Tujuan Khidmah: 3. Meraih Iman yang Hakiki
Taqlid artinya menerima gagasan dan pemikiran orang lain, mengulangi perilaku dan tindakan, serta berusaha menirunya tanpa mengecek keakuratannya. Keimanan dan keyakinan seseorang terhadap apa yang dilihat dan didengarnya dari orang tuanya maupun orang terdekatnya/jauhnya, tanpa belajar dari guru atau kitab, dan menerima prinsip-prinsip yang diyakininya tanpa meneliti tingkat keakuratan dan kebenarannya disebut dengan “Taqlidi Iman”.
Sementara tahqiq berarti menyelidiki benar atau tidaknya sesuatu dan bekerja keras untuk mencapai kebenaran dan hakikat dalam hal tersebut. Keimanan yang dicapai setelah meneliti dan menyelidiki hakikat dan kebenaran prinsip-prinsip keimanan, dan menjadi hasil daripada tahqiq disebut dengan “Tahqiqi Iman”.
Ketika seseorang mempercayai apa yang dilihat dan didengarnya tanpa perlu meneliti dan sebagai hasilnya ia pun menyesuaikan perilakunya dengan hal itu maka kepercayaan yang demikian disebut sebuah taqlid. Karena tidak adanya penalaran yang mengarah pada "ilmul yaqiin" dalam jenis perilaku ini, kemungkinan akan sering terjadi perubahan tempat dan arah tergantung pada arus massa dan dominasi dari pengaruh eksternal. Terlebih lagi, orang-orang Muslim yang melakukan taqlid tidak akan bisa melawan kekufuran dan kesesatan yang datang dari ilmu pengetahuan dan filsafat. Dalam hal ini khususnya pada hari ini, ada sebuah kebutuhan, bahkan sebuah keharusan, untuk menyelidiki cara-cara mencapai keimanan yang sejati dan hakiki, lalu memperingatkan orang lain tentang masalah ini.
Metode tahqiq yang berlaku bagi semua orang adalah bagaimana cara memperdalam ibadah disertai dengan penelitian, tadqiq (kajian), kemauan, kesinambungan, dan keteguhan pada subjek tersebut. Jika orang-orang bersungguh-sungguh, bertekad, dan gigih melakukan penelitian serta menggunakan informasi yang mereka peroleh untuk memperdalam ibadah mereka, mereka pun akan dapat mencapai derajat tahqiq, meski tidak hari ini bisa jadi besok.
Tingkah laku yang baik, amal-amal shaleh dan ibadah-ibadah lama kelamaan akan menjadi bagian fitrah seorang manusia dan membawanya pada titik-titik yang tidak dapat dijangkau dengan ilmu yang abstrak. Pengetahuan dan informasi yang abstrak tidak akan pernah dapat mengangkat derajat seseorang ke tingkat yang dicapai oleh amal, penghidupan, pengalaman, dan ibadah seseorang. Oleh karena itu, agar mekanisme hati nurani dapat berfungsi dan memperoleh manfaatnya, seseorang harus tetap berpegang teguh pada “amal shaleh”, banyak beribadah, dan menjadikan ibadah sebagai bagian dari fitrahnya.
Al-Qur'an membiarkan beberapa hal bersifat mutlak sehingga pokok bahasannya komprehensif dan mencakup semua hal yang serupa. Oleh karena itu, shalat yang dilakukan dengan niat yang ikhlas, dengan memperhatikan rukun-rukunnya, dengan memperhatikan ruh, makna dan hakikat di dalamnya, bentuk dan bacaannya, serta dilengkapi dengan makrifat, muhabbah (kasih sayang), dan cinta yang timbul dari shalat tersebut, adalah sebuah amal shaleh yang luar biasa. Begitu pula sebuah amar ma'ruf (memerintahkan kebaikan), nahyu anil munkar (melarang dari hal yang munkar), dan i'la kalimatillah (menjunjung tinggi nama Allah Swt) juga bagian dari amal shaleh sebagaimana shalat tersebut. Dengan demikian, dalam ruh amal shaleh pun terdapat pula atau termasuk juga amar ma'ruf, nahyu anil munkar, dan irsyad dan i'la kalimatullah.
Tercapainya sebuah tahqiq tergantung pada upaya beramal dan beribadahnya seseorang, yang mungkin saja berlangsung selama bertahun-tahun. Namun, sekalipun seribu setan datang menyerang seorang hamba yang telah mencapai tujuan keimanan yang hakiki (tahqiqi iman) yang merupakan hasil daripada segala upaya dan usahanya, setan dengan ribuan macam tipu muslihat yang dilakukannya, – dengan izin Allah – tidak akan membahayakan keimanannya.
______
Tulisan merupakan catatan dari penjelasan Hojaefendi berkaitan tentang "Khidmah dan Dasar-dasarnya."
Bandung, 12 Sep 2023
Komentar
Posting Komentar