Seperti Bunga Matahari (10)



Siang itu, Wildan duduk di sebuah bangku taman. Ada banyak bangku yang tersedia di taman-taman Turki. Bangku-bangku itu selalu setia menunggu kedatangan siapapun, mereka berharap agar seseorang datang dan menemani meski harus diduduki. Alangkah bahagia lagi jika ada sekeluarga atau sekelompok yang mendatangi, seketika keramaian pun menyelimuti bangku-bangku kesepian itu. Wildan memilih bangku yang bermeja. Dia datang sendiri, mungkin agar tugasnya sebagai penjaga rahasia tetap terjaga dari siapapun juga. Dia sendiri dari kawanan teman semanusia, namun dia tidak sendiri jika buku-buku di tasnya bisa dikatakan sebagai kawanan teman bukan manusia. Lalu, Wildan pergi ke dalam dunia kata-kata.


Tidak jauh dari bangku yang didudukinya ada bunga-bunga segar yang mengitari, bagai pagar-pagar kecil perumahan. Satu dari bunga-bunga itu bernama Matahari, namun orang Turki tidak memanggilnya dengan “bunga matahari”, melainkan sebagai “Ay Çiçek, bunga bulan”. Kadang, penerjemahan kata-kata di Turki sedikit membuat kernyitan di dahi. Bunga matahari itu melambai-lambai berharap Wildan tergoda untuk melihatnya. Bunga matahari berhasil, wajah Wildan berpaling dari buku dan mulai memandang bunga itu. Namun tidak berlangsung lama, seketika Wildan memandang ke arah dua manusia yang sedang duduk di dalam sebuah kafe di dekatnya.

Pemandangan itu merusak semangat Wildan untuk membaca. Buku yang tadi terbuka, kini sedih sebab telah ditutup dan diabaikan.  Wildan menggenggam kedua tangannya, mengepal seperti sedang kesal. Mungkin dia cemburu.

--=o0o=--

“Apa yang kau pikirkan Siti? Kau ragu dengan sayangku kepadamu?”
“Aku tahu kau masih sayang kepadaku. Aku bisa melihat itu di dalam matamu,” lanjut Rudi ketika melihat Siti terdiam.

“Aku sudah mantap dengan pilihanku Rud..” ucap Siti dengan suara bergetar.
“... Aku mantap telah memilih Islam sebagai agamaku. Aku pun akan selalu menaati apa yang agamaku perintahkan dan aku tidak akan mengerjakan apa yang dilarang. Aku tidak bisa menerima seorang imam yang bukan muslim. Tidak bisa...”

Rudi pun kini diam. Pembicaraan sudah masuk ke ranah kepercayaan.
“Bukankah sudah ada banyak orang yang menikah beda agama. Tidakkah cinta kita ini perlu untuk dipertahankan?”

“Bahkan kau tidak tahu agamamu sendiri. Tidakkah kau tahu sebuah ayat dari 2 Korintus 6:14? Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimana terang dapat bersatu dengan gelap?

“Tapi ada gereja yang melakukan pemberkatan pernikahan beda agama tanpa harus membaptis pasangan non-Kristen.” Ucap Rudi berusaha meyakinkan Siti.

“Rudi, aku masuk agama Islam dengan keyakinan yang penuh. Aku tidak sekedar ikut-ikutan, mengikuti keluargaku yang telah masuk Islam. Jangan hubungi aku lagi!”

Siti segera berdiri dan meninggalkan Rudi. Sedang Rudi hanya bisa duduk dan diam tanpa bisa berbuat apa-apa.

Wildan dan bunga matahari pun ikut menyaksikan wajah kedua manusia itu bersitegang dari kejauhan. Wildan memasukkan buku-buku ke dalam tas, lalu pergi.

--=o0o=--

Sore itu, Wildan dan Daus bertemu di jalan sedang menuju rumah. Dua pemuda dengan wajah yang berbeda, di wajah Wildan ada senyum yang terpaksa, sedang di wajah Daus ada kegembiraan yang leluasa.
“Sudahlah Dan, kadang kita harus kuat seperti batang bunga-bunga matahari itu. Kadang kita harus menopang beban yang berat. This is life.”

Sebuah nasehat yang sedikit menghibur hati. Kali ini senyuman Wildan lebih cerah dari sebelumnya.
“Thanks cak...”

Kali itu ada sebuah mobil barang yang sedang menurunkan barang perabotan rumah di depan apartemen mereka. Sepertinya ada yang sedang pindah rumah. Tidak ada banyak lelaki di sekitar ibu setengah baya yang sibuk mengangkat barang-barang itu. Jiwa-jiwa pemuda İndonesia ini terpanggil.

Biz yardım edebilir miyiz? Bolehkah kami bantu?” tawar Daus ke ibu itu.
Yok sağol oğlum. Tidak usah anakku.”

Tanpa mendengarkan perkataan ibu itu Wildan dan Daus pun membantu mengangkat barang-barang. İbu itu tersenyum melihat pemuda baik seperti mereka. Dasar anak-anak muda, kata ibu Zeyneb dalam hati.
Semua barang sudah dipindahkan. Mereka tidak berani masuk rumah. Barang-barang itu hanya diangkat hingga depan pintu, lalu dari pintu seorang gadis Turki memasukkannya ke dalam rumah.

Teşekkürler gençler. Terima kasih banyak anak muda,” ucap ibu Zeyneb.
Bir şey değil anne. Sama-sama ibu. Biz komşuyuz, yardımleşiyoruz. Kita bertetangga, sudah patutnya saling membantu,” ucap Wildan membalas.

Siz nerelisiniz? Asal kalian mana?” tanya ibu itu lagi.
Endonezyalıyız. Kami orang İndonesia.”

“Orang İndonesia memang baik-baik. Suka membantu, sopan, dan tidak suka menyakiti orang lain. Kami telah mendengar cerita itu dari orang-orang tua kami yang pulang dari haji.” İbu Zeyneb mulai memuji-muji mereka. Sedang mereka hanya bisa diam salah tingkah dengan pujian-pujian itu.

Kızım, mutfaktan bir bal reçeli getirsana. Gadisku, ambilkan satu selai madu yang di dapur.”
Seorang gadis cantik tadi ternyata putri dari ibu Zeyneb. Dia datang membawa selai madu dari dapur.

“Öğrenci misiniz? Apa kalian pelajar?” ucap ibu Zeyneb sembari mengulurkan selai.
“Evet. İya.” Jawab Wildan dan Duas serentak.

 “Hadi hayırlı akşamlar. Yasudah, selamat sore.”
“Hayırlı akşamlar.”

Sebelum berpisah ada senyum manis yang diberikan oleh ibu dan gadis Turki itu. Lalu mereka masuk ke dalam rumah.

--=o0o=--

“Dapat tetangga baik kita kali ini.”
“Iya, memang orang-orang baik akan mendapatkan tetangga yang baik cak,” kata Wildan.

“Kan tidak selalu Dan...”
“Meski tidak selalu kan kebanyakan begitu cak...” sambung Wildan tidak mau kalah.

“Dasar arek suroboyo ngengkel (orang surabaya yang keras kepala)!!!” Daus kesal.
“Biarin hahaha...”

Ternyata kehadiran Ibu yang baik tadi sedikit membuat Wildan lupa dengan kejadian siang. Namun tidak dengan Daus. Daus tidak lupa dengan keceriaan bersama Aziz dan Rosda. Secarik kertas putih dia ambil, lalu Daus mulai mengukir,

Kuning, bercahaya, dan membangun jiwa
Seperti bunga matahari di taman bunga
Jika benar aku pemiliknya
Aku tidak akan rela layu menyapa
Timba akan kukayuh lalu kusiram air di wajahnya
Biarlah kau tetap segar kala menatap mentari

--=o0o=--

Wildan pun bingung. Ada kesamaan pikiran antara dia dan sahabat serumahnya ini. Semenjak pagi hanya ada bunga matahari yang menjadi sumber inspirasi.

Ping!!
Sebuah pesan masuk.
“Kak Wildan, maaf tadi Siti pergi saja meninggalkan kakak.”
“Tidak apa. Kakak faham. Kakak melihat kalian sedang beradu argumen tadi siang.”

Ping!!
“Iya, Rudi ingin Siti mau menikah dengannya kak.”
Wildan kini diam. Lalu kembali membalas pesan Siti;
“Lalu Siti jawab bagaimana?”

Ping!!
“Kak, menurut kakak bagaimana pernikahan beda agama? Apa boleh?”
“Perkara ini banyak diperdebatkan Siti. Kakak lebih condong kepada pendapat yang tidak membolehkan. İman lebih penting daripada cinta.”

Ping!!
“Kalau dia menawarkan untuk masuk Islam kak?”
“Jangan. Jangan suruh dia masuk Islam dengan terpaksa. Tidak boleh ada paksaan dalam mengajak masuk Islam. Lagi pula, tidak sedikit cerita yang menceritakan mereka yang masuk Islam untuk menikah, lalu setelah menikah malah kembali ke agamanya yang lama.”

“Siti, suka bunga matahari?” kini Wildan yang bertanya.
“Suka kak. Ada apa denga bunga matahari?”

“Jadilah seperti bunga matahari. Dia selalu mengikuti kemana cahaya pergi. İkuti cahaya hidayah Allah Siti. Karena bunga matahari suka terang. Jadilah bunga matahari yang tampak kuat dan kokoh, meski beban itu berat. Jadilah bunga matahari yang selalu ceria dan setia pada satu cahaya.”

Ping!!
“Iya kak.”


Setelah lima belas menit kemudian.
Ping!!
“Kak... Maukah kakak berbagi cahaya untuk Siti. Siti butuh terang, sedang cahaya itu jauh dari Siti. Siti merasakan dari hati yang paling dalam, kakaklah yang bisa membawa Siti kepada cahaya itu.”
Wildan kini merasakan keseriusan komitmen pada kata-kata Siti. Sungguh bunga matahari yang berani berterus terang, katanya dalam hati.

“Asal Siti bisa menyimpan cahaya lama yang telah redup, kakak rasa kakak siap mengajak Siti mendekati cahaya bersama-sama.” Kini jawaban Wildan begitu tegas dan mantap.

“Seperti Bunga Matahari” adalah cerita sambungan dari “Bunga yang Terkejut.”
A4, Kahramanmaras Turki, 23 April 2014





Komentar

Postingan Populer