Perbedaan Antara Religius Hakiki dan Religius Palsu



Seseorang religius yang hakiki menganggap dirinya sebagai seseorang yang kecil, dia memiliki sifat tawadhu' yang luar biasa. Baginya hal yang terpenting bukanlah perkara dikenal, diketahui, ataupun mengambil jatah. Segala upaya yang dilakukannya adalah usaha menunjukkan jalan dan mengajak orang-orang menuju surga, bukan menunjukkan dirinya sendiri, akan tetapi menunjukkan hakikat-hakikat Allah Ta’ala.

Sebagaimana sesuatu yang memiliki hakiki (asli) dan palsu, maka religius pun mempunyai yang hakiki dan palsu.
Jika begitu, mungkin saja terlintas pertanyaan, "Apakah perbedaan antara seorang religius hakiki dengan orang yang mengaku religius?" atau "Siapakah religius hakiki dan religius palsu, adakah kriteria yang menunjukkan hal itu?"


Jawaban pertanyaan pertama yang harus diucapkan oleh setiap orang adalah "Akulah sang religius palsu, sedangkan religius hakiki adalah orang-orang mulia yang menghidupkan agama di setiap saat dalam hidupnya."

Karena agama melarang seseorang memiliki kebaikan dan mengucapkan "Akulah sang orang baik!", menyukai diri sendiri, dan juga menganggap dirinya yang paling bersih.

Seorang religius hakiki, selalu melihat segala sesuatu yang telah dilakukannya atas nama ibadah sebagai ‘sesuatu yang sedikit’, dia berkata, "Ibadah yang seperti itu tidak cukup di hadapan Sang Sultan, tidak cukup semua ini sebagai balasan atas semua anugerah dan pemberian-Nya, apalagi kala berada di hadapan-Nya seakan kehidupanku bukanlah apa-apa," dia selalu berfikir mencari jalan untuk menambah kehambaannya; kesyukuran, ma'rifah, tafakkur, ibadah, dan ketakwaannya. Dia akan berusaha sebisa mungkin untuk melewati kehidupan atas dasara karena-Nya, satu kesempatan yang dia miliki tidak akan berlalu tanpa dengan mengingat-Nya.

Sedangkan religius palsu, dia akan menjadi seorang pengacara bagi nafsunya, yang akan menggunakan segala sesuatu sebagai alasan untuk tidak melaksanakan perintah dan keperluan agama.  Dia tidak hanya mencari jalan untuk mengabaikan perkara ibadah nafilah atau sunnah saja, bahkan juga ibadah fardhu sekalipun. Baginya persyaratan tidak berperan sama sekali.

Semua yang kita sebutkan ini, meskipun ada pendapat yang menilai idenditas keduanya dengan melihat dari sisi peribadahan, namun sifat khusus penting lain seperti halnya peribadahan mereka adalah hubungan, pekerjaan, dan keadaan mereka di antara masyarakat yang kita sebut dengan mu'amalah.

Ustadz Bediuzzaman Said Nursi, ketika menjelaskan kekhususan dan perbedaan antara "syeikh" dan "mutasyayyikh" dalam Munazarat, lebih melihatnya dari sisi ini.

Setiap orang memiliki sebuah tujuan di dalam kehidupan. Tujuan seorang Muslim yang tulus adalah mengisi hatinya dengan hakikat-hakikat iman, melihat setiap permasalahn dari sisi pandang ridha Ilahi, menyatukan manusia kepada Allah dalam hakikat keimanan, dan mencoba memastikan keEsaan Allah Ta’ala.

Muslim yang tulus, selalu mencari titik persatuan, bukan perbedaan dalam pembicaraannya, kemudian baru membahasnya. Dia membuka sebuah jamuan ilmu di hadapan orang-orang, mempersilahkan duduk siapapun, mengizinkan mereka untuk mengambil keperluannya, dia ingin agar mereka berdiri dengan kenyang, sambil berkata, "Datanglah kemari, mari mencari satu titik persamaan di antara kita."

Profesi seorang religius hakiki adalah muhabbah. Kasih sayang tidak hanya dalam lidah saja, namun juga dalam perilaku dan perbuatan. Oleh karena itu, dia akan memperhatikan hati dan hak orang lain, menggunakan bahasa kasih sayang yang hangat agar tidak menyakiti siapapun.

Keistimewaan yang paling jelas adalah meninggalkan keinginan-keinginan hawa nafsu. Dia akan memberikan hal-hal yang disukai nafsu kepada orang lain, sedang yang tidak disukai nafsu kepada dirinya sendiri.  Dialah yang memberikan perhatian, penghormatan, pelayanan, tidak mengambil hati atas kesalahan dan kekasaran orang lain, dia pun yang mengatakan "Saya bisa mengerjakan!" kala ada sebuah pekerjaan yang harus dikerjakan, dan juga yang memberikan keberhasilannya kepada orang lain dan menghargai dengan kata-kata "Ini adalah karya anda." "Dia pergi ke seseorang yang tidak datang, memberi kepada yang tidak memberi, berbicara dengan yang tidak berbicara."

Seseorang religius hakiki menganggap dirinya sebagai seseorang yang kecil, dia memiliki sifat tawadhu' yang luar biasa. Yaitu, tidak ada tawadhu palsu di lidahnya, ataupun kesombongan dalam dirinya. Bahkan, dia bukanlah orang yang tawadhu', akan tetapi seseorang yang sangat rendah hati. Karena hal yang lebih kecil dari ketawadhu'an adalah mengetahui ketidak-adaan dirinya dengan kerendahan hati, dia tidak mengingat dirinya di hari kemarin, dan dia meyakini bahwa semua jiwa yang hidup adalah makhluk yang diciptakan dari ketiadaan.

Baginya hal yang terpenting bukanlah perkara dikenal, diketahui, ataupun mengambil jatah. Segala upaya yang dilakukannya adalah usaha menunjukkan jalan dan mengajak orang-orang menuju surga, bukan menunjukkan dirinya sendiri, akan tetapi menunjukkan hakikat-hakikat Allah Ta’ala. Kehidupannya telah menjadi dakwah, semua hal seperti pembicaraan, jual-beli, makan, minum, berkeliling, tertawa, kesenangan, dan kesedihannya penuh dengan nilai dakwah itu.

Hal pertama yang menjadi tanda pengenal seorang religius palsu adalah usahanya untuk mencari-cari kesalahan dan menjelek-jelekan orang lain. Yakni, keluhannya bukan berasal dari dirinya sendiri, akan tetapi dari orang lain. Bentuk yang seperti ini adalah gambaran seakan-akan hal ini telah menjadi profesi, pekerjaan, dan kebiasaannya.  Ketika dia menunjukkan keburukan, kekurangan, dan kesalahan orang lain, maka seakan-akan kesempurnaan itu menjadi miliknya sendiri. Dia mengira seperti itu. Kekurangan adalah milik orang lain, sedangkan kelebihan adalah miliknya. Entah dia mengungkapkan secara terang-terangan atau bukan, semua kata-katanya penuh dengan puji-pujian.

Religius palsu memiliki musuh sebesar semesta alam. Karena keburukan berasal dari orang lain, menjadikan mereka sebagai musuh adalah kesimpulan yang logis, yang juga merupakan hak paling alami para musuh.

Dimana ada permusuhan terhadap kekurangan dan keburukan, tentunya ada juga muhabbah yang dilakukan kepada pemilik kesempurnaan dan kelebihan. Seorang religius palsu, selalu menunggu muhabbah untuk dirinya dan permusuhan untuk orang lain. Padahal tugas yang paling kecil seorang Mukmin yang hakiki adalah  berusaha memastikan umat manusia mencintai, memuji, dan mengharapkan pertolongan kepada Allah, bukan pada dirinya sendiri.

Seseorang yang mengaku religius menyukai adanya perpecahan. Dia adalah seniman untuk menciptakan perpecahan di antara dua pihak dan juga membuat permusuhan, ghibah, dan fitnah dengan perkataan yang menimbulkan pertengkaran.

Memusuhi hal-hal yang dianggap buruk oleh sang religius palsu, tentunya akan membuatnya bergembira. Sedangkan orang yang tidak memusuhi hal yang dianggapnya buruk, maka dia tidak akan pernah dianggapnya.

Di manapun religious palsu tinggal, dia selalu menginginkan masyarakat yang hidup bersamanya bergantung dan mengikuti dirinya. Dia tidak akan pernah menyerah dari keinginan untuk dilihat pandangannya, didengar perkataannya, dan ditaati hukum buatannya.

Keagamisan seorang religius palsu hanya untuk keduniaan. Dia seperti serigala yang menyamar dalam bentuk kambing, dia berusaha memburu keduniaan dengan agama. Tujuan keseluruhan yang dia miliki adalah demi tercapainya kehendak manfaat pribadi, kekayaan, dan hawa nasfu. Keinginannya bukanlah keagamisan, akan tetapi uang keduniaan; musuhnya bukanlah hawa nafsu, tetapi keagamisan itu sendiri.

Religius palsu, adalah orang kasihan yang pertama-tama berusaha menipu dirinya sendiri, lalu menipu orang lain. Sangat disayangkan, dalam sepanjang sejarah ada banyak orang yang terperdaya dan menjauh dari keagamaan dan keagamisan seperti ini.

Walau bagaimanapun ketidak-pedulian terhadap agama dengan sebab ini, adalah berasal dari ahlaknya yang menyalahkan orang lain, memulai pekerjaan dari tempat yang salah, menganggap diri sendiri adalah yang paling bersih, dan tidak memikirkan bahwa menjadi religius adalah tugas bagi setiap hamba.

Diterjemahkan oleh Al-Akh Abdul Aziz, dari makalah berjudul Hakiki Dindar İle Sahte Dindarın Farkları” Majalah Yeni Bahar. (http://yenibahar.zaman.com.tr/misafir-kalem/hakiki-dindar-ile-sahte-dindarin-farklari_552527)

(A4, Istanbul, 08/10/15)

Komentar

Postingan Populer