Menikmati Puasa (Bag. 2)
Januari
yang mengawali tahun ini berlalu dengan puasa penuh; tanpa suaranya, tanpa
pesan darinya, tanpa sapaan yang seperti dulunya. Keputusan berat yang aku dan
dia ambil adalah keputusan yang bukan main-main, kami serius. İni tidak biasa,
pasangan kekasih mana yang mampu bertahan tanpa saling berkomunikasi, tanpa
saling berbalas kabar, tanpa hal apapun yang bisa menghubungkan dua hati
sepasang kekasih. Padahal kemungkinan, peralatan, alat untuk berkomunikasi itu
ada dan tersedia. Mungkin bisa dimaklumi jika kita mengambil permisalan di
waktu lampau, yang saat itu hanya ada kertas bertuliskan tulisan tangan, mungkin
saja saat itu tidak semua orang bisa menulis, tulisan itu terselip dalam
kantong kertas lain yang bernama amplop, dikirimkan melalui kantor pos yang
mungkin datang setelah berbulan-bulan. Sampai kertas yang dikenal dengan surat
itu tiba, tak terdengar kabar, tak tahu ada apa gerangan yang terjadi. Saat itu
adalah biasa, tidak seperti hari ini yang segalanya serba ada.
Beberapa
hari setelah keputusan itu, aku pernah berkata,
“Sudah beberapa hari berlalu, sejak
kita memutuskan itu. Gundah, gelisah merasuki kalbu. Tak terbiasa aku jauh
darimu.
Saat melihat raut wajahmu, seketika
hatiku berkata menganjurkan untuk menyapamu.
Kembali kuingat kenapa kita
berpuasa, ku kembali menenangkan hati. Sabar... sabar...
Beginilah keadaan selama berpuasa,
syeitan berbisik dan puasa menahan, menjauhkan dari kemungkaran.”
Hari-hariku
terisi dengan genangan rindu, yang semakin hari genangan ini semakin meninggi. Bukan
karena aku yang tidak berani menyapa, bukan karena dia yang tidak mau disapa,
bukan karena alasan apapun kecuali hanya dengan alasan “karena tekat berpuasa kami adalah harapan untuk mendapatkan buah ridho
ilahi.”
Mungkin
ada yang mengatakan seakan bertanya, “Kenapa kamu siksa sendiri dirimu? Tak perlulah
seperti itu.”
Tidak,
memang aku sengaja menyiksa diriku. Biarkan genangan rindu ini terus
menggenang. Biarkan! Aku hanya ingin menjaga kehormatan sebagai hamba yang
taat, hamba yang tahu perintah Allah adalah segala-galanya, larangan-Nya yang
harusnya tidak dikerjakan adalah sebab daripada murka-Nya. Biarkan aku menyiksa
nafsu ini. Biarkan!
Ketika
kau sudah mengetahui isi hati pujaan hatimu, bahwa cintanya adalah teruntukmu,
apa yang terpikir di benakmu? İya, aku tahu. Kau pasti ingin bermadu cinta
dalam lautan asmara yang bergelombang. Kau pasti ingin mencurahkan segala isi
hatimu, membiarkannya meletakkan telingannya di dadamu, supaya terdengar detak
jantungmu berbunyi “Cinta.. cinta.. dan cinta..
Sebentar,
kau sedang bermimpi. Karena semua keinginanmu itu adalah murka-Nya yang sangat
besar. Antara kau dan dia ada sebuah dinding penghalang yang terbentang
panjang. Hanya ada satu pintu, yang bisa mewujudkan semua keinginanmu itu. Kunci
dari pintu itu adalah PERNİKAHAN,
tanpanya semua keinginanmu hanyalah hayalan.
Apalah
arti cinta jika cinta-Nya tak tercurah? Apalah arti kasih jika Sang Kekasih yang
sebenarnya berpaling muka? Apalah artinya cinta sejati jika kesejatian tidak
memihak, sedang dunia adalah fana. Bukankah cinta sejati adalah persatuan dua dunia?
Bersama kekasih ketika di dunia, bertemu lagi di dunia kedua, akhirat.
Jadi,
ketika kau sudah mengetahui isi hati pujaan hatimu, bahwa cintanya adalah teruntukmu,
apa yang terpikir di benakmu? Berfikirlah
untuk menikahinya, sesegera mungkin.
Aku
pun berfikir tuk menikah, aku berfikir tuk mengambil kunci itu, lalu masuk
menjemputnya, membawa ke kehidupanku, selamanya. Namun, keadaan yang aku alami
menghalangiku. Seperti yang telah kukatakan sebelumnya, aku sedang
mempersiapkan “mampu.” İya, mampu adalah ukuran dan takaran yang menyampaikan
pesan bahwa sudah saatnya aku menikahinya.
Aku ingin melakukan nasehat bapaknya Jokowi
yang sederhana, “Hati perempuan itu jangan dibuat mainan, kalau kamu
bener-bener seneng, ya harus serius.” Perkataan bijaksana ini aku dengar dalam
film Jokowi.
“Laki-laki
itu harus memperjuangkan wanita yang dicintainya. İbarat mendaki gunug,
menyebrang lautan, menerjang badai, harus dilakukan,” lanjutnya.
“Kalau
kamu takut mati ya jangan berperang, perang itu ada dua kemungkinan; mati syahid
atau menang. Kalau mau menang, ya harus berani mati.”
“Bapak
punya modal; kejujuran dan kesungguhan. Bapak juga berdoa sama Allah. Kalau ibumu
benar-benar jodohnya bapak, Allah pasti berbicara.” Jelas beliau.
Dia
sedang menunggu, bukan menungguku. Akan tetapi menunggu jodoh yang benar-benar
Allah tentukan untuknya. Entah itu aku, entah itu orang lain. Aku sedang sibuk
mempersiapkan “mampu”, harapanku aku segera meraihnya dan datang meminangnya. Tentunya
doa-doaku selalu mengalir agar Allah memberikanku dan dia sebuah jalan atau
solusi yang terbaik. Allah yang memberikan rasa cinta ini, Allah juga yang
mempertemukan cinta ini, dan Allah juga yang akan mempersatukan cinta ini. Amin.
Aku
dan dia yakin, rencana-Nya adalah lukisan yang terindah. Aku dan dia, akan
mengikuti segala apa yang telah digariskan oleh-Nya.
Petikan
dari sebuah Novel yang belum dimulai dan
belum tahu kapan selesai, “Uskudar, Bukan
Sekedar Cinta” Oleh AAAA.
Kahramanmaraş
Turki, 28 Januari 2014
saya membaca seperti pengalaman pribadinya pak Abdul Aziz benarkah begitu...
BalasHapusHmm... Bisa jadi dan bisa tidak... ^ ^
BalasHapus