Bangkit dari Bosan (cerpen)



Wajahku begitu kusam. Apalagi sudah satu hari aku tidak berdiri dari tempat tidurku. Aku tidak mempuyai semangat sama sekali. Berkali-kali aku sudah memutar-mutar badanku. Namun aku tak juga mendapatkan rasa nyaman. Selimut pun aku tarik ke atas. Seluruh badanku kini telah tertutup rapat. Mudahan dengan begini aku merasa lebih nyaman, pikirku dalam hati. Namun tidak. Aku semakin putus asa dan tersiksa.
Tanah airku jauh disana, dengan jarak berjuta-juta kilometer. Aku sendiri disini, tanpa sanak saudara, tanpa ada kawanan dekat. Siapa bilang Istanbul itu kota yang indah. Justru kini kota ini sangat membosankan. Aku menyesal telah datang kemari.

Bantal yang tadinya aku tindih, kini berganti menindih wajahku. Aku menjadi gila sebab bosan.


“AAAAAAAAAKKKKKKKK!!!!!”

Aku berteriak di dalam bantal.

Aku kehabisan akal. Tak tahu lagi harus berbuat apa.
Akhirnya, aku pasrah. Langit-langit rumah saat ini memandangi wajah kusutku.

“Apa kau lihat-lihat???” aku marah pada dinding atas rumahku.
Kebosananku benar-benar telah membuatku gila.

“Hahahahaha...” tiba-tiba aku tertawa.
Lalu berubah menjadi hening.


“Ibuuu???”

Aku melihat bayangan bunda di langit-langit rumah. Pertama wajahnya tersenyum melihatku. Lalu perlahan berubah cemberut. Dia seperti sedang marah melihatku. Dia tidak ingin memandang wajahku lagi. Lalu bayangan itu hilang.

Sekarang aku tidak berbaring lagi. Bayangan bunda membuatku duduk. Namun, sisa-sisa malas masih saja menempel erat di punggungku. Aku ambil bantalku lalu aku meletakkannya secara berdiri di dinding. Aku pun bersandar.

--=o0o=--

Bunda. Wanita paruh baya itu hanya tinggal di rumah. Wajahnya sudah tidak secantik dulu. Rambutnya yang panjang dan hitam kini telah menjadi putih dan jarang. Ada adik-adikku yang masih kecil yang hidup di sekelilingnya. Sedang aku adalah anak lelaki yang paling besar.

“Bapak tidak ingin kau pergi Arya. Katanya, lebih baik kau teruskan belajarmu di tanah air saja, sambil membantu adik-adikmu yang masih kecil.” Sebuah suara halus keluar dari mulut wanita itu.

“Tapi ini kesempatan yang tidak akan Arya dapat untuk kedua kali ibuuu..” rayuku kepada bunda.
“Apa kau sudah benar-benar memikirkannya?”
Aku diam.
“InsyaAllah sudah ibuu..”

“Kok pakai insyaAllah, jawab yang benar, sudah atau belum? Kalau memang sudah ibu tidak akan banyak bicara. Kamu sudah besar, sudah bisa membedakan mana yang baik dan salah. İbu percaya saja dengan keputusanmu.”

“Tapi jangan lupa...” tambah bunda lagi.
“Jangan lupa apa bu??”
“Jangan lupa pikirkan orang tua dan adik-adikmu. Jangan cuman memikirkan masa depan sendiri. Kamu itu masih punya orang tua dan saudara.”

“Iya bu. Arya akan pikir-pikir lagi biar mantap.”

Aku kembali ke dalam kamarku. Aku kembali memikirkan niatku. Bunda benar, aku bukan anak kecil lagi. Sebuah pas foto yang kuletakkan di atas meja menjadi bukti bahwa aku bukan Arya yang kecil. Foto hitam putih itu menunjukkan bapak sedang memelukku dari belakang. İya, bapak sedang memeluk Arya kecil.

“Kalau besar kamu mau jadi apa Arya?” tanya bapak sambil mencangkul.
“Bapak pengennya aku jadi apa pak?”

“Looh kok malah balik nanya bapak? Ya kamuu yang harus jawab pertanyaan bapak dulu.”
“Aku  pengen seperti bapak saja.” jawabku saat itu ngasal.

Bapak kini berhenti mencangkul dan mendekatiku. Lalu berkata,
“Arya, cita-cita itu ya harus tinggi. Masak cita-cita cuman menjadi tukang cangkul sawah seperti bapak.”

“Emang dulu cita-cita bapak pas waktu kecil apa?” tanyaku cerdas.

“Arya Arya.. dasar anak pintar. Sekarang mau mengintrogasi bapak.”

Bapak meletakkan topi capil yang dipakainya tadi. Lalu meneguk beberapa tegukan air dari sebuah botol yang kubawa.

“Dulu bapak tidak punya sawah. Bapak kerjanya cuman numpang bantu di sawah orang. Bapak dulu juga tidak sekolah. Jadi, cita-cita bapak waktu itu ya ingin punya sawah sendiri. Tidak semua orang punya sawah waktu itu, hanya orang-orang kaya saja. Menurutmu bukankah berarti cita-cita bapak itu tinggi Arya?”

“Tinggi pak. Lalu cita-cita tinggi yang harus Arya punya sekarang apa pak?” tanyaku polos pada orang tua yang kulitnya telah hangus oleh matahari itu.

“Arya coba lihat zaman sekarang. Arya kan sudah punya sawah. Tidak perlu lagi bercita-cita punya sawah. Zaman sekarang cita-cita tinggi itu menjadi orang pintar. Bukan orang kaya lagi.”

“Berarti cita-cita Arya adalah menjadi orang pintar,” ucapku tegas.

Bapak tersenyum sambil mengelus-elus kepalaku. Sebuah cerita lama. Aku merasa niatku sudah bulat. Aku tahu apa yang harus aku katakan kepada bapak. Aku berdiri dan keluar dari kamar.

“Bapak...” panggilku sambil berjalan ke arah bapak yang sedang duduk di teras depan ditemani secangkir kopi.
“Ada apa?”
“Ibu sudah setuju dengan niat kepergian Arya. Apa bapak tidak setuju juga?” tanyaku terang-terangan. İbu yang mendengar perkataanku pun menoleh ke arahku. Ada kernyitan di kulit dahinya.
“Apa benar bu?” teriak bapak.
“Tanya saja jokomu itu pak...” sahut bunda dari kejauhan.
“Ibu sendiri tadi yang bilang, kalau Arya memang sudah bertekat bulat ya ibu manut saja.” Bunda yang mendengar jawabanku kini tersenyum.

“Pak, bukannya bapak sendiri yang menyuruh Arya untuk jadi orang pintar?”
“Iya. Tapi kan tidak harus di luar negri.”
“Ada beasiswa pak. Arya sudah mendapatkan panggilan untuk wawancara. Tinggal mendapat restu bapak saja.” ungkapku lagi.
“Restu gusti Allah tidak perlu?”
“Kan restu orang tua juga restu gusti Allah pak. Setidaknya bapak dan ibu tidak terbebani dengan biaya kuliah jika Arya jadi orang pintar disini. Biar biaya itu diberikan kepada adik-adik saja.”

“Yasudah.” Kata bapak singkat.
“Yasudah apa pak?”
“Yasudah berangkato kono.”

Air mataku tak terasa telah menetes. Malas yang bergelantungan di punggung tubuhku kini sudah mulai berjatuhan. Badanku terasa lebih ringan. Aku lalu bangun dan mendekati jendela kamarku. Korden yang menghalangi cahaya matahari masuk pun aku buka. Alangkah bodohnya aku, menyia-nyiakan hari yang cerah seperti ini, ucapku dalam hati. Jendela pun kubuka, ada angin segar yang masuk ke dalam ruanganku. Udara pengap yang menyelimuti kamar kini perlahan berganti dengan angin segar.

Aku melihat ke meja belajarku. Ada foto bunda, bapak, adik-adik dan rumah kami yang sederhana.

Barang-barang sudah dikemas semua. Hari ini aku berangkat. Dua kardus dengan isi bekal makanan menurutku hanya membuat beban berat saja.

“Ibu sudah dibilang tidak usah bawa makanan banyak-banyak kok,”protesku.

“Disana tidak ada makanan Indonesia nak,” jawab bunda sambil mengikatkan tali rapia di kardus itu.
Mataku berkaca-kaca. Tapi aku menahan supaya tidak menangis. Mungkin ini adalah perpisahan pertama seumur hidupku. Kini aku benar-benar merasakan perpisahan memang menyedihkan.

Pertama aku menyalami adik-adik kecilku. Mereka aku peluk satu persatu-satu. Kadang aku bubuhkan ciuman di pipi-pipi merah mereka. “Jangan nakal,” ucapku dengan sedikit terisak. Dasar anak kecil, mereka tak punya ekspresi sedih seperti halnya aku.

Kini giliran bunda. Aku ambil tangannya yang tak halus itu, lalu aku cium lebih lama dari biasanya. Seumur-umur inilah pelukan paling erat yang aku lakukan bersama bunda. Bunda terisak, begitu pula aku. “Hati-hati anakku, jangan lupa shalat lima waktu... “ dalam isakan tangis bunda masih bisa mengucapkan kata-kata, tidak seperti aku yang telah bisu. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala saja, dengan maksud berkata “iya bunda.”

Aku tertawa di tengah tangis. Adikku yang paling kecil ikut menangis karena melihat kami berbagi tangis. Entah apakah dia faham arti perpisahan.

Bapak sedang menunggu giliran uluran tanganku. Aku pun bersegera mendekatinya. Bapak memelukku, aku juga memeluk bapak. Tulang-tulang tubuhnya sangat terasa dalam pelukku. Bapak, Arya akan pulang dengan kesuksesan, ucapku dalam hati.

“Hati-hati nak, jangan lupa shalat lima waktu, kabari jika ada sesuatu...” nasehatnya sama persis seperti nasehat bunda, hanya kata terakhir yang berbeda, “...kabari jika ada sesuatu...”

Tidak hanya keluarga. Para tetangga pun ikut terharu melihat kepergianku. Seorang anak kampung yang akan pergi merantau untuk menuntut ilmu jauh dari tanah air, ke sebuah negara bernama Turki.

Aku sudah menaiki motor yang akan mengantarku ke stasiun terdekat. Starter pun telah menyala.

“Assalamu ‘alaikum,” ucapku.

“Wa’alaikumsalam,” jawab mereka serentak. Lalu aku tidak berani menoleh ke belakang lagi. Aku takut niatku akan berubah dengan perpisahan ini. Suara isakan tangis itu perlahan pergi dan semakin tak terdengar.

Mataku sembab dan mengalirkan air mata rindu. Juga air mata kesedihan karena menyadari keadaanku yang telah kalah. Membiarkan rasa bosan menghampiri di tengah-tengah perjalanan merantau ini. Mataku bersedih karena telah terbesit rasa putus asa. Padahal keluargaku disana telah merelakan dengan paksa kepergianku, sedang aku menyia-nyiakan kesempatanku saat disini. Bagaimana bisa aku terlentang di ranjang berhari-hari tanpa semangat, sedang mereka tertinggal di tanah air bertahun-tahun dengan harapan yang besar ‘Arya yang akan datang dengan gelar orang pintar’.

Aku bangun dan segera merapikan tempat tidurku. Sepertinya aku harus mengambil wudhu, agar syetan-syetan busuk itu pergi dari tubuhku.

A4, Kahramanmaras Turki, 24 April 2014





Komentar

Postingan Populer