Bunga-Bunga yang Mekar (8)
Angin masih berdesir kencang. Padahal tadi sore
hujan deras telah mengguyur wajah Istanbul. Saat ini sudah reda. Genangan air
pun masih tampak di sepanjang jalan yang berkubang. Udara dingin peninggalan
hujan kini bertambah dingin karena angin.
Daus terlihat sedang berjalan di pinggir jalan raya.
Badannya seperti tidak seimbang. Gontai itu menunjukkan betapa melelahkannya
hari ini berlalu. Tentu sangat lelah. Daus berputar-putar untuk bisa menuju
Uskudar. Karena jarak yang jauh, juga pergantian kendaraan yang berkali-kali.
Sebuah apartemen bernama “Selam” menjadi sebuah
istana yang menjadi tujuan terakhir hari-hari di Turki. Daus dan Wildan
menghuni sebuah ruangan di lantai lima. Dari sana pemandangan kota Beşiktas
tampak merona.
“Astaghfirullah, aku lupa membawa kunci rumah,”
ucapnya setelah merogoh kantongnya yang kosong.
Dia telah berada di depan pintu. Ketika tidak
membawa kunci seperti ini biasanya seseorang akan mencari tombol bel yang
tersedia di samping pintu. Tentunya pintu akan terbuka jika ada seseorang di
rumah yang membukakannya. Daus tahu di rumah ada Wildan. Wildan memang pulang
lebih awal, sedang Daus mempunyai keperluan lain hingga menyuruh Wildan untuk
berdahulu.
Teettt!! Bunyi bel itu.
“Kim o?
Siapa itu?” terdengar suara Wildan dari sebuah speaker di samping bel.
“Aku cak.”
Pintu depan apartemen pun terbuka.
--o0o--
“Aku ganteng.. aku ganteng... aku ganteng aku
ganteng....” terdengar suara mars orang ganteng dari balik pintu kamar mandi.
“Dan! Gak boleh nyanyi di kamar mandi!” teriak Daus
mengingatkan Wildan.
“Aku ganteng.. aku ganteng...” nada itu masih saja
terlantun.
BRUKK BRUKK BRUKK!!!
Daus memukuli pintu kamar mandi dari luar. “İya iya
cak, aku diam dah. Ganggu orang seneng aja.” Keluh Daus.
“Semua orang juga tahu kalau pean itu tidak ganteng,”
ledek Daus.
“Tapi Siti kok mau deket-deket sama aku?”
“İtu bukan karena pean ganteng cak. İtu karena hati
pean yang ganteng.”
“Lah iya, sama saja. Aku ganteng... Aku ganteng...”
nada itu bersambung lagi.
BRUKK BRUKK BRUKK!!
“İya iya, asli! Aku diam cak!” teriak Wildan nyerah.
“Jadi ngelonjak kalau dipuji satu orang ini,” Daus
kesal.
Benar saja Wildan menjadi gembira. Pasalnya dialah
seseorang yang pertama kali dihubungi Siti tatkala dibutuhkan. Ada sebuah
isyarat positif yang Wildan dapatkan.
Sore itu ketika Daus datang hujan sedang
deras-derasnya. Wildan dan Siti sudah berada dalam kondisi yang aman. Daus mengetahui
itu dari pesan singkat yang Wildan kirim: Siti
aman cak, kami berteduh di masjid dekat pelabuhan, katanya. Buah ini manis
di Wildan, asam di Daus. Kasihan Rosda yang aku tinggal, ucapnya dalam hati.
Daus bertemu dengan mereka sedang berduduk di teras
masjid. Mereka sedang menikmati rintik-rintik hujan. Entah apa yang mereka
bicarakan, namun wajah Siti tak tampak pucat saat itu.
“Ada apa tadi Siti?” tanya Daus.
“Ada pesan ancaman datang kak. Aku jadi takut. Aku tidak
berani kemana-mana.”
“Kan udah kakak bilang jangan sendiri kemana-mana.”
“Tadi aku pergi sama teman orang Turki kak. Tapi dia
pergi duluan karena ada urusan dadakan. Maaf membuat cemas kakak.”
“Udah, udah ada aku, tidak usah takut,” ujar Wildan
menjadi pahlawan.
“Makasih kak Wildan.”
“Sama-sama Siti,” ucap Wildan salah tingkah.
“Alhamdulillah kalau begitu,” tambah Daus.
Setelah hujan reda mereka berpencar. Wildan
mengantar Siti hingga sampai rumah. Sedang Daus pergi ke tempat lain karena
urusan penting.
--o0o—
Buku-buku berhamburan di ruangan Daus dan Wildan. Keduanya
sibuk pada ujian masing-masing. Membaca, menulis, meringkas, dan menghafal,
pekerjaan mereka hanya itu saja selama seminggu yang lalu dan seminggu ke depan
lagi. Sudah seminggu sejak kejadian di Uskudar itu, setelahnya tidak ada kabar
lagi.
“Eh, Dan, ada kabar apa dari Siti?”
“Nggak ada cak. Sedang ujian juga mungkin,” jawabnya
sambil meringkas materi.
“Lah, katanya dia bilang ganteng,” Daus mulai
menggoda.
“İya, kemarin Rosda yang bilang kalau Cak Daus itu
ganteng.. teng.. iteng.”
“Asyem!”
--o0o—
Kemacetan mobil di İstanbul di siang hari adalah
rutinitas. Tiada hari tanpa permasalahan lalu lintas. Berjam-jam di dalam angkutan bus itu sudah
biasa. Apalagi dengan kepadatan penumpang yang kadang memaksa untuk pria dan
wanita berdesak-desakan dalam satu kendaraan. Daus ada di dalam sebuah bus
sedang menuju ke rumah. Materi ujian hari itu hanya ada satu dan kini telah
usai.
Sepanjang perjalanan dia menatap tepian selat yang
tak pernah membosankan. Beberapa kali dia juga mengeluarkan kamera tuk
mengabadikan keindahan.
Di sebuah lampu merah bus berhenti. Terlihat dari
balik kaca Daus melihat seseorang yang pernah dikenalnya di dalam sebuah
restoran. Orang itu sedang menjelaskan sesuatu namun ada orang Turki yang sedang
memarahinya tanpa henti.
“Waduh, kasihan,”
ucapnya dalam hati. Seketika Daus menekan tombol pembuka pintu lalu berlari
turun mendekati orang itu.
“Hayırdır Abi?”
tanya Daus kepada orang Turki, yang artinya ada apa mas.
“Dia makan dan tidak mau membayar,” jelas orang
Turki itu.
“Dompet saya ketinggalan mas,” bela orang berwajah
İndonesia yang tidak asing di mata Daus.
“Ne kadar abi?
Berapa totalnya mas?”
“50 Lira.”
Lelaki itu adalah Aziz yang selama ini Rosda
berusaha untuk jelaskan.
“Terima kasih mas. Sumpah, kalau tidak ada mas
mungkin aku sudah dikirim ke kantor security,” ucap Aziz.
“Ah, tidak apa-apa mas. Kebetulan tadi saya lewat.”
“Aku berhutang pada mas. Lain kali akan aku bayar.”
“Wah, tidak usah mas. Anggap saja sebagai salam
perkenalan saya,” kata Daus dengan mengulurkan tangan.
“Saya Daus.”
“Aku Aziz.”
Sepertinya bunga-bunga musim semi akan mekar dengan
indah. İya, musim tanpa bunga-bunga yang mekar tidak akan indah. Keindahan musim
semi ada pada keindahan bunga-bunga cantik nan menawan.
Daus dan Aziz berjalan bersama menuju rumah mereka. Ada
jajaran bunga indah yang tertata rapi di sepanjang pinggiran jalan. Merah, kuning,
biru, warna dari bunga tulip-tulip itu. Siapa
lagi selain Allah yang telah mempertemukan Daus dengan Aziz.
“Kerja dimana mas?” tanya Daus.
“Alhamdulillah sekarang sedang mengerjakan proyek
penerjemahan novel-novel Turki.”
“Wah, penulis dong?”
“Belum, cuman penerjemahan saja. Menjadi penulis
butuh waktu dan pengalaman yang banyak. Biarlah sekarang belajar menerjemahkan
novel-novel orang dulu.”
“Mantap, aku juga kuliah di jurusan sastra Turki
mas. Kebetulan sekali.”
“Benarkah? Apa sudah lama?”
“Tidak, baru satu tahun berjalan mas. Masih perlu
belajar banyak dari mas sepertinya,” ucap Daus basa basi.
“Kalau aku tidak ada dasar kesastraan, cuman aku besar disini. Makanya Bahasa Turki-ku lancar.”
“Owhh, mas bukan mahasiswa?” tanya Daus pura-pura
tak pernah tahu. Padahal dia sudah mengenal Rosda dan tahu kalau Aziz adalah
kakaknya.
“Sudah bukan,” jawab Aziz singkat.
Senja sudah mulai terlihat di ufuk timur. Rumah Aziz
dan Daus berbeda. Namun mereka sudah berjanji akan bertemu untuk kali kedua. Perjumpaan
Daus dengan kakaknya Rosda memberikan semangat berbeda dari sebelumnya. Cinta memang
kadang membuat gila. Daus selalu memberi salam kepada siapa saja yang dia jumpa
hingga dia sampai di depan rumahnya. Beberapa orang menjawab salam dengan
keheranan. Entah begitukah pertanda bunga yang sedang mekar, seperti telah
mendapatkan kunci tuk membuka pintu surga.
“Bunga-bunga yang Mekar” adalah cerita sambungan
dari “Di Balik Bunga Dan Awal Cinta.”
Kahramanmaraş Turki, 08 April 2014
Komentar
Posting Komentar