Sepeda Plastik
Ebo,
begitulah penduduk apartemen Serap memanggil anak kecil tetanggaku itu. Badannya
kecil dan kurus. Umurnya baru enam tahun. Kepribadian anak ini adalah nakal. Kadang
aku pun kewalahan menghadapi kenakalannya. Akalnya licik dan cerdik, terkadang juga payah
dan bodoh. Misalnya, kejadian hari ini.
Burak,
satu sahabat karib Ebo yang juga bertetangga. Tidak begitu nakal anak yang satu
ini. Tapi dia tidak takut apapun, termasuk kepada Ebo. Umur mereka sepantaran. Keseharian
mereka selalu saja bersama, di taman, di sekolah, dan tempat-tempat lain.
Hari
ini Burak mendapatkan sepeda roda tiga yang baru pemberian ayahnya. Sepeda itu
terbuat dari plastik, berpedal dan tidak punya rantai. Dengan bangga dia pun
menaikinya untuk berkeliling. Ebo yang melihat Burak mendapatkan sepeda baru
merasa iri.
“Anne ben de o bisiklet istiyorum,”
katanya. Artinya, Ibu, aku ingin sepeda seperti itu.
“Hani? Yang mana?” jawab ibunya.
“Sepeda
plastik yang itu?”
“Evet.
Iya,” ucap Ebo manja.
“Senin bisiklet daha iyi oğlum.
Sepedamu lebih bagus anakku. Senin ki
demir bisiklet, onun ki ise plastik bisiklet. Sepeda punyamu itu dari besi,
sedang punya dia cuman dari plastik.” Ujar bundanya berusaha menjelaskan anaknya
yang menganggap sepeda plastik milik Burak lebih baik daripada miliknya yang besi.
Aku
melihat Ebo tidak mau mengendarai sepedanya sendiri. Akhirnya, dia pergi
mengikuti Burak dari belakang. Mungkin dia berpikiran bagaimana agar bisa
menaiki sepeda plastik itu.
Selang
beberapa waktu, aku melihat mereka dari jendela, Ebo sedang mendorong sepeda
Burak dari belakang.
“Dorong
terus,” teriak Burak menyemangati.
Ebo
kelelahan. Dia merajuk tidak ingin mendorong.
“Dorong!”
kata Burak lagi.
Eh,
Si Ebo tidak mau mendorong dan malah mengambil batu, lalu memukulkan di kepala
Burak, sambil berkata,
“Turun!!
Gantian aku yang naik!” katanya menampakkan wajah seram.
Aku
tertawa melihatnya, setelah itu aku ada urusan lain dan tidak bisa melanjutkan
untuk menyaksikan pertunjukan Ebo dan Burak.
Setelah
setengah jam aku tertarik untuk menengok mereka. Lalu kudekati jendela. Aku kembali
tertawa. Ternyata mereka sudah terlihat agak jauh. Tapi Ebo tidak juga berhasil
menurunkan Burak dan masih mendorong di belakang sepeda. Suara mereka
masih terdengar, meski kecil.
“Dorong!”
kata Burak.
Ternyata
Ebo kelelahan lagi. “Tidak mau!” jawabnya sembari mencari batu lagi.
BUKK!!
“Turun!
Gantian aku yang naik!” Kata Ebo garang.
Burak
tidak menangis dan tidak takut. Dia malah terus menginjak pedal yang di roda
depan. Ebo tidak sukses. Lagi-lagi Ebo malah mendorong dari belakang. Aku
tertawa lagi, dasar anak kecil, ucapku bergumam.
Aku
kembali melanjutkan pekerjaanku. Entah sudah berapa menit berlalu. Aku masih
penasaran dengan lanjutan pertunjukan anak-anak kecil itu. Kembali kudekati
jendela.
“What!
Mereka sudah jauh banget,” aku ngomong sendiri.
Dari
jauh Ebo terlihat masih mendorong sepeda plastik itu. Aku terbahak dengan nasibnya
yang tidak berubah. Selalu di belakang dan mendorong. Tiba-tiba mereka
berhenti. Ada percakapan di antara mereka. Sepertinya perkataan yang sama
dengan sebelumnya, tebakku. Ternyata benar. Ebo lagi-lagi mencari batu dan
setelah ketemu dia datang mendekati Burak. Burak mengelus kepalanya karena
pukulan dan terus menginjak pedal lagi maju ke depan. Akhirnya, Ebo tidak
pergi, tapi tetap melanjutkan mendorong sepeda plastik itu dari belakang. Perutku
sakit sebab terbahak, hahaha... anak-anak Turki lucu! Ucapku.
*Sebuah
cerita fiksi, terinspirasi dari cerita seorang teman.
A4,
Kahramanmaras Turki, 28 April 2014
Komentar
Posting Komentar