Mati (cerpen)
Pagi itu aku terbangun saja. Tidak seperti biasa,
aku bangun sebelum alarm berbunyi. Kuraih telfon genggamku dan kulihat jam masih
terlalu pagi, pukul 03.00 dini hari. Alhamdulillah, entah aku orang yang
keberapa di antara semua orang di dunia yang mendapatkan sentuhan lembut Tuhan hingga
terbangun di tengah malam. Aku pun terbangun tanpa ada paksaan suara alarm yang
bising. Waktunya menghadap Allah, pikirku.
Tidak ada suara gaduh malam itu. Keadaan bisa
dibilang sangat tenang dan damai. Di luar pun tak sebegitu gelap sebagaimana hari-hari
sebelumnya. Mungkin itu karena rembulan yang tersenyum. “Banyak yang bangun
malam yah?” candaku pada rembulan. Aku tersenyum sendiri, sadar jika rembulan
tak dapat berbicara seperti manusia.
Tempat untuk berwudhu rumah kami ada di luar. Tepat di
samping sumur yang dekat dengan dapur. Aku menyebutnya berdempet untuk lebih
jelasnya. Sebuah kendi yang berisi air sumur pegunungan, itulah tempat kami
mengambil wudhu. Aku meraih tutup yang terbuat dari karet sendal dari lobang
bawah kendi, lalu air terpancar dengan deras. Aku basuh tanganku dengan
mengucap niat berwudhu. Air segar ini menyentuh wajahku. Bulu di sekujur
tubuhku seakan telah berdiri. Mungkin bulu-bulu itu tiba-tiba terkejut, seperti
halnya aku di pesantren dulu. Seorang kakak kelas berusaha membangunkanku,
namun aku tak juga bangun. Seketika aku terduduk, jantungku berdegup kencang,
ada suara tawa yang kudengar di sekelilingku. Aku usap mataku yang kini basah,
ternyata kakak tadi menyiram kepalaku dengar seember air. Aku tersenyum
mengingat semua itu. Kini aku tak butuh air lagi untuk membangunkanku. Ada rasa
hutang budi aku pada kakak itu, dialah yang membuatku terbiasa bangun di pagi
hari.
Aku telah selesai mengambil wudhu. Seumur-umur aku
baru merasakan wudhu inilah yang paling tenang dan sempurna. Aku pun terheran
dengan perasaan itu. Aneh.
Kini aku menghampiri istriku yang masih terlelap di
atas ranjang. Dia tidur di sampingku sepanjang malam. Aku memandangi wajahnya
yang putih, hidungnya yang mancung, bulu matanya yang lentik, bibirnya yang
tipis, Subhanallah, dia cantik sekali.
“Ummi, mau ikut abi shalat tidak?”
“Abi duluan saja. Nanti ummi nyusul,” ucapnya manja
sambil masih menutup mata.
Sajadah polos tanpa gambar itu aku ambil. Aku tata
rapi menghadap Ka’bah. Semoga ini tepat dan lurus kepada Ka’bah, niatku saat
itu. Pakaianku sudah rapi, aku pun melengkapi dengan peci. Aku telah berdiri di
atas sajadah polos, lalu aku pejamkan mataku berkali-kali berharap aku bisa
berkonsentrasi lebih lagi.
“Allahu Akbar!!!” takbir sudah kumulai.
Secara berurutan, aku berusaha menyempurnakan rukun
dan syarat-syarat shalat. Lalu tubuhku aku bungkukkan beriringan dengan takbir
yang kedua. Ya Rabbi, segala puji hanya milik-Mu, Engkau yang maha Agung, dan
hanya kepada-Mu hamba berrukuk, tidak pada yang lain. Lalu aku bangkit,
kemudian kembali sujud.
Ya Rabbi, segala puji hanya untuk-Mu, Tuhan yang
paling tertinggi dan mulia, hambalah yang terkecil dari ciptaan-Mu. Aku merasakan
tenang yang dalam. Makanya aku sedikit berlama-lama dalam sujud ini. Saat aku
hendak duduk, aku tak bisa bergerak. Aku gelisah. Dengan masih bersujud aku
merasakan ada seseorang yang datang. Mungkin dia istriku, pikirku waktu itu. Sedang
aku masih berusaha untuk bangun.
“Sudahkah kau siap untuk pergi?”
Sebuah suara terdengar tapi bukan suara istriku. Kini
mulutku bisa bergerak, aku pun berucap, “Kemana? Siapa kau?”
“Menghadap yang Kuasa. Aku utusan-Nya untuk
menjemputmu.”
Aku menangis. Bukan karena istriku cantik yang akan
kutinggal. Bukan karena dunia indah yang akan kutinggal.
“Apakah dengan keadaan bersujud seperti ini kau
menjemputku?”
“Iya,” jawabnya tegas.
“Aku siap.”
Badanku meregang dan bergetar. Sujudku yang kokoh
kini goyah. Hampir saja tubuhku terjatuh, namun seseorang itu kembali
mengokohkan badanku dalam keadaan sujud. Aku tidak bisa berteriak. Padahal aku
merasa seperti dikuliti. Seperti inikah yang namanya mati.
“Ini sudah dipermudah,” ucap seseorang itu bisa
membaca perasaanku.
Dadaku terasa sangat sesak. Sudah hampir sampai
leherku.
“Asyhadu alla ilaha illallah. Wa asyhadu anna
Muhammadarrasulullah.”
Aku merasa sudah terpisah dari tubuhku. Aku gerak-gerakan
tanganku. İya, aku bergerak, tapi tubuhku tidak. Tanganku masih menempel di
sajadah polos itu.
--=o0o=--
İstriku terbangun tepat saat adzan subuh berkumandang.
“Abii!!!” teriaknya mencariku. Dia menemukanku. Dia menunggu aku bangun dari
sujud. Tubuhku tidak juga bangun. Padahal sudah lima belas menit berlalu.
“Abi?” panggilnya lagi.
Dia menyentuhku.
Kini dia sadar tubuhku sudah tak bernyawa.
“Abiiiiiiiiiiiiii!!!!” dia menangis histeris. Aku masih
belum pergi dari rumahku. Aku pun mendekati istriku.
“Kenapa kau menangis sayang? Bukankah suamimu pergi
dalam keadaan sujud?” tanyaku padanya menenangkan.
Tak ada jawaban.
“Maafkan ummi abi. Maafkan ummi abiiii.... Ummi
sudah tidak taat dengan menolakmu untuk bangun tadi malam. Maafkan ummi abi...”
Aku masih bisa menangis. Aku bahagia dan sedih. Kami
menangis bersama pagi itu.
--=o0o=--
Aku melihat rumahku sudah ramai dengan penduduk
siang itu. Aku mendengar pembicaraan orang-orang. Semua orang membicarakanku
yang mati dengan bersujud.
“Ustadz Ahmad insyaAllah mendapatkan tempat yang
layak di sisi Allah.” Aku menoleh. Seseorang telah menyebut namaku disana. Tubuhku
pun sudah berbalut kain putih dan siap untuk disholati. Ibrahim, dialah yang menyebut namaku barusan,
dia juga yang akan memimpin shalat
jenazah sebentar lagi.
Aku melihat Ibrahim yang tak berhenti meneteskan air
mata. Baru kemarin aku bercakap dengan teman sepesantrenku ini. Kami membahas
perkara mati.
“Kita tidak tahu umur kita akan berhenti pada titik
apa kang,” ucapku kemarin.
“Iya, tapi kau masih muda Ahmad. Mungkin aku yang
akan pergi berdahulu.”
“Jangan berbicara seperti itu. Tak ada yang tahu
perkara kematian selain Allah.”
“Iya, mudah-mudahan kita kembali ke sisi-Nya dalam
keadaan yang baik.”
“Aminnn..” ucap kami berbarengan.
Aku pun menangis. Doa kita terkabul Ibrahim, ucapku.
Semoga kau juga akan sepertiku, lanjutku mendoakannya.
Aku melihat tubuhku diangkat dengan keranda. Tidak sedikit
orang yang mengikuti tubuhku di belakang. Mereka semua kebanyakan
santri-santriku. Sampai jumpa santri-santriku, ucapku sambil mengusap air mata.
Lobang sepetak itu sudah siap. Aku melihat
sekeliling dan aku mendapati semua kerabat, sanak, dan sahabat dekatku hadir di
tempat itu. Mata istriku masih terlihat lembap. Sabar sayang, ucapku lirih di
telinganya.
Kakakku Abdullah dan beberapa orang sudah turun ke
dalam lobang. Merekalah yang akan menidurkanku di dalam situ. Aku menyaksikan
tubuhku digotong mendekati lobang. Mereka menyambut kedatangan tubuhku.
“Ikutlah masuk ke dalam,” ucap seseorang tak
kukenal.
Aku pun masuk ke dalam lobang dengan sendirinya. Entah
siapa yang menggerakkan tubuhku. Aku berbaring menatap langit yang kini tak
lagi luas, hanya sebesar lobang sepetak itu. Mereka melempariku dengan tanah. Awalnya
sedikit-sedikit, lalu perlahan bertambah banyak. Langit itu kini hampir tidak
terlihat. Mataku tak bisa melihat apa-apa. Terang telah berubah menjadi gelap dan
gulita. Tapi aku masih bisa mendengar mereka mengucapkan doa dan kata-kata, “Amin.”
Sekarang aku mendengar langkah-langkah itu perlahan
pergi. Jangan tinggalkan aku, aku berusaha berteriak agar mereka menetap. Ya Rabb,
teriakku lagi. Aku hanya merasakan hening, tanpa suara, tanpa cahaya, tanpa
saudara, tanpa apa-apa dan siapa-siapa.
A4, Kahramanmaras Turki, 26 April 2014
it was good story... :)
BalasHapusThank you Mrs. I hope, still come and read my writing. :)
BalasHapus