Orangnya tidak sepandai lidahnya


Bismillah di setiap permulaan kebaikan. Sudah sekian lama aku tidak menuliskan isi hati lewat sebuah catatan. Rasa rindu untuk menggerakkan jari-jari pun tak kuasa lagi dan tiba-tiba jari-jariku menari-nari dengan sangat riang di atas huruf-huruf terpisah sebuah notebook. Pelajarannya, sekali saja kita berniat meninggalkan kebaikan dan benar-benar meninggalkan kebaikan, dua bahkan tiga lebih kita akan meninggalkan kebaikan. Tidak salah jika ganjaraan seorang yang istiqamah itu berlipat-lipat, hingga para malaikat pun rela berbondong-bondong menuruni langit.

Lidah, adanya merupakan nikmat yang tak terhingga. Mengutarakan isi hati, bercerita ria bersama sahabat, sanak, atau saudara, guru-guru yang mentransfer ilmu kepada muridnya, nada-nada indah yang menenangkan jiwa, dan seterusnya, lidahlah yang membuat itu sempurna. Tanpa lidah apa kita bisa bertahan? Coba buktikan sehari saja tidak berbicara di tengah keluarga atau masyarakat, tidak satu huruf pun.

Nikmat bagaimana yang belum kita syukuri? Mensyukuri nikmat adalah sebuah seni kehidupan. Tanpanya mustahil kehidupan bisa hidup, layaknya seorang yang hidup sehat jasmani dan rohani. Syukur itu ibarat sebuah obat ketika kita sakit. Dan ternyata kehidupan ini adalah sebuah penyakit. Untuk menyembuhkannya perlu syukur, tanpanya sehat tidak akan tercapai. Adakah mereka yang hidup sehat tanpa syukur?

Lidah kita satu, namun syukur untuk yang satu ini butuh seribu atau berjuta syukur. Karena nikmat ini tidak terkira jumlahnya. Belum lagi organ tubuh kita yang lain. Jika dalam sehari kita hanya mengucapkan satu kali “Alhamdulillah” saja, apakah cukup?

Mensyukuri itu mempunyai cara berjuta-juta. Setiap manusia mempunyai cara bersyukur yang berbeda-beda. Tentunya dengan panduan Al-qur’an dan sunnah, diluar itu bukan syukur namanya.
Kita sering berjumpa dengan seseorang yang mempunyai lidah begitu indah. Baik itu suaranya yang merdu, nadanya yang menarik perhatian, maknanya yang menentramkan hati, dan berjuta keindahan lidah lainnya. Kita juga sering didatangi rasa iri kepada seseorang yang indah lidahnya. “Ingin sekali aku seperti dia,”kata hati waktu itu. Tetapi tunggu dulu. Kadang keindahan lidah tidak menjamin indah semua. Banyak dari kita yang pandai mengolah kata, hingga kata yang keluar dari lidah terasa begitu indah. Sayangnya, tingkah tak seindah lidah.

Banyak solusi dan nasehat yang para guru-guru kita ajarkan. Seperti, diam itu emas, berkatalah dengan baik jika tidak bisa berdiamlah,  dan seterusnya.  Dalam Al-qur’an mengingatkan, “Kenapa engkau mengatakan sesuatu yang tidak engkau kerjakan?” Dalam hadist pun ada, “tanda-tanda orang munafik itu ada tiga; jika berkata berdusta, jika berjanji ingkar, jika dipercaya khianat.”  Dan masih banyak lagi yang kesemuanya itu menjelaskan pentingkan menjaga lidah.

Seorang muslim yang baik harus bisa menjaga lidahnya. Rasulullah SAW sudah mengajarkan kepada kita, beliau juga bergelar Al-Amin. Tidak hanya kepada orang-orang muslim saja, bahkan kepada orang-orang kafir pun. Mensyukuri lidah yang tepat adalah mempergunakannya dengan sebaik-baiknya, menjaganya agar yang keluar dari lidah adalah yang bermanfaat saja bukan yang sebaliknya.

Pandai dalam menjaga lidah adalah keharusan seorang muslim juga merupakan keperluan di setiap harinya. Namun, tidak hanya pandai dilidah saja dong. Kita juga harus pandai mengungkapkan isi hati dengan tingkah laku yang baik sebaik lidah kita. Jangan sampai ada yang mengatakan kita “orangnya tidak sepandai lidahnya.”  Apalagi sampai ada yang men-cap kita dengan kata ‘munafik’ naudzu billah.

 Kahramanmaraş Turkey, 26 oktober 2012




Komentar

Postingan Populer