Ya Allah! Selamatkanlah kami dari Taqlid!

        Wasilah dan jangka waktu seseorang untuk mencapai keimanan yang hakiki bisa saja berbeda-beda tergantung pada fitrah masing-masing. Dalam hal ini, sesaat mungkin cukup bagi sebagian orang, sementara bagi yang lainnya mungkin memerlukan waktu bertahun-tahun. Beberapa orang mungkin tidak mampu menunjukkan tekad yang diperlukan dalam meneliti dan memeriksa. Beberapa orang memiliki sudut pandang yang salah. Beberapa dari mereka tidak dapat mengatasi beberapa kendala yang harus mereka atasi dan hadapi. Misalnya, beberapa orang mengatakan "aku" - yang mana tidak mungkin ada dua "aku" di satu tempat yang sama- dan mereka bertindak arogan dan sombong. Seorang harus bisa menihilkan dirinya sendiri agar dapat menerima Allah Swt sebagai satu-satunya Tuhan Yang Maha Esa dan mencapai keimanan yang hakiki. Untuk mencapai titik itu, diperlukan azzam, ketekunan, dan tekad. Kita perlu menghindari sikap sombong, egoisme, mencintai diri sendiri, dan terjerumus ke dalam kemusyrikan dengan mengaitkan sebuah perbuatan kepada diri sendiri.


        Ya, kita harus memberikan segalanya kepada pemiliknya agar Dia dapat mengekspresikan diri-Nya dalam esensi kita. Jika kita menghubungkan beberapa tindakan pada diri kita sendiri dan – haasyaa wa kallaa – mengecualikan pemilik sebenarnya dari tindakan tersebut dan berkata “Aku berpikir, aku melakukan, aku mengerjakan”, maka mustahil bagi kita untuk mencapai keimanan sejati atau mendapatkan buah-buahnya.


        Beberapa orang masih tetap berada di tempatnya selama bertahun-tahun, dalam keadaan pertamanya (tidak pernah berubah sama sekali). Mungkin saja mereka telah banyak membaca, memberikan pelajaran kepada dunia, dan menentukan hukum di hadapan orang lain seolah-olah telah benar-benar memahaminya. Namun sebenarnya mereka tidak pernah mengenal Allah Swt sepanjang hidup mereka. Mereka hanya meyakini keberadaan pencipta secara taqlid. Oleh karena itu, setiap orang hendaknya membongkar dan merajut kembali sistem pemikiran dan keyakinannya masing-masing, seperti halnya melepas kaus kaki. Kita perlu bertanya, “Aku menerima pemahaman ini dan itu, tapi aku bertanya-tanya apakah kebenaran yang sebenarnya?” Kita harus menjadikan prinsip-prinsip yang kita yakini sebagai milik kita setelah menyaringnya melalui hati dan kepala. Kita harus merekonstruksi dan memperkuat pemikiran dan sistem kepercayaan kita sesuai dengan tahqiq (penyelidikan), tadqiq (penkajian) dan penelitian kita sendiri terhadap semua kemungkinan yang berbeda seperti halnya Ustadz Badiuzzaman melakukan debat dengan setan, "Anggap saja ini seperti ini... anggap saja ini tidak ada... jika kamu mengatakan ini ... dst"


        Walau pun kita bisa berkata, “Rahmat Allah itu maha luas, bahkan orang-orang yang taqlid pun bisa mengambil manfaat dari rahmat tersebut" namun sebenarnya yang diinginkan adalah mencapai keimanan yang hakiki. Ustadz Badiuzzaman Said Nursi selalu mengarahkan kita untuk menempuh jalan menuju tahqiq dalam karya-karyanya. Beliau telah menunaikan sepenuhnya tugasnya membantu umat mencapai keimanan yang sejati dengan karya-karya yang ia kemukakan atas nama tahqiq, sikapnya terhadap arah tahqiq, dan nasehat-nasehat yang berpola tahqiq yang diungkapkannya. Beliau telah melakukan pelayanan yang diperlukan, tetapi beliau tidak mempunyai wewenang untuk memberikan hasil daripada tahqiq tersebut. Dalam hal ini, kita harus menghadap kepada Allah Swt, Al-Qur'an dan Nabi kita Saw, dan percaya pada karya-karya yang menjelaskan hakikat-hakikat keimanan. Karena beliaulah yang menjadi penerjemah Al-Qur'an di hari ini.


        Singkatnya, setiap orang harus membangun kembali dunia keyakinan, pemikiran, pemahaman dan keimanannya sendiri, agar ia dapat berdiri teguh dengan keimanannya. Jika tidak, seseorang mungkin tidak dapat berdiri teguh pada tempatnya dengan sistem kepercayaan yang dipaksakan oleh orang lain, yaitu dengan keyakinan yang bersifat taqlidi. Faktanya, pada masa ketika taqlid menjadi penguasa di zamannya, tidak ada seorang pun yang tidak tergoyahkan dalam menghadapi keraguan yang muncul atas nama aqidah. Oleh karena itu, seseorang harus berpegang pada pegangan yang sangat kuat, yaitu tahqiqi iman. Jika tidak - hafizanallah- ia akan terguncang dan jatuh di setiap saat.

______

Tulisan merupakan catatan dari penjelasan Hojaefendi berkaitan tentang "Khidmah dan Dasar-dasarnya." 

Bandung, 12 Sep 2023

Komentar

Postingan Populer