Tingkatan Paling Penting Dalam Ubudiyyah

        



        Bekerja dan berjuang untuk khidmah keimanan dan Al-Qur'an hendaknya dilakukan karena ridha Allah Swt. Karena tingkatan yang paling utama dalam penghambaan adalah tingkatan “Ridhallah (Keridhaan Allah Swt)”. Dalam hal ini, hendaknya seorang manusia senantiasa berupaya menangkap dan memperolehnya sepanjang hidupnya. Tingkatan ini juga dapat dikaitkan dengan derajat “nafsul muthmainnah” dalam ilmu tasawuf. Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menunjukkan hal ini dengan berfirman, “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rida dan diridai.” (QS al Fajr, (89): 27-28). Dan bagi para sahabat yang memperoleh ithmi'nah ini Allah menggunakan ungkapan, “Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya.” (QS At-Taubah, (9): 100), yang menunjukkan bahwa sifat ridha sangatlah penting. Hampir seluruh ulama tasawwuf dan ulama besar telah memusatkan perhatian pada persoalan ini dengan penuh kepekaan dan kesensitifan, serta menegaskan bahwa tingkatan ridha adalah pangkat keikhlasan dan muhabbah.

        Ustadz Badiuzzaman Said Nursi mengatakan bahwa satu momen dapat melihat keindahan Allah Swt setara dengan ribuan tahun hidup di Surga. Ya, mengamati keindahan Allah adalah kehormatan terbesar yang diberikan kepada orang-orang yang beriman di Surga. Di lereng surga, orang beriman menyaksikan Allah Yang Maha Esa -dengan cara yang tidak dapat kita pahami di dunia ini- dan mereka mengalami dimensi berbeda dari mazhariyyah (perwujudan) itu dalam setiap kalinya. Kehidupan di surga, yang satu jamnya bernilai ribuan kehidupan duniawi. Adapun ridha Allah, itu merupakan nikmat yang melebihi semua itu. Kehebatannya digambarkan dalam Al-Qur'an sebagai berikut, "Rida Allah lebih besar (dari apapun). Itulah kemenangan yang agung." (QS at-Taubah, (9):72). Ketika sebuah persoalan dilandasi dengan keridhaan Allah, maka segala sesuatu dalam hidup kita harus berjalan dan bergantung pada ridha Allah, direncanakan sesuai dengan itu dan selalu berada dalam orbit keridhaan-Nya.

        Adapun cara untuk mendapatkan rihda, Nabi kita Saw menunjukkan beberapa hal yang perlu dilakukan dalam banyak hadisnya. Misalnya, 1) melakukan segala sesuatu karena Allah, 2) menyerahkan segala keberhasilan dan keberhasilan kepada-Nya, dan 3) tidak ikut campur pada hasil akhir. Syeikh Jünaid al-Baghdadî mengatakan, "Abdunnaar = hamba Neraka" kepada orang-orang yang beribadah karena ketakutan pada api Neraka. Orang yang beribadah dengan keinginan surga disebut sebagai “Abdul Jannah = hamba surga”. Beliau menyebut orang-orang yang bergembira karena nikmatnya beribadah kepada Allah pun sebagai “Abdul Lazzah = hamba kenikmatan” dan menegaskan bahwa ibadah harus dilakukan hanya karena Allah Swt yang telah memerintahkannya.


        Dalam hal ini, para pelayan Al-Quran tidak boleh mempunyai pengharapan apa pun di dalam hati mereka selain keridhaan Allah. Sekalipun mereka tidak mengharapkan sesuatu yang bersifat materi dan maknawi di dalam hati mereka, namun jika ada nikmat yang datang dari Allah Swt dengan cara yang tidak mereka duga, mereka mengambilnya sebagai hadiah dan lalu sujud syukur.

        Dari sudut pandang lain, tingkatan ridha berarti seseorang hidup terlepas dari dirinya sendiri. Misalnya, ketika seseorang menceritakan sesuatu ia mungkin berpikir bahwa apa yang diceritakannya akan bermanfaat bagi orang lain. Begitu pula dengan kisah sukses yang disampaikannya. Namun, sangat penting baginya untuk mempertimbangkan keridhaan Allah Swt dalam hal ini. Allah Swt mungkin tidak menyukai dia karena mengucapkan kata-kata yang muluk-muluk dan - sebagaimana dikatakan dalam hadis - "alîmu'l-lisan". Lalu, jika dia mampu coba katakan, “Ya Allah! "Jika keridhaanMu ada pada diamku di sini, atau bahkan pada diamku di depan orang-orang ini, Wallahi aku menginginkannya." Ya, pemikiran tentang ridha yang seperti itu seharusnya menjadi jalan hidup kita, dan pujian atau hinaan dari orang lain tidak boleh dianggap sebagai kriteria bagi kita.

____

Alimu'l lisan: Dalam sebuah hadis riwayat Ahmad bin Hambal (Musnad, 1/289), "Satu hal yang aku takutkan dari umatku adalah orang-orang munafik yang pandai bermain lidah."


Bandung, 7 Sep 2023

Komentar

  1. Ma syaa Alloh, Tabarakallah pa...tulisannya menyejukkan bathin ini dan menguatkan utk terus menyucikan niat krn Alloh apapun yg dilakukan❤️

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer