mau pergi jenguk Mas Bambang yang lagi sakit. Tapi dia nggak bilang mau datang kesini” Jelasnya.
”Memang Mas Bambang sakit apa? Antum tahu kapan dia pergi jenguk Mas Bambang?” Tanyaku.
”Tadi pagi kakinya Mas Bambang tersiram air panas, jadi tadi dia tidak mengajar. Kayaknya abis Ashar tadi deh Yusuf jalan. Soalnya dia bilang, pulang dari rumah Mas Bambang dia mau langsung kerumah ibunya. Mau nginep katanya. Tapi nggak tahu juga sih”
Aku terdiam sejenak.
”Randi!! Ayo!” Teriak salah seorang memanggil ikhwan yang kini ada di hadapanku yang kutahu bernama Randi.
”Afwan. Ana duluan. Asslamu’alaikum” Ucapnya lalu melangkah menghampiri seseorang yang tadi memanggilnya.
”Wa’alaikumussalam” Sahutku.
Pikiranku semakin kacau. Apa Mas Yusuf lupa dengan janjinya? Apa Mas Yusuf lupa kalau aku sekarang tengah menantinya disini? Oh Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Engkau mendatangkan Randi kesini untuk memberikan kabar yang membuatku bimbang?
Sesaat lamanya aku terdiam sampai akhirnya aku menyadari kalau rintik-rintik hujan telah membasahi pakaianku. Segera saja aku ambil payung dari dalam tas dan kubuka untuk melindungi tubuhku dari hujan. Kalau saja Mas Yusuf tidak menyuruhku menunggunya disini, pasti aku sudah masuk kedalam lebih dulu. Dan kalau saja aku tidak berjanji untuk menunggunya sampai ia datang, pasti saat ini aku sudah berada di dalam tanpa harus berdiri disini ditemani hujan yang turun semakin deras.
Langit sudah semakin mendung dan azan Maghrib pun berkumandang. Dengan berucap bismillah aku melangkahkan kakiku kedalam diiringi niat kalau aku hendak menunaikan shalat Maghrib dan bukan bermaksud untuk mengingkari janjiku pada Mas Yusuf.
Setelah shalat Maghrib, aku kembali lagi kedepan. Dengan harapan Mas Yusuf pasti datang. Hujan sudah mulai reda, namun masih ada sisa-sisa gerimisnya yang membasahi jilbabku. Aku sudah mulai letih. Aku berniat menghubungi Mas Yusuf kembali. Tapi kuurungkan. Akhirnya aku putuskan untuk mengiriminya pesan yang isinya,
Mas, bkn mksudku ingin mengingkari janjiku u/ menunggumu disini smp kau dtg. Tp sungguh, aku sdh tk kuat lagi berdiri disini u/ menunggumu. Jd aku hrp, kau mau mengizinkanku u/ plg skrg.
Kukirim segera. Alhamdulillah pengiriman berhasil. Allah selalu ada bagi hamba-hambaNya yang bersabar. Tak lama kemudian satu pesan aku terima. Dari Mas Yusuf. ternyata. Isinya,
Aku segera kesana. Kau jgn kmn2. Kali ini aku janji. Afwan
Tiba-tiba air mataku jatuh membasahi ponsel yang kupegang. Aku berusaha untuk meluruskan pikiranku. Aku berusaha untuk tetap memikirkan hal-hal baik tentang Mas Yusuf, tapi kenapa air mata ini masih saja membasahi wajahku? Sekuat tenaga aku yakinkan diriku kalau Mas Yusuf hanya terlupa. Dan bukan karena dia tidak mencintaiku makanya dia lupa pada janjinya.
Seperempat jam aku menunggunya akhirnya dia datang juga. Entah bagaimana lagi raut wajahku saat ini. Yang pasti aku berusaha untuk tetap tersenyum melihat kedatangannya.
”Maaf ya, maaf banget. Tadi aku lupa kasih tahu kamu kalau Mas Bambang itu sakit. Tadi pagi kakinya tersiram air panas waktu mau menyeduh kopi, jadi tadi dia tidak mengajar. Lalu guru-guru yang lain mengjak aku untuk menjenguknya. Kamu tidak marah kan?” Cerocosnya begitu dia sampai di hadapanku.
Aku memandanginya lekat-lekat tanpa bisa menjawab sedikitpun. Aku bingung harus menjawab apa. Aku memang marah dan kesal padanya, tapi aku juga tidak mau dia tahu kalau aku marah padanya. Aku putuskan untuk menggeleng sambil berucap, ”Iya”
”Maksudnya?” Tanyanya tidak mengerti.
”Coba kamu pikirkan kembali apa jawabanku barusan. Kalau kau mengerti, pasti kau tahu apa maksud dari jawabanku” Sahutku dengan nada datar. Aku sudah lelah. Dia terdiam. Acara di Bumiwiyata sudah selesai. Orang-orang sudah berhamburan keluar. Aku teringat Alifa yang memberikan undangan pernikahnnya padaku. Aku segera mengambilnya dari dalam tas dan memberikannya pada Mas Yusuf.
”Nih” Ucapku sambil menyodorkan undangannya.
”Apa ini?” Tanyanya sambil meraih undangannya dariku.
”Undangan pernikahan Alifa” Jawabku. Dia membukanya dan membacanya. Tak lama dia berucap datar.
”Mungkin inilah yang terbaik”
Aku hanya diam. Dia mengembalikan undangannya padaku dan menyuruhku naik ke motornya. Sambil naik aku berkata,
”Sebaiknya kita tidak usah kerumah ibu. Tidak enak rasanya datang kesana dengan pakaianku yang basah. Lebih baik besok saja kita kesananya”
”Baiklah” Sahutnya.
Motor yang kami tumpangi segera berbaur dengan kendaraan lainnya di jalan raya. Sepanjang jalan kami hanya diam sambil mengintrospeksi diri masing-masing. Adakah surga yang tadi aku impi-impikan bisa aku cium baunya? Adakah surga yang telah Allah janjikan itu, bisa juga kami rasakan? Entahlah. Hanya waktu yang dapat menentukan. Hanya kesabaran dan kekuatan yang dapat menunjukkan segalanya dengan jelas. Aku hanya bisa berdo’a dalam diamku.
* * *
Hari pernikahan Alifa tiba. Aku dan Mas Yusuf pergi kesana bersama-sama. Setelah kemarin aku menyerahkan revisi novelku yang ketiga pada pihak penerbit, aku langsung membeli kado pernikahan untuk Alifa.
Mas Yusuf terlihat murung. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Apa mungkin dia masih menyimpan nama Alifa dalam hatinya? Entahlah. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Di depan sebuah rumah berbentuk seerhana, Mas Yusuf menaruh motornya dengan beberapa motor lainnya yang sudah terparkir lebih dulu disana. Setelah menulis nama kami di buku tamu dan memberikan bingkisanku pada dua orang wanita berjilbab ayu yang duduk disana, kami masuk kedalam menemui Alifa dan suaminya.
Senyuman penuh kehangatan terpancar di wajah cantik nan menawan Alifa. Dia benar-benar tidak bisa memungkiri kalau hari ini dia begitu bahagia. Bahagia karena hari ini dia sudah resmi menjadi seorang istri, bahagia karena hari ini adalah hari pernikahannya, dan bahagia karena dia dan suaminya, saling mencintai.
Tapi Alifa tidak sadar dan tidak menyadari, kalau ada seseorang yang hatinya begitu hancur melihat dia bersanding dengan orang lain. Dia adalah suamiku sendiri. Sebagai seseorang yang sudah hidup bersamanya selama lima bulan lebih, aku sudah bisa melihat ada kemurungan lain yang aku tangkap di wajahnya yang sendu. Mungkin dia berpikir, ’seharusnya aku yang ada di pelaminan itu dan bukan lelaki yang bernama Guntur itu’.
Astaghfirullah!! Aku tak mau su’udzan pada suamiku. Kembali kuluruskan niatku. Aku memasuki halaman rumahnya yang sudah di penuhi oleh para tamu. Undangan laki-laki dan undangan wanita di pisah oleh hijab.
Aku bersalaman dengan Alifa dan memeluknya dengan erat seraya mengucapkan kalimat yang sama seperti yang pernah ia ucapkan padaku saat menikah.
”Barakallah ya Alifa? Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah”
”Syukran ya?” Ucapnya.
Aku mengangguk dan tersenyum. Mas Yusuf hanya bersalaman pada Guntur tanpa berucap sepatah katapun padanya. Aku mengerti perasaannya. Sebelum kami beranjak pergi, Alifa meminta kami untuk berfoto bersama. Aku berdiri disamping Alifa dan Mas Yusuf berdiri di samping Guntur. Tinggi badanku hampir sama dengan Alifa dan sepertinya tinggi badan Mas Yusuf pun tak jauh beda dengan Guntur.
Setelah berfoto, aku dan Mas Yusuf meminta diri. Aku mengambil hidangan di tempat akhwat dan Mas Yusuf mengambil hidangan di tempat ikhwan. Setelah menghabiskan makanan kami, Mas Yusuf memberikan isyarat matanya padaku sambil mengangguk pelan. Menandakan bahwa dia ingin segera pulang. Aku pun menurutinya.
Sebelum pulang, sekali lagi kami berpamitan pada Alifa dan Guntur. Dia menyayangkan kami yang terkesan buru-buru sekali. Tapi apa boleh buat, Mas Yusuf sudah mengajakku pulang. Setelah berpamitan, kami pulang dengan perasaan kami masing-masing. Menatap kembali senyum Alifa yang terlihat begitu bahagia.
Mas Yusuf terlihat murung. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Apa mungkin dia masih menyimpan nama Alifa dalam hatinya? Entahlah. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Di depan sebuah rumah berbentuk seerhana, Mas Yusuf menaruh motornya dengan beberapa motor lainnya yang sudah terparkir lebih dulu disana. Setelah menulis nama kami di buku tamu dan memberikan bingkisanku pada dua orang wanita berjilbab ayu yang duduk disana, kami masuk kedalam menemui Alifa dan suaminya.
Senyuman penuh kehangatan terpancar di wajah cantik nan menawan Alifa. Dia benar-benar tidak bisa memungkiri kalau hari ini dia begitu bahagia. Bahagia karena hari ini dia sudah resmi menjadi seorang istri, bahagia karena hari ini adalah hari pernikahannya, dan bahagia karena dia dan suaminya, saling mencintai.
Tapi Alifa tidak sadar dan tidak menyadari, kalau ada seseorang yang hatinya begitu hancur melihat dia bersanding dengan orang lain. Dia adalah suamiku sendiri. Sebagai seseorang yang sudah hidup bersamanya selama lima bulan lebih, aku sudah bisa melihat ada kemurungan lain yang aku tangkap di wajahnya yang sendu. Mungkin dia berpikir, ’seharusnya aku yang ada di pelaminan itu dan bukan lelaki yang bernama Guntur itu’.
Astaghfirullah!! Aku tak mau su’udzan pada suamiku. Kembali kuluruskan niatku. Aku memasuki halaman rumahnya yang sudah di penuhi oleh para tamu. Undangan laki-laki dan undangan wanita di pisah oleh hijab.
Aku bersalaman dengan Alifa dan memeluknya dengan erat seraya mengucapkan kalimat yang sama seperti yang pernah ia ucapkan padaku saat menikah.
”Barakallah ya Alifa? Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah”
”Syukran ya?” Ucapnya.
Aku mengangguk dan tersenyum. Mas Yusuf hanya bersalaman pada Guntur tanpa berucap sepatah katapun padanya. Aku mengerti perasaannya. Sebelum kami beranjak pergi, Alifa meminta kami untuk berfoto bersama. Aku berdiri disamping Alifa dan Mas Yusuf berdiri di samping Guntur. Tinggi badanku hampir sama dengan Alifa dan sepertinya tinggi badan Mas Yusuf pun tak jauh beda dengan Guntur.
Setelah berfoto, aku dan Mas Yusuf meminta diri. Aku mengambil hidangan di tempat akhwat dan Mas Yusuf mengambil hidangan di tempat ikhwan. Setelah menghabiskan makanan kami, Mas Yusuf memberikan isyarat matanya padaku sambil mengangguk pelan. Menandakan bahwa dia ingin segera pulang. Aku pun menurutinya.
Sebelum pulang, sekali lagi kami berpamitan pada Alifa dan Guntur. Dia menyayangkan kami yang terkesan buru-buru sekali. Tapi apa boleh buat, Mas Yusuf sudah mengajakku pulang. Setelah berpamitan, kami pulang dengan perasaan kami masing-masing. Menatap kembali senyum Alifa yang terlihat begitu bahagia.
* * *
Sebelas
Tiga bulan telah berlalu dari hari itu. Dan malam ini, aku kembali meneteskan air mataku. Suami yang aku bangga-banggakan selama ini ternyata berbohong padaku. Kenapa seseoang yang taat beragama,rajin beribadah dan membaca Al-Qur’an, serta seorang yang terbiyah seperti dia bisa membohongiku? Aku tak pernah habis pikir. Tadi pagi dia mengatakan padaku bahwa dia tidak bisa ikut hadir dalam acara munasoroh Palestine di Monas. Tapi ternyata, diantara ribuan, bahkan puluhan ribu ikhwan yang datang pada acara itu, kedua mataku menangkap sosok seorang ikhwan yang sudah lebih dari 8 bulan ini hidup bersamaku. Aku melihat suamiku tengah mengibarkan bendera Palestina, lengkap dengan topi dan ikat kepalanya yang bertuliskan ’Save Palestine’. Dia mengibarkan bendera itu dengan penuh semangat dan ghirah yang selalu membakar jiwa. Entah mengapa Allah swt menampakkannya di penglihatanku di tengah kerumunan orang-orang itu.
Remuk redam rasanya jiwa ini ketika aku sadar dia membohongiku. Berkali-kali aku yakinkan diriku bahwa orang yang aku lihat itu bukan suamiku. Tetapi ketika kutatap sekali lagi wajahnya yang samar-samar kulihat dari kejauhan dan dari kerumunan orang, aku mantapkan hati bahwa dia memang suamiku. Ikhwan itu memang benar-benar Mas Yusufku. Melihat hal itu, langsung saja aku palingkan wajahku dan mengajak Nadia, sahabatku untuk beranjak pergi dari awal tempatku berdiri. Aku tidak mau Nadia sampai tahu kalau ternyata Mas Yusuf menjadi salah satu pengibar bendera Palestina disana. Sebab dari awal aku sudah terlanjur bilang padanya bahwa Mas Yusuf tidak bisa hadir
karena ada urusan di sekolahnya. Nadia pun percaya. Dan aku tidak ingin kepercayaan Nadia itu berubah menjadi ketidakpercayaan padaku atau pun suami, karena dia telah melihat Mas Yusuf disana.
Dengan gontai kulangkahkan kakiku keluar dari kerumunan orang-orang yang sedang bersemangat itu. Kuajak serta Nadia dari sana dengan alasan aku lelah dan ingin mencari minum pelepas dahaga. Dan kebetulan saja, waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 WIB, menandakan bahwa sebentar lagi azan zuhur akan berkumandang. Segera saja kuajak Nadia untuk pergi dari Monas menuju masjid terdekat, Masjid Istiqlal. Disana sudah banyak ikhwan / akhwat yang berpeluh dan berkeringat tengah membanjiri Masjid Istiqlal untuk melaksanakan shalat Zuhur. Aku dan Nadia mencari tempat wudhu wanita dan mengambil wudhu disana. Cukup mengantri memang, tapi akhirnya aku dan Nadia bisa mengambil air wudhu sebelum azan Zuhur berkumandang.
Kuselonjorkan kakiku dan kusandarkan punggungku kesalah satu tiang masjid ketika aku dan Nadia sudah mendapatkan posisi yang cukup nyaman untuk shalat. Sambil menunggu azan berkumandang, kunikmati sebotol air mineral yang tadi aku beli sambari angin sepoi-sepoi dan semriwing membelai-belai wajahku. Diwaktu yang sama, kulihat Nadia juga melakukan hal yang sama sepertiku. Kulemparkan senyum padanya lalu kuarahkan kembali pandanganku lurus kedepan. Angin sepoi-sepoi terus saja membelai lembut wajahku ketika tiba-tiba saja kedua mataku basah dengan air mata. Aku teringat kembali dengan Mas Yusuf. Kenapa dia berbohong padaku? Apa dia tidak mau pergi keacara itu bersamaku sehingga dia harus berdusta? Atau apa? Sekuat tenaga kuluruskan pikiranku dan sebenarnya aku tak ingin bersu’udzan padanya. Tapi.....
Seketika air mataku jatuh membasahi wajahku. Aku tersadar. Ternyata azan Zuhur tengah berkumandang. Aku segera mempersiapkan diri untuk melaksanakan shalat Zuhur bersama Nadia dengan terlebih dahulu melaksanakan sunnah rawatib 2 rakaat. Nadia menjadi imam dan aku menjadi makmum. Setelah shalat Zuhur kami melaksanakan shalat sunnah rawatib lagi 2 rakaat lalu kembali istirahat sebentar. Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 13.00, kami memutuskan untuk pulang. Diperjalanan Nadia banyak sekali bercerita tentang hal-hal yang lucu. Aku ingin sekali tertawa tapi tidak bisa. Bayang-bayangku tentang Mas Yusuf kembali mengusik pikiranku. Hal itu mengalahkan semua rasa dan pemikiranku yang kala itu tengah mendengarkan cerita Nadia. Aku hanya bisa tersenyum kecil tanpa bisa berkomentar apa-apa. Dan ketika Nadia bertanya padaku tentang sikapku, aku hanya menggeleng dan menjawab,
”Nggak. Aku enggak kenapa-kenapa. Terus bagaimana kelanjutannya?”
Lalu Nadia pun melanjutkan ceritanya. Aku hanya mendengarkannya dengan pikiran yang entah kemana perginya. Nadia mengajakku mampir sebentar ke warung somay yang ada di Stasiun Gondangdia. Aku menurutinya. Aku memesan satu porsi tapi tidak habis. Nadia membayarnya dan aku pun memberikan uang sepuluh ribuan padanya. Awalnya dia menolak tapi kupaksa dan akhirnya dia menerimanya.
Kami naik keatas dan membeli tiket. Nadia yang membelinya. Jurusan Lenteng Agung dan Pasar Minggu. Di Stasiun Gondangdia sudah banyak sekali orang yang beratribut Palestina. Entah bajunya, kerudungnya, atau topi dan pin yang mereka kenakan. Memang, semangat saudara-saudara kita di Palestina tidak pernah surut untuk melawan penjajah Israel, sampai mereka takluk dan menyatakan menyerah pada rakyat Palestina.
Ya...memang masa-masa itu belum tahu kapan tapi yang pasti saat-saat itu akan ada masanya. Dan aku yakin Allah pasti akan menepati janjiNya. Sebagaimana dijelaskan dalam wahyuNya, surat Al-Baqarah ayat 85-86.
”Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan dari kamu kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan perbuatan dosa dan permusuhan, tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebagian alkitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian darimu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong”
Dari jarak beberapa meter aku melihat seorang akhwat yang sepertinya aku kenal. Dia sedang berbincang dengan beberapa teman akhwatnya sesama aktivis. Aku berusaha mengingatnya sekuat tenaga. Tapi siapa dia? Alhamdulillah setelah berpikir keras, aku mengingatnya. Dia adalah sahabatnya Alifa. Dia pernah datang bersama Alifa ke pesta pernikahanku. Ingin sekali rasanya aku mendekatinya dan menanyakan kabar Alifa padanya. Dengan langkah yang pasti, aku mengajak Nadia untuk menghampirinya.
”Assalamu’alaikum” Ucapku padanya.
”Wa’alaikummussalam” Sahutnya bersama dengan beberapa temannya.
”Afwan, ana mau tanya, apa anti temannya Alifa?” Tanyaku sambil mengarahkan pandanganku pada orang yang kumaksud.
”Oh, iya ana temannya Alifa. Ana Ririn. Afwan, anti istrinya akh Yusuf kan?”
”Iya. Ehm, ana mau tanya, bagaimana kabar Alifa sekarang? Apa dia tidak ikut munasoroh? Atau mungkin dia pergi dengan suaminya ya?”
Wajah ukhti yang ada dihadapanku terlihat muram.
”Ada apa ya Rin?” Tanyaku langsung padanya.
”Ehm...keadaan Alifa sekarang tidak begitu baik” Jawabnya dengan nada sedih.
”Memang dia kenapa?”
Ririn mulai menjelaskan.
”Seminggu setelah pernikahannya, suaminya meninggal akibat kecelakaan kereta api. Mobil yang dikendarainya mogok dan terjebak di rel kereta api. Dan pada saat yang bersamaan, kereta datang melintas dan Guntur....” Ririn memutus perkataannya. Aku hanya bisa diam sambil meringis mendengarnya. Dalam hati aku terus beristighfar.
”Lalu keadaan Alifa sekarang bagaimana?” Tanyaku setelah tadi aku sempat terkejut mendengarnya.
”Keadaan terakhir yang aku tahu, dia kini terbaring di rumah sakit karena stres. Awalnya dia bisa menerima kenyataan ini, tapi makin kesini, kondisinya semakin parah. Dia tidak mau makan dan minum, sampai akhirnya sakit. Dia terus memikirkan kematian suaminya yang sangat tragis. Dan pada akhirnya dia harus dilarikan ke rumah sakit karena kondisi tubuhnya semakin lemah dan parah” Jelas Ririn.
Aku diam sejenak lalu bertanya di rumah sakit mana Alifa dirawat. Setelah Ririn memberitahukan dimana Alifa dirawat, aku segera meminta diri untuk beranjak dari
tempatku berdiri kini. Nadia bertanya padaku siapa Alifa. Aku menjelaskan padanya tentang Alifa. Sekedarnya tanpa menceritakan padanya kalau Alifa itulah yang sebenarnya menjadi impian Mas Yusuf.
Tiga bulan telah berlalu dari hari itu. Dan malam ini, aku kembali meneteskan air mataku. Suami yang aku bangga-banggakan selama ini ternyata berbohong padaku. Kenapa seseoang yang taat beragama,rajin beribadah dan membaca Al-Qur’an, serta seorang yang terbiyah seperti dia bisa membohongiku? Aku tak pernah habis pikir. Tadi pagi dia mengatakan padaku bahwa dia tidak bisa ikut hadir dalam acara munasoroh Palestine di Monas. Tapi ternyata, diantara ribuan, bahkan puluhan ribu ikhwan yang datang pada acara itu, kedua mataku menangkap sosok seorang ikhwan yang sudah lebih dari 8 bulan ini hidup bersamaku. Aku melihat suamiku tengah mengibarkan bendera Palestina, lengkap dengan topi dan ikat kepalanya yang bertuliskan ’Save Palestine’. Dia mengibarkan bendera itu dengan penuh semangat dan ghirah yang selalu membakar jiwa. Entah mengapa Allah swt menampakkannya di penglihatanku di tengah kerumunan orang-orang itu.
Remuk redam rasanya jiwa ini ketika aku sadar dia membohongiku. Berkali-kali aku yakinkan diriku bahwa orang yang aku lihat itu bukan suamiku. Tetapi ketika kutatap sekali lagi wajahnya yang samar-samar kulihat dari kejauhan dan dari kerumunan orang, aku mantapkan hati bahwa dia memang suamiku. Ikhwan itu memang benar-benar Mas Yusufku. Melihat hal itu, langsung saja aku palingkan wajahku dan mengajak Nadia, sahabatku untuk beranjak pergi dari awal tempatku berdiri. Aku tidak mau Nadia sampai tahu kalau ternyata Mas Yusuf menjadi salah satu pengibar bendera Palestina disana. Sebab dari awal aku sudah terlanjur bilang padanya bahwa Mas Yusuf tidak bisa hadir
karena ada urusan di sekolahnya. Nadia pun percaya. Dan aku tidak ingin kepercayaan Nadia itu berubah menjadi ketidakpercayaan padaku atau pun suami, karena dia telah melihat Mas Yusuf disana.
Dengan gontai kulangkahkan kakiku keluar dari kerumunan orang-orang yang sedang bersemangat itu. Kuajak serta Nadia dari sana dengan alasan aku lelah dan ingin mencari minum pelepas dahaga. Dan kebetulan saja, waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 WIB, menandakan bahwa sebentar lagi azan zuhur akan berkumandang. Segera saja kuajak Nadia untuk pergi dari Monas menuju masjid terdekat, Masjid Istiqlal. Disana sudah banyak ikhwan / akhwat yang berpeluh dan berkeringat tengah membanjiri Masjid Istiqlal untuk melaksanakan shalat Zuhur. Aku dan Nadia mencari tempat wudhu wanita dan mengambil wudhu disana. Cukup mengantri memang, tapi akhirnya aku dan Nadia bisa mengambil air wudhu sebelum azan Zuhur berkumandang.
Kuselonjorkan kakiku dan kusandarkan punggungku kesalah satu tiang masjid ketika aku dan Nadia sudah mendapatkan posisi yang cukup nyaman untuk shalat. Sambil menunggu azan berkumandang, kunikmati sebotol air mineral yang tadi aku beli sambari angin sepoi-sepoi dan semriwing membelai-belai wajahku. Diwaktu yang sama, kulihat Nadia juga melakukan hal yang sama sepertiku. Kulemparkan senyum padanya lalu kuarahkan kembali pandanganku lurus kedepan. Angin sepoi-sepoi terus saja membelai lembut wajahku ketika tiba-tiba saja kedua mataku basah dengan air mata. Aku teringat kembali dengan Mas Yusuf. Kenapa dia berbohong padaku? Apa dia tidak mau pergi keacara itu bersamaku sehingga dia harus berdusta? Atau apa? Sekuat tenaga kuluruskan pikiranku dan sebenarnya aku tak ingin bersu’udzan padanya. Tapi.....
Seketika air mataku jatuh membasahi wajahku. Aku tersadar. Ternyata azan Zuhur tengah berkumandang. Aku segera mempersiapkan diri untuk melaksanakan shalat Zuhur bersama Nadia dengan terlebih dahulu melaksanakan sunnah rawatib 2 rakaat. Nadia menjadi imam dan aku menjadi makmum. Setelah shalat Zuhur kami melaksanakan shalat sunnah rawatib lagi 2 rakaat lalu kembali istirahat sebentar. Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 13.00, kami memutuskan untuk pulang. Diperjalanan Nadia banyak sekali bercerita tentang hal-hal yang lucu. Aku ingin sekali tertawa tapi tidak bisa. Bayang-bayangku tentang Mas Yusuf kembali mengusik pikiranku. Hal itu mengalahkan semua rasa dan pemikiranku yang kala itu tengah mendengarkan cerita Nadia. Aku hanya bisa tersenyum kecil tanpa bisa berkomentar apa-apa. Dan ketika Nadia bertanya padaku tentang sikapku, aku hanya menggeleng dan menjawab,
”Nggak. Aku enggak kenapa-kenapa. Terus bagaimana kelanjutannya?”
Lalu Nadia pun melanjutkan ceritanya. Aku hanya mendengarkannya dengan pikiran yang entah kemana perginya. Nadia mengajakku mampir sebentar ke warung somay yang ada di Stasiun Gondangdia. Aku menurutinya. Aku memesan satu porsi tapi tidak habis. Nadia membayarnya dan aku pun memberikan uang sepuluh ribuan padanya. Awalnya dia menolak tapi kupaksa dan akhirnya dia menerimanya.
Kami naik keatas dan membeli tiket. Nadia yang membelinya. Jurusan Lenteng Agung dan Pasar Minggu. Di Stasiun Gondangdia sudah banyak sekali orang yang beratribut Palestina. Entah bajunya, kerudungnya, atau topi dan pin yang mereka kenakan. Memang, semangat saudara-saudara kita di Palestina tidak pernah surut untuk melawan penjajah Israel, sampai mereka takluk dan menyatakan menyerah pada rakyat Palestina.
Ya...memang masa-masa itu belum tahu kapan tapi yang pasti saat-saat itu akan ada masanya. Dan aku yakin Allah pasti akan menepati janjiNya. Sebagaimana dijelaskan dalam wahyuNya, surat Al-Baqarah ayat 85-86.
”Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan dari kamu kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan perbuatan dosa dan permusuhan, tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebagian alkitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian darimu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong”
Dari jarak beberapa meter aku melihat seorang akhwat yang sepertinya aku kenal. Dia sedang berbincang dengan beberapa teman akhwatnya sesama aktivis. Aku berusaha mengingatnya sekuat tenaga. Tapi siapa dia? Alhamdulillah setelah berpikir keras, aku mengingatnya. Dia adalah sahabatnya Alifa. Dia pernah datang bersama Alifa ke pesta pernikahanku. Ingin sekali rasanya aku mendekatinya dan menanyakan kabar Alifa padanya. Dengan langkah yang pasti, aku mengajak Nadia untuk menghampirinya.
”Assalamu’alaikum” Ucapku padanya.
”Wa’alaikummussalam” Sahutnya bersama dengan beberapa temannya.
”Afwan, ana mau tanya, apa anti temannya Alifa?” Tanyaku sambil mengarahkan pandanganku pada orang yang kumaksud.
”Oh, iya ana temannya Alifa. Ana Ririn. Afwan, anti istrinya akh Yusuf kan?”
”Iya. Ehm, ana mau tanya, bagaimana kabar Alifa sekarang? Apa dia tidak ikut munasoroh? Atau mungkin dia pergi dengan suaminya ya?”
Wajah ukhti yang ada dihadapanku terlihat muram.
”Ada apa ya Rin?” Tanyaku langsung padanya.
”Ehm...keadaan Alifa sekarang tidak begitu baik” Jawabnya dengan nada sedih.
”Memang dia kenapa?”
Ririn mulai menjelaskan.
”Seminggu setelah pernikahannya, suaminya meninggal akibat kecelakaan kereta api. Mobil yang dikendarainya mogok dan terjebak di rel kereta api. Dan pada saat yang bersamaan, kereta datang melintas dan Guntur....” Ririn memutus perkataannya. Aku hanya bisa diam sambil meringis mendengarnya. Dalam hati aku terus beristighfar.
”Lalu keadaan Alifa sekarang bagaimana?” Tanyaku setelah tadi aku sempat terkejut mendengarnya.
”Keadaan terakhir yang aku tahu, dia kini terbaring di rumah sakit karena stres. Awalnya dia bisa menerima kenyataan ini, tapi makin kesini, kondisinya semakin parah. Dia tidak mau makan dan minum, sampai akhirnya sakit. Dia terus memikirkan kematian suaminya yang sangat tragis. Dan pada akhirnya dia harus dilarikan ke rumah sakit karena kondisi tubuhnya semakin lemah dan parah” Jelas Ririn.
Aku diam sejenak lalu bertanya di rumah sakit mana Alifa dirawat. Setelah Ririn memberitahukan dimana Alifa dirawat, aku segera meminta diri untuk beranjak dari
tempatku berdiri kini. Nadia bertanya padaku siapa Alifa. Aku menjelaskan padanya tentang Alifa. Sekedarnya tanpa menceritakan padanya kalau Alifa itulah yang sebenarnya menjadi impian Mas Yusuf.
* * *
Tanpa terasa kereta yang kami tunggu-tunggu sudah datang. Segera saja aku dan Nadia menjejalkan diri masuk kedalamnya. Alhamdulillah bisa masuk dengan selamat. Di sekeliling kami hampir semua berjilbab putih. Sangat bisa ditebak bahwa kami habis melakukan aksi munaoroh Palestine di Monas. Aku tak peduli dengan tatapan orang-orang lain pada kami. Aku hanya ingin cepat-cepat sampai dirumah dan merebahkan tubuh ini diatas tempat tidur.
Biasanya sepulang aksi-aksi seperti ini, ada semangat baru yang terpatri dalam diriku untuk kembali bangkit merencanakan hari esok. Tapi sekarang, entah mengapa tiba-tiba semangat itu seakan pudar. Terhapus oleh bayang-bayang Mas Yusuf yang tadi aku lihat dan juga bayang-bayang Alifa yang kini mungkin tengah terbaring tak berdaya dirumah sakit. Tapi aku berharap Alifa pun sudah sembuh dan bisa bangkit merajut hari-hari barunya.
Menuju stasiun Tebet, alhamdulillah ada dua orang perempuan yang bangkit dari duduknya dan segera saja aku gantikan tempat duduknya bersama Nadia. Kulihat kesekeliling tidak ada orang yang mungkin lebih pantas mendapatkan tempat duduk itu. Aku mengucap syukur karena akhirnya bisa duduk. Beberapa menit kemudian datang kehadapanku seorang perempuan tua yang mengais rezeki dengan cara menyapu lantai kereta dengan sapu kecilnya. Pakaiannya compang camping namun tetap berkerudung, menandakan bahwa dia seorang muslim. Di pinggangnya terdapat sebuah tas untuk menaruh uang hasil menyapu yang dengan ikhlas diberikan oleh penumpang kereta.
Dia menadahkan tangan kanannya padaku. Hatiku tersentuh dan langsung ku keluarkan uang lima ribu rupiah dan kuberikan padanya. Nadia pun ikut mengeluarkan uang seribu rupiahnya untuk diberikan pada ibu itu. Wajahnya begitu berseri-seri saat menerima uang dariku dan Nadia. Dia pun mengucapkan terima kasih dan kembali menyapu bagian yang lain dari lantai kereta. Nadia mungkin heran melihatku memberikan ibu tadi uang lima ribu rupiah. Dia lantas menanyakan perihal tersebut padaku.
”Kamu memberikannya uang lima ribu Nda?” Tanyanya dengan memanggilku dengan sebutan ’Nda’. Ya, memang hanya Nadia yang memanggilku dengan kosakata terakhir dari namaku, ’Nda’.
”Apa menurutmu, uang lima ribu rupiah itu besar?” Tanyaku balik padanya.
Nadia mengangguk.
”Menurutku itu terlalu besar Nda. Apa tidak ada uang kecil?”
”Ada. Tapi bagiku, uang lima ribu itu tidak ada artinya bila dibandingkan dengan semua nikmat yang telah Allah berikan padaku. Uang lima ribu itu hanya sebagai ungkapan rasa syukurku saja pada Allah swt karena paling tidak, Dia masih berkenan mengizinkan aku untuk dapat hidup enak dan nikmat tanpa harus bekerja keras seperti yang ibu tadi lakukan. Aku hanya ingin membagi rasa syukurku ini pada orang-orang yang memang pantas untuk menerimanya. Lagi pula dia bukan hanya mengemis, tapi juga
secara tidak langsung dia sudah membantu kita dengan membersihkan lantai kereta ini. Benar kan Nad?” Jelasku pada Nadia.
Nadia mengangguk lagi.
Sesaat lamanya kami diliputi kebisuan. Hanya angin yang berhembus dari jendela kereta yang berbisik-bisik membelai wajah kami. Tepat di Stasiun Tebet banyak penumpang yang turun, namun hanya sedikit orang yang naik. Alhasil kereta menjadi agak sedikit lengang. Banyak penumpang yang tadinya berdiri kini mendapat tempat duduk. Mataku menangkap jelas dua orang laki-laki berpakaian rapi yang sepertinya tidak ada kerutan sedikitpun di baju dan jas mereka. Dengan masing-masing membawa tas agak besar mereka berdiri tak jauh dari pintu masuk kereta. Mereka terus berbincang-bincang sampai kereta mulai berjalan kembali. Namun kemudian mereka masuk agak kedalam sehingga tak terlihat lagi oleh pandanganku.
Beberapa menit setelah kereta melaju di rel-nya, tiba-tiba terdengar suara bentakan hebat yang dilayangkan oleh seorang laki-laki.
”Hei! Perempuan tua jalang! Berani-beraninya kau mengotori sepatuku dengan sampah busukmu itu. Pantaslah tanganmu itu kuinjak karena kau telah mengganggu kami dengan sapu bututmu itu. Enyahlah kau dari hadapanku, dasar perempuan tak tahu diri!” Bentak salah seorang dari penumpang yang aku tidak tahu siapa dia. Aku bangkit dari dudukku sesaat untuk mengetahui siapa yang berani berbuat kurang ajar pada seorang perempuan yang dibilang jalang olehnya.
Ternyata yang berbuat hal yang memalukan itu adalah salah seorang dari dua orang penumpang laki-laki yang berpakaian rapi dengan membawa tas agak besar yang tadi sempat aku perhatikan. Dan perempuan tua yang dihina olehnya adalah ibu tua yang tadi menadahkan tangannya padaku dan Nadia. Ibu tua itu duduk menangis sambil mengusap-usap tangannya yang katanya terinjak oleh orang yang menghinanya tadi. Aku sungguh tak tega melihatnya. Orang yang berpakaian rapi yang satunya lagi mengusap-usap bahu temannya itu. Aku harap dia bisa menyadarkan temannya itu yang sudah berbuat kurang ajar pada ibu tua itu.
Tapi ternyata dugaanku salah. Dengan setali tiga uang, orang yang satunya lagi malah ikut-ikutan mencaci ibu tua itu.
”Hei! Pergi kau dari sini. Seperak pun tak akan aku berikan uangku untukmu. Pergi kau! Dasar perempuan tua tak tahu diuntung. Mengganggu saja! Pergi kau!!” Ucapnya dengan nada yang lebih tinggi dari orang yang sebelumnya.
Semua penumpang yang ada di dalam kereta mengarahkan pandangannya pada dua orang laki-laki dan ibu tua itu. Sungguh, aku jadi naik pitam. Aku sungguh tak tega melihat dua orang itu menghina ibu tua itu. Aku harus bertindak. Tapi apa? Semua orang yang ada dalam kereta tidak berani bertindak. Ini sudah keterlaluan. Ini sudah termasuk perbuatan zalim. Dan kezaliman harus segera di musnahkan.
Setelah kurasa tak ada yang cukup berani meluruskan kesalahan dua orang itu, akhirnya aku putuskan untuk membela ibu tua itu yang aku rasa dia tidak bersalah.
”Cukup-cukup!!” Teriakku sambil berjalan kearah ibu tua itu. Aku rasa semua yang ada disana sedang memperhatikanku. Sebenarnya aku sangat takut dan gemetar, tapi aku yakin aku bertindak yang memang seharusnya dilakukan oleh setiap muslim yang melihat
kemungkaran dan kezaliman. Dua laki-laki itu mengarahkan tatapan sinis padaku. Jujur, pada saat itu aku hanya bisa pasrah pada Allah swt.
”Tidak sepantasnya kalian sebagai seorang yang berpendidikan, berperilaku seperti itu. Saya yakin kalian ini pasti seorang yang berpendidikan bukan? Apakah pantas kalian berdua menghina ibu ini dengan hinaan yang sebenarnya sangat tidak patut keluar dari mulut kalian sebagai seorang yang berpendidikan? Apakah hanya karena sepatu bagus kalian yang mengkilap, kalian merasa pantas menghina ibu ini? Apakah hanya karena kemeja dan celana kalian yang licin, lalu kalian merasa benar untuk mencaci makinya? Kalau hanya karena itu semua kalian merasa benar melakukan hal itu, maka sebenarnya yang hina bukan ibu ini, melainkan kalian” Ucapku dengan tegas sambil membantu ibu tua itu untuk berdiri.
”Apa maksud perkataanmu hei?” Tanya salah seorang dari dua laki-laki itu yang mengenakan kemeja berwarna biru tua.
”Apa kurang jelas apa yang saya ucapkan tadi? Kalau kalian merasa benar melakukan hal itu, maka kalian pun tak lebih tinggi dari seorang pecundang. Kalian menghina seorang ibu yang sudah tua renta ini tanpa sebuah rasa tak tega sedikitpun. Hanya karena dia tak sengaja mengotori sepatu kalian, lantas kalian menghinanya. Apakah harga diri kalian hanya sebatas sepatu kalian yang mengkilap itu?”
”Hei! Tutup mulutmu perempuan berjilbab. Tahu apa kau tentang harga diri. Hah?” Kali ini laki-laki yang mengenakan kemeja merah marun yang bertanya padaku.
”Apakah kalian tidak pernah berpikir sedikitpun tentang kehidupannya ketika mata kalian melihat dia mencari sesuap nasi dengan membersihkan gerbong kereta ini? Kemana hati nurani kalian tatkala tangan tua rentanya menyingkirkan sampah-sampah yang kita buang sembarangan disini? Saya tanya, apakah pekerjaannya itu mengganggu kalian? Apakah pekerjaannya itu menyusahkan kalian sehingga kalian harus marah padanya? Apakah kalian bisa menjawabnya? Hah?!”
Dua lelaki itu diam seribu bahasa sambil saling bertatap-tatapan. Aku masih terus saja merangkul ibu tua itu tanpa sedikitpun rasa geli dalam diriku karena pakaian yang dikenakannya sangat kotor.
”Apa yang dilakukannya itu adalah sebuah perbuatan yang terpuji. Kita yang membuang sampah sembarangan lalu dia yang membersihkannya, apa kita tidak malu? Sebagai seorang yang berpendidikan dan beragama, apakah pantas kalian menghina seseorang yang justru telah mengajarkan kita akan pentingnya kebersihan? Coba kalian pikir, kata-kata yang kalian lontarkan tadi bisa jadi sangat menyakitkan hatinya. Coba kalian perhatikan air mata yang mengalir di wajahnya. Itu menandakan bahwa hatinya sangat perih. Demi mendapatkan sesuap nasi untuk mengganjal perutnya hari ini, dia sampai rela menahan rasa sakit di hatinya karena ucapan kalian. Belum lagi tangannya yang terinjak oleh salah satu diantara kalian. Dia telah berjasa membersihkan tempat ini agar kita nyaman berada di dalamnya, tapi apa yang kalian berikan padanya? Sebuah cacian dan hinaan. Bahkan untuk mengeluarkan uang seribu dua ribu saja kalian tidak bersedia, kalian malah menghujaninya dengan cacian”
Itulah ucapan yang aku lontarkan pada dua lelaki yang kini hanya bisa diam mematung sambil menatap wajahku dan ibu tua yang kini ada di sampingku. Aku yakin semua orang tengah memandangi kami berempat. Aku kembali berkata pada dua lelaki itu.
”Saya yakin kalian seorang muslim. Terlihat dari gantungan tas kalian yang berlambangkan Allah. Apakah kalian tidak menyadari bahwa iman kalian belum sempurna?”
”Hei, jangan bicara sembarangan. Kami orang yang beriman dan hanya Allah Tuhan kami” Sahut lelaki berkemeja merah marun.
”Kalau kalian merasa benar-benar beriman, seharusnya kalian bisa lebih mencintai saudara kalian sesama muslim. Rasulullah bersabda, Belum sempurna iman seseorang dari kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri14. Kalau memang kalian mencintai diri kalian, seharusnya kalian juga bisa mencintai saudara kalian sesama muslim sehingga kalian benar-benar bisa merasakan manisnya kesempurnaan iman itu. Saya yakin kalian pasti tidak mau memikul kebohongan dan dosa yang nyata bukan?”
”Apa maksudmu dengan kebohongan dan dosa yang nyata?” Kali ini laki-laki berkemeja biru tua yang bertanya.
”Allah berfirman dalam Qur’anNya, Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata15. Saya harap, kalian bisa memahami ayat itu. Dalam ayat yang lain, Allah juga mengingatkan kita agar jangan mengolok-olok kaum yang lain, karena boleh jadi, mereka yang diolok-olok itu lebih baik dari pada mereka yang mengolok-olok. Mohon diingat akan hal itu.
”Saya hanya ingin mengingatkan kalian agar tidak sombong. Apa yang kalian lakukan itu adalah perbuatan yang sombong dan tidak mensyukuri nikmat yang Allah berikan. Coba sedikit saja tundukkan hati kalian dan sedikit berpikir, bagaimana kalau semuanya berbalik dan kalian atau keluarga kalian yang sekarang ada di posisi ibu ini. Apa perasaan kalian saat ini? Saya yakin kalian tidak bisa menjawabnya karena jawaban itu sudah kalian telan mentah-mentah bersama hinaan-hinaan kaliantadi. Harusnya kalian bersyukur karena Allah masih memberikan kesempatan pada kalian untuk hidup enak sehingga kalian tidak perlu susah-susah mencari uang seperti yang ibu ini lakukan. Tolong kalian buang kesombongan kalian itu. Allah bisa marah karena pakaianNya kalian pakai. Kesombongan adalah dosa besar yang menyebabkan iblis di usir dari surga. Rasulullah bersabda, Orang-orang yang sombong akan dikumpulkan pada hari kiamat bagaikan semut kecil dalam wujud manusia. Mereka dikepung oleh kehinaan dari seluruh arah. Mereka digiring ke sebuah penjara dalam neraka Jahanam16. Mereka ditutupi oleh api paling panas dan diberi minuman dari nanah penduduk neraka17.
”Jadi sekali lagi saya mohon, buanglah rasa angkuh kalian. Jangan sampai jabatan dan kedudukan kalian saat ini membuat kalian gelap mata dan akhirnya terjebak dalam bayang-bayang neraka jahannam yang tengah menanti orang-orang yang sombong. Saya melakukan hal ini, karena saya tidak tega melihat ibu ini dicaci dan dihina. Sepatutnyalah kalian menghormatinya karena biar bagaimanapun, dialah yang lebih dulu menempati
dunia ini dibanding kita. Ibu ini telah mengajarkan kita akan banyak hal. Tentang kebersihan, kesabaran dalam menghadapi hidup, dan sebuah usaha dan kerja keras yang juga di iringi dengan ikhtiar, tawakal, dan rasa syukur. Betapa hidup ini harus dijalani tanpa mengenal kata putus asa. Itulah muslim sejati”
Dua lelaki berkemeja licin itu tampak berkaca-kaca. Raut wajahnya terlihat sekali kalau mereka sangat menyesal. Mereka saling bertatap-tatapan kemudian mereka mengaku sangat menyesal dengan tindakannya terhadap ibu tua itu. Setelah mengucapkan terima kasih padaku, mereka menyalami ibu tua yang kini ada disampingku sambil meminta maaf padanya dan memberinya dua lembar uang seratus ribuan.
Ibu tua itu menghapus air matanya. Dia tersenyum padaku dan mengucapkan terima kasih. Aku balik tersenyum padanya dan terdengar tepukan tangan yang diiringi dengan pekikan takbir dari penumpang kereta yang hampir seluruhnya adalah mereka yang mengikuti aksi munashoroh Palestine di Monas.
Biasanya sepulang aksi-aksi seperti ini, ada semangat baru yang terpatri dalam diriku untuk kembali bangkit merencanakan hari esok. Tapi sekarang, entah mengapa tiba-tiba semangat itu seakan pudar. Terhapus oleh bayang-bayang Mas Yusuf yang tadi aku lihat dan juga bayang-bayang Alifa yang kini mungkin tengah terbaring tak berdaya dirumah sakit. Tapi aku berharap Alifa pun sudah sembuh dan bisa bangkit merajut hari-hari barunya.
Menuju stasiun Tebet, alhamdulillah ada dua orang perempuan yang bangkit dari duduknya dan segera saja aku gantikan tempat duduknya bersama Nadia. Kulihat kesekeliling tidak ada orang yang mungkin lebih pantas mendapatkan tempat duduk itu. Aku mengucap syukur karena akhirnya bisa duduk. Beberapa menit kemudian datang kehadapanku seorang perempuan tua yang mengais rezeki dengan cara menyapu lantai kereta dengan sapu kecilnya. Pakaiannya compang camping namun tetap berkerudung, menandakan bahwa dia seorang muslim. Di pinggangnya terdapat sebuah tas untuk menaruh uang hasil menyapu yang dengan ikhlas diberikan oleh penumpang kereta.
Dia menadahkan tangan kanannya padaku. Hatiku tersentuh dan langsung ku keluarkan uang lima ribu rupiah dan kuberikan padanya. Nadia pun ikut mengeluarkan uang seribu rupiahnya untuk diberikan pada ibu itu. Wajahnya begitu berseri-seri saat menerima uang dariku dan Nadia. Dia pun mengucapkan terima kasih dan kembali menyapu bagian yang lain dari lantai kereta. Nadia mungkin heran melihatku memberikan ibu tadi uang lima ribu rupiah. Dia lantas menanyakan perihal tersebut padaku.
”Kamu memberikannya uang lima ribu Nda?” Tanyanya dengan memanggilku dengan sebutan ’Nda’. Ya, memang hanya Nadia yang memanggilku dengan kosakata terakhir dari namaku, ’Nda’.
”Apa menurutmu, uang lima ribu rupiah itu besar?” Tanyaku balik padanya.
Nadia mengangguk.
”Menurutku itu terlalu besar Nda. Apa tidak ada uang kecil?”
”Ada. Tapi bagiku, uang lima ribu itu tidak ada artinya bila dibandingkan dengan semua nikmat yang telah Allah berikan padaku. Uang lima ribu itu hanya sebagai ungkapan rasa syukurku saja pada Allah swt karena paling tidak, Dia masih berkenan mengizinkan aku untuk dapat hidup enak dan nikmat tanpa harus bekerja keras seperti yang ibu tadi lakukan. Aku hanya ingin membagi rasa syukurku ini pada orang-orang yang memang pantas untuk menerimanya. Lagi pula dia bukan hanya mengemis, tapi juga
secara tidak langsung dia sudah membantu kita dengan membersihkan lantai kereta ini. Benar kan Nad?” Jelasku pada Nadia.
Nadia mengangguk lagi.
Sesaat lamanya kami diliputi kebisuan. Hanya angin yang berhembus dari jendela kereta yang berbisik-bisik membelai wajah kami. Tepat di Stasiun Tebet banyak penumpang yang turun, namun hanya sedikit orang yang naik. Alhasil kereta menjadi agak sedikit lengang. Banyak penumpang yang tadinya berdiri kini mendapat tempat duduk. Mataku menangkap jelas dua orang laki-laki berpakaian rapi yang sepertinya tidak ada kerutan sedikitpun di baju dan jas mereka. Dengan masing-masing membawa tas agak besar mereka berdiri tak jauh dari pintu masuk kereta. Mereka terus berbincang-bincang sampai kereta mulai berjalan kembali. Namun kemudian mereka masuk agak kedalam sehingga tak terlihat lagi oleh pandanganku.
Beberapa menit setelah kereta melaju di rel-nya, tiba-tiba terdengar suara bentakan hebat yang dilayangkan oleh seorang laki-laki.
”Hei! Perempuan tua jalang! Berani-beraninya kau mengotori sepatuku dengan sampah busukmu itu. Pantaslah tanganmu itu kuinjak karena kau telah mengganggu kami dengan sapu bututmu itu. Enyahlah kau dari hadapanku, dasar perempuan tak tahu diri!” Bentak salah seorang dari penumpang yang aku tidak tahu siapa dia. Aku bangkit dari dudukku sesaat untuk mengetahui siapa yang berani berbuat kurang ajar pada seorang perempuan yang dibilang jalang olehnya.
Ternyata yang berbuat hal yang memalukan itu adalah salah seorang dari dua orang penumpang laki-laki yang berpakaian rapi dengan membawa tas agak besar yang tadi sempat aku perhatikan. Dan perempuan tua yang dihina olehnya adalah ibu tua yang tadi menadahkan tangannya padaku dan Nadia. Ibu tua itu duduk menangis sambil mengusap-usap tangannya yang katanya terinjak oleh orang yang menghinanya tadi. Aku sungguh tak tega melihatnya. Orang yang berpakaian rapi yang satunya lagi mengusap-usap bahu temannya itu. Aku harap dia bisa menyadarkan temannya itu yang sudah berbuat kurang ajar pada ibu tua itu.
Tapi ternyata dugaanku salah. Dengan setali tiga uang, orang yang satunya lagi malah ikut-ikutan mencaci ibu tua itu.
”Hei! Pergi kau dari sini. Seperak pun tak akan aku berikan uangku untukmu. Pergi kau! Dasar perempuan tua tak tahu diuntung. Mengganggu saja! Pergi kau!!” Ucapnya dengan nada yang lebih tinggi dari orang yang sebelumnya.
Semua penumpang yang ada di dalam kereta mengarahkan pandangannya pada dua orang laki-laki dan ibu tua itu. Sungguh, aku jadi naik pitam. Aku sungguh tak tega melihat dua orang itu menghina ibu tua itu. Aku harus bertindak. Tapi apa? Semua orang yang ada dalam kereta tidak berani bertindak. Ini sudah keterlaluan. Ini sudah termasuk perbuatan zalim. Dan kezaliman harus segera di musnahkan.
Setelah kurasa tak ada yang cukup berani meluruskan kesalahan dua orang itu, akhirnya aku putuskan untuk membela ibu tua itu yang aku rasa dia tidak bersalah.
”Cukup-cukup!!” Teriakku sambil berjalan kearah ibu tua itu. Aku rasa semua yang ada disana sedang memperhatikanku. Sebenarnya aku sangat takut dan gemetar, tapi aku yakin aku bertindak yang memang seharusnya dilakukan oleh setiap muslim yang melihat
kemungkaran dan kezaliman. Dua laki-laki itu mengarahkan tatapan sinis padaku. Jujur, pada saat itu aku hanya bisa pasrah pada Allah swt.
”Tidak sepantasnya kalian sebagai seorang yang berpendidikan, berperilaku seperti itu. Saya yakin kalian ini pasti seorang yang berpendidikan bukan? Apakah pantas kalian berdua menghina ibu ini dengan hinaan yang sebenarnya sangat tidak patut keluar dari mulut kalian sebagai seorang yang berpendidikan? Apakah hanya karena sepatu bagus kalian yang mengkilap, kalian merasa pantas menghina ibu ini? Apakah hanya karena kemeja dan celana kalian yang licin, lalu kalian merasa benar untuk mencaci makinya? Kalau hanya karena itu semua kalian merasa benar melakukan hal itu, maka sebenarnya yang hina bukan ibu ini, melainkan kalian” Ucapku dengan tegas sambil membantu ibu tua itu untuk berdiri.
”Apa maksud perkataanmu hei?” Tanya salah seorang dari dua laki-laki itu yang mengenakan kemeja berwarna biru tua.
”Apa kurang jelas apa yang saya ucapkan tadi? Kalau kalian merasa benar melakukan hal itu, maka kalian pun tak lebih tinggi dari seorang pecundang. Kalian menghina seorang ibu yang sudah tua renta ini tanpa sebuah rasa tak tega sedikitpun. Hanya karena dia tak sengaja mengotori sepatu kalian, lantas kalian menghinanya. Apakah harga diri kalian hanya sebatas sepatu kalian yang mengkilap itu?”
”Hei! Tutup mulutmu perempuan berjilbab. Tahu apa kau tentang harga diri. Hah?” Kali ini laki-laki yang mengenakan kemeja merah marun yang bertanya padaku.
”Apakah kalian tidak pernah berpikir sedikitpun tentang kehidupannya ketika mata kalian melihat dia mencari sesuap nasi dengan membersihkan gerbong kereta ini? Kemana hati nurani kalian tatkala tangan tua rentanya menyingkirkan sampah-sampah yang kita buang sembarangan disini? Saya tanya, apakah pekerjaannya itu mengganggu kalian? Apakah pekerjaannya itu menyusahkan kalian sehingga kalian harus marah padanya? Apakah kalian bisa menjawabnya? Hah?!”
Dua lelaki itu diam seribu bahasa sambil saling bertatap-tatapan. Aku masih terus saja merangkul ibu tua itu tanpa sedikitpun rasa geli dalam diriku karena pakaian yang dikenakannya sangat kotor.
”Apa yang dilakukannya itu adalah sebuah perbuatan yang terpuji. Kita yang membuang sampah sembarangan lalu dia yang membersihkannya, apa kita tidak malu? Sebagai seorang yang berpendidikan dan beragama, apakah pantas kalian menghina seseorang yang justru telah mengajarkan kita akan pentingnya kebersihan? Coba kalian pikir, kata-kata yang kalian lontarkan tadi bisa jadi sangat menyakitkan hatinya. Coba kalian perhatikan air mata yang mengalir di wajahnya. Itu menandakan bahwa hatinya sangat perih. Demi mendapatkan sesuap nasi untuk mengganjal perutnya hari ini, dia sampai rela menahan rasa sakit di hatinya karena ucapan kalian. Belum lagi tangannya yang terinjak oleh salah satu diantara kalian. Dia telah berjasa membersihkan tempat ini agar kita nyaman berada di dalamnya, tapi apa yang kalian berikan padanya? Sebuah cacian dan hinaan. Bahkan untuk mengeluarkan uang seribu dua ribu saja kalian tidak bersedia, kalian malah menghujaninya dengan cacian”
Itulah ucapan yang aku lontarkan pada dua lelaki yang kini hanya bisa diam mematung sambil menatap wajahku dan ibu tua yang kini ada di sampingku. Aku yakin semua orang tengah memandangi kami berempat. Aku kembali berkata pada dua lelaki itu.
”Saya yakin kalian seorang muslim. Terlihat dari gantungan tas kalian yang berlambangkan Allah. Apakah kalian tidak menyadari bahwa iman kalian belum sempurna?”
”Hei, jangan bicara sembarangan. Kami orang yang beriman dan hanya Allah Tuhan kami” Sahut lelaki berkemeja merah marun.
”Kalau kalian merasa benar-benar beriman, seharusnya kalian bisa lebih mencintai saudara kalian sesama muslim. Rasulullah bersabda, Belum sempurna iman seseorang dari kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri14. Kalau memang kalian mencintai diri kalian, seharusnya kalian juga bisa mencintai saudara kalian sesama muslim sehingga kalian benar-benar bisa merasakan manisnya kesempurnaan iman itu. Saya yakin kalian pasti tidak mau memikul kebohongan dan dosa yang nyata bukan?”
”Apa maksudmu dengan kebohongan dan dosa yang nyata?” Kali ini laki-laki berkemeja biru tua yang bertanya.
”Allah berfirman dalam Qur’anNya, Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata15. Saya harap, kalian bisa memahami ayat itu. Dalam ayat yang lain, Allah juga mengingatkan kita agar jangan mengolok-olok kaum yang lain, karena boleh jadi, mereka yang diolok-olok itu lebih baik dari pada mereka yang mengolok-olok. Mohon diingat akan hal itu.
”Saya hanya ingin mengingatkan kalian agar tidak sombong. Apa yang kalian lakukan itu adalah perbuatan yang sombong dan tidak mensyukuri nikmat yang Allah berikan. Coba sedikit saja tundukkan hati kalian dan sedikit berpikir, bagaimana kalau semuanya berbalik dan kalian atau keluarga kalian yang sekarang ada di posisi ibu ini. Apa perasaan kalian saat ini? Saya yakin kalian tidak bisa menjawabnya karena jawaban itu sudah kalian telan mentah-mentah bersama hinaan-hinaan kaliantadi. Harusnya kalian bersyukur karena Allah masih memberikan kesempatan pada kalian untuk hidup enak sehingga kalian tidak perlu susah-susah mencari uang seperti yang ibu ini lakukan. Tolong kalian buang kesombongan kalian itu. Allah bisa marah karena pakaianNya kalian pakai. Kesombongan adalah dosa besar yang menyebabkan iblis di usir dari surga. Rasulullah bersabda, Orang-orang yang sombong akan dikumpulkan pada hari kiamat bagaikan semut kecil dalam wujud manusia. Mereka dikepung oleh kehinaan dari seluruh arah. Mereka digiring ke sebuah penjara dalam neraka Jahanam16. Mereka ditutupi oleh api paling panas dan diberi minuman dari nanah penduduk neraka17.
”Jadi sekali lagi saya mohon, buanglah rasa angkuh kalian. Jangan sampai jabatan dan kedudukan kalian saat ini membuat kalian gelap mata dan akhirnya terjebak dalam bayang-bayang neraka jahannam yang tengah menanti orang-orang yang sombong. Saya melakukan hal ini, karena saya tidak tega melihat ibu ini dicaci dan dihina. Sepatutnyalah kalian menghormatinya karena biar bagaimanapun, dialah yang lebih dulu menempati
dunia ini dibanding kita. Ibu ini telah mengajarkan kita akan banyak hal. Tentang kebersihan, kesabaran dalam menghadapi hidup, dan sebuah usaha dan kerja keras yang juga di iringi dengan ikhtiar, tawakal, dan rasa syukur. Betapa hidup ini harus dijalani tanpa mengenal kata putus asa. Itulah muslim sejati”
Dua lelaki berkemeja licin itu tampak berkaca-kaca. Raut wajahnya terlihat sekali kalau mereka sangat menyesal. Mereka saling bertatap-tatapan kemudian mereka mengaku sangat menyesal dengan tindakannya terhadap ibu tua itu. Setelah mengucapkan terima kasih padaku, mereka menyalami ibu tua yang kini ada disampingku sambil meminta maaf padanya dan memberinya dua lembar uang seratus ribuan.
Ibu tua itu menghapus air matanya. Dia tersenyum padaku dan mengucapkan terima kasih. Aku balik tersenyum padanya dan terdengar tepukan tangan yang diiringi dengan pekikan takbir dari penumpang kereta yang hampir seluruhnya adalah mereka yang mengikuti aksi munashoroh Palestine di Monas.
* * *
Tepat di stasiun Pasar Minggu baru ibu tua itu turun. Aku kembali lagi pada Nadia. Ada beberapa orang mengucapkan selamat padaku. Nadia menyampaikan rasa salut dan kagumnya padaku. Aku sampaikan padanya bahwa sungguh saat aku mengucapkan kata-kata itu, yang terbersit dalam pikiranku adalah bagaimana caranya agar dua lelaki itu bisa mengerti arti kehidupan ini. Dan sejujurnya aku katakan bahwa sampai saat ini hatiku masih berdegup kencang.
Di stasiun Pasar Minggu Nadia turun. Aku hanya mengucapkan terima kasih dan tersenyum padanya. Kereta terus melaju dan terus membawaku beserta orang-orang yang ada dalam kereta menuju stasiun yang satu ke stasiun yang lain. Banyak yang turun namun tak sedikit pula yang terus memadati sesaknya kereta. Stasiun Lenteng Agung sebentar lagi. Aku bersiap-siap untuk turun. Setelah sampai aku pun turun. Aku keluar satsiun dan menghentikan angkot berwarna coklat. Tepat di sebuah sekolah rumah makan padang aku turun dan membayar angkotnya.
Dirumah kontrakanku yang mungil, aku mencurahkan segalanya. Teringat kembali semua kejadian yang aku alami hari ini. Aku yang melihat Mas Yusuf di Monas, pertemuanku dengan sahabatnya Alifa dan mengabarkan aku kalau Alifa saat ini tengah dirawat di rumah sakit karena suaminya meninggal, juga kejadian di kereta tadi yang membuatku semakin mengerti arti hidup ini.
Setelah istirahat sejenak, aku mandi dan shalat Ashar. Mas Yusuf belum juga pulang. Aku menyempatkan diri memasak sayur sawi dan menggoreng telur untuk makan malam Mas Yusuf. Tapi sampai Maghrib tiba, dia belum pulang-pulang juga. Masakanku sudah dingin. Sebenarnya aku ingin menghubunginya tapi aku khawatir dia akan menjawab pertanyaanku dengan jawaban yang tidak semestinya. Akhirnya kuurungkan niatku.
Kulihat jam dan azan Isya berkumandang. Aku putuskan untuk segera shalat dan mengadu PadaNya. Aku ingin sekali menangis. Menangis dengan sungguh-sungguh di hadapan Rabbku. Menangis dengan air mata yang sejak tadi siang kutahan. Aku tak pernah sesedih ini. Rasanya sakit seperti teriris-iris pisau sembilu. Aku kecewa padanya.
Kucurahkan semua perasaanku dalam buku harianku. Diatas buku itu kugoreskan tinta hitamku. Berharap agar perasaanku yang kini gundah dapat berubah menjadi lebih tenang.
Hanya buku harianku yang selama ini selalu menemaniku melewati hari-hari yang baru aku jalani bersama Mas Yusuf. Suamiku yang aku tahu tidak pernah mencintaiku. Suamiku yang aku tahu berbohong padaku tadi siang. Remuk rasanya jiwa ini. Sejadi-jadinya aku menangis sambil terus mencurahkan perasaanku di dalam buku harianku.
Kurasa mataku bengkak. Aku sudah mulai mengantuk tapi Mas Yusuf belum juga pulang. Tidak menelepon ataupun mengirimkan sms sekedar memberitahukan dimana dia sekarang. Kuseka air mataku dan aku beranjak mengunci pintu depan. Mas Yusuf membawa kunci rumah yang satu lagi. Aku melihat kembali makanan yang tadi aku masak. Sudah sangat dingin. Aku masukkan sayur kedalam penghangat nasi dan telurnya kubiarkan diatas meja makan yang kututup dengan tudung saji.
Aku kembali lagi kekamar dan bersiap untuk tidur. Namun baru sekitar 15 menit aku memejamkan mata, tiba-tiba terdengar suara pintu rumah dibuka. Aku yakin itu Mas Yusuf. Kudengar dia melangkah masuk kedalam kamar. Aku masih memejamkan mata sambil memiringkan tubuhku membelakanginya. Aku putuskan untuk tidak bangun dan menyambut kedatangannya. Aku kahawatir dia melihat mataku yang bengkak lalu dia menanyakan alasannya.
Kumantapkan hati untuk tidur malam ini. Dan Mas Yusuf? Biarlah dia makan sendiri malam ini. Toh, nasi, sayur, dan telurnya sudah aku siapkan di meja makan. Biar bagaimana pun, aku hanya ingin menjadi istri yang baik dan berbakti pada suami. Meskipun hatiku sakit. Tapi untuk malam ini, maafkan aku Mas jika kamu makan sendiri. Aku tak sanggup melihat wajahmu.
Di luar, hujan turun secara perlahan mengantarkan deras yang tiada terkira. Dalam pejam malamku aku berdo’a,
”Ya Allah, ampuni segala dosa-dosaku dan dosa-dosa suamiku. Berikanlah kami kekuatan untuk bisa tetap bertahan di jalan IstiqomahMu. Amin”
Di stasiun Pasar Minggu Nadia turun. Aku hanya mengucapkan terima kasih dan tersenyum padanya. Kereta terus melaju dan terus membawaku beserta orang-orang yang ada dalam kereta menuju stasiun yang satu ke stasiun yang lain. Banyak yang turun namun tak sedikit pula yang terus memadati sesaknya kereta. Stasiun Lenteng Agung sebentar lagi. Aku bersiap-siap untuk turun. Setelah sampai aku pun turun. Aku keluar satsiun dan menghentikan angkot berwarna coklat. Tepat di sebuah sekolah rumah makan padang aku turun dan membayar angkotnya.
Dirumah kontrakanku yang mungil, aku mencurahkan segalanya. Teringat kembali semua kejadian yang aku alami hari ini. Aku yang melihat Mas Yusuf di Monas, pertemuanku dengan sahabatnya Alifa dan mengabarkan aku kalau Alifa saat ini tengah dirawat di rumah sakit karena suaminya meninggal, juga kejadian di kereta tadi yang membuatku semakin mengerti arti hidup ini.
Setelah istirahat sejenak, aku mandi dan shalat Ashar. Mas Yusuf belum juga pulang. Aku menyempatkan diri memasak sayur sawi dan menggoreng telur untuk makan malam Mas Yusuf. Tapi sampai Maghrib tiba, dia belum pulang-pulang juga. Masakanku sudah dingin. Sebenarnya aku ingin menghubunginya tapi aku khawatir dia akan menjawab pertanyaanku dengan jawaban yang tidak semestinya. Akhirnya kuurungkan niatku.
Kulihat jam dan azan Isya berkumandang. Aku putuskan untuk segera shalat dan mengadu PadaNya. Aku ingin sekali menangis. Menangis dengan sungguh-sungguh di hadapan Rabbku. Menangis dengan air mata yang sejak tadi siang kutahan. Aku tak pernah sesedih ini. Rasanya sakit seperti teriris-iris pisau sembilu. Aku kecewa padanya.
Kucurahkan semua perasaanku dalam buku harianku. Diatas buku itu kugoreskan tinta hitamku. Berharap agar perasaanku yang kini gundah dapat berubah menjadi lebih tenang.
Hanya buku harianku yang selama ini selalu menemaniku melewati hari-hari yang baru aku jalani bersama Mas Yusuf. Suamiku yang aku tahu tidak pernah mencintaiku. Suamiku yang aku tahu berbohong padaku tadi siang. Remuk rasanya jiwa ini. Sejadi-jadinya aku menangis sambil terus mencurahkan perasaanku di dalam buku harianku.
Kurasa mataku bengkak. Aku sudah mulai mengantuk tapi Mas Yusuf belum juga pulang. Tidak menelepon ataupun mengirimkan sms sekedar memberitahukan dimana dia sekarang. Kuseka air mataku dan aku beranjak mengunci pintu depan. Mas Yusuf membawa kunci rumah yang satu lagi. Aku melihat kembali makanan yang tadi aku masak. Sudah sangat dingin. Aku masukkan sayur kedalam penghangat nasi dan telurnya kubiarkan diatas meja makan yang kututup dengan tudung saji.
Aku kembali lagi kekamar dan bersiap untuk tidur. Namun baru sekitar 15 menit aku memejamkan mata, tiba-tiba terdengar suara pintu rumah dibuka. Aku yakin itu Mas Yusuf. Kudengar dia melangkah masuk kedalam kamar. Aku masih memejamkan mata sambil memiringkan tubuhku membelakanginya. Aku putuskan untuk tidak bangun dan menyambut kedatangannya. Aku kahawatir dia melihat mataku yang bengkak lalu dia menanyakan alasannya.
Kumantapkan hati untuk tidur malam ini. Dan Mas Yusuf? Biarlah dia makan sendiri malam ini. Toh, nasi, sayur, dan telurnya sudah aku siapkan di meja makan. Biar bagaimana pun, aku hanya ingin menjadi istri yang baik dan berbakti pada suami. Meskipun hatiku sakit. Tapi untuk malam ini, maafkan aku Mas jika kamu makan sendiri. Aku tak sanggup melihat wajahmu.
Di luar, hujan turun secara perlahan mengantarkan deras yang tiada terkira. Dalam pejam malamku aku berdo’a,
”Ya Allah, ampuni segala dosa-dosaku dan dosa-dosa suamiku. Berikanlah kami kekuatan untuk bisa tetap bertahan di jalan IstiqomahMu. Amin”
* * *
Sisa-sisa hujan masih terus saja mengguyur kota Jakarta. Dan pagi ini pun hujan masih terus turun dengan derasnya. Sebagian kota Jakarta sudah ada yang tergenang banjir. Aku lihat di berita pagi yang menyebutkan bahwa sebagian kawasan di Jakarta sudah terendam oleh banjir setinggi 1-2 meter. Kebetulan hari ini adalah hari ahad, jadi tidak ada kegiatan yang mengharuskan aku keluar rumah. Dan aku putuskan untuk tetap dirumah dan kembali duduk di depan komputer untuk meneruskan tulisanku.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB. Kulihat Mas Yusuf sedang menonton televisi. Aku sedang memasak nasi goreng untuk sarapan paginya. Setelah itu kami sarapan bersama tanpa perbincangan yang berarti. Hanya suara penyiar berita di televisi yang mengisi kebisuan kami. Selesai sarapan aku memasak tumis kangkung dan menggoreng tempe. Tak lupa sambal goreng yang menjadi pelengkap menu masakan hari ini. Selesai masak pukul 08.45. Aku bergegas membersihkan tubuhku dari sisa asap masakan. Aku berencana meneruskan tulisanku setelah shalat dhuha nanti.
Hujan belum juga reda sementara petir terus saja bersahut-sahutan di langit sana. Aku masuk ke kamar dengan sebelumnya menatap Mas Yusuf yang tengah membaca koran di ruang tamu. Televisinya dimatikan, mungkin karena takut tersambar petir. Aku shalat dhuha di kamar, bermunajat sebentar, kemudian langsung menghidupkan komputerku.
Aku mulai terhanyut dalam lautan kata-kata sebelum Mas Yusuf memanggilku karena ada telepon dari pihak penerbit.
Aku keluar dan menerima telepon itu. Tak berapa lama, aku menyudahinya. Dari pihak penerbit memintaku untuk membuat ucapan terima kasih karena novel ketigaku akan segera diterbitkan. Hatiku senang tiada terkira. Berkali-kali kuucap rasa syukur yang teramat dalam pada Allah swt. Di tengah derasnya hujan yang belum juga berhenti, aku mendapatkan berita yang menyejukkan hatiku.
Aku kembali ke kamar untuk meneruskan tulisanku. Kulihat kini Mas Yusuf tengah meringkuk di atas tempat tidur membelakangi diriku. Kuposisikan diriku di depan layar komputer. Baru beberapa baris aku mengetik, Mas Yusuf membalikkan tubuhnya dan bertanya padaku.
”Ada apa dari pihak penerbit menelepon?”
”Memberi tahu kalau novelku yang ketiga akan segera di proses” Jawabku singkat tanpa memalingkan wajahku dari layar komputer. Tiba-tiba aku berinisiatif membuatkan susu hangat untuk Mas Yusuf. Aku menoleh sesaat ke arahnya yang tengah bersandar di kepala tempat tidur sambil membaca buku. Aku beranjak keluar kamar untuk membuat susu hangat kemudian ku berikan padanya.
”Nih Mas. Susu hangat untuk menghangatkan tubuh” Kataku sambil menyodorkan segelas susu padanya. Dia menerimanya dan meminumnya sedikit demi sedikit. Aku masih duduk di pinggir tempat tidur sambil menatapnya. Aku begitu mencintainya. Apakah dia juga merasakan hal yang sama sepertiku? Kutepis segera pemikiranku. Aku kembali tertuju pada komputerku sebelum Mas Yusuf menggamit tanganku dan menyuruhku untuk tetap duduk.
Aku tak tahu apa yang hendak dia lakukan. Dia beranjak dari tempat tidur lalu mematikan lampu yang ada di kamar dan menutup semua gorden di jendela kamar. Tiba-tiba jantungku berdetak kencang. Apa yang hendak ia lakukan? Dia berjalan ke arahku dan pada saat yang sama, dia mengajakku bercinta. Yang aku ingat, terakhir kami memadu kasih.....3 minggu yang lalu. Hatiku kembali berdebar. Mataku menatap penuh tajam ke arah matanya.
Di tengah derasnya hujan, Mas Yusuf membawaku ke taman surga. Di pojok kamar sana, komputer belum sempat aku matikan. Aku masih belum mengerti kenapa Mas Yusuf mengajakku bercinta. Jujur, ini adalah kado terindah untuk novelku yang ketiga. Atau mungkin, ini adalah penebus rasa bersalahnya karena kemarin dia telah berbohong padaku. Entahlah.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB. Kulihat Mas Yusuf sedang menonton televisi. Aku sedang memasak nasi goreng untuk sarapan paginya. Setelah itu kami sarapan bersama tanpa perbincangan yang berarti. Hanya suara penyiar berita di televisi yang mengisi kebisuan kami. Selesai sarapan aku memasak tumis kangkung dan menggoreng tempe. Tak lupa sambal goreng yang menjadi pelengkap menu masakan hari ini. Selesai masak pukul 08.45. Aku bergegas membersihkan tubuhku dari sisa asap masakan. Aku berencana meneruskan tulisanku setelah shalat dhuha nanti.
Hujan belum juga reda sementara petir terus saja bersahut-sahutan di langit sana. Aku masuk ke kamar dengan sebelumnya menatap Mas Yusuf yang tengah membaca koran di ruang tamu. Televisinya dimatikan, mungkin karena takut tersambar petir. Aku shalat dhuha di kamar, bermunajat sebentar, kemudian langsung menghidupkan komputerku.
Aku mulai terhanyut dalam lautan kata-kata sebelum Mas Yusuf memanggilku karena ada telepon dari pihak penerbit.
Aku keluar dan menerima telepon itu. Tak berapa lama, aku menyudahinya. Dari pihak penerbit memintaku untuk membuat ucapan terima kasih karena novel ketigaku akan segera diterbitkan. Hatiku senang tiada terkira. Berkali-kali kuucap rasa syukur yang teramat dalam pada Allah swt. Di tengah derasnya hujan yang belum juga berhenti, aku mendapatkan berita yang menyejukkan hatiku.
Aku kembali ke kamar untuk meneruskan tulisanku. Kulihat kini Mas Yusuf tengah meringkuk di atas tempat tidur membelakangi diriku. Kuposisikan diriku di depan layar komputer. Baru beberapa baris aku mengetik, Mas Yusuf membalikkan tubuhnya dan bertanya padaku.
”Ada apa dari pihak penerbit menelepon?”
”Memberi tahu kalau novelku yang ketiga akan segera di proses” Jawabku singkat tanpa memalingkan wajahku dari layar komputer. Tiba-tiba aku berinisiatif membuatkan susu hangat untuk Mas Yusuf. Aku menoleh sesaat ke arahnya yang tengah bersandar di kepala tempat tidur sambil membaca buku. Aku beranjak keluar kamar untuk membuat susu hangat kemudian ku berikan padanya.
”Nih Mas. Susu hangat untuk menghangatkan tubuh” Kataku sambil menyodorkan segelas susu padanya. Dia menerimanya dan meminumnya sedikit demi sedikit. Aku masih duduk di pinggir tempat tidur sambil menatapnya. Aku begitu mencintainya. Apakah dia juga merasakan hal yang sama sepertiku? Kutepis segera pemikiranku. Aku kembali tertuju pada komputerku sebelum Mas Yusuf menggamit tanganku dan menyuruhku untuk tetap duduk.
Aku tak tahu apa yang hendak dia lakukan. Dia beranjak dari tempat tidur lalu mematikan lampu yang ada di kamar dan menutup semua gorden di jendela kamar. Tiba-tiba jantungku berdetak kencang. Apa yang hendak ia lakukan? Dia berjalan ke arahku dan pada saat yang sama, dia mengajakku bercinta. Yang aku ingat, terakhir kami memadu kasih.....3 minggu yang lalu. Hatiku kembali berdebar. Mataku menatap penuh tajam ke arah matanya.
Di tengah derasnya hujan, Mas Yusuf membawaku ke taman surga. Di pojok kamar sana, komputer belum sempat aku matikan. Aku masih belum mengerti kenapa Mas Yusuf mengajakku bercinta. Jujur, ini adalah kado terindah untuk novelku yang ketiga. Atau mungkin, ini adalah penebus rasa bersalahnya karena kemarin dia telah berbohong padaku. Entahlah.
* * *
Dua Belas
Dua hari setelah hari itu, sepulang dari kantor aku memutuskan untuk menjenguk Alifa di Rumah Sakit Pasar Rebo. Keadaan Alifa belum sempat aku beri tahukan pada Mas Yusuf. Setelah turun dari angkot berwarna merah, aku langsung masuk kedalam rumah sakit. Menaiki lift dan menuju lantai lima ruang melati.
Di kamar 603 aku dapati seorang ibu paruh baya tengah duduk di sebelah seorang perempuan berwajah manis yang sangat ku kenal, Alifa. Mungkin ibu itu adalah ibundanya. Sambil tertunduk dia membaca surat Yasin dengan suara pelan. Aku memasuki kamar itu sambil mengucapkan salam dengan pelan. Ibu paruh baya itu mengangkat kepalanya kemudian berdiri menghampiriku.
Kucium tangannya sambil berkata.
”Ibu, saya Dinda, sahabatnya Alifa”
”Oh..iya, iya. Terima kasih sudah mau datang menjenguk Alifa” Sahut ibu paruh baya itu dengan suara agak sedikit serak. Di matanya terdapat butiran-butiran kecil air mata. Mungkin dia habis menangis. Entahlah.
Sejurus kemudian aku mengalihkan pandanganku pada Alifa. Gadis cantik nan ayu itu kini terbaring lemah tak berdaya di kasur rumah sakit. Wajah terlihat pucat dan tubuhnya tampak begitu kurus yang di tutupi dengan selimut tebal. Jilbabnya kini agak sedikit pendek dari biasanya. Namun dia tetap terlihat cantik bagi siapa saja yang memandangnya.
Setelah menatap Alifa yang hanya bisa memejamkan matanya, aku mulai bertanya pada ibu paruh baya yang tak lain adalah ibunda Alifa. Dia bernama Bu Ratih.
”Sejak kapan Alifa masuk rumah sakit Bu?” Tanyaku sambil terus berdiri di samping Alifa.
”Sejak keadaannya semakin parah Nak. Ya...sekitar dua minggu yang lalu. Awal masuk kesini sih masih bisa makan, minum, shalat, bicara juga masih bisa sedikit-sedikit. Tapi makin kesini, kondisinya semakin....” Bu Ratih memutuskan kata-katanya. Air mata yang berusaha ditahannya kini tak dapat lagi terbendung. Aku langsung mengeluarkan tisu dan kuberikan padanya sambil mengelus-elus bahunya.
”Sabar ya Bu?” Ucapku padanya.
Bu Ratih hanya mengangguk sambil menghapus air matanya. Tanpa terasa kedua mataku basah. Sejurus kemudian timbul perasaan yang tiba-tiba saja menyusup ke dalam sukmaku. Aku begitu sedih melihat Alifa terbaring koma.
Sesaat lamanya aku berada disana, tiba-tiba ada seorang dokter cantik yang datang untuk memeriksakan keadaan Alifa. Dia bernama dokter Melisa. Dokter itu bersama dua orang perawatnya. Yang satu mengenakan kerudung dan yang satu lagi tidak. Suster yang mengenakan kerudung memeriksa denyut nadi Alifa lalu menuliskan sesuatu pada kertas yang dibawanya. Sedangkan suster yang satu lagi hanya berdiri sambil membawa beberapa obat-obatan di meja dorongnya.
Dokter Melisa memeriksa mata Alifa dengan senter kecil. Dan sesekali dia mengecek selang infus yang yang menghubungkan cairan infus ke tubuh Alifa. Cairannya sudah hampir habis dan dia menyuruh suster yang tidak mengenakan kerudung untuk mengganti cairan infus yang sudah habis dengan cairan infus yang baru.
Setelah memeriksa keadaan Alifa, dokter Melisa berbincang sedikit dengan Bu Ratih.
”Bagaimana dok keadaanya? Apa ada kemajuan?” Tanya Bu Ratih penuh harap.
Dokter cantik itu menggeleng.
”Belum ada perubahan apa-apa. Bahkan keadaannya semakin menurun kalau tidak secepatnya dilakukan tindakan” Jawab dokter itu tenang.
”Tindakan apa dok?” Tanyaku menimpali.
”Tindakan untuk mencarikan seseorang yang mau berpura-pura menjadi suaminya. Saat ini dia memerlukan belaian lembut dan kasih sayang dari seorang suami. Maklumlah, Ibu Alifa ini baru seminggu menikah bukan? Masa-masa itu adalah masa-masa dimana pasangan pengantin baru sedang mesra-mesranya. Makanya wajar jika dia stres kemudian
sakit seperti ini. Selain kondisi fisiknya yang lemah, batinnya juga sangat terguncang tatkala dia harus menerima kenyataan pahit bahwa suaminya yang baru seminggu dinikahinya harus pergi dengan kondisi yang sangat tragis” Jelas dokter Melisa sangat detail. Aku mendengarkannya dengan seksama.
”Lalu bagaimana dengan kandungannya dok?” Tanya Bu Ratih yang tiba-tiba saja mengejutkanku.
”Kandungan? Jadi...saat ini Alifa sedang hamil?”
”Iya” Sahut dokter melisa.
”Usia kandungannya baru dua bulan. Alhamdulillah janin yang ada dalam kandungannya tidak mengalami penurunan. Tapi kalau dibiarkan terus seperti ini, saya tidak bisa menjamin kalau usia kandungannya bisa bertahan lama. Maka dari itu, harus ada yang mau berpura-pura atau mungkin ada seorang laki-laki yang berkenan menikahinya dan bersedia menjadi suami keduanya menggantikan suami pertamanya yang meninggal. Sehingga Ibu Alifa bisa merasakan kembali kasih sayang dari seorang suami yang memang seharusnya ia dapatkan sejak pertama pernikahannya” Jelas Dokter Melisa kembali.
Aku hanya terdiam tak berbicara apa-apa. Aku dan Bu Ratih mengucapkan terima kasih tatkala dokter Melisa dan dua perawatnya pergi meninggalkan kami. Aku teringat ucapan dokter Melisa barusan,
”Tapi kalau dibiarkan terus seperti ini, saya tidak bisa menjamin kalau usia kandungannya bisa bertahan lama. Maka dari itu, harus ada yang mau berpura-pura atau mungkin ada seorang laki-laki yang berkenan menikahinya dan bersedia menjadi suami keduanya menggantikan suami pertamanya yang meninggal”
Aku juga teringat perkataan dokter Melisa yang terus terngiang dalam ingatanku.
”Sehingga Ibu Alifa bisa merasakan kembali kasih sayang dari seorang suami yang memang seharusnya ia dapatkan sejak pertama pernikahannya”
Alifa memang seharusnya mendapatkan kasih sayang itu, tapi Allah telah mengambil suaminya dari sisinya. Sedangkan aku? Nasibku sungguh kontras sekali dengan kehidupan Alifa. Sudah hampir setahun aku menikah namun sampai detik ini aku belum juga mendapatkan kasih sayang itu. Kasih sayang yang memang seharusnya aku dapatkan dari seorang suami.
Bu Ratih mengejutkanku dengan tegurannya.
”Nak Dinda”
”Eh...Ya Bu?” Sahutku.
”Kenapa melamun?”
Aku menggeleng.
”Tidak Bu. Ehm..kalau begitu saya pamit pulang dulu ya Bu? Saya do’akan semoga Alifa bisa secepatnya melalui ujian ini dan semoga Alifa bisa lekas sembuh”
”Terima kasih ya Nak?’ Ucap Bu Ratih.
Aku mengangguk sambil tersenyum padanya.
Sebelum pulang aku sempatkan menyentuh tangan Alifa yang kurus dan pucat itu. Dalam hati aku berucap padanya,
”Aku akan membantumu, Alifa. Insya Allah”
Setelah berucap sedikit pada Alifa, aku segera pulang dengan terlebih dahulu berpamitan pada Bu Ratih.
”Yang tabah ya Bu? Saya yakin, Allah pasti akan memberikan jalan keluar atas semua ujian ini. Dan saya pun akan membantu Alifa sebisa saya mampu. Insya Allah. Assalamu’alaikum”
”Wa’alaikumusslam. Terima kasih ya Nak Dinda?”
Aku tersenyum padanya kemudian keluar menuju lift. Setelah keluar dari rumah sakit, di dalam angkot merah yang aku tumpangi, tiba-tiba aku mempunyai sebuah rencana yang mungkin bisa membuat Alifa tersadar dari komanya. Sebuah rencana yang akan aku jalankan untuk membantu Alifa dan bayi yang tengah dikandungnya.
Dua hari setelah hari itu, sepulang dari kantor aku memutuskan untuk menjenguk Alifa di Rumah Sakit Pasar Rebo. Keadaan Alifa belum sempat aku beri tahukan pada Mas Yusuf. Setelah turun dari angkot berwarna merah, aku langsung masuk kedalam rumah sakit. Menaiki lift dan menuju lantai lima ruang melati.
Di kamar 603 aku dapati seorang ibu paruh baya tengah duduk di sebelah seorang perempuan berwajah manis yang sangat ku kenal, Alifa. Mungkin ibu itu adalah ibundanya. Sambil tertunduk dia membaca surat Yasin dengan suara pelan. Aku memasuki kamar itu sambil mengucapkan salam dengan pelan. Ibu paruh baya itu mengangkat kepalanya kemudian berdiri menghampiriku.
Kucium tangannya sambil berkata.
”Ibu, saya Dinda, sahabatnya Alifa”
”Oh..iya, iya. Terima kasih sudah mau datang menjenguk Alifa” Sahut ibu paruh baya itu dengan suara agak sedikit serak. Di matanya terdapat butiran-butiran kecil air mata. Mungkin dia habis menangis. Entahlah.
Sejurus kemudian aku mengalihkan pandanganku pada Alifa. Gadis cantik nan ayu itu kini terbaring lemah tak berdaya di kasur rumah sakit. Wajah terlihat pucat dan tubuhnya tampak begitu kurus yang di tutupi dengan selimut tebal. Jilbabnya kini agak sedikit pendek dari biasanya. Namun dia tetap terlihat cantik bagi siapa saja yang memandangnya.
Setelah menatap Alifa yang hanya bisa memejamkan matanya, aku mulai bertanya pada ibu paruh baya yang tak lain adalah ibunda Alifa. Dia bernama Bu Ratih.
”Sejak kapan Alifa masuk rumah sakit Bu?” Tanyaku sambil terus berdiri di samping Alifa.
”Sejak keadaannya semakin parah Nak. Ya...sekitar dua minggu yang lalu. Awal masuk kesini sih masih bisa makan, minum, shalat, bicara juga masih bisa sedikit-sedikit. Tapi makin kesini, kondisinya semakin....” Bu Ratih memutuskan kata-katanya. Air mata yang berusaha ditahannya kini tak dapat lagi terbendung. Aku langsung mengeluarkan tisu dan kuberikan padanya sambil mengelus-elus bahunya.
”Sabar ya Bu?” Ucapku padanya.
Bu Ratih hanya mengangguk sambil menghapus air matanya. Tanpa terasa kedua mataku basah. Sejurus kemudian timbul perasaan yang tiba-tiba saja menyusup ke dalam sukmaku. Aku begitu sedih melihat Alifa terbaring koma.
Sesaat lamanya aku berada disana, tiba-tiba ada seorang dokter cantik yang datang untuk memeriksakan keadaan Alifa. Dia bernama dokter Melisa. Dokter itu bersama dua orang perawatnya. Yang satu mengenakan kerudung dan yang satu lagi tidak. Suster yang mengenakan kerudung memeriksa denyut nadi Alifa lalu menuliskan sesuatu pada kertas yang dibawanya. Sedangkan suster yang satu lagi hanya berdiri sambil membawa beberapa obat-obatan di meja dorongnya.
Dokter Melisa memeriksa mata Alifa dengan senter kecil. Dan sesekali dia mengecek selang infus yang yang menghubungkan cairan infus ke tubuh Alifa. Cairannya sudah hampir habis dan dia menyuruh suster yang tidak mengenakan kerudung untuk mengganti cairan infus yang sudah habis dengan cairan infus yang baru.
Setelah memeriksa keadaan Alifa, dokter Melisa berbincang sedikit dengan Bu Ratih.
”Bagaimana dok keadaanya? Apa ada kemajuan?” Tanya Bu Ratih penuh harap.
Dokter cantik itu menggeleng.
”Belum ada perubahan apa-apa. Bahkan keadaannya semakin menurun kalau tidak secepatnya dilakukan tindakan” Jawab dokter itu tenang.
”Tindakan apa dok?” Tanyaku menimpali.
”Tindakan untuk mencarikan seseorang yang mau berpura-pura menjadi suaminya. Saat ini dia memerlukan belaian lembut dan kasih sayang dari seorang suami. Maklumlah, Ibu Alifa ini baru seminggu menikah bukan? Masa-masa itu adalah masa-masa dimana pasangan pengantin baru sedang mesra-mesranya. Makanya wajar jika dia stres kemudian
sakit seperti ini. Selain kondisi fisiknya yang lemah, batinnya juga sangat terguncang tatkala dia harus menerima kenyataan pahit bahwa suaminya yang baru seminggu dinikahinya harus pergi dengan kondisi yang sangat tragis” Jelas dokter Melisa sangat detail. Aku mendengarkannya dengan seksama.
”Lalu bagaimana dengan kandungannya dok?” Tanya Bu Ratih yang tiba-tiba saja mengejutkanku.
”Kandungan? Jadi...saat ini Alifa sedang hamil?”
”Iya” Sahut dokter melisa.
”Usia kandungannya baru dua bulan. Alhamdulillah janin yang ada dalam kandungannya tidak mengalami penurunan. Tapi kalau dibiarkan terus seperti ini, saya tidak bisa menjamin kalau usia kandungannya bisa bertahan lama. Maka dari itu, harus ada yang mau berpura-pura atau mungkin ada seorang laki-laki yang berkenan menikahinya dan bersedia menjadi suami keduanya menggantikan suami pertamanya yang meninggal. Sehingga Ibu Alifa bisa merasakan kembali kasih sayang dari seorang suami yang memang seharusnya ia dapatkan sejak pertama pernikahannya” Jelas Dokter Melisa kembali.
Aku hanya terdiam tak berbicara apa-apa. Aku dan Bu Ratih mengucapkan terima kasih tatkala dokter Melisa dan dua perawatnya pergi meninggalkan kami. Aku teringat ucapan dokter Melisa barusan,
”Tapi kalau dibiarkan terus seperti ini, saya tidak bisa menjamin kalau usia kandungannya bisa bertahan lama. Maka dari itu, harus ada yang mau berpura-pura atau mungkin ada seorang laki-laki yang berkenan menikahinya dan bersedia menjadi suami keduanya menggantikan suami pertamanya yang meninggal”
Aku juga teringat perkataan dokter Melisa yang terus terngiang dalam ingatanku.
”Sehingga Ibu Alifa bisa merasakan kembali kasih sayang dari seorang suami yang memang seharusnya ia dapatkan sejak pertama pernikahannya”
Alifa memang seharusnya mendapatkan kasih sayang itu, tapi Allah telah mengambil suaminya dari sisinya. Sedangkan aku? Nasibku sungguh kontras sekali dengan kehidupan Alifa. Sudah hampir setahun aku menikah namun sampai detik ini aku belum juga mendapatkan kasih sayang itu. Kasih sayang yang memang seharusnya aku dapatkan dari seorang suami.
Bu Ratih mengejutkanku dengan tegurannya.
”Nak Dinda”
”Eh...Ya Bu?” Sahutku.
”Kenapa melamun?”
Aku menggeleng.
”Tidak Bu. Ehm..kalau begitu saya pamit pulang dulu ya Bu? Saya do’akan semoga Alifa bisa secepatnya melalui ujian ini dan semoga Alifa bisa lekas sembuh”
”Terima kasih ya Nak?’ Ucap Bu Ratih.
Aku mengangguk sambil tersenyum padanya.
Sebelum pulang aku sempatkan menyentuh tangan Alifa yang kurus dan pucat itu. Dalam hati aku berucap padanya,
”Aku akan membantumu, Alifa. Insya Allah”
Setelah berucap sedikit pada Alifa, aku segera pulang dengan terlebih dahulu berpamitan pada Bu Ratih.
”Yang tabah ya Bu? Saya yakin, Allah pasti akan memberikan jalan keluar atas semua ujian ini. Dan saya pun akan membantu Alifa sebisa saya mampu. Insya Allah. Assalamu’alaikum”
”Wa’alaikumusslam. Terima kasih ya Nak Dinda?”
Aku tersenyum padanya kemudian keluar menuju lift. Setelah keluar dari rumah sakit, di dalam angkot merah yang aku tumpangi, tiba-tiba aku mempunyai sebuah rencana yang mungkin bisa membuat Alifa tersadar dari komanya. Sebuah rencana yang akan aku jalankan untuk membantu Alifa dan bayi yang tengah dikandungnya.
* * *
Setelah sampai dirumah, tak kutemukan Mas Yusuf di setiap sudut rumah. Mungkin dia masih mengajar di sekolah. Aku beristirahat sejenak kemudian mandi dan shalat maghrib. Selesai itu aku sedikit tilawah sebentar sebelum tiba-tiba saja rasa cemas itu menyusup ke dalam dada. Kemana Mas Yusuf sampai petang begini belum pulang? Tak biasanya dia pulang mengajar sampai malam seperti ini. Tak memberi kabar atau pun sms.
Kusudahi tilawahku yang baru beberapa lembar. Kuraih ponselku yang tergeletak diatas tempat tidur lalu kuhubungi Mas Yusuf. Tak ada nada sambung dari ponselnya. Kemana dia? Sekali lagi aku hubungi dia dan yang menjawab hanya suara operator telepon seluler.
”Maaf, nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi atau tinggalkan pesan setelah nada berikut....”
Aku coba berkali-kali tetap tidak bisa. Kuputuskan untuk mengiriminya sms. Semoga saja ketika ponselnya sudah aktif, dia segera membaca pesanku dan langsung membalasnya. Sungguh, malam ini aku tak bisa tidur dengan tenang.
Awalnya aku ingin menanyakan keberadaan Mas Yusuf pada mertuaku, tapi kuurungkan. Aku tak ingin mereka cemas lalu memikirkan hal ini. Aku juga tidak mempunyai nomor telepon teman-temannya kecuali Mas Bambang.
Ya, aku akan coba menghubungi Mas Bambang dan kutanyakan keberadaan Mas Yusuf padanya.
”Halo...” Ucap Mas Bambang dari sebrang sana.
Aku menjawabnya dan segera saja aku bertanya padanya perihal Mas Yusuf. Tapi lagi-lagi aku harus memendam harapku. Mas Bambang sendiri tidak tahu dimana Mas Yusuf sekarang. Yang dia tahu sepulang dari mengajar pukul dua siang, dan Mas Yusuf langsung pulang dengan tergesa-gesa.
Setelah mengucapkan terima kasih pada Mas Bambang, aku segera menutup teleponnya. Yang menjadi pikiranku, mengapa Mas Yusuf pulang dengan tergesa-gesa? Apakah jangan-jangan, dia sudah mengetahui kondisi Alifa sekarang dan dia pergi menjengknya?
Ah! Aku tak mau memikirkan hal itu. Biarlah waktu saja yang menunjukkan segalanya. Dan saat ini, sebaiknya aku ingin tidur dan mengistirahatkan tubuh ini yang sudah seharian beraktivitas.
* * *
Pukul satu malam aku terbangun. Ada kehausan yang teramat sangat ketika aku merasakan sadar dari tidurku. Aku beranjak dari tempat tidurku menuju ke dapur. Setelah minum untuk menghilangkan dahagaku, aku kembali ke kamar. Duduk di tepi tempat tidur sambil termenung sendirian. Aku masih memikirkan dimana Mas Yusuf malam ini. Aku takut terjadi apa-apa padanya.
Sambil menatap photo pernikahanku yang dipajang di meja kecil disamping tempat tidurku, tiba-tiba aku menangis. Entah apa yang membuatku menangis. Aku ingin shalat tahajud.
Setelah mengambil air wudhu aku langsung melaksanakan shalat tahajud dan bermunajat padaNya untuk keselamatan Mas Yusuf dimana pun dia berada. Lalu aku lanjutkan dengan tilawah Al-Qur’an beberapa lembar. Setelah itu aku menutupnya dengan shalat witir tiga rakaat.
Kulepas mukenaku dan ku ganti dengan jilbab hitam. Aku berdiri di depan jendela kamarku sambil membuka sedikit gorden yang menutupinya. Di luar gelap. Jalanan hanya di terangi dengan beberapa lampu neon yang tersambung oleh rumah warga.
Ku putar kembali ingatanku satu tahun yang lalu. Ingatanku ketika keluarga Mas Yusuf datang kerumah untuk melamarku, lalu surat dari Mas Yusuf yang kukira surat cinta ternyata surat yang amat menyakitkanku, dan berbagai sikap-sikap Mas Yusuf yang sampai sekarang tidak bisa aku mengerti kenapa dia belum bisa menerimaku sebagai seorang istri. Semua ingatan-ingatan itu membuat mataku basah dan akhirnya aku menangis.
Aku melangkah ke meja kerjaku. Sambil mendudukan tubuhku di kursinya, kuambil kembali buku harianku. Tiba-tiba aku melihat sebuah tape recorder yang sudah sejak lama kutaruh di laci. Didalamnya terdapat sebuah kaset kosong yang aku ingat, kaset itu pernah aku gunakan untuk mewawancarai seorang narasumber untuk keperluan majalah di tempatku bekerja.
Kuurungkan niatku untuk menulis di buku harian dan aku putuskan untuk merekam suaraku di tape recorder itu. Akan kukeluarkan seluruh perasaanku selama ini tentang hatiku, tentang Mas Yusuf, dan tentang Alifa.
Tape recorder aku nyalakan dan aku mulai bercerita.
“Tuhanku,
Hanya Engkau sajalah yang mengetahui isi hatiku. Hanya Engkau sajalah yang menjaga hati dan perasaanku sehingga aku bisa kuat dan tegar sampai saat ini.
Tuhanku,
Aku sudah tak tahu lagi bagaimana rasanya mencintai dan dicintai. Hatiku telah membeku. Satu tahun sudah aku hidup sebagai seorang istri. Hidup tanpa kasih sayang dan perhatian dari seorang suami yang aku kasihi. Hidup penuh kegamangan dan kepasrahan dalam menanti cintanya untukku.
Rabbi,
Sungguh aku sangat mencintainya. Sungguh aku sangat menyayanginya. Tapi kenapa sampai saat ini tak sedikit pun rasa cinta itu ia berikan padaku? Apakah ada yang kurang dalam pengabdianku padanya selama ini? Apakah ada yang tak diinginkannya dariku sebagai seorang istri?
Sudah cukup sabar rasanya aku menahan semua ini. Menahan rasa cinta yang tak kunjung terbalas olehnya. Katakan padaku Ya Allah, kapan sekiranya dia mau membukakan pintu hatinya untukku?
Malam ini aku sendiri. Dan lagi-lagi aku harus mengeluarkan air mataku untuknya yang sekarang entah berada dimana. Aku lelah Ya Allah. Bahkan untuk tetap mencintainya saja, kurasa aku sudah tak sanggup lagi. Tapi tak sedikit pun aku berniat menghilangkan dia dari ingatanku. Biarlah aku menanggung derita ini diatas rasa cinta yang kuusahakan untuk tetap bertahan.
Ya Allah,
Aku sudah memaafkan segala sikapnya selama ini padaku. Tapi aku mohon, janganlah Engkau mencatat segala perbuatannya itu sebagai sebuah kezhaliman. Sungguh, aku sudah memaafkannya dan aku ikhlas dengan semua keadaan ini. Aku hanya ingin Kau menempatkan dia di tempat yang layak di sisiMu. Aku mohon.
Ya Allah,
Selama aku menjadi istrinya, mungkin banyak kekurangan yang hadir pada diriku yang tidak ia sukai. Aku mohon, bantulah aku memperbaiki semuanya. Bantulah aku membahagiakan dirinya, meskipun hal itu amat sangat menyakitkan untukku.
Sekiranya Engkau mengizinkan, biarkanlah aku berbagi cinta pada yang lain. Biarkanlah aku berbagi hidup pada hambaMu yang lain, yang namanya sudah sejak lama bertahta di kedalaman relung hatinya. Tegarkanlah hatiku ketika aku harus menyaksikan waktu membawa suamiku pergi pada bunga yang lain. Kuatkanlah imanku ketika aku harus berbagi suami pada yang lain, pada Alifa.
Aku hanya berharap satu pahala dariMu. Karena aku tahu, Alifa membutuhkan seorang suami dan bayi yang ada dalam kandungannya butuh seorang ayah. Jika sosok itu adalah suamiku, maka dengan segenap hati dan jiwa, aku bersedia.”
Seusai merekam suaraku dalam tape recorder sambil terisak, kusimpan kaset rekaman dan tape recordernya di dalam laci mejaku. Kuseka air mataku dan aku kembali tidur dengan perasaan yang masih gundah memikirkan Mas Yusuf.
Kusudahi tilawahku yang baru beberapa lembar. Kuraih ponselku yang tergeletak diatas tempat tidur lalu kuhubungi Mas Yusuf. Tak ada nada sambung dari ponselnya. Kemana dia? Sekali lagi aku hubungi dia dan yang menjawab hanya suara operator telepon seluler.
”Maaf, nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi atau tinggalkan pesan setelah nada berikut....”
Aku coba berkali-kali tetap tidak bisa. Kuputuskan untuk mengiriminya sms. Semoga saja ketika ponselnya sudah aktif, dia segera membaca pesanku dan langsung membalasnya. Sungguh, malam ini aku tak bisa tidur dengan tenang.
Awalnya aku ingin menanyakan keberadaan Mas Yusuf pada mertuaku, tapi kuurungkan. Aku tak ingin mereka cemas lalu memikirkan hal ini. Aku juga tidak mempunyai nomor telepon teman-temannya kecuali Mas Bambang.
Ya, aku akan coba menghubungi Mas Bambang dan kutanyakan keberadaan Mas Yusuf padanya.
”Halo...” Ucap Mas Bambang dari sebrang sana.
Aku menjawabnya dan segera saja aku bertanya padanya perihal Mas Yusuf. Tapi lagi-lagi aku harus memendam harapku. Mas Bambang sendiri tidak tahu dimana Mas Yusuf sekarang. Yang dia tahu sepulang dari mengajar pukul dua siang, dan Mas Yusuf langsung pulang dengan tergesa-gesa.
Setelah mengucapkan terima kasih pada Mas Bambang, aku segera menutup teleponnya. Yang menjadi pikiranku, mengapa Mas Yusuf pulang dengan tergesa-gesa? Apakah jangan-jangan, dia sudah mengetahui kondisi Alifa sekarang dan dia pergi menjengknya?
Ah! Aku tak mau memikirkan hal itu. Biarlah waktu saja yang menunjukkan segalanya. Dan saat ini, sebaiknya aku ingin tidur dan mengistirahatkan tubuh ini yang sudah seharian beraktivitas.
* * *
Pukul satu malam aku terbangun. Ada kehausan yang teramat sangat ketika aku merasakan sadar dari tidurku. Aku beranjak dari tempat tidurku menuju ke dapur. Setelah minum untuk menghilangkan dahagaku, aku kembali ke kamar. Duduk di tepi tempat tidur sambil termenung sendirian. Aku masih memikirkan dimana Mas Yusuf malam ini. Aku takut terjadi apa-apa padanya.
Sambil menatap photo pernikahanku yang dipajang di meja kecil disamping tempat tidurku, tiba-tiba aku menangis. Entah apa yang membuatku menangis. Aku ingin shalat tahajud.
Setelah mengambil air wudhu aku langsung melaksanakan shalat tahajud dan bermunajat padaNya untuk keselamatan Mas Yusuf dimana pun dia berada. Lalu aku lanjutkan dengan tilawah Al-Qur’an beberapa lembar. Setelah itu aku menutupnya dengan shalat witir tiga rakaat.
Kulepas mukenaku dan ku ganti dengan jilbab hitam. Aku berdiri di depan jendela kamarku sambil membuka sedikit gorden yang menutupinya. Di luar gelap. Jalanan hanya di terangi dengan beberapa lampu neon yang tersambung oleh rumah warga.
Ku putar kembali ingatanku satu tahun yang lalu. Ingatanku ketika keluarga Mas Yusuf datang kerumah untuk melamarku, lalu surat dari Mas Yusuf yang kukira surat cinta ternyata surat yang amat menyakitkanku, dan berbagai sikap-sikap Mas Yusuf yang sampai sekarang tidak bisa aku mengerti kenapa dia belum bisa menerimaku sebagai seorang istri. Semua ingatan-ingatan itu membuat mataku basah dan akhirnya aku menangis.
Aku melangkah ke meja kerjaku. Sambil mendudukan tubuhku di kursinya, kuambil kembali buku harianku. Tiba-tiba aku melihat sebuah tape recorder yang sudah sejak lama kutaruh di laci. Didalamnya terdapat sebuah kaset kosong yang aku ingat, kaset itu pernah aku gunakan untuk mewawancarai seorang narasumber untuk keperluan majalah di tempatku bekerja.
Kuurungkan niatku untuk menulis di buku harian dan aku putuskan untuk merekam suaraku di tape recorder itu. Akan kukeluarkan seluruh perasaanku selama ini tentang hatiku, tentang Mas Yusuf, dan tentang Alifa.
Tape recorder aku nyalakan dan aku mulai bercerita.
“Tuhanku,
Hanya Engkau sajalah yang mengetahui isi hatiku. Hanya Engkau sajalah yang menjaga hati dan perasaanku sehingga aku bisa kuat dan tegar sampai saat ini.
Tuhanku,
Aku sudah tak tahu lagi bagaimana rasanya mencintai dan dicintai. Hatiku telah membeku. Satu tahun sudah aku hidup sebagai seorang istri. Hidup tanpa kasih sayang dan perhatian dari seorang suami yang aku kasihi. Hidup penuh kegamangan dan kepasrahan dalam menanti cintanya untukku.
Rabbi,
Sungguh aku sangat mencintainya. Sungguh aku sangat menyayanginya. Tapi kenapa sampai saat ini tak sedikit pun rasa cinta itu ia berikan padaku? Apakah ada yang kurang dalam pengabdianku padanya selama ini? Apakah ada yang tak diinginkannya dariku sebagai seorang istri?
Sudah cukup sabar rasanya aku menahan semua ini. Menahan rasa cinta yang tak kunjung terbalas olehnya. Katakan padaku Ya Allah, kapan sekiranya dia mau membukakan pintu hatinya untukku?
Malam ini aku sendiri. Dan lagi-lagi aku harus mengeluarkan air mataku untuknya yang sekarang entah berada dimana. Aku lelah Ya Allah. Bahkan untuk tetap mencintainya saja, kurasa aku sudah tak sanggup lagi. Tapi tak sedikit pun aku berniat menghilangkan dia dari ingatanku. Biarlah aku menanggung derita ini diatas rasa cinta yang kuusahakan untuk tetap bertahan.
Ya Allah,
Aku sudah memaafkan segala sikapnya selama ini padaku. Tapi aku mohon, janganlah Engkau mencatat segala perbuatannya itu sebagai sebuah kezhaliman. Sungguh, aku sudah memaafkannya dan aku ikhlas dengan semua keadaan ini. Aku hanya ingin Kau menempatkan dia di tempat yang layak di sisiMu. Aku mohon.
Ya Allah,
Selama aku menjadi istrinya, mungkin banyak kekurangan yang hadir pada diriku yang tidak ia sukai. Aku mohon, bantulah aku memperbaiki semuanya. Bantulah aku membahagiakan dirinya, meskipun hal itu amat sangat menyakitkan untukku.
Sekiranya Engkau mengizinkan, biarkanlah aku berbagi cinta pada yang lain. Biarkanlah aku berbagi hidup pada hambaMu yang lain, yang namanya sudah sejak lama bertahta di kedalaman relung hatinya. Tegarkanlah hatiku ketika aku harus menyaksikan waktu membawa suamiku pergi pada bunga yang lain. Kuatkanlah imanku ketika aku harus berbagi suami pada yang lain, pada Alifa.
Aku hanya berharap satu pahala dariMu. Karena aku tahu, Alifa membutuhkan seorang suami dan bayi yang ada dalam kandungannya butuh seorang ayah. Jika sosok itu adalah suamiku, maka dengan segenap hati dan jiwa, aku bersedia.”
Seusai merekam suaraku dalam tape recorder sambil terisak, kusimpan kaset rekaman dan tape recordernya di dalam laci mejaku. Kuseka air mataku dan aku kembali tidur dengan perasaan yang masih gundah memikirkan Mas Yusuf.
* * *
Pagi hari ketika jam sudah menunjukkan pukul 06.00, pintu rumah ada yang membuka. Aku yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung melangkah ke ruang tamu.
”Dari mana Mas?” Tanyaku pada seseorang yang ternyata adalah Mas Yusuf.
Dia hanya diam sambil membuka kaos kakinya di kursi. Tanpa menjawab pertanyaanku dia malah berjalan ke kamar. Aku mengikutinya.
”Mas, kamu dari mana aku tanya?”
”Sudahlah!” Bentak Mas Yusuf mengejutkanku.
”Kamu selalu mau tahu saja urusanku”
Aku benar-benar kaget mendengar bentakan Mas Yusuf yang bagai anak panah menikam jantungku. Aku masih terdiam sementara Mas Yusuf kembali bersuara.
”Yang pasti aku tidak berselingkuh karena hal itu tidak mungkin aku lakukan”
”Ya aku tahu hal itu” Sahutku berusaha untuk tenang.
”Lagipula tak pernah sedikit pun aku berpikir kalau kamu selingkuh. Kita sama-sama orang yang beriman.Aku hanya ingin tahu dari mana saja kamu semalam sampai tidak
pulang? Tidak kasih kabar atau pun sms. Aku telepon hand phone mu tidak aktif. Akhirnya aku kirim sms. Apa telah kau baca?”
Lagi-lagi dia hanya diam sambil menganggukkan kepalanya.
”Lalu kenapa tidak kau balas untuk memberitahukan dimana kamu berada? Sungguh aku khawatir dengan keadaanmu. Ingat Mas, walau pun kamu tidak mencintaiku, tapi biar gimana pun aku ini istri kamu. Jadi wajar jika kamu tidak pulang semalaman tanpa kabar, akan ada seorang wanita yang membasahi bantalnya dengan air mata dan itu adalah aku. Katakan Mas, dari mana kamu semalam dan kenapa tidak membalas sms ku?”
Mas Yusuf terdiam sesaat lalu menjawab dengan ragu-ragu.
”Aku...aku habis dari rumah Bule Rinta...”
”Bule Rinta?!” Putusku dengan penuh tanya.
”Ada apa dengan Bule Rinta?”
”Kemarin, dirumahnya ada acara....selametan anaknya yang mau di khitan..” Jawab Mas Yusuf tenang.
”Selametan? Dirumah Bule Rinta ada selametan?”
Mas Yusuf mengangguk pelan sambil mengganti pakaiannya.
”Kenapa kamu tidak memberi tahu aku kalau dirumah Bule Rinta ada selametan? Kalau aku tahu kan aku bisa datang. Kenapa kamu tidak memberi tahu aku Mas? Kenapa kamu pergi sendiri?”
”Ya...ya, karena acara kemarin baru hanya selametan. Nanti kalau acara khitanannya akan dilaksanakan baru aku kasih tahu” Jawab Mas Yusuf seolah tak bersalah.
”Kamu terlalu Mas” Ucapku sambil menahan tangisku di tenggorokan.
”Kamu anggap apa aku? Apa kata keluarga kamu ketika mereka melihat kamu datang sendiri? Apa kamu juga ingin membuat mereka jadi membenci aku? Ingat Mas, mereka tahunya kita saling mencintai. Dan kamu juga harus ingat, aku ini istri kamu. Wanita yang sudah sah kamu nikahi setahun yang lalu. Aku harap kamu tidak melupakan hal itu.
”Tolonglah Mas. Untuk urusan keluargamu janganlah tertutup padaku. Setahun Mas, sudah setahun kita menikah. Tapi sejujurnya, aku tidak pernah merasakan bahagianya menjadi seorang istri. Katakan padaku Mas, apakah ini kesalahanku jika kau tidak mencintaiku? Apakah ini kesalahanku jika kau menikahiku? Dimana letak kesalahanku sehingga kau tega menghukumku seberat ini? Dimana Mas?”
Tak terasa air mataku jatuh menetes. Aku tak kuat lagi menahan air mata ini. Aku menunduk sementara Mas Yusuf hanya diam di tempatnya berdiri kini.
”Mungkin sudah saatnya aku mengatakan hal ini” Ucapku dengan penuh ketegasan. Ku seka air mataku. Mas Yusuf terlihat penasaran.
”Di dalam biduk rumah tangga kita memang tidak pernah ada cinta yang menghiasi. Tapi aku berharap tidak pernah ada pula kata perceraian di antara kita. Karena Allah sangat membenci hal itu. Tapi kalau hal ini dibiarkan, aku tahu hatimu akan sakit selamanya. Jadi aku mempunyai saran untukmu agar kau bisa hidup bahagia tanpa harus menceraikan aku karena aku tidak ingin kau menceraikanku.....”
”Apa maksudmu?” Tanya Mas Yusuf penasaran.
Aku terdiam sejenak sambil menghela nafasku. Kutatap kedua matanya.
”Nikahi Alifa......”
”Apa?! Apa maksud perkataanmu?” Tanya Mas Yusuf menghampiriku.
”Nikahi Alifa karena kini dia sudah menjadi seorang janda...” Ucapku menegaskan.
”Janda?! Alifa sudah menjadi janda?”
”Ya. Sudah tiga bulan Alifa menjadi seorang janda. Seminggu setelah pernikahannya suaminya meninggal akibat kecelakaan kereta api. Sekarang kondisi Alifa menurun dan kini dia dirawat dirumah sakit”
”Menurun?”
”Ya. Kondisi itu disebabkan karena dia tidak bisa menahan stres dan tekanan batin atas kepergian suaminya. Dan satu-satunya jalan agar dapat menolong Alifa dari koma, adalah mencarikan seorang suami untuknya yang dapat menggantikan kasih sayang suaminya yang seharusnya ia dapatkan sejak pertama ia menikah”
”A, aku tidak mengerti apa yang kamu katakan...”
”Alifa butuh kamu untuk dapat mengembalikan semangat hidupnya. Dan bayi yang ada dalam kandungannya butuh seorang ayah. Waktunya tidak banyak lagi. Kalau terlambat, maka dokter pun tidak bisa menjamin kalau Alifa bisa selamat dan bayi dalam kandungannya juga akan bertahan lama”
Mas Yusuf terlihat cemas sekali. Mungkin dia tidak mengira kalau Alifa akan bernasib seperti ini. Dia tak bisa berkata apa-apa.
”Aku mohon Mas. Terimalah tawaranku ini. Jika kau melakukan hal ini, maka akan banyak jiwa yang kamu tolong. Kau menolong Alifa dari status jandanya, kau menolong bayi yang ada dalam kandungannya dari status yatim, kau menolong hatimu dari kekosongan cinta akan seorang istri, dan kau pun menolongku untuk membahagiakan suamiku, kamu. Aku mohon” Ucapku dengan penuh harap padanya.
Mas Yusuf melangkahkan kakinya keluar kamar. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Dia duduk di ruang tamu sambil termenung. Raut wajahnya tampak cemas dan bingung. Tiba-tiba dia bangkit dari duduknya.
”Tapi tidak semudah itu untuk berpoligami. Lagi pula tidak pernah terpikir sedikit pun dalam benakku kalau aku ingin menikah lagi. Hanya kamu istriku dan satu-satunya istriku...”
”Istri yang tidak pernah diperlakukan seperti seorang istri? Istri yang tidak pernah merasa bahwa dirinya itu seorang istri?”
Mas Yusuf terdiam menatapku. Kulangkahkan kakiku menghampirinya.
”Aku hanya ingin kamu bahagia. Kamu memang tidak bisa menemukan kebahagiaan itu denganku, tapi kamu masih punya kesempatan untuk bisa hidup bahagia dengan Alifa. Selain itu kamu juga bisa memberikan kebahagiaan pada Alifa dan bayi yang dikandungnya. Kamu mengerti kan Mas?”
Aku rasakan mataku basah. Setetes bening tiba-tiba saja mengaliri pipiku.
”Aku harap kamu bisa mempertimbangkan saranku. Ini demi kebaikan kita semua. Aku yakin jika orang tua kita mengetahui hal ini, mereka pasti akan mengerti. Sepulang kerja nanti, aku tunggu jawabanmu”
Setelah itu aku masuk ke dalam kamar sambil mengunci pintunya. Aku tak kuat menahan sesak ini. Di balik pintu aku menangis. Aku begitu sedih. Semua perasaan bercampur menjadi satu.
”Rabbi....kuatkan aku.......”
”Dari mana Mas?” Tanyaku pada seseorang yang ternyata adalah Mas Yusuf.
Dia hanya diam sambil membuka kaos kakinya di kursi. Tanpa menjawab pertanyaanku dia malah berjalan ke kamar. Aku mengikutinya.
”Mas, kamu dari mana aku tanya?”
”Sudahlah!” Bentak Mas Yusuf mengejutkanku.
”Kamu selalu mau tahu saja urusanku”
Aku benar-benar kaget mendengar bentakan Mas Yusuf yang bagai anak panah menikam jantungku. Aku masih terdiam sementara Mas Yusuf kembali bersuara.
”Yang pasti aku tidak berselingkuh karena hal itu tidak mungkin aku lakukan”
”Ya aku tahu hal itu” Sahutku berusaha untuk tenang.
”Lagipula tak pernah sedikit pun aku berpikir kalau kamu selingkuh. Kita sama-sama orang yang beriman.Aku hanya ingin tahu dari mana saja kamu semalam sampai tidak
pulang? Tidak kasih kabar atau pun sms. Aku telepon hand phone mu tidak aktif. Akhirnya aku kirim sms. Apa telah kau baca?”
Lagi-lagi dia hanya diam sambil menganggukkan kepalanya.
”Lalu kenapa tidak kau balas untuk memberitahukan dimana kamu berada? Sungguh aku khawatir dengan keadaanmu. Ingat Mas, walau pun kamu tidak mencintaiku, tapi biar gimana pun aku ini istri kamu. Jadi wajar jika kamu tidak pulang semalaman tanpa kabar, akan ada seorang wanita yang membasahi bantalnya dengan air mata dan itu adalah aku. Katakan Mas, dari mana kamu semalam dan kenapa tidak membalas sms ku?”
Mas Yusuf terdiam sesaat lalu menjawab dengan ragu-ragu.
”Aku...aku habis dari rumah Bule Rinta...”
”Bule Rinta?!” Putusku dengan penuh tanya.
”Ada apa dengan Bule Rinta?”
”Kemarin, dirumahnya ada acara....selametan anaknya yang mau di khitan..” Jawab Mas Yusuf tenang.
”Selametan? Dirumah Bule Rinta ada selametan?”
Mas Yusuf mengangguk pelan sambil mengganti pakaiannya.
”Kenapa kamu tidak memberi tahu aku kalau dirumah Bule Rinta ada selametan? Kalau aku tahu kan aku bisa datang. Kenapa kamu tidak memberi tahu aku Mas? Kenapa kamu pergi sendiri?”
”Ya...ya, karena acara kemarin baru hanya selametan. Nanti kalau acara khitanannya akan dilaksanakan baru aku kasih tahu” Jawab Mas Yusuf seolah tak bersalah.
”Kamu terlalu Mas” Ucapku sambil menahan tangisku di tenggorokan.
”Kamu anggap apa aku? Apa kata keluarga kamu ketika mereka melihat kamu datang sendiri? Apa kamu juga ingin membuat mereka jadi membenci aku? Ingat Mas, mereka tahunya kita saling mencintai. Dan kamu juga harus ingat, aku ini istri kamu. Wanita yang sudah sah kamu nikahi setahun yang lalu. Aku harap kamu tidak melupakan hal itu.
”Tolonglah Mas. Untuk urusan keluargamu janganlah tertutup padaku. Setahun Mas, sudah setahun kita menikah. Tapi sejujurnya, aku tidak pernah merasakan bahagianya menjadi seorang istri. Katakan padaku Mas, apakah ini kesalahanku jika kau tidak mencintaiku? Apakah ini kesalahanku jika kau menikahiku? Dimana letak kesalahanku sehingga kau tega menghukumku seberat ini? Dimana Mas?”
Tak terasa air mataku jatuh menetes. Aku tak kuat lagi menahan air mata ini. Aku menunduk sementara Mas Yusuf hanya diam di tempatnya berdiri kini.
”Mungkin sudah saatnya aku mengatakan hal ini” Ucapku dengan penuh ketegasan. Ku seka air mataku. Mas Yusuf terlihat penasaran.
”Di dalam biduk rumah tangga kita memang tidak pernah ada cinta yang menghiasi. Tapi aku berharap tidak pernah ada pula kata perceraian di antara kita. Karena Allah sangat membenci hal itu. Tapi kalau hal ini dibiarkan, aku tahu hatimu akan sakit selamanya. Jadi aku mempunyai saran untukmu agar kau bisa hidup bahagia tanpa harus menceraikan aku karena aku tidak ingin kau menceraikanku.....”
”Apa maksudmu?” Tanya Mas Yusuf penasaran.
Aku terdiam sejenak sambil menghela nafasku. Kutatap kedua matanya.
”Nikahi Alifa......”
”Apa?! Apa maksud perkataanmu?” Tanya Mas Yusuf menghampiriku.
”Nikahi Alifa karena kini dia sudah menjadi seorang janda...” Ucapku menegaskan.
”Janda?! Alifa sudah menjadi janda?”
”Ya. Sudah tiga bulan Alifa menjadi seorang janda. Seminggu setelah pernikahannya suaminya meninggal akibat kecelakaan kereta api. Sekarang kondisi Alifa menurun dan kini dia dirawat dirumah sakit”
”Menurun?”
”Ya. Kondisi itu disebabkan karena dia tidak bisa menahan stres dan tekanan batin atas kepergian suaminya. Dan satu-satunya jalan agar dapat menolong Alifa dari koma, adalah mencarikan seorang suami untuknya yang dapat menggantikan kasih sayang suaminya yang seharusnya ia dapatkan sejak pertama ia menikah”
”A, aku tidak mengerti apa yang kamu katakan...”
”Alifa butuh kamu untuk dapat mengembalikan semangat hidupnya. Dan bayi yang ada dalam kandungannya butuh seorang ayah. Waktunya tidak banyak lagi. Kalau terlambat, maka dokter pun tidak bisa menjamin kalau Alifa bisa selamat dan bayi dalam kandungannya juga akan bertahan lama”
Mas Yusuf terlihat cemas sekali. Mungkin dia tidak mengira kalau Alifa akan bernasib seperti ini. Dia tak bisa berkata apa-apa.
”Aku mohon Mas. Terimalah tawaranku ini. Jika kau melakukan hal ini, maka akan banyak jiwa yang kamu tolong. Kau menolong Alifa dari status jandanya, kau menolong bayi yang ada dalam kandungannya dari status yatim, kau menolong hatimu dari kekosongan cinta akan seorang istri, dan kau pun menolongku untuk membahagiakan suamiku, kamu. Aku mohon” Ucapku dengan penuh harap padanya.
Mas Yusuf melangkahkan kakinya keluar kamar. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Dia duduk di ruang tamu sambil termenung. Raut wajahnya tampak cemas dan bingung. Tiba-tiba dia bangkit dari duduknya.
”Tapi tidak semudah itu untuk berpoligami. Lagi pula tidak pernah terpikir sedikit pun dalam benakku kalau aku ingin menikah lagi. Hanya kamu istriku dan satu-satunya istriku...”
”Istri yang tidak pernah diperlakukan seperti seorang istri? Istri yang tidak pernah merasa bahwa dirinya itu seorang istri?”
Mas Yusuf terdiam menatapku. Kulangkahkan kakiku menghampirinya.
”Aku hanya ingin kamu bahagia. Kamu memang tidak bisa menemukan kebahagiaan itu denganku, tapi kamu masih punya kesempatan untuk bisa hidup bahagia dengan Alifa. Selain itu kamu juga bisa memberikan kebahagiaan pada Alifa dan bayi yang dikandungnya. Kamu mengerti kan Mas?”
Aku rasakan mataku basah. Setetes bening tiba-tiba saja mengaliri pipiku.
”Aku harap kamu bisa mempertimbangkan saranku. Ini demi kebaikan kita semua. Aku yakin jika orang tua kita mengetahui hal ini, mereka pasti akan mengerti. Sepulang kerja nanti, aku tunggu jawabanmu”
Setelah itu aku masuk ke dalam kamar sambil mengunci pintunya. Aku tak kuat menahan sesak ini. Di balik pintu aku menangis. Aku begitu sedih. Semua perasaan bercampur menjadi satu.
”Rabbi....kuatkan aku.......”
* * *
Tiga Belas
Waktu berjalan begitu cepat rasanya. Aku masih ingat betul seperti apa raut wajah Mas Yusuf ketika dia mengetahui keadaan Alifa saat ini.
Dari kantor aku langsung pergi kerumah sakit untuk menjenguk Alifa. Kondisinya tidak begitu baik dari waktu aku menjenguknya pertama kali. Tak lama aku disana. Namun kali ini aku bertemu dengan mertua Alifa dan beberapa anggota keluarganya. Satu informasi lagi, sampai sekarang belum ada seorang laki-laki pun yang mau menikahi Alifa. Aku hanya bisa mengelus dada dan berucap dalam hati, kalau saja mereka tahu siapa yang nantinya hendak menikahi Alifa.
Setelah dari rumah sakit aku langsung pulang kerumah. Jujur, aku sudah tidak sabar mendengar jawaban Mas Yusuf. Tapi sampai maghrib menjelang, Mas Yusuf belum juga pulang. Aku coba menghubunginya lewat hand phone tapi tidak aktif. Mungkin dia pergi lagi kerumah Bule Rinta, atau mungkin, dia pergi menjenguk Alifa di rumah sakit? Entahlah, aku sudah mulai cemas.
Tiba-tiba hand phone-ku berdering. Kulihat satu nomor yang tidak kukenal. Kuangkat.
”Assalamu’alaikum”
”Wa’alaikumussalam. Apa benar ini Ibu Dinda?” Suara seorang laki-laki tak kukenal menjawab salamku.
”Iya benar, saya Dinda. Maaf ini siapa ya?”
”Saya Pak Azril, petugas kepolisian”
”Petugas kepolisian?”
”Iya. Saya ingin memberitahukan bahwa suami ibu yang bernama Yusuf saat ini ada di rumah sakit...”
”Di rumah sakit? A, ada apa dengannya Pak?” Tanyaku dengan panik.
”Tadi siang suami ibu kecelakaan. Motor yang dikendarainya menabrak pembatas jalan dan akhirnya dia terpental sejauh lima belas meter dari lokasi kejadian. Kondisinya saat ini sangat kritis dan dia belum sadarkan diri”
Suara petugas kepolisian itu bagaikan sebuah petir yang menyambar tubuhku. Aku bingung harus berbuat apa. Setelah polisi itu memberitahukan dimana Mas Yusuf dirawat sekarang, aku langsung bergegas pergi kesana. Tiba-tiba aku teringat. Mas Yusuf dirawat di rumah sakit yang sama dengan rumah sakit dimana Alifa dirawat. Apa mungkin Mas Yusuf berniat menjenguk Alifa disana dan akhirnya dia kecelakaan di tempat yang tak jauh dari rumah sakit?
Belum sempat aku menemukan jawaban itu, aku langsung pergi ke Pasar Rebo untuk mengetahui kondisi Mas Yusuf sekarang. Di dalam taxi aku tak bisa berhenti menangis. Mungkin supir taxi yang membawaku ke rumah sakit melihatku dengan heraan, kenapa dari tadi aku menangis? Diapun tak berani menanyakan perihal itu padaku.
Setelah aku membayar ongkos taxinya aku langsung berlari ke ruang UGD18 untuk mencari suamiku, Mas Yusuf. Kupandangi semua pasien yang ada di ruang itu, dan...ada. Di pojok ruangan aku melihat Mas Yusuf tengah terbaring tak berdaya bersama dua orang polisi yang kini menemaninya. Segera saja aku menghampirinya.
”Permisi Pak. Saya Dinda, istrinya Yusuf” Ucapku pada dua orang polisi itu.
”Oh, anda yang bernama Dinda. Silahkan, ini suamimu” Sahut seorang polisi yang mengenakan jaket tebal dan berkumis. Aku mengangguk pelan dan segera mengalihkan pandanganku pada Mas Yusuf.
Di keningnya terdapat perban yang membalut lukanya. Di tangan kanannya pun terdapat sebuah jarum yang ditusukkan untuk mengaliri cairan infus kedalam tubuhnya. Wajahnya penuh luka memar. Mungkin saat kecelakaan, wajahnya terhantam benda keras.
”Bagaimana keadannya Pak?” Tanyaku pada salah satu polisi itu.
”Coba Mbak tanyakan saja keadaan suami Mbak pada dokter atau suster yang ada disana” Jawab polisi itu sambil menunjuk kearah seorang dokter dan dua orang perawatnya.
Aku mengangguk dan menghampiri dokter itu. Setelah dokter itu memberitahukan kondisi Mas Yusuf sekarang, aku langsung disuruh mengurus administrasi agar Mas Yusuf bisa segera dipindahkan ke ruang rawat inap.
Aku menurut saja.
Karena aku tidak membawa uang banyak di tas, aku mengambil tabunganku di ATM. Setelah urusan administrasi selesai, Mas Yusuf segera dipindahkan ke ruang rawat inap kelas satu. Aku hanya ingin Mas Yusuf mendapat perawatan yang benar-benar intensif agar dia bisa cepat sembuh.
Air mataku tidak bisa berhenti sampai Mas Yusuf di pindahkan ke ruang rawat inap. Aku teringat Alifa. Sebelumnya aku sempat bertanya pada polisi yang tadi menemani Mas Yusuf, dimana lokasi kecelakaan itu. Dan polisi itu mengatakan bahwa lokasi kejadian itu tak jauh dari Rumah Sakit Pasar Rebo. Maka dari itu Mas Yusuf dibawa kesini.
Aku sempat mengaitkan kejadian itu dengan keadaan Alifa saat ini. Mungkin saja Mas Yusuf telat pulang kerumah karena hendak menjenguk Alifa. Aku pun menyempatkan diri menjenguk Alifa yang berada satu lantai dibawah lantai Mas Yusuf dirawat kini. Kondisinya masih belum menunjukkan perubahan. Sampai sekarang belum ada satu orang pun yang mau menikahinya. Kalau saja orang tua Alifa tahu siapa yang sebenarnya hendak menikahi putrinya itu, mereka pasti akan terkejut. Tapi sayang, kondisi Mas Yusuf pun tak jauh berbeda dengan kondisi Alifa saat ini.
Aku kembali lagi ke kamar Mas Yusuf. Aku duduk disampingnya sambil memandangi wajahnya yang pucat. Tanpa terasa air mataku jatuh menetes. Di sela-sela waktu itu aku teringat, aku belum shalat Isya. Kuputuskan untuk mencari masjid terdekat.
Setelah shalat Isya, aku berdiam diri sejenak di masjid. Merenungi segala kejadian yang baru saja aku alami. Tiba-tiba aku teringat, aku belum memberi kabar pada orang tua dan mertuaku.
Kupencet nomor telepon orang tuaku dan kuberitahukan keadaan Mas Yusuf saat ini. Mereka benar-benar tidak menyangka akan hal ini dan mereka berniat menjenguk Mas Yusuf malam ini juga. Tapi aku bilang bahwa mereka tidak usah menjenguk Mas Yusuf sekarang karena hari juga sudah larut. Mereka memahami.
Setelah menghubungi orang tuaku, aku langsung menghubungi mertuaku. Mereka tidak bisa menahan tangis haru saat aku beri tahu bahwa Mas Yusuf kecelakaan. Sama seperti orang tuaku, mereka ingin menjenguk Mas Yusuf sekarang tapi aku juga melarang mereka dengan alasan hari sudah semakin malam. Tapi ibu mertuaku bersi keras dan ingin tetap menjenguk Mas Yusuf malam ini juga.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku pun hanya bisa menangis saat ibu mertuaku menyuruhku untuk tabah. Malam ini adalah malam yang sangat menyedihkan untukku.
Kuputuskan untuk kembali ke kamar dan menemani Mas Yusuf disana. Aku ingin memberikan seluruh kasih sayangku padanya sampai dia tahu kalau aku benar-benar mencintainya.
Waktu berjalan begitu cepat rasanya. Aku masih ingat betul seperti apa raut wajah Mas Yusuf ketika dia mengetahui keadaan Alifa saat ini.
Dari kantor aku langsung pergi kerumah sakit untuk menjenguk Alifa. Kondisinya tidak begitu baik dari waktu aku menjenguknya pertama kali. Tak lama aku disana. Namun kali ini aku bertemu dengan mertua Alifa dan beberapa anggota keluarganya. Satu informasi lagi, sampai sekarang belum ada seorang laki-laki pun yang mau menikahi Alifa. Aku hanya bisa mengelus dada dan berucap dalam hati, kalau saja mereka tahu siapa yang nantinya hendak menikahi Alifa.
Setelah dari rumah sakit aku langsung pulang kerumah. Jujur, aku sudah tidak sabar mendengar jawaban Mas Yusuf. Tapi sampai maghrib menjelang, Mas Yusuf belum juga pulang. Aku coba menghubunginya lewat hand phone tapi tidak aktif. Mungkin dia pergi lagi kerumah Bule Rinta, atau mungkin, dia pergi menjenguk Alifa di rumah sakit? Entahlah, aku sudah mulai cemas.
Tiba-tiba hand phone-ku berdering. Kulihat satu nomor yang tidak kukenal. Kuangkat.
”Assalamu’alaikum”
”Wa’alaikumussalam. Apa benar ini Ibu Dinda?” Suara seorang laki-laki tak kukenal menjawab salamku.
”Iya benar, saya Dinda. Maaf ini siapa ya?”
”Saya Pak Azril, petugas kepolisian”
”Petugas kepolisian?”
”Iya. Saya ingin memberitahukan bahwa suami ibu yang bernama Yusuf saat ini ada di rumah sakit...”
”Di rumah sakit? A, ada apa dengannya Pak?” Tanyaku dengan panik.
”Tadi siang suami ibu kecelakaan. Motor yang dikendarainya menabrak pembatas jalan dan akhirnya dia terpental sejauh lima belas meter dari lokasi kejadian. Kondisinya saat ini sangat kritis dan dia belum sadarkan diri”
Suara petugas kepolisian itu bagaikan sebuah petir yang menyambar tubuhku. Aku bingung harus berbuat apa. Setelah polisi itu memberitahukan dimana Mas Yusuf dirawat sekarang, aku langsung bergegas pergi kesana. Tiba-tiba aku teringat. Mas Yusuf dirawat di rumah sakit yang sama dengan rumah sakit dimana Alifa dirawat. Apa mungkin Mas Yusuf berniat menjenguk Alifa disana dan akhirnya dia kecelakaan di tempat yang tak jauh dari rumah sakit?
Belum sempat aku menemukan jawaban itu, aku langsung pergi ke Pasar Rebo untuk mengetahui kondisi Mas Yusuf sekarang. Di dalam taxi aku tak bisa berhenti menangis. Mungkin supir taxi yang membawaku ke rumah sakit melihatku dengan heraan, kenapa dari tadi aku menangis? Diapun tak berani menanyakan perihal itu padaku.
Setelah aku membayar ongkos taxinya aku langsung berlari ke ruang UGD18 untuk mencari suamiku, Mas Yusuf. Kupandangi semua pasien yang ada di ruang itu, dan...ada. Di pojok ruangan aku melihat Mas Yusuf tengah terbaring tak berdaya bersama dua orang polisi yang kini menemaninya. Segera saja aku menghampirinya.
”Permisi Pak. Saya Dinda, istrinya Yusuf” Ucapku pada dua orang polisi itu.
”Oh, anda yang bernama Dinda. Silahkan, ini suamimu” Sahut seorang polisi yang mengenakan jaket tebal dan berkumis. Aku mengangguk pelan dan segera mengalihkan pandanganku pada Mas Yusuf.
Di keningnya terdapat perban yang membalut lukanya. Di tangan kanannya pun terdapat sebuah jarum yang ditusukkan untuk mengaliri cairan infus kedalam tubuhnya. Wajahnya penuh luka memar. Mungkin saat kecelakaan, wajahnya terhantam benda keras.
”Bagaimana keadannya Pak?” Tanyaku pada salah satu polisi itu.
”Coba Mbak tanyakan saja keadaan suami Mbak pada dokter atau suster yang ada disana” Jawab polisi itu sambil menunjuk kearah seorang dokter dan dua orang perawatnya.
Aku mengangguk dan menghampiri dokter itu. Setelah dokter itu memberitahukan kondisi Mas Yusuf sekarang, aku langsung disuruh mengurus administrasi agar Mas Yusuf bisa segera dipindahkan ke ruang rawat inap.
Aku menurut saja.
Karena aku tidak membawa uang banyak di tas, aku mengambil tabunganku di ATM. Setelah urusan administrasi selesai, Mas Yusuf segera dipindahkan ke ruang rawat inap kelas satu. Aku hanya ingin Mas Yusuf mendapat perawatan yang benar-benar intensif agar dia bisa cepat sembuh.
Air mataku tidak bisa berhenti sampai Mas Yusuf di pindahkan ke ruang rawat inap. Aku teringat Alifa. Sebelumnya aku sempat bertanya pada polisi yang tadi menemani Mas Yusuf, dimana lokasi kecelakaan itu. Dan polisi itu mengatakan bahwa lokasi kejadian itu tak jauh dari Rumah Sakit Pasar Rebo. Maka dari itu Mas Yusuf dibawa kesini.
Aku sempat mengaitkan kejadian itu dengan keadaan Alifa saat ini. Mungkin saja Mas Yusuf telat pulang kerumah karena hendak menjenguk Alifa. Aku pun menyempatkan diri menjenguk Alifa yang berada satu lantai dibawah lantai Mas Yusuf dirawat kini. Kondisinya masih belum menunjukkan perubahan. Sampai sekarang belum ada satu orang pun yang mau menikahinya. Kalau saja orang tua Alifa tahu siapa yang sebenarnya hendak menikahi putrinya itu, mereka pasti akan terkejut. Tapi sayang, kondisi Mas Yusuf pun tak jauh berbeda dengan kondisi Alifa saat ini.
Aku kembali lagi ke kamar Mas Yusuf. Aku duduk disampingnya sambil memandangi wajahnya yang pucat. Tanpa terasa air mataku jatuh menetes. Di sela-sela waktu itu aku teringat, aku belum shalat Isya. Kuputuskan untuk mencari masjid terdekat.
Setelah shalat Isya, aku berdiam diri sejenak di masjid. Merenungi segala kejadian yang baru saja aku alami. Tiba-tiba aku teringat, aku belum memberi kabar pada orang tua dan mertuaku.
Kupencet nomor telepon orang tuaku dan kuberitahukan keadaan Mas Yusuf saat ini. Mereka benar-benar tidak menyangka akan hal ini dan mereka berniat menjenguk Mas Yusuf malam ini juga. Tapi aku bilang bahwa mereka tidak usah menjenguk Mas Yusuf sekarang karena hari juga sudah larut. Mereka memahami.
Setelah menghubungi orang tuaku, aku langsung menghubungi mertuaku. Mereka tidak bisa menahan tangis haru saat aku beri tahu bahwa Mas Yusuf kecelakaan. Sama seperti orang tuaku, mereka ingin menjenguk Mas Yusuf sekarang tapi aku juga melarang mereka dengan alasan hari sudah semakin malam. Tapi ibu mertuaku bersi keras dan ingin tetap menjenguk Mas Yusuf malam ini juga.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku pun hanya bisa menangis saat ibu mertuaku menyuruhku untuk tabah. Malam ini adalah malam yang sangat menyedihkan untukku.
Kuputuskan untuk kembali ke kamar dan menemani Mas Yusuf disana. Aku ingin memberikan seluruh kasih sayangku padanya sampai dia tahu kalau aku benar-benar mencintainya.
* * *
Hari-hari aku lalui dengan kesabaran dan keikhlasan. Sudah dua hari Mas Yusuf dirawat dan sampai sekarang dia belum sadarkan diri. Dokter bilang ini disebabkan oleh reaksi obat yang masuk kedalam tubuhnya. Mungkin beberapa jam lagi dia akan sadar kembali. Tapi aku tidak bisa menahan rasa cemasku padanya.
Di setiap shalatku, selalu aku menyebut namanya di akhir do’aku agar Allah berkenan menyembuhkannya. Aku tak kuasa menahan air mataku kala aku menatap wajahnya.
Sudah dua hari ini aku menemani Mas Yusuf. Aku sudah meminta izin cuti pada pihak kantor. Alhamdulullah mereka mengizinkan. Semalam dari pihak penerbit yang hendak menerbitkan novelku juga kembali menghubungi karena aku lupa memberikan prakata ucapan terima kasih pada mereka. Aku sampaikan alasanku kenapa aku sampai lupa. Alhamdulullah juga mereka mengerti dan berencana mengundurkan proses penerbitan novelku.
Selama aku menemani Mas Yusuf, aku selalu menyempatkan diri menjenguk Alifa juga dikamarnya. Masih tak ada perubahan. Terakhir aku menemuinya, aku diberi tahu oleh pihak keluarganya bahwa ada seorang laki-laki yang datang menjenguk Alifa membawa serta kedua orang tuanya.
Laki-laki yang datang itu hendak meminang Alifa sebagai istrinya. Dia bersedia membantu Alifa mempertahankan hidupnya. Tapi ketika kutanya siapa laki-laki itu, pihak keluarga Alifa tidak bisa memberi tahu siapa dia. Semua itu mereka lakukan atas permintaan laki-laki itu. Aku pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Aku kembali ke kamar. Tak terasa matahari sudah menyembunyikan dirinya di peraduannya. Tadi siang ayah dan ibu mertuaku datang menjenguk Mas Yusuf. Selepas Ashar, mereka pulang. Dan tinggal aku sendiri di dalam kamar menemani Mas Yusuf yang belum juga sadar sampai detik ini.
Selama dia tak sadarkan diri, aku yang membasuh tubuhnya dengan handuk kecil basah. Aku tak kuasa melihat tubuhnya yang penuh luka akibat kecelakaan itu. Dokter bilang memang tidak ada yang serius tapi aku sebagai istrinya benar-benar khawatir akan keadaannya saat ini.
Dari luar, terdengar azan Maghrib berkumandang. Aku lansung bergegas mengambil air wudhu dan langsung menunaikan shalat Maghrib di samping tempat tidur Mas Yusuf.
Selesai shalat, aku bermunajat pada Tuhan semesta alam. Ku adukan semua gundah gulanaku saat ini. Sambil ditemani air mata yang terus mengalir dari ujung mataku, aku berdo’a untuk kesembuhan Mas Yusuf. Dan tak lupa juga kebaikan atas pernikahanku. Aku mengharapkan yang terbaik dari keputusan yang nantinya akan Mas Yusuf berikan padaku. Apakah dia bersedia menikahi Alifa atau tidak. Aku juga masih memikirkan siapa laki-laki yang datang dan hendak meminang Alifa itu.
Aku sudah merelakan sepenuhnya hatiku pada Rabb penggenggam hati seluruh makhluk di dunia ini, Allah Swt. Aku benar-benar ikhlas kalau nantinya Mas Yusuf sadar dan dia memutuskan untuk berkenan menikahi Alifa. Semuanya aku ucapkan dengan penuh pengharapan bahwa Allah berkenen memberikan yang terbaik untukku, Mas Yusuf, dan Alifa.
Kusudahi doa panjangku. Kulanjutkan dengan membaca Al Ma’tsurat dan tilawah Qur’an beberapa lembar. Selesai itu, kulipat sajadah dan kuletakan di pinggir kursi. Dengan masih mengenakan mukena, kuhampiri Mas Yusuf dengan mata yang sedikit memerah akibat menangis.
Kuseret kursi yang ada dan kududukkan tubuhku disana. Kubetulkan selimut yang menutupi tubuhnya. Sesaat kutatap wajahnya yang begitu putih dan bersih. Perlahan kuberanikan diri menyentuh tangannya. Kugenggam dengan erat seperti tak ingin melepasnya.
Inilah untuk yang pertama kalinya aku menggenggam tangan suamiku setelah setahun pernikahan. Kuciumi tangannya sambil berucap kata-kata mesara untuknya. Sekali lagi aku tak kuasa menahan tangisku. Tangis yang begitu menyedihkan untukku. Sedih karena Mas Yusuf belum juga sadar dan sedih karena sampai saat ini, Mas Yusuf belum juga bisa menerimaku sebagai istrinya.
Di setiap shalatku, selalu aku menyebut namanya di akhir do’aku agar Allah berkenan menyembuhkannya. Aku tak kuasa menahan air mataku kala aku menatap wajahnya.
Sudah dua hari ini aku menemani Mas Yusuf. Aku sudah meminta izin cuti pada pihak kantor. Alhamdulullah mereka mengizinkan. Semalam dari pihak penerbit yang hendak menerbitkan novelku juga kembali menghubungi karena aku lupa memberikan prakata ucapan terima kasih pada mereka. Aku sampaikan alasanku kenapa aku sampai lupa. Alhamdulullah juga mereka mengerti dan berencana mengundurkan proses penerbitan novelku.
Selama aku menemani Mas Yusuf, aku selalu menyempatkan diri menjenguk Alifa juga dikamarnya. Masih tak ada perubahan. Terakhir aku menemuinya, aku diberi tahu oleh pihak keluarganya bahwa ada seorang laki-laki yang datang menjenguk Alifa membawa serta kedua orang tuanya.
Laki-laki yang datang itu hendak meminang Alifa sebagai istrinya. Dia bersedia membantu Alifa mempertahankan hidupnya. Tapi ketika kutanya siapa laki-laki itu, pihak keluarga Alifa tidak bisa memberi tahu siapa dia. Semua itu mereka lakukan atas permintaan laki-laki itu. Aku pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Aku kembali ke kamar. Tak terasa matahari sudah menyembunyikan dirinya di peraduannya. Tadi siang ayah dan ibu mertuaku datang menjenguk Mas Yusuf. Selepas Ashar, mereka pulang. Dan tinggal aku sendiri di dalam kamar menemani Mas Yusuf yang belum juga sadar sampai detik ini.
Selama dia tak sadarkan diri, aku yang membasuh tubuhnya dengan handuk kecil basah. Aku tak kuasa melihat tubuhnya yang penuh luka akibat kecelakaan itu. Dokter bilang memang tidak ada yang serius tapi aku sebagai istrinya benar-benar khawatir akan keadaannya saat ini.
Dari luar, terdengar azan Maghrib berkumandang. Aku lansung bergegas mengambil air wudhu dan langsung menunaikan shalat Maghrib di samping tempat tidur Mas Yusuf.
Selesai shalat, aku bermunajat pada Tuhan semesta alam. Ku adukan semua gundah gulanaku saat ini. Sambil ditemani air mata yang terus mengalir dari ujung mataku, aku berdo’a untuk kesembuhan Mas Yusuf. Dan tak lupa juga kebaikan atas pernikahanku. Aku mengharapkan yang terbaik dari keputusan yang nantinya akan Mas Yusuf berikan padaku. Apakah dia bersedia menikahi Alifa atau tidak. Aku juga masih memikirkan siapa laki-laki yang datang dan hendak meminang Alifa itu.
Aku sudah merelakan sepenuhnya hatiku pada Rabb penggenggam hati seluruh makhluk di dunia ini, Allah Swt. Aku benar-benar ikhlas kalau nantinya Mas Yusuf sadar dan dia memutuskan untuk berkenan menikahi Alifa. Semuanya aku ucapkan dengan penuh pengharapan bahwa Allah berkenen memberikan yang terbaik untukku, Mas Yusuf, dan Alifa.
Kusudahi doa panjangku. Kulanjutkan dengan membaca Al Ma’tsurat dan tilawah Qur’an beberapa lembar. Selesai itu, kulipat sajadah dan kuletakan di pinggir kursi. Dengan masih mengenakan mukena, kuhampiri Mas Yusuf dengan mata yang sedikit memerah akibat menangis.
Kuseret kursi yang ada dan kududukkan tubuhku disana. Kubetulkan selimut yang menutupi tubuhnya. Sesaat kutatap wajahnya yang begitu putih dan bersih. Perlahan kuberanikan diri menyentuh tangannya. Kugenggam dengan erat seperti tak ingin melepasnya.
Inilah untuk yang pertama kalinya aku menggenggam tangan suamiku setelah setahun pernikahan. Kuciumi tangannya sambil berucap kata-kata mesara untuknya. Sekali lagi aku tak kuasa menahan tangisku. Tangis yang begitu menyedihkan untukku. Sedih karena Mas Yusuf belum juga sadar dan sedih karena sampai saat ini, Mas Yusuf belum juga bisa menerimaku sebagai istrinya.
* * *
”Saya terima nikahnya dan kawinnya, Alifa binti Sukirman dengan mas kawin tersebut. Tunai” Ucap Mas Yusuf dengan lantang.
Semua yang hadir memberikan tepuk tangan yang meriah. Diantara semua tamu yang hadir, mungkin hanya aku saja yang merasakan kepedihan dalam dada. Aku menatap Mas Yusuf dan Alifa dengan perasaan hancur.
Setelah akad nikah, Alifa membawa Mas Yusuf pergi meninggalkan aku sendiri. Aku duduk terdiam tanpa menghalangi mereka pergi. Mataku menangkap wajah Mas Yusuf tidak memancarkan kebahagiaan. Sedangkan Alifa, dia amat bahagia membawa Mas Ysuf pergi dari hadapanku.
Aku menangis atas ketidak berdayaanku mencegah Alifa pergi membawa Mas Yusuf.
Tiba-tiba, aku terbangun dari tidurku. Astaghfirullah! Ternyata semua hanya mimpi. Aku tertidur di tepi tempat tidur. Kuingat kembali mimpiku barusan. Mimpi tentang pernikahan Mas Yusuf dengan Alifa. Aku masih belum memikirkan bagaimana jadinya kalau hal itu sampai terjadi. Tapi yang aku herankan, kenapa dalam mimpi itu, Mas Yusuf terlihat tidak bahagia?
Kembali kupandangi wajah Mas Yusuf.
Kuseka air mataku. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tegar. Kuletakkan tangannya di tempat tidur. Kembali kutatap wajahnya. Sejurus kemudian, aku mendekatkan wajahku ke wajahnya. Dan....Subhanallah. Aku menciumnya.
Aku mencium bibirnya. Dan ini juga untuk yang pertama kalinya aku menciumnya setelah setahun pernikahan. Aku mencium bibirnya yang hangat. Ada perasaan bahagia, senang, cemas, dan takut. Seketika jantungku berdegup kencang. Ingin rasanya sekali lagi aku menciumnya tapi aku takut.
Aku takut kalau dia sampai tidak ridho dengan apa yang barusan aku lakukan padanya, Allah pasti akan murka terhadapku. Karena Ridho Allah adalah ridho suami. Bila suami tidak ridho, maka Allah pun tidak ridho pula.
Tiba-tiba ada perasaan berdosa yang seketika menyusup kedalam hatiku. Apakah aku berdosa bila menciumnya tanpa seizinnya? Rabbi maafkan aku.
Perlahan kumundurkan kakiku sambil menggeleng. ”Maafkan aku Mas, maafkan aku” Ucapku pelan.
Aku berbalik dan duduk di sofa yang tersedia disana. Sambil termenung, aku membuka mukenaku dan menggantinya dengan jilbab coklat.
Dari jarak yang tidak terlalu jauh, aku melihat Mas Yusuf menggerakkan jarinya. Oh Tuhan, apa dia sudah sadar?
Aku hampiri dirinya sambil menggenggam tangannya.
”Mas Yusuf? Mas sudah sadar?” Tanyaku dengan perasaan senang bercampur cemas.
Perlahan kulihat kedua matanya terbuka sedikit demi sedikit. Dan...Alhamdulillah, dia bangun. Aku berucap syukur pada Allah Swt karena telah menyadarkan Mas Yusuf. Air mata begitu saja mengalir dari mataku. Aku melihat Mas Yusuf menggerakan bibirnya.
”D..Dinda. A, aku ha..us” Ucap Mas Yusuf lirih sambil terbata-bata. Aku segera mengambilkan air putih yang ada di samping tempat tidurnya dan membantunya minum melalui sedotan.
Setelah minum, dia menatapku dengan tatapan hampa. Tak ada senyuman atau pun ekspresi wajah yang lain. Aku takut dia sadar ketika aku menciumnya tadi. Aku sungguh takut. Tapi sejurus kemudian, aku berpikir untuk memberi tahu dokter bahwa Mas Yusuf sudah sadar.
Aku melangkah keluar untuk memanggil dokter dan meninggalkan Mas Yusuf di kamar. Namun baru beberapa langkah aku keluar kamar, tiba-tiba aku melihat semua benda yang ada dihadapanku seolah berputar. Kurasakan mual yang teramat sangat diperutku. Seketika kepalaku pusing dan tubuhku lemas.
Ketika kupaksakan diriku untuk terus melangkah, tiba-tiba kurasakan tubuhku melayang dan terjatuh di lantai. Kulihat semua gelap. Samar-samar kulihat ada beberapa orang suster berlari mengahmpiriku. Tapi aku sudah tak kuat lagi bangun. Kurasakan tubuhku diangkat. Makin lama aku tak tahu apa yang terjadi kemudian.
Semua yang hadir memberikan tepuk tangan yang meriah. Diantara semua tamu yang hadir, mungkin hanya aku saja yang merasakan kepedihan dalam dada. Aku menatap Mas Yusuf dan Alifa dengan perasaan hancur.
Setelah akad nikah, Alifa membawa Mas Yusuf pergi meninggalkan aku sendiri. Aku duduk terdiam tanpa menghalangi mereka pergi. Mataku menangkap wajah Mas Yusuf tidak memancarkan kebahagiaan. Sedangkan Alifa, dia amat bahagia membawa Mas Ysuf pergi dari hadapanku.
Aku menangis atas ketidak berdayaanku mencegah Alifa pergi membawa Mas Yusuf.
Tiba-tiba, aku terbangun dari tidurku. Astaghfirullah! Ternyata semua hanya mimpi. Aku tertidur di tepi tempat tidur. Kuingat kembali mimpiku barusan. Mimpi tentang pernikahan Mas Yusuf dengan Alifa. Aku masih belum memikirkan bagaimana jadinya kalau hal itu sampai terjadi. Tapi yang aku herankan, kenapa dalam mimpi itu, Mas Yusuf terlihat tidak bahagia?
Kembali kupandangi wajah Mas Yusuf.
Kuseka air mataku. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tegar. Kuletakkan tangannya di tempat tidur. Kembali kutatap wajahnya. Sejurus kemudian, aku mendekatkan wajahku ke wajahnya. Dan....Subhanallah. Aku menciumnya.
Aku mencium bibirnya. Dan ini juga untuk yang pertama kalinya aku menciumnya setelah setahun pernikahan. Aku mencium bibirnya yang hangat. Ada perasaan bahagia, senang, cemas, dan takut. Seketika jantungku berdegup kencang. Ingin rasanya sekali lagi aku menciumnya tapi aku takut.
Aku takut kalau dia sampai tidak ridho dengan apa yang barusan aku lakukan padanya, Allah pasti akan murka terhadapku. Karena Ridho Allah adalah ridho suami. Bila suami tidak ridho, maka Allah pun tidak ridho pula.
Tiba-tiba ada perasaan berdosa yang seketika menyusup kedalam hatiku. Apakah aku berdosa bila menciumnya tanpa seizinnya? Rabbi maafkan aku.
Perlahan kumundurkan kakiku sambil menggeleng. ”Maafkan aku Mas, maafkan aku” Ucapku pelan.
Aku berbalik dan duduk di sofa yang tersedia disana. Sambil termenung, aku membuka mukenaku dan menggantinya dengan jilbab coklat.
Dari jarak yang tidak terlalu jauh, aku melihat Mas Yusuf menggerakkan jarinya. Oh Tuhan, apa dia sudah sadar?
Aku hampiri dirinya sambil menggenggam tangannya.
”Mas Yusuf? Mas sudah sadar?” Tanyaku dengan perasaan senang bercampur cemas.
Perlahan kulihat kedua matanya terbuka sedikit demi sedikit. Dan...Alhamdulillah, dia bangun. Aku berucap syukur pada Allah Swt karena telah menyadarkan Mas Yusuf. Air mata begitu saja mengalir dari mataku. Aku melihat Mas Yusuf menggerakan bibirnya.
”D..Dinda. A, aku ha..us” Ucap Mas Yusuf lirih sambil terbata-bata. Aku segera mengambilkan air putih yang ada di samping tempat tidurnya dan membantunya minum melalui sedotan.
Setelah minum, dia menatapku dengan tatapan hampa. Tak ada senyuman atau pun ekspresi wajah yang lain. Aku takut dia sadar ketika aku menciumnya tadi. Aku sungguh takut. Tapi sejurus kemudian, aku berpikir untuk memberi tahu dokter bahwa Mas Yusuf sudah sadar.
Aku melangkah keluar untuk memanggil dokter dan meninggalkan Mas Yusuf di kamar. Namun baru beberapa langkah aku keluar kamar, tiba-tiba aku melihat semua benda yang ada dihadapanku seolah berputar. Kurasakan mual yang teramat sangat diperutku. Seketika kepalaku pusing dan tubuhku lemas.
Ketika kupaksakan diriku untuk terus melangkah, tiba-tiba kurasakan tubuhku melayang dan terjatuh di lantai. Kulihat semua gelap. Samar-samar kulihat ada beberapa orang suster berlari mengahmpiriku. Tapi aku sudah tak kuat lagi bangun. Kurasakan tubuhku diangkat. Makin lama aku tak tahu apa yang terjadi kemudian.
* * *
Perlahan kubuka mataku yang tadinya sulit untuk kubuka. Namun kupaksakan karena memang aku ingin bangun dari tidurku. Awalnya gelap, lalu perlahan cahaya itu mulai masuk dan menembus kornea mataku. Aku merasakan kehangatan di keningku. Sebuah kecupan hangat tengah mendarat disana.
Yang aku dapati, seorang laki-laki tengah mencium keningku. Samar-samar aku melihatnya. Setelah aku perhatikan dengan seksama, aku menyadari ternyata laki-laki itu adalah suamiku. Ya, dia adalah Mas Yusufku. Oh Tuhan, kekasihku tengah mencium keningku. Apakah ini nyata?
Aku hanya terdiam merasakan kecupan bibir Mas Yusuf di keningku. Lalu kemudian dia menatap wajahku lekat-lekat.
”kamu sudah sadar?” Tanyanya lembut. Aku mengangguk pelan.
”Ya” Suaraku terdenganr begitu lirih.
Dia tersenyum. Kulanjutkan perkataanku.
”Kau menciumku?”
Mas Yusuf mengangguk sambil tersenyum.
”Karena kau adalah istriku.” Jawabnya dengan nada yang sangat menyenangkan hatiku. Tapi aku masih belum mengerti apa maksudnya.
”Bukankah....”
”Sstt!” Mas Yusuf segera menempelkan jari telunjuknya ke bibirku. Aku melihat ada yang berbeda dari kedua matanya. Di dalamnya terpancar sebuah seuatu yang aku tidak mengerti apa sesuatu itu. Mas Yusuf kembali berucap,
”Sudah dua hari kamu pingsan dan tidak sadarkan diri. Kamu ingat?”
Aku berusaha mengingatnya kemudian mengangguk.
”Iya aku ingat. Waktu itu aku ingat kamu sadar dari koma, dan aku langsung memanggil dokter untuk segera memeriksamu. Namun kemudian, tiba-tiba saja aku merasakan mual di perutku. Kepalaku pusing dan tubuhku lemas. Seketika aku merasakan tubuhku melayang dan terjatuh di lantai. Setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang terjadi. Tapi yang pasti aku ingat, aku belum shalat Isya” Jelasku.
”Ya, kamu pingsan karena terlalu lelah menjagaku setiap hari. Dokter dan perawatnya segera membawamu untuk diperiksa” Ucap Mas Yusuf yang wajahnya hampir mendekati wajahku.
”Maafkan aku Mas...” Lirihku.
”Untuk apa?”
”Kemarin saat kamu tidak sadarkan diri, aku...aku sempat menciummu. Aku harap kau tidak marah padaku. Dan semoga kau ridho atas perbuatanku itu”
Mas Yusuf terdiam menatap wajahku. Aku semakin takut. Namun tiba-tiba dia tersenyum dan berkata dengan manis padaku.
”Kenapa aku harus marah padamu?”
”Ja, jadi kamu nggak marah sama aku?” Tanyaku yang kemudian disusul dengan gelengan kepala dan senyuman Mas Yusuf. Aku tersenyum senang. Hatiku lega setelah mendapat pengakuan darinya.
”Aku adalah suamimu dan kau adalah istriku. Tidak perlu merasa takut atas perbuatanmu. Insya Allah, Allah akan meridhoinya. Justru aku yang harusnya minta maaf padamu”
”Untuk apa?” Tanyaku pura-pura tidak mengerti.
”Maaf jika selama ini aku tidak sepenuhnya menjadi suami yang bertanggung jawab, jika aku sering menyakiti hatimu sehingga sering membuatmu menangis di tengah malam”
Hah!! Aku terkejut. Dari mana Mas Yusuf tahu kalau aku sering menangis di tengah malam? Aku masih bingung dengan pernyataan Mas Yusuf sementara dia terus melanjutkan kata-katanya.
”Maafkan jika selama ini aku selalu membuat kamu terbangun sebelum fajar untuk makan sahur, karena aku tidak bisa memenuhi kewajibanku sebagai seorang suami untuk memuaskanmu”
Aku semakin terkejut. Mengapa Mas Yusuf tahu hal itu? Aku tidak pernah menceritakan hal itu pada siapapun. Tapi, kenapa Mas Yusuf tahu?
”Sekali lagi maaf, karena aku pernah berbohong padamu...”
”Berbohong apa Mas?” Tanyaku tidak mengerti. Mas Yusuf coba menjelaskan.
”Tempo hari, sewaktu ada munashoroh Palestine di Monas, aku bilang padamu kalau aku ada urusan di sekolah sehingga tidak bisa pergi kesana bersamamu. Aku memang ada urusan, namun setelah itu aku pergi kesana bersama teman-temanku. Dan aku tahu, kau melihatku disana kan? Tapi karena kau tidak mau aku melihatmu yang memergoki aku, makanya kamu segera mengajak temanmu untuk pergi dari sana. Iya kan? Aku benar-benar minta maaf atas hal itu. Aku sungguh menyesal” Jelas mas Yusuf dengan nada penuh penyesalan.
Aku masih terbaring di atas tempat tidur rumah sakit dan air mataku mengalir begitu saja bagaikan anak sungai. Aku lihat Mas Yusuf menunduk sambil menangis. Aku menghapus air matanya dengan tanganku. Dia meraihnya dan menciumnya. Aku jadi terharu. Lantas, segera saja aku menanyakan dari mana dia bisa tahu semua hal itu, dan dia menjawab.
”Buku harianmu. Aku sudah membca semua tulisanmu yang ada disana. Juga kaset rekaman itu. Aku sudah mendengarnya. Aku mohon segala maafmu atas kesalahanku selama ini” Pintanya sambil terisak dan terus menciumi tanganku. Aku pun semakin sedih dan ikut terisak juga. Sesaat lamanya kami terdiam dalam lautan kesedihan. Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya padanya.
”Mas, apa...apa semua itu berarti, kau sudah bisa menerimaku sebagai istrimu?”
Perlahan kutatap kedua mata Mas Yusuf. Butir-butir cinta itu masih tersisa disana. Aku perhatikan dan dia mengangguk. Ya Rabbi, kekasihku mencintaiku. Dan itu berarti, cintaku terbalas. Ini untuk yang pertama kalinya aku merasakan cinta yang sesungguhnya. Cinta seorang suami kepada istrinya. Aku merasa menjadi wanita yang paling berbahagia. Aku tersenyum dan Mas Yusuf pun tersenyum. Bahkan lebih manis dari biasanya.
Kupandang lekat-lekat wajah itu.
”Apa yang akhirnya membuatmu bisa mencintaiku?”
”Karena kau adalah anugrah terindah yang pernah Allah berikan untukku. Kau jiwaku, kau nafasku, kau nadiku, dan kau adalah hidupku. Betapa bodohnya aku yang telah membiarkan kau menderita selama ini. Aku baru menyadari, kalau aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu. Tidak akan ada yang bisa menggantikan kamu dalam hatiku. Tidak akan ada”
”Termasuk Alifa?” Tanyaku dengan tiba-tiba.
”Ya. Termasuk Alifa.” Jawab Mas Yusuf tenang.
”Lalu apa keputusanmu mengenai Alifa? Saat ini dia membutuhkanmu Mas...”
Mas Yusuf terdiam sejenak.
”Sebelum aku menjawabnya, izinkan aku berterima kasih padamu. Terima kasih atas kesabaranmu selam ini padaku. Terima kasih karena kau telah mencurahkan seluruh cintamu padaku. Teriam kasih karena kau tak henti-hentinya menemaniku dan mendo’akanku selama aku tak sadarkan diri. Dan terima kasih...”
”Sstt!” Sahutku menyela perkataannya. Kucoba menempelkan jariku di bibirnya.
”Kau sudah terlalu banyak mengucapkan terima kasih padaku. Hanya dengan rasa cintamu padaku pun, itu sudah lebih dari cukup. Tidak ada rasa tidak enak dalam hal percintaan. Aku benar-benar mencintaimu Mas...” Ucapku pelan.
”Terima kasih sekali lagi, karena sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah...” Ucapnya senang.
Aku terdiam mendengar ucapan Mas Yusuf barusan. Aku tak sanggup berucap satu katapun. Yang ada malah lelehan air mata yang mengalir di wajahku lalu menyerap ke jilbab yang aku kenakan sekarang.
Aku benar-benar terkejut mendengarnya.
”Kamu hamil, sayang....” Ucap Mas Yusuf lagi dengan penuh kemesraan.
Air mataku kembali mengalir membasahi jilbabku dan kini semakin deras.
”Kau tidak membohongiku?” Tanyaku seolah ingin penegasan.
Mas Yusuf menggeleng.
”Aku tidak bohong. Kau sungguh-sungguh hamil. Saat ini kau tengah mengandung anakku. Anak kita. Buah cinta kita”
Kuberikan senyumanku pada Mas yusuf. Aku hamil. Aku benar-benar hamil. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang ibu. Oh Tuhan, terima kasih. Kau telah memberikan kebahagiaan ini padaku.
”Kemarin kamu pingsan karena terlalu letih. Dan setelah diperiksa oleh dokter, ternyata kamu tengah mengandung. Usia kandunganmu baru dua bulan. Kamu harus jaga kesehatan ya?’ Pinta Mas Yusuf padaku.
Aku mengangguk dengan air mata yang terus meleleh. Mas Yusuf menghapusnya dengan sentuhan hangatnya.
Namun tiba-tiba aku tersadar. Kebahagiaanku belum sepenuhnya menjadi milikku. Masih ada satu yang mengganjal. Tentang Alifa. Kejadian yang baru saja aku alami memang suatu kebahagiaan yang sangat aku impikan. Kebahagiaan karena akhirnya Mas Yusuf bisa mnerimaku dan mencintaiku, dan kebahagiaan karena aku hamil.
Tapi biar bagamanapun, aku harus bertanggung jawab atas permohonanku pada Mas Yusuf yang memintanya untuk menikahi Alifa. Aku harus siap dengan segala konsekwensinya. Aku benar-benar ikhlas kalau saat ini Mas Yusuf menyatakan kesediaannya untuk menikahi Alifa.
Aku terdiam dari tangisku dan mulai bertanya,
”Mas...”
”Hm?...”
Kuhela nafasku sesaat.
”Mencintaimu adalah suatu hal yang sangat membahagiaakan untukku. Apalagi ketika kau sudah bisa menerimaku sebagai istrimu. Jelas kebahagiaanku semakin lengkap, apalagi sebentar lagi kita akan menjadi orang tua bagi anak kita. Tapi aku tidak mau egois. Saat ini, aku ingin mendengar keputusanmu tentang penawaranku untuk kau menikahi Alifa. Biar bagaimanapun, dia membutuhkanmu. Dan bayi yang tengah dikandungnya, juga butuh seorang ayah. Aku harap kau bisa memberikan keputusan yang terbaik. Aku hanya ingin membagi kebahagiaanku pada Alifa”.
Kulihat Mas Yusuf menundukkan kepalanya. Perlahan dia berdiri dari duduknya.
”Kau tunggulah disini sebentar. Aku akan keluar untuk memberikan jawaban dan keputusanku terhadap penawaranmu” Ucap Mas Yusuf pelan lalu pergi keluar kamar sambil menyisakan rasa penasaran untukku. Apa yang hendak suamiku lakukan?
Sambil menatap langit-langit kamar rumah sakit, aku menunggu Mas Yusuf datang dengan membawa jawaban dan keputusannya. Sungguh, saat ini aku begitu resah.
Tiba-tiba Mas Yusuf datang. Aku menoleh kearahnya. Tak ada yang berubah darinya. Juga tak ada yang dibawanya. Kuperhatikan wajahnya.
”Apa keputusanmu Mas?” Tanyaku dengan serak menahan tangis.
Dia menghampiriku tanpa menjawab. Dia memandang keluar kamar dengan wajah berseri-seri. Aku tambah tak mengerti. Akupun ikut memandang keluar kamar.
Masih dalam kondisi berbaring di tempat tidur, perlahan aku melihat sebuah bayangan datang menghampiri kamarku. Bayangan siapa itu?
Tiba-tiba, aku melihat sosok yang sangat aku kenal muncul dihadapanku dengan menggunakan kursi roda. Dan orang yang mendorong kursi rodanya juga adalah orang yang sangat aku kenal.
Dia Alifa dan Randi. Alifa duduk di kursi roda berbalut ghamis coklat dan jilbab hitam, dan yang mendorongnya adalah Randi. Orang yang kukenal sebagai sahabat Mas Yusuf. Orang yang dulu kutahu menyuruh Mas Yusuf untuk segera menikahi Alifa. Orang yang dulu sempat menegurku pada saat acara di Bumiwiyata, Depok. Kenapa mereka datang bersamaan?
”Alifa?! Randi?! Kalian....” Ucapku tergagap.
”Ya. Alifa sudah menikah dengan Randi” Sahut Mas Yusuf mengejutkanku.
”Apa?”
”Ya Dinda. Aku sudah menikah dengan Randi. Dia telah membantuku untuk tetap hidup. Dia juga sudah membuatku menjadi seperti ini. Alhamdulillah, Randi sudah berkenan menjadi suamiku” Ucap Alifa sambil Randi mendorong kursi rodanya mendekatiku.
Mas Yusuf dan Randi pergi keluar kamar meninggalkan aku dan Alifa berdua.
Sambil menggenggam tanganku, Alifa berkata,
”Aku tahu kamu wanita yang sangat mulia hatinya. Aku sudah dengar semua dari Yusuf. Kamu menyuruhnya untuk menikahiku bukan? Niat baikmu untuk menjadikanku sebagai istri kedua Yusuf sangat aku hargai. Jujur, sebenarnya kalau aku tahu yang hendak menikahiku adalah Yusuf, aku tidak akan menerimanya...”
”Kenapa?”
”Karena aku tidak mau melihat kamu bersedih. Aku yakin hatimu pasti hancur ketika Yusuf sampai menikahiku. Untung saja sebelum Yusuf memberikan keputusannya karena dia mengalami kecelakaan dan koma, Randi datang dengan sebongkah rasa kasihan dan cintanya untukku. Aku juga tidak mengerti kenapa aku bisa seperti ini. Kepergian Mas Guntur memang menyisakan luka yang mendalam untukku. Sampai aku harus dirawat di rumah sakit dan mengalami koma.
Dokter bilang, penyakitku ini disebabkan karena aku mengalami tekanan batin yang begitu mendalam sehingga harus ada yang mau menikahiku dan bersedia menjadi suami keduaku. Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa seperti itu. Tapi memang, setelah Randi menikahiku dan dia mulai membisikkan kata-kata mesranya untukku, seolah ada setetes embun pagi yang mengaliri tubuhku. Aku mulai bereaksi. Ketika Randi menyentuh tanganku dan membelaiku, perlahan aku seperti menemukan kembali semangat hidupku.
Memang aku sempat terkejut ketika kubuka mata, yang kulihat bukanlah Mas Guntur, tapi Randi. Sahabatku sendiri yang kini telah menjadi suamiku. Awalnya aku sempat drop lagi tapi dokter segera memberikan obat untukku. Dan akhirnya aku sudah bisa menerima semua kenyataan ini, kalau Mas Guntur sudah tiada dan yang menggantikannya adalah Randi.
Terima kasih ya? Karena biar bagaimanapun, kau sudah berniat baik padaku dengan menyuruh Yusuf agar mau menikahiku dan berkenan menjadi ayah bagi anak yang tengah kukandung ini. Dan selamat ya? Akhirnya kau juga akan menjadi seorang ibu”
Alifa menjelaskan semuanya dengan tenang. Aku tersenyum padanya. Aku baru ingat, ternyata laki-laki yang dimaksudkan keluarga Alifa yang hendak menikahi Alifa adalah Randi. Seseorang yang tanpa sengaja telah menyelamatkan hati dan cintaku ternyata adalah Randi. Karena dia, akhirnya aku tidak jadi menjadi istri tua. Terima kasih Randi.
”Kapan kamu menikah dengannya?” Tanyaku.
”Kemarin. Bahkan Yusuflah yang menjadi saksi pernikahan kami”
Diam-diam ada perasaan syukur yang menyusup kedalam diriku.
Tak berapa lama, Mas Yusuf dan Randi masuk lagi ke kamar. Aku tersenyum pada mereka dan kuucapkan selamat pada Randi. Kami pun berbincang bersama di kamar itu. Penuh keceriaan dan tawa yang kami ciptakan saat itu.
Yang aku dapati, seorang laki-laki tengah mencium keningku. Samar-samar aku melihatnya. Setelah aku perhatikan dengan seksama, aku menyadari ternyata laki-laki itu adalah suamiku. Ya, dia adalah Mas Yusufku. Oh Tuhan, kekasihku tengah mencium keningku. Apakah ini nyata?
Aku hanya terdiam merasakan kecupan bibir Mas Yusuf di keningku. Lalu kemudian dia menatap wajahku lekat-lekat.
”kamu sudah sadar?” Tanyanya lembut. Aku mengangguk pelan.
”Ya” Suaraku terdenganr begitu lirih.
Dia tersenyum. Kulanjutkan perkataanku.
”Kau menciumku?”
Mas Yusuf mengangguk sambil tersenyum.
”Karena kau adalah istriku.” Jawabnya dengan nada yang sangat menyenangkan hatiku. Tapi aku masih belum mengerti apa maksudnya.
”Bukankah....”
”Sstt!” Mas Yusuf segera menempelkan jari telunjuknya ke bibirku. Aku melihat ada yang berbeda dari kedua matanya. Di dalamnya terpancar sebuah seuatu yang aku tidak mengerti apa sesuatu itu. Mas Yusuf kembali berucap,
”Sudah dua hari kamu pingsan dan tidak sadarkan diri. Kamu ingat?”
Aku berusaha mengingatnya kemudian mengangguk.
”Iya aku ingat. Waktu itu aku ingat kamu sadar dari koma, dan aku langsung memanggil dokter untuk segera memeriksamu. Namun kemudian, tiba-tiba saja aku merasakan mual di perutku. Kepalaku pusing dan tubuhku lemas. Seketika aku merasakan tubuhku melayang dan terjatuh di lantai. Setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang terjadi. Tapi yang pasti aku ingat, aku belum shalat Isya” Jelasku.
”Ya, kamu pingsan karena terlalu lelah menjagaku setiap hari. Dokter dan perawatnya segera membawamu untuk diperiksa” Ucap Mas Yusuf yang wajahnya hampir mendekati wajahku.
”Maafkan aku Mas...” Lirihku.
”Untuk apa?”
”Kemarin saat kamu tidak sadarkan diri, aku...aku sempat menciummu. Aku harap kau tidak marah padaku. Dan semoga kau ridho atas perbuatanku itu”
Mas Yusuf terdiam menatap wajahku. Aku semakin takut. Namun tiba-tiba dia tersenyum dan berkata dengan manis padaku.
”Kenapa aku harus marah padamu?”
”Ja, jadi kamu nggak marah sama aku?” Tanyaku yang kemudian disusul dengan gelengan kepala dan senyuman Mas Yusuf. Aku tersenyum senang. Hatiku lega setelah mendapat pengakuan darinya.
”Aku adalah suamimu dan kau adalah istriku. Tidak perlu merasa takut atas perbuatanmu. Insya Allah, Allah akan meridhoinya. Justru aku yang harusnya minta maaf padamu”
”Untuk apa?” Tanyaku pura-pura tidak mengerti.
”Maaf jika selama ini aku tidak sepenuhnya menjadi suami yang bertanggung jawab, jika aku sering menyakiti hatimu sehingga sering membuatmu menangis di tengah malam”
Hah!! Aku terkejut. Dari mana Mas Yusuf tahu kalau aku sering menangis di tengah malam? Aku masih bingung dengan pernyataan Mas Yusuf sementara dia terus melanjutkan kata-katanya.
”Maafkan jika selama ini aku selalu membuat kamu terbangun sebelum fajar untuk makan sahur, karena aku tidak bisa memenuhi kewajibanku sebagai seorang suami untuk memuaskanmu”
Aku semakin terkejut. Mengapa Mas Yusuf tahu hal itu? Aku tidak pernah menceritakan hal itu pada siapapun. Tapi, kenapa Mas Yusuf tahu?
”Sekali lagi maaf, karena aku pernah berbohong padamu...”
”Berbohong apa Mas?” Tanyaku tidak mengerti. Mas Yusuf coba menjelaskan.
”Tempo hari, sewaktu ada munashoroh Palestine di Monas, aku bilang padamu kalau aku ada urusan di sekolah sehingga tidak bisa pergi kesana bersamamu. Aku memang ada urusan, namun setelah itu aku pergi kesana bersama teman-temanku. Dan aku tahu, kau melihatku disana kan? Tapi karena kau tidak mau aku melihatmu yang memergoki aku, makanya kamu segera mengajak temanmu untuk pergi dari sana. Iya kan? Aku benar-benar minta maaf atas hal itu. Aku sungguh menyesal” Jelas mas Yusuf dengan nada penuh penyesalan.
Aku masih terbaring di atas tempat tidur rumah sakit dan air mataku mengalir begitu saja bagaikan anak sungai. Aku lihat Mas Yusuf menunduk sambil menangis. Aku menghapus air matanya dengan tanganku. Dia meraihnya dan menciumnya. Aku jadi terharu. Lantas, segera saja aku menanyakan dari mana dia bisa tahu semua hal itu, dan dia menjawab.
”Buku harianmu. Aku sudah membca semua tulisanmu yang ada disana. Juga kaset rekaman itu. Aku sudah mendengarnya. Aku mohon segala maafmu atas kesalahanku selama ini” Pintanya sambil terisak dan terus menciumi tanganku. Aku pun semakin sedih dan ikut terisak juga. Sesaat lamanya kami terdiam dalam lautan kesedihan. Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya padanya.
”Mas, apa...apa semua itu berarti, kau sudah bisa menerimaku sebagai istrimu?”
Perlahan kutatap kedua mata Mas Yusuf. Butir-butir cinta itu masih tersisa disana. Aku perhatikan dan dia mengangguk. Ya Rabbi, kekasihku mencintaiku. Dan itu berarti, cintaku terbalas. Ini untuk yang pertama kalinya aku merasakan cinta yang sesungguhnya. Cinta seorang suami kepada istrinya. Aku merasa menjadi wanita yang paling berbahagia. Aku tersenyum dan Mas Yusuf pun tersenyum. Bahkan lebih manis dari biasanya.
Kupandang lekat-lekat wajah itu.
”Apa yang akhirnya membuatmu bisa mencintaiku?”
”Karena kau adalah anugrah terindah yang pernah Allah berikan untukku. Kau jiwaku, kau nafasku, kau nadiku, dan kau adalah hidupku. Betapa bodohnya aku yang telah membiarkan kau menderita selama ini. Aku baru menyadari, kalau aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu. Tidak akan ada yang bisa menggantikan kamu dalam hatiku. Tidak akan ada”
”Termasuk Alifa?” Tanyaku dengan tiba-tiba.
”Ya. Termasuk Alifa.” Jawab Mas Yusuf tenang.
”Lalu apa keputusanmu mengenai Alifa? Saat ini dia membutuhkanmu Mas...”
Mas Yusuf terdiam sejenak.
”Sebelum aku menjawabnya, izinkan aku berterima kasih padamu. Terima kasih atas kesabaranmu selam ini padaku. Terima kasih karena kau telah mencurahkan seluruh cintamu padaku. Teriam kasih karena kau tak henti-hentinya menemaniku dan mendo’akanku selama aku tak sadarkan diri. Dan terima kasih...”
”Sstt!” Sahutku menyela perkataannya. Kucoba menempelkan jariku di bibirnya.
”Kau sudah terlalu banyak mengucapkan terima kasih padaku. Hanya dengan rasa cintamu padaku pun, itu sudah lebih dari cukup. Tidak ada rasa tidak enak dalam hal percintaan. Aku benar-benar mencintaimu Mas...” Ucapku pelan.
”Terima kasih sekali lagi, karena sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah...” Ucapnya senang.
Aku terdiam mendengar ucapan Mas Yusuf barusan. Aku tak sanggup berucap satu katapun. Yang ada malah lelehan air mata yang mengalir di wajahku lalu menyerap ke jilbab yang aku kenakan sekarang.
Aku benar-benar terkejut mendengarnya.
”Kamu hamil, sayang....” Ucap Mas Yusuf lagi dengan penuh kemesraan.
Air mataku kembali mengalir membasahi jilbabku dan kini semakin deras.
”Kau tidak membohongiku?” Tanyaku seolah ingin penegasan.
Mas Yusuf menggeleng.
”Aku tidak bohong. Kau sungguh-sungguh hamil. Saat ini kau tengah mengandung anakku. Anak kita. Buah cinta kita”
Kuberikan senyumanku pada Mas yusuf. Aku hamil. Aku benar-benar hamil. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang ibu. Oh Tuhan, terima kasih. Kau telah memberikan kebahagiaan ini padaku.
”Kemarin kamu pingsan karena terlalu letih. Dan setelah diperiksa oleh dokter, ternyata kamu tengah mengandung. Usia kandunganmu baru dua bulan. Kamu harus jaga kesehatan ya?’ Pinta Mas Yusuf padaku.
Aku mengangguk dengan air mata yang terus meleleh. Mas Yusuf menghapusnya dengan sentuhan hangatnya.
Namun tiba-tiba aku tersadar. Kebahagiaanku belum sepenuhnya menjadi milikku. Masih ada satu yang mengganjal. Tentang Alifa. Kejadian yang baru saja aku alami memang suatu kebahagiaan yang sangat aku impikan. Kebahagiaan karena akhirnya Mas Yusuf bisa mnerimaku dan mencintaiku, dan kebahagiaan karena aku hamil.
Tapi biar bagamanapun, aku harus bertanggung jawab atas permohonanku pada Mas Yusuf yang memintanya untuk menikahi Alifa. Aku harus siap dengan segala konsekwensinya. Aku benar-benar ikhlas kalau saat ini Mas Yusuf menyatakan kesediaannya untuk menikahi Alifa.
Aku terdiam dari tangisku dan mulai bertanya,
”Mas...”
”Hm?...”
Kuhela nafasku sesaat.
”Mencintaimu adalah suatu hal yang sangat membahagiaakan untukku. Apalagi ketika kau sudah bisa menerimaku sebagai istrimu. Jelas kebahagiaanku semakin lengkap, apalagi sebentar lagi kita akan menjadi orang tua bagi anak kita. Tapi aku tidak mau egois. Saat ini, aku ingin mendengar keputusanmu tentang penawaranku untuk kau menikahi Alifa. Biar bagaimanapun, dia membutuhkanmu. Dan bayi yang tengah dikandungnya, juga butuh seorang ayah. Aku harap kau bisa memberikan keputusan yang terbaik. Aku hanya ingin membagi kebahagiaanku pada Alifa”.
Kulihat Mas Yusuf menundukkan kepalanya. Perlahan dia berdiri dari duduknya.
”Kau tunggulah disini sebentar. Aku akan keluar untuk memberikan jawaban dan keputusanku terhadap penawaranmu” Ucap Mas Yusuf pelan lalu pergi keluar kamar sambil menyisakan rasa penasaran untukku. Apa yang hendak suamiku lakukan?
Sambil menatap langit-langit kamar rumah sakit, aku menunggu Mas Yusuf datang dengan membawa jawaban dan keputusannya. Sungguh, saat ini aku begitu resah.
Tiba-tiba Mas Yusuf datang. Aku menoleh kearahnya. Tak ada yang berubah darinya. Juga tak ada yang dibawanya. Kuperhatikan wajahnya.
”Apa keputusanmu Mas?” Tanyaku dengan serak menahan tangis.
Dia menghampiriku tanpa menjawab. Dia memandang keluar kamar dengan wajah berseri-seri. Aku tambah tak mengerti. Akupun ikut memandang keluar kamar.
Masih dalam kondisi berbaring di tempat tidur, perlahan aku melihat sebuah bayangan datang menghampiri kamarku. Bayangan siapa itu?
Tiba-tiba, aku melihat sosok yang sangat aku kenal muncul dihadapanku dengan menggunakan kursi roda. Dan orang yang mendorong kursi rodanya juga adalah orang yang sangat aku kenal.
Dia Alifa dan Randi. Alifa duduk di kursi roda berbalut ghamis coklat dan jilbab hitam, dan yang mendorongnya adalah Randi. Orang yang kukenal sebagai sahabat Mas Yusuf. Orang yang dulu kutahu menyuruh Mas Yusuf untuk segera menikahi Alifa. Orang yang dulu sempat menegurku pada saat acara di Bumiwiyata, Depok. Kenapa mereka datang bersamaan?
”Alifa?! Randi?! Kalian....” Ucapku tergagap.
”Ya. Alifa sudah menikah dengan Randi” Sahut Mas Yusuf mengejutkanku.
”Apa?”
”Ya Dinda. Aku sudah menikah dengan Randi. Dia telah membantuku untuk tetap hidup. Dia juga sudah membuatku menjadi seperti ini. Alhamdulillah, Randi sudah berkenan menjadi suamiku” Ucap Alifa sambil Randi mendorong kursi rodanya mendekatiku.
Mas Yusuf dan Randi pergi keluar kamar meninggalkan aku dan Alifa berdua.
Sambil menggenggam tanganku, Alifa berkata,
”Aku tahu kamu wanita yang sangat mulia hatinya. Aku sudah dengar semua dari Yusuf. Kamu menyuruhnya untuk menikahiku bukan? Niat baikmu untuk menjadikanku sebagai istri kedua Yusuf sangat aku hargai. Jujur, sebenarnya kalau aku tahu yang hendak menikahiku adalah Yusuf, aku tidak akan menerimanya...”
”Kenapa?”
”Karena aku tidak mau melihat kamu bersedih. Aku yakin hatimu pasti hancur ketika Yusuf sampai menikahiku. Untung saja sebelum Yusuf memberikan keputusannya karena dia mengalami kecelakaan dan koma, Randi datang dengan sebongkah rasa kasihan dan cintanya untukku. Aku juga tidak mengerti kenapa aku bisa seperti ini. Kepergian Mas Guntur memang menyisakan luka yang mendalam untukku. Sampai aku harus dirawat di rumah sakit dan mengalami koma.
Dokter bilang, penyakitku ini disebabkan karena aku mengalami tekanan batin yang begitu mendalam sehingga harus ada yang mau menikahiku dan bersedia menjadi suami keduaku. Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa seperti itu. Tapi memang, setelah Randi menikahiku dan dia mulai membisikkan kata-kata mesranya untukku, seolah ada setetes embun pagi yang mengaliri tubuhku. Aku mulai bereaksi. Ketika Randi menyentuh tanganku dan membelaiku, perlahan aku seperti menemukan kembali semangat hidupku.
Memang aku sempat terkejut ketika kubuka mata, yang kulihat bukanlah Mas Guntur, tapi Randi. Sahabatku sendiri yang kini telah menjadi suamiku. Awalnya aku sempat drop lagi tapi dokter segera memberikan obat untukku. Dan akhirnya aku sudah bisa menerima semua kenyataan ini, kalau Mas Guntur sudah tiada dan yang menggantikannya adalah Randi.
Terima kasih ya? Karena biar bagaimanapun, kau sudah berniat baik padaku dengan menyuruh Yusuf agar mau menikahiku dan berkenan menjadi ayah bagi anak yang tengah kukandung ini. Dan selamat ya? Akhirnya kau juga akan menjadi seorang ibu”
Alifa menjelaskan semuanya dengan tenang. Aku tersenyum padanya. Aku baru ingat, ternyata laki-laki yang dimaksudkan keluarga Alifa yang hendak menikahi Alifa adalah Randi. Seseorang yang tanpa sengaja telah menyelamatkan hati dan cintaku ternyata adalah Randi. Karena dia, akhirnya aku tidak jadi menjadi istri tua. Terima kasih Randi.
”Kapan kamu menikah dengannya?” Tanyaku.
”Kemarin. Bahkan Yusuflah yang menjadi saksi pernikahan kami”
Diam-diam ada perasaan syukur yang menyusup kedalam diriku.
Tak berapa lama, Mas Yusuf dan Randi masuk lagi ke kamar. Aku tersenyum pada mereka dan kuucapkan selamat pada Randi. Kami pun berbincang bersama di kamar itu. Penuh keceriaan dan tawa yang kami ciptakan saat itu.
* * *
Empat Belas
Setelah dokter mengatakan kondisiku sudah cukup pulih, akhirnya dia mengizinkanku untuk segera pulang. Begitu juga Mas Yusuf. Beberapa luka di bagian kepala dan lengannya juga sudah mulai mengering.
Kami melewati hari-hari baru kami sebagai suami istri. Lebih tepatnya lagi suami istri yang baru menemukan mahligai cintanya. Aku sangat bersyukur sekali karena kesabaranku dalam mencintai Mas Yusuf akhirnya menemukan buahnya. Kini aku sudah memetik buah itu. Cinta itu, kini sudah menemukan peraduannya. Tak henti-hentinya aku berucap syukur pada Sang Maha Pencipta.
Kini, tak ada lagi sorot kebencian pada mata Mas Yusuf. Kini tak ada lagi sosok seorang suami pengecut dalam kehidupanku. Yang ada hanyalah seorang pahlawan sejati yang siap menemaniku kemanapun kakiku melangkah. Terima kasih, Ya Allah.
Malam ini, aku dan Mas Yusuf sudah berada di sebuah beranda di salah satu kamar hotel yang dulu pernah kami jadikan sebagai tempat malam pertama kami satu tahun yang lalu. Dengan ditemani sinaran bintang-bintang, kami memulai kembali kisah cinta kami yang sempat tertunda karena sebuah keegoisan.
Malam ini, kami serasa seperti kembali menjadi sepasang pengantin baru. Saat Mas Yusuf menatapku penuh mesra, rasa berdebar-debar itu tiba-tiba muncul dalam diriku. Tapi inilah cinta. Aku sangat menikmati debar-debar itu. Tatapannya, belaiannya, dan kecupannya, ini adalah untuk yang pertama kalinya dia melakukannya dengan penuh keikhlasan hati dan kerelaan jiwa.
Malam semakin larut dan dia mulai mengajakku kembali ke kamar. Entah mengapa, keringat dingin mulai membasahi tubuhku. Aku ikuti langkahnya. Kini, dia menuntunku untuk sampai di tempat tidur. Aku tersenyum padanya.
Dengan ditemani temaram lampu kamar dan indahnya sinaran bulan sabit di langit luar sana, Mas Yusuf kembali membuktikan bahwa dia bukan laki-laki pengecut. Dia bisa
menjalankan tugasnya sebagai seorang suami. Dan itu ia lakukan tanpa menunggu subuh datang terlebih dahulu. Aku merasakan menjadi makhluk Tuhan yang paling dikasihi.
Ditengah ibadah berdua kami, tiba-tiba dering hand phone ku berbunyi. Sambil terus melakukan ibadah itu, kuraih hand phone ku dan kulihat sekilas. Dari pihak penerbit. Aku tak berniat mengangkatnya dan segera ku matikan dengan me-non aktifkan-nya.
Peluh kami kembali bersatu lagi. Merembas ke dalam seprei biru yang kini menutupi tempat tidur kami. Inilah kesucian cinta yang telah tertanam sejak lama yang kurawat dengan air kesabaran. Inilah buah yang kupetik hasilnya ketika cintaku pada Mas Yusuf harus bersabar.
Kini, lagi-lagi aku harus bersabar untuk menanti datangnya bidadari kecil yang beberapa bulan lagi akan hadir ke duani ini untuk menemani kehidupan kami sebagai Abi dan Bunda.
Bulan dan bintang memantulkan sinar gemerlapnya pada diri dua insan yang tengah dimabuk cinta. Semoga ibadah ini bisa memberikan keberkahan pada kehidupan rumah tanggaku dengan Mas Yusuf nantinya.
Rabb, Terima kasih.
Setelah dokter mengatakan kondisiku sudah cukup pulih, akhirnya dia mengizinkanku untuk segera pulang. Begitu juga Mas Yusuf. Beberapa luka di bagian kepala dan lengannya juga sudah mulai mengering.
Kami melewati hari-hari baru kami sebagai suami istri. Lebih tepatnya lagi suami istri yang baru menemukan mahligai cintanya. Aku sangat bersyukur sekali karena kesabaranku dalam mencintai Mas Yusuf akhirnya menemukan buahnya. Kini aku sudah memetik buah itu. Cinta itu, kini sudah menemukan peraduannya. Tak henti-hentinya aku berucap syukur pada Sang Maha Pencipta.
Kini, tak ada lagi sorot kebencian pada mata Mas Yusuf. Kini tak ada lagi sosok seorang suami pengecut dalam kehidupanku. Yang ada hanyalah seorang pahlawan sejati yang siap menemaniku kemanapun kakiku melangkah. Terima kasih, Ya Allah.
Malam ini, aku dan Mas Yusuf sudah berada di sebuah beranda di salah satu kamar hotel yang dulu pernah kami jadikan sebagai tempat malam pertama kami satu tahun yang lalu. Dengan ditemani sinaran bintang-bintang, kami memulai kembali kisah cinta kami yang sempat tertunda karena sebuah keegoisan.
Malam ini, kami serasa seperti kembali menjadi sepasang pengantin baru. Saat Mas Yusuf menatapku penuh mesra, rasa berdebar-debar itu tiba-tiba muncul dalam diriku. Tapi inilah cinta. Aku sangat menikmati debar-debar itu. Tatapannya, belaiannya, dan kecupannya, ini adalah untuk yang pertama kalinya dia melakukannya dengan penuh keikhlasan hati dan kerelaan jiwa.
Malam semakin larut dan dia mulai mengajakku kembali ke kamar. Entah mengapa, keringat dingin mulai membasahi tubuhku. Aku ikuti langkahnya. Kini, dia menuntunku untuk sampai di tempat tidur. Aku tersenyum padanya.
Dengan ditemani temaram lampu kamar dan indahnya sinaran bulan sabit di langit luar sana, Mas Yusuf kembali membuktikan bahwa dia bukan laki-laki pengecut. Dia bisa
menjalankan tugasnya sebagai seorang suami. Dan itu ia lakukan tanpa menunggu subuh datang terlebih dahulu. Aku merasakan menjadi makhluk Tuhan yang paling dikasihi.
Ditengah ibadah berdua kami, tiba-tiba dering hand phone ku berbunyi. Sambil terus melakukan ibadah itu, kuraih hand phone ku dan kulihat sekilas. Dari pihak penerbit. Aku tak berniat mengangkatnya dan segera ku matikan dengan me-non aktifkan-nya.
Peluh kami kembali bersatu lagi. Merembas ke dalam seprei biru yang kini menutupi tempat tidur kami. Inilah kesucian cinta yang telah tertanam sejak lama yang kurawat dengan air kesabaran. Inilah buah yang kupetik hasilnya ketika cintaku pada Mas Yusuf harus bersabar.
Kini, lagi-lagi aku harus bersabar untuk menanti datangnya bidadari kecil yang beberapa bulan lagi akan hadir ke duani ini untuk menemani kehidupan kami sebagai Abi dan Bunda.
Bulan dan bintang memantulkan sinar gemerlapnya pada diri dua insan yang tengah dimabuk cinta. Semoga ibadah ini bisa memberikan keberkahan pada kehidupan rumah tanggaku dengan Mas Yusuf nantinya.
Rabb, Terima kasih.
` Alhamdulillah,
Selesai di Kantor Deptan
Kamis, 08 Mei 2008
Untuk mereka yang menganggap bahwa kecantikan adalah segalanya. Ingat, wanita yang beriman itu lebih baik, dari wanita yang cantik, namun tak beriman.
Selesai di Kantor Deptan
Kamis, 08 Mei 2008
Untuk mereka yang menganggap bahwa kecantikan adalah segalanya. Ingat, wanita yang beriman itu lebih baik, dari wanita yang cantik, namun tak beriman.
Komentar
Posting Komentar